31 Agu 2013

I'm the world's worst salesman



"I'm the world's worst salesman. Therefore, I must make it easy for people to buy." Arti terjemahannya adalah "Saya adalah penjual yang paling buruk sedunia, untuk itu, saya harus membuat orang mudah untuk membeli." Nah, artinya... kalau kita memang tidak pandai menjual, maka kita mesti punya gagasan inovatif yang membuat pelanggan mudah membeli produk atau jasa yang kita tawarkan...

Saya jadi ingat ketika di awal saya mendirikan perusahaan saya (tahun 1990). Saya adalah orang yang kurang percaya diri dan tidak bisa menjual. Lalu, saya bikin sistem yang membuat pelanggan saya mau beli jasa saya, yakni mereka bisa mengirimkan orang untuk dipsikotes kapan saja, baik pagi, sore, malam atau bahkan di hari libur. Saya juga bilang bahwa hasilnya nanti akan diantar. Semua ini merupakan pelayanan, tapi kalau dipikir lagi, sebenarnya ini membuat orang lebih mudah untuk membeli. Tidak perlu repot, tidak perlu nunggu lama. Nah, membaca kata-kata yang nampaknya sederhana di gambar yang saya temukan itu, sebenarnya kalau kita bisa menerapkannya dalam usaha kita... hasilnya akan sungguh luar biasa.


Sehubungan dengan bagaimana membuat orang mudah membeli. Saya mau sharing juga pengalaman saya. Saya pernah ke sebuah toko furniture yang tergolong besar di surabaya. Ingin beli kursi untuk kerja. Setelah memilih, akhirnya memilih satu kursi yang nampaknya bagus, kuat dan enak (menurut saya). Tapi, ternyata stoknya tidak ada, harus pesan dan ini butuh waktu. Penjualnya bilang bisa diantar nanti. Tapi... katanya kalau diantar itu mesti pembelian 2 juta ke atas baru gratis, kalau di bawah itu mesti ada ongkos kirim. Wah, kok merepotkan begitu? Saya sudah menaruh uang untuk beli, menunggu, lalu harus bayar lagi untuk ongkos kirim hanya karena beli barangnya tidak sampai 2 juta. Akhirnya ya saya tidak jadi beli... Saya hanya mengomel dalam hati, kok bisa manajemen toko ini bikin aturan yang bikin susah pembelinya. Belajar dari hal ini, buatlah sistem transaksi penjualan yang memudahkan dan memberi nilai tambah kepada pelanggan.  Make it easy for people to buy.

Tips memulai usaha agar sukses

Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan saat kita hendak memulai bisnis, yaitu:
 
1. Ide bisnis yang luar biasa akan percuma jika Anda sulit menjualnya. Produk atau jasa yang Anda tawarkan harus bisa diterima pasar. Dengan kata lain, percuma ide bisnis yang bagus tapi bukan merupakan sebuah peluang.

2. Sukses tidak datang dalam satu malam. Jadi Anda mesti tekun dan ulet. Mengharap sukses dalam waktu singkat dan kemudian tidak tahan banting, menyebabkan Anda akan gagal.

3. Kendalikan cash flow dengan baik. Anda jangan sampai kehabisan uang akibat banyak menjual namun uangnya tidak ada, entah yang beli berutang atau Anda menggunakan uang dengan sembrono.


Nasib orang itu ditentukan oleh karakternya


Seorang filsuf Yunani kuno, Heraclitus, pernah mengatakan "nasib orang itu ditentukan oleh karakternya." Orang-orang sukses itu bukan karena dia pintar atau kaya, tapi karena karakter yang dimiliki. Sekaya, berkuasa atau seterkenal apapun dia, kalau karakternya buruk, ya akhirnya nasibnya juga buruk... Jadi, jangan peduli soal reputasi saja, tapi memilikilah karakter yang baik.

Antara sifat, karakter dan watak memang hampir sama. Demikian juga dengan kepribadian. Sifat adalah karakteristik psikologis yang berasal dari dalam diri seseorang yang mendapat nilai dari masyarakat. Sementara kepribadian itu lebih merupakan ciri-ciri seseorang yang menggambarkan dirinya. Yang agak beda adalah temperamen. Temperamen ini berkaitan dengan faktor biologis. Albert Einstein pernah bilang, “Weakness of attitude becomes weakness of character.” Sikap yang lemah akan menjadi karakter yang lemah.

Jangan berhenti berinovasi

Apakah Anda dulu pelanggan produk Rugos ini? Sekarang dengan adanya komputer dan printer, produk ini sudah tidak begitu laku lagi. Setiap produk memang mempunyai daur hidup. Ada masa diperkenalkan, ada masa laris dibutuhkan oleh pasar, dan kemudian juga mulai ditinggalkan. Produk yang sekarang sudah mulai ditinggalkan juga adalah film foto yang sudah diganti dengan kamera digital.

Anda mungkin juga masih ingat ketika booming orang bikin usaha wartel (warung telekomunikasi). Kini dengan banyaknya orang memiliki ponsel, wartel sudah tidak ada yang bisa bertahan. Inovasi memang membuat hidup semakin mudah, tapi bagi pebisnis, inovasi harus terus dilakukan, sebab kalau sampai terlena, bisa-bisa akan ditinggalkan oleh pasar karena sudah ada inovasi yang baru, Entrepreneur harus selalu berinovasi.

Inovasi tidak harus rumit


Melakukan inovasi adalah hal yang tidak mudah. Padahal ini adalah salah satu kunci entrepreneurship. Inovasi memang berangkat dari sebuah ide kreatif. Tidak harus rumit, kadang malah sederhana. Yang jadi hambatan seringkali ide-ide itu sudah dilakukan oleh pihak lain. Kita terbiasa jadi penikmat inovasi yang diciptakan orang lain. Kalau kita termasuk generasi yang sudah cukup umur, kita akan melihat banyak perubahan. Sebagai contoh, inovasi di bidang penjualan, seperti memasang makanan ringan (snack) atau krupuk dengan cara digantung renteng, untuk memudahkan pembeli untuk mengambil (tinggal dicabut), adalah sebuah inovasi yang luar biasa. Sederhana, tapi ini merupakan inovasi juga. Jadi, retail is detail. Pikirkan inovasi dalam hal-hal kecil, sebab dari hal-hal yang tampaknya sepele, justru bisa menciptakan hasil yang spektakuler...

The Speed of Trust

Ada buku bagus, judulnya: "The Speed of Trust" karya Stephen M. R. Covey. Ada sebuah blod di internet yang mengulas buku ini. Silahkan dibaca bagi yang berminat...

Di era persaingan bisnis yang semakin ketat ini, kecepatan menjadi kunci kesuksesan sebuah bisnis. Hanya lewat kecepatan, sebuah organisasi dapat bersaing melawan kompetitornya. Lalu, apa yang dapat meningkatkan kecepatan dari sebuah organisasi? Apa yang membuat atasan dan bawahan dapat bersama-sama menjadi pelari yang unggul melewati pesaingnya?

Anda akan menemukan jawabannya dalam buku The Speed of Trust. Buku ini ditulis oleh Stephen M.R. Covey, anak dari Stephen Covey, penulis buku klasik The Seven Habit of Highly Effective People.

Menjadi anak dari pakar kepemimpinan dan bisnis terkemuka, Stephen junior menanggung beban berat pada awal kariernya. Walaupun lulus dari program master sekolah bisnis Harvard University, dia menghadapi pandangan sinis dari berbagai pihak. Perusahaannya, Covey Leadership Center, baru saja merger dengan Franklin Quest dan menghasilkan FranklinCovey Company.

Merger ini meskipun menggabungkan dua kekuatan besar menjadi satu, namun menghasilkan masalah baru, yakni krisis kepercayaan. Masalah ini pun harus dialami Stephen. Ada pandangan yang menilai dia hanya mendompleng nama besar sang ayah untuk mendapatkan posisi sebagai pemimpin di salah satu unit bisnis perusahaan. Namun, menarik untuk melihat bagaimana hal ini menjadi pelajaran bagi Stephen untuk merumuskan satu prinsip demi meningkatkan produktivitas dalam organisasi, yakni menanamkan keterpercayaan.

Keterpercayaan, menurut Covey, bukan sesuatu yang bersifat abstrak, melainkan dapat diukur dan dikuantifikasi. Dampak dari menanamkan keterpercayaan dalam lingkungan kerja juga dapat mengeluarkan hasil nyata dalam bentuk kenaikan profit, meningkatnya efektivitas kerja, menjaga kesetiaan pelanggan, dan lain sebagainya.

Rumus Keterpercayaan

Menurut Covey, ketika keterpercayaan menurun, kecepatan berkurang dan biaya akan naik. Ini tentu berbahaya ketika kita sedang berada dalam sebuah kompetisi bisnis. Hal sebaliknya, kata Covey, terjadi jika keterpercayaan naik. Saat keterpercayaan meningkat, kecepatan juga akan naik dan biaya turun. Bayangkan dampaknya bagi organisasi Anda.

Lima tingkatan Keterpercayaan

Buku ini mengingatkan bahwa membangun keterpercayaan dalam organisasi terdiri atas lima tingkatan yang akan menghasilkan gelombang perubahan. Kelima tingkatan gelombang itu adalah percaya pada diri sendiri, percaya dalam hubungan dengan orang di sekitar kita, percaya dalam organisasi, dipercaya pasar, serta dipercaya masyarakat. Kelima tingkatan ini saling berkaitan.

Perubahan dalam organisasi dimulai dengan tingkatan pertama, yaitu percaya pada pada diri sendiri. Pada tahap ini, kita membangun kredibilitas diri sendiri sehingga pihak lain akan percaya pada kita. Selanjutnya, pada tahap hubungan dengan orang di sekitar, kita perlu membangun keterpercayaan melalui tindakan baik yang konsisten dan berulang-ulang. Ini kemudian menjadi dasar bagi terbentuknya keterpercayaan organisasi. Di level ini, kita perlu membangun struktur, sistem kerja dan symbol-simbol yang menumbuhkan sikap saling percaya.

Dari keterpercayaan dalam organisasi, selanjutnya kita bergerak ke tingkat keterpercayaan pasar. Kerja tim yang solid dalam organisasi kita akan membantu terciptanya reputasi. Reputasi ini berdampak positif pada brand organisasi kita. Terakhir, kita dapat membuat organisasi kita dipercaya masyarakat dengan memberikan kontribusi kepada masyarakat.

Tugas pertama seorang pemimpin adalah menginspirasi keterpercayaan. Keterpercayaan terdiri atas dua dimensi ; karakter dan kompetensi. Karakter mencakup integritas, motif, dan niat. Kompetensi mencakup kemampuan, ketrampilan, kinerja dan rekam jejak. Kedua dimensi tadi (karakter dan kompetensi) sangat penting.

Mulai dari Lingkungan Terkecil: Rumah


Buku ini juga mengingatkan bahwa membangun keterpercayaan dimulai dari rumah. Hal ini terlihat saat Stephen menulis tentang pengalamannya saat diperkenalkan dengan prinsip dipercaya oleh ayahnya, Stephen senior.

Oleh ayahnya, Stephen diberi tugas untuk memelihara rumput halaman rumahnya agar tetap subur dan bersih. Dia benar-benar dibiarkan oleh ayahnya untuk melakukan hal itu. Ayahnya memperlihatkan dengan jelas bahwa ia memberikan delegasi wewenang kepada Stephen kecil untuk mengurus halaman rumahnya. Stephen kecil belum mengerti tentang uang, pangkat, gaji, atau persaingan. Tetapi saat itu dia tahu bahwa dia dipercaya ayahnya, dan itu membuatnya tidak ingin mengecewakannya. Itulah yang kemudian membuatnya berusaha dengan maksimal untuk membersihkan halaman depan rumahnya.

Percaya seperti inilah yang dapat mendorong produktivitas dan kemudian menaikkan profit. Ini dijelaskan dalam salah satu cerita mengenai seorang penjual donat dan kopi di jalanan di New York City. Selama waktu sarapan dan makan siang, tokonya selalu dipenuhi antrian orang yang ingin membeli donat dan kopinya. Meskipun hal ini pertanda bagus, tetapi Jim juga melihat bahwa banyak orang yang merasa bosan mengantri, lalu pergi begitu saja dan tidak jadi membeli. Jim sadar, bahwa karena dia harus melayani semua pelanggan, dia menjadi penghambat terbesar bagi dirinya sendiri untuk menjual lebih banyak donat.

Jim kemudian memutuskan untuk menaruh satu keranjang yang berisi uang pecahan kecil untuk kembalian. Dia mempercayakan pelanggannya untuk membayar sendiri dan mengambil sendiri kembaliannya di dalam keranjang itu, tanpa perlu harus melalui Jim.

Alih-alih uangnya dicuri, Jim malah menemukan bahwa banyak pelanggan justru memberi tip dalam jumlah besar. Ini juga mempercepat antrian orang yang akan membeli donatnya, sehingga dia bisa menjual lebih banyak donat. Jim menemukan, bahwa pelanggannya senang merasa dipercaya. Tidakkah demikian juga dengan rekan kerja, bawahan dan atasan anda?

Kesimpulan

Pada akhirnya, buku ini mengingatkan tentang pentingnya berinvestasi untuk membuat kita dipercaya oleh orang-orang di sekitar kita, termasuk bos, bawahan, sesama karyawan dan pelanggan. Buku tentang strategi bisnis ini juga memuat prinsip-prinsip yang akan mendorong kita untuk berkembang dalam berbagai bidang kehidupan.

Siapkah Anda untuk bergerak tambah cepat mengalahkan para pesaing Anda dengan membangun keterpecayaan ?

Makin tertarik ingin baca buku ini? klik http://www.johnmcgeelive.com/?p=11

Menjalankan bisnis dengan Bootstrap

Saya punya contoh bootstrap yang saya lakukan dulu. Di tahun 1990, setelah saya lulus kuliah, dan sempat bekerja di perusahaan orang lain selama 2 tahun (di sebuah perusahaan pengolahan udang windu/cold storage dan perusahaan property jual beli rumah), saya memutuskan untuk membuka usaha sendiri yakni sebuah konsultan psikologi. Latar belakang pendidikan saya memang dari psikologi, dan kemudian ada teman ayah saya yang membiayai saya untuk kuliah MBA (Master of Business Administration). Lulus MBA di tahun 1990, saya kemudian mendirikan perusahaan saya yang bernama Bina Grahita Mandiri. Saat itu usia saya masih 24 tahun.

Tahun 1990 itu, ayah saya meninggal dunia. Bekal yang saya miliki adalah pendidikan dan sebuah rumah yang saya tempati bersama ibu dan adik-adik saya. Saya anak pertama, satu-satunya anak laki-laki. Modal saya waktu itu tidak banyak, tabungan saya dari hasil menulis artikel dan bekerja sebelumnya adalah sekitar Rp 1 juta rupiah. Di rumah ada garasi mobil. Nah, saya menggunakan garasi mobil ini untuk kantor. Saya lantas memikirkan bagaimana membuat kantor saya itu bisa diubah kalau siang jadi tempat untuk bekerja, namun kalau malam mobilnya bisa masuk. Lalu saya merancang partisi yang bisa dilipat sehingga kalau siang saya pasang sebagai penyekat ruangan, meja dan kursi lipat sehingga praktis untuk dipindah saat mobil masuk. Modal uang yang ada saya gunakan untuk merenovasi ruangan, membeli meja dan kursi.

Saya punya hobby menulis, banyak tulisan saya yang dimuat di surat kabar saat itu. Ini juga karena ayah saya melatih saya aktif menulis. Ayah saya adalah seorang wartawan dan redaktur di Jawa Pos (1985-1990), sebelumnya di majalah Liberty selama 25 tahun. Jadi, saya cukup akrab dengan dunia jusnalistik dan percetakan, termasuk mendesain brosur. Hal ini sangat membantu saya dalam membuat surat penawaran, brosur serta promosi lainnya. Padahal, saya kurang pandai bertutur kata/komunikasi. Kekurangan ini, kalau dianalisis secara SWOT, saya atasi dengan promosi dengan katalog dan brosur yang menarik.

Karena ayah saya meninggal, saya lalu menemui pimpinan Jawa Pos, Bapak Dahlan Iskan, dan menawarkan diri untuk bergabung di Group Jawa Pos. Bekerja sambil punya usaha juga merupakan bootstrap. Pendapatan bulanan dari bekerja bisa membantu untuk biaya operasional usaha. Saya lalu ditempatkan di sebuah harian bisnis, namanya Suara Indonesia (saat ini media ini sudah tidak ada). Lalu saya mengisi kolom di sana, rubrik inspirasi bisnis, marketing dan SDM. Nah, setelah setahun bergabung di sana, bisnis saya ternyata makin berkembang. Dari model direct mail (mengirim surat penawaran) ke perusahaan-perusahaan, banyak sekali order untuk melakukan psikotes. Karena itu, saya kemudian mengajukan ke pimpinan surat kabar tersebut untuk bekerja secara jarak jauh. Jadi saya menulis di rumah, mengirim via email. Nah, ide bootstrap yang saya lakukan waktu itu adalah dengan cara menukar honor tulisan saya (saya bilang, saya tidak perlu lagi digaji bulanan karena saya sudah tidak lagi masuk kerja) dengan memasang iklan perusahaan saya. Jadi, saya menulis diganti dengan iklan gratis. Itu saya lakukan di surat kabar tersebut dan juga di media lain.

Hasilnya sangat besar. Mungkin ibarat prinsip Pareto 80/20, dari upaya yang lakukan, yakni 20% menyediakan waktu untuk menulis di media massa, order bisnis saya meningkat. Jadi bisa dibilang hasil 80% dari usaha saya adalah dari upaya 20% yang saya lakukan itu.

Itu contoh bootstrap yang ingin saya sharing ke teman-teman. Meski saat itu, saya sendiri belum tahu dengan belum dengar istilah bootstrap, namun sudah saya lakukan. Jadi, kalau ada orang bilang, dia tidak bisa menjadi entrepreneur karena tidak punya modal, itu adalah salah besar dan bodohnya dia. Kalau kita belajar entrepreneurship, tahu prinsip-prinsipnya, seperti efektuasi, bootstrap, dan lainnya... tidak ada yang mustahil. Kini perusahaan saya, yang bernama Bina Grahita Mandiri masih terus berjalan sudah 22 tahun. Pelanggan sudah ribuan dan tiap hari ada bisnis yang harus dilakukan. Karena saya senang sharing dan mengajar, saya kemudian bergabung dengan Universitas Ciputra. Istri saya yang mengelola bisnis ini.

Sekedar sharing, mudah-mudahan bermanfaat.

Salam entrepreneur!

Jangan tunggu sempurna

Satu hal yang menyebabkan orang tidak berhasil adalah karena dia ingin menghasilkan sesuatu yang harus sempurna. Sempurna menurut standardnya dia. Orang seperti ini biasanya disebut sebagai perfeksionis. Dia merasa malu atau takut jika menghasilkan karya yang menurutnya tidak bagus. Padahal, bagus atau tidak, itu hanyalah persepsi. Bagus atau tidak, itu juga tergantung zaman. Coba kalau kita lihat film jaman dulu, maka kita bisa lihat kualitasnya kurang bagus, aktingnya biasa-biasa saja, juga cara membuat filmnya juga sepertinya tidak istimewa. Namun di masa lalu, film itu sudah luar biasa. Oleh karena itu, janganlah punya mindset hanya mau menampilkan hasil yang sempurna. Sempurna itu justru akan membuat kita frustasi. Berusahalah dengan maksimal, hasilkan karya sebisanya. Sekarang jika masih dianggap kurang baik, itu tidak menjadi masalah...

Belajar dari pelanggan yang komplain


Beberapa waktu lalu, saya berdiskusi dengan Pak Bambang Hermanto, dekan Fakultas Pariwisata Universitas Ciputra. Beliau bercerita tentang sebuah restoran yang pemiliknya marah besar karena ada pelanggan yang komplain makanannya agak bau. Dia marah karena merasa orang itu mengada-ada dan tidak mungkin kualitas makanan di tempatnya buruk. Akibatnya, justru bukannya da belajar dan menerima masukan dari pelanggannya, tapi malah bersikap emosional. Ketika pelanggan itu sudah pergi, lalu dia diberitahu oleh stafnya bahwa bahan makanan yang dibuat untuk pelanggan itu ternyata sisa kemarin dan sudah tidak segar. Semoga ketika kita berbisnis, kalau ada pelanggan yang komplain, reaksi kita bisa lebih bijaksana, bukan mempertahankan diri namun belajar untuk selalu memperbaiki kualitas.

29 Agu 2013

Ketika Passion Bertemu Visi, Tercipta Peluang

Mindset adalah sangat penting, dan seperti dikemukakan oleh Pak Ciputra, hal itu harus merupakan habit (kebiasaan). Misalnya, kalau pergi ke sebuah mall, biasanya akan datang dengan mindset pengunjung atau pembeli. Coba datang ke mall dengan mindset entrepreneur. Misalnya melihat, mengapa toko yang ini sepi dan yang itu ramai pengunjung. Kalau saya jadi pemilik toko yang sepi itu, apa yang bisa saya lakukan? Atau, Anda melihat ada stand yang masih tutup. Jika saya punya stand ini, saya akan berbisnis apa? Lihat sebuah restoran, jika saya yang punya restoran itu, menu istimewa apa yang akan saya jual ke pelanggan? Jadi, melihat dan berpikir itu adalah kunci penting.

Melihat lingkungan kita, melihat apa saja yang ada saat kita sedang di perjalanan, sambil berpikir. Nah, ini akan berkaitan sekali dengan apa yang menjadi passion kita. Melalui passion kita akan mempunyai visi. Saat passion bertemu dengan peluang yang kita ciptakan, di sana nanti secara otomatis kita akan punya visi yang lebih jelas lagi. Kalau kita tidak punya passion atau visi, maka sering peluang datang tapi kita lewatkan begitu saja. Kita harus tahu apa yang membuat kita sungguh-sungguh ingin lakukan serta mengetahui cita-cita, visi, arah tujuan yang hendak kita capai

Ini semua memang tidak bisa serta merta ada dalam diri kita, Ini harus dilatih dan dibiasakan, untuk selalu melihat dan berpikir secara entrepreneurial. Nah, untuk membentuk kebiasaan yang menunjang, ini diperlukan nilai hidup yang sesuai. Kembangkan keyakinan , filosofi hidup, prinsip maipun norma dan etika yang baik. Kadang kita sudah sungguh-sungguh ingin, tapi kalau prinsip atau nilai hidup kita tidak menunjang, maka tidak akan membuat kita bergerak. Kita sering terhalang oleh value yang kita anut. Maka ubahlah nilai hidup yang tidak produktif atau menghambat Anda.

* Passion merupakan bahan bakar dari bisnis atau usaha kita.
* Visi membuat kita punya arah dan sasaran untuk diraih sesuai passion.
* Peluang adalah ruang di mana passion dan visi datang bersama untuk membuat apa yang kita lakukan sebelumnya dengan sukarela dan senang hati bisa menjadi dan menghasilkan uang serta manfaat yang menguntungkan.

Salam entrepreneur!

28 Agu 2013

Pendidikan di masa depan adalah online


Ketika di awal tahun 2011 saya mulai mengelola sebuah pusat pembelajaran jarak jauh (distance learning), saya melihat bahwa ini memang akan menjadi sebuah trend model pendidikan di masa mendatang. Apalagi kini makin banyak open course (kuliah terbuka) yang dilakukan secara massal. Istilahnya adalah MOOC (Massive Online Open Course) seperti yang dilakukan oleh Coursera, Udacity, edX dan lainnya.

Generasi masa mendatang, nampaknya tidak harus lagi mengambil kuliah di sebuah perguruan tinggi, tapi bisa mengumpulkan kredit dari berbagai mata kuliah yang diikuti lewat program MOOC yang diselenggarakan oleh berbagai universitas terkenal. Kini, tempat saya mengajar kelas online, yakni di Universtas Ciputra, juga telah menjadi penyelenggara pertama MOOC di Asia. Mereka yang mau belajar bisa memilih sendiri materi-materi yang diminati. Ini akan menjadi terobosan yang luar biasa. Terlebih lagi, kebanyakan program MOOC ini adalah gratis. Tentu, orang bertanya-tanya, apakah pembelajaran online ini efektif atau tidak? Atau, kalau MOOC ini gratis, bagaimana model bisnisnya agar bisa berkelanjutan? Saya coba tampilkan beberapa infographics untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.



25 Agu 2013

Ngobrol ruang dan waktu, di ruang dan waktu yang terbatas

Di ruang waktu terbatas bersama mas Imam dan Pak Eric Pramono
Jum'at, 23 Agustus 2013, di atas awan-awan, di dalam pesawat Citilink perjalanan menuju Jakarta, mengisi waktu, saya dengan pak Eric Pramono dan mas Imam, ngobrolin soal ruang dan waktu. Ini bukan bahasan filosofis, meski obrolan ini mengingatkan saya pada pelajaran filsafat kosmologi yang pernah saya ikuti beberapa waktu lalu di Unika Widya Mandala saat sit in di kelas filsafat.

Ah, saya jadi ingin membahas dulu soal ruang dan waktu secara filsafat. Kita pasti tahu, di dunia kita ini, yang tidak pernah tetap adalah perubahan itu sendiri. Apa yang ada selalu mengalami perubahan. Nah, setiap perubahan yang terjadi (dan karena hal itu selalu terjadi), akan melibatkan ruang dan waktu. Mengapa? Apa maksudnya?

Ketika kita berubah sebenarnya kita melakukan pergerakan. Bergerak dari satu titik ke titik yang lain. Diri kita sendiri mempunyai dimensi. Misalnya, ada jarak antara jarak tangan saya yang kiri dan yang kanan. Bahkan jari kelingking dengan jempol saya juga ada jarak. Ada ruang yang bisa diukur. Lalu manusia membuat perbedaan ruang itu dengan alat ukur. Mulai dari ukuran milimeter, ada yang menggunakan satuan ukuran hasta, kaki, yard dan lain sebagainya. Ini baru soal ruang. Ketika manusia bergerak dari satu titik ke titik yang lain, misalnya saya berpindah dan Surabaya ke Jakarta, maka ada ruang yang harus saya tempuh. Inilah esensi dari ruang.

Lalu, bagaimana dengan waktu? Sebelum manusia menggunakan satuan waktu, manusia menandai waktu dengan pembanding. Misalnya, si Badu lahir pada waktu gunung Merapi meletus. Dia meninggal dunia saat huru hara terjadi di kota itu. Konsep waktu biasanya ada pembanding. Akan tetap, konsep waktu ini sangat melekat pada ruang. Bagaimana penjelasannya?

Ketika saya berpindah antara satu titik ke titik yang lain, saya membutuhkan waktu. Bumi bergerak mengitari matahari, berarti perjalanan itu dari satu titik ke titik yang lain, kita merasakan tidak seketika. Namun ada waktu yang harus dialami. Waktu ini kemudian disebut sebagai satu tahun. Kita menandainya dengan posisi matahari kembali ke titik semula. Demikian pula pergerakan bumi berputar, kita tandai sebagai satu hari. Lalu kita bagi menjadi 24 jam.

Kembali ke soal obrolan, sebelum makin melantur memikirkan soal ruang dan waktu secara filosofis. Apa yang dibahas sebenarnya hal yang simple namun sering kita abaikan. Ruang dan waktu mempunyai kesamaan. Pertama keduanya adalah hal yang tidak terbatas sekaligus terbatas. Hakikatnya adalah tidak terbatas, namun karena ruang dan waktu itu kemudian menjadi milik kita, itu yang membuat menjadi terbatas.

Misalnya, kita hanya punya waktu 24 jam tiap harinya. Kita tidak bisa membuat waktu kita sehari ada 30 jam, misalnya. Demikian juga ruang, kita juga batas, misalnya ruang kantor yang kita miliki, ruang kamar punya kita.

Apa yang kita bahas adalah soal manajemen ruang dan waktu. Kalau soal ruang, sering kali kita ini membeli barang, tapi lupa soal ruang penyimpanannya. Mungkin kita sudah sempat kita pikirkan, tapi sering diabaikan. Coba lihat, barangkali pakaian yang Anda miliki sudah tidak cukup lagi untuk masuk ke lemari pakaian Anda. Atau mainan anak-anak kita menjadi berserakan karena tidak tahu harus disimpan di mana. Bagi penggemar buku seperti saya, buku-buku yang dibeli makin bertumpuk-tumpuk dan tak muat lagi untuk ditata di lemari buku yang ada. Jadi, ruang ini terbatas. Karena keterbatasan ruang ini, membuat kita harus pandai-pandai melakukan manajemen ruang.

Bagaimana supaya ruang yang kita miliki masih tersisa ruang? Caranya memang sederhana, yakni harus mengeleminasi (menghilangkan) barang yang sudah tidak berguna. Bagi mereka yang terbiasa dengan Kaizen atau 5 S (silahkan lihat penjelasan tentang 5S ini di http://id.wikipedia.org/wiki/5s), maka barang-barang yang sudah tidak terpakai, harus rela disingkirkan. Ini tujuannya agar kita bisa menempatkan barang yang kita gunakan atau yang baru dibeli.

Soal ruang yang terbatas ini, mirip dengan konsep rumah susun atau apartemen, di mana kalau lahan terbatas, maka sebaiknya dibangun ke atas, Pak Eric Pramono menginvestasikan untuk membeli lemari plastik susun untuk menyimpan mainan-mainan anaknya. Nah, dia kemudian membuat aturan, di mana ada 2 harus ada rak ruang kosong dari lemari itu. Dia mengajarkan pada anaknya, kalau seandainya penuh semua, tidak akan ada mainan baru. Supaya bisa kosong, anaknya harus menyingkirkan mainan itu dari lemari, entah memberikan kepada saudaranya atau temannya. Kalau berjiwa bisnis, barangkali bisa dijual. Nah, kalau sudah ada ruang kosong, baru bisa akan ada mainan baru. Aturan yang bagus saya pikir.

Nah, hal yang sama soal waktu. Waktu yang kita miliki ini terbatas. Kalau kita dibebani tugas yang menyita waktu, maka mirip dengan lemari pakaian kita, akan semakin sesak. Lama-lama, akan ada tugas-tugas yang tidak terselesaikan karena memang sebenarnya sudah tidak muat lagi dalam slot waktu kita. Inilah esensi dari manajemen waktu.

Kita harus bisa memilah, mana yang harus dieleminasi. Tugas apa yang harus didelegasikan, tugas apa yang harus ditolak. Kalau kita tidak bisa menolak dan mudah memberi janji, maka ini akan bahaya. Selain kita makin terbebani, kita juga akan makin stress.

Obrolan singkat yang dibatasi lamanya perjalanan di angkasa dan di dalam pesawat Citilink yang ruangnya terbatas karena sempitnya kursi, menambah wawasan soal ruang dan waktu.

Semoga bermanfaat dan mari kita kelola ruang dan waktu kita.

11 Agu 2013

Ketakutan Krista

Liburan lebaran 2013 ini saya pasang shower di kamar mandi. Sebenarnya sudah ada pipa salurannya, tapi karena yang dulu rusak/patah, maka cuma ditutup saja. Sudah lama juga ingin pasang shower agar tidak boros dalam pemakaian air untuk mandi. Setelah pasang shower, muncul problem lain yang tidak diduga. Apa itu?

Krista ternyata takut dengan shower itu. Memang Krista ini agak penakut. Kalau ke mall dan ada kereta api yang berjalan di mall (yang mengangkut sejumlah anak-anak kecil) lewat, dia langsung lari sembunyi. Tapi Krista yang biasanya sangat suka dengan air mancur, entah kenapa kok takut sekali dengan shower ini.

Ini berakibat Krista sulit sekali disuruh mandi dan kalau buang air besar takutnya minta ampun sehingga sudah dua kali ini dia BAB di luar kamar mandi. Wuih, bikin mamanya marah karena kotorannya jatuh di lantai dan sekali pernah di tangga.

Untuk mencegah takutnya, shower itu dibuntal dengan handuk. Tapi Krista tetap takut masuk ke kamar mandi. Dulu dia kalau BAB, minta ditutup pintunya, sekarang ketika ditutup, showernya kelihatan (posisi shower tertutup kalau pintu kamar mandinya dibuka, tapi kelihatan kalau pintunya ditutup), jadi dia minta pintunya dibuka.

Apa yang membuat Krista takut? Apakah bentuk kepala showernya? Atau selang berbentuk seperti belalai robot? Atau krannya?

Tadi sehabis dia BAB di lantai karena sudah tidak tahan tapi takut masuk kamar mandi, saya ajak mandi. Di dalam kamar mandi, saya suruh dia memegang showernya dan dia mau. Hm, aneh juga. Apa yang membuatnya takut? Dia melihat air yang keluar dari kepala shower juga masih tersenyum. Tapi ketika airnya kena badannya, dia lantas menjerti-jerit. "Mama...!! Mama...!!" Apakah Krista takut karena kena air dingin yang keluar dari shower? Apakah pengalaman pertamanya dengan shower tidak menyenangkan? Kena siram air shower yang dingin (memang tidak ada water heaternya) barangkali sangat tidak menyenangkan.

Apakah itu yang membuatnya takut? Entahlah... Sayang Krista belum bisa bicara dengan lancar untuk mengutarakan apa yang ditakutinya. Mau bertanya ke siapa? Rumput yang bergoyangpun tidak ada... hanya bisa menduga-duga saja...

Soal ketakutan ini, saya masih ingat dulu saya pernah takut sekali di malam hari saat mau tidur, mendengar suara klunung-klunung penjual mie kluntung (mie jawa). Saya membayangkan suara itu sangat menakutkan... horror banget... Apakah Krista juga membayangkan hal yang menakutkan ketika melihat shower itu?


Sosial entrepreneur bukan sekedar philantropis

Minggu kedua mengajar kelas E5 Social Entrepreneurship, 31 Juli 2013, diawali dengan listrik padam gara-gara terjadi hubungan arus pendek di kelas. Hari itu memang rencananya tanpa bantuan slide presentasi. Jadi sebenarnya tak masalah listrik padam. Tapi kelas jadi gelap, tirai ternyata tidak bsia dibuka semua. Namun, the show must go on.

Sementara teknisi berusaha memperbaiki perlistrikan, saya membagikan fotokopian kliping contoh-contoh aktivitas sosial, mulai dari charity hingga bisnis sosial. Sebenarnya saya kurang suka dengan ruangan kelas ini. Ruangan ini kursinya pakai meja lipat, kurang leluasa untuk melakukan tugas-tugas yang sifatnya project.

Beberapa hari sebelumnya, saya mengumpulkan beberapa artikel features dari koran Jawa Pos dan Kompas, yang menampilkan beberapa kegiatan sosial dan juga kegiatan lain yang berkaitan dengan hobby. Tujuan saya adalah ingin menampilkan berbagai tipe aktivitas social entrepreneurship. Aktivitas bisnis sosial ini bisa dilihat dari sejauh mana dampak manfaat sosial yang diberikan serta sejauh mana profit yang bisa dicapai. Kalau tak ada manfaat sosial serta tidak ada profit, maka kegiatan itu lebih bersifat hobby. Misalnya salah satu contohnya adalah komunitas jalan kaki yang sambil melihat-lihat bangunan bersejarah di kota Surabaya. Jadi, kegiatan ini lebih pada budaya, tapi tidak memberi dampak sosial yang besar pada komunitas tertentu serta tak ada profit. Jelas bukan kegiatan seperti ini yang diinginkan untuk dilakukan pada kelas social entrepreneurship.

Lalu ada juga cerita dari seorang perempuan yang usianya sudah paruh baya, yang suka melukis dan hasil penjualan lukisannya diberikan kepada orang yang ingin berumroh atau naik haji. Kegiatan ini dari sisi religi adalah mulia. Saya yakin kalau dalam tipologi Spranger, ibu ini tipe religius sekaligus artistik. Tapi ada salah satu mahasiswa saya yang berkomentar dalam blognya, dia amat heran mengapa uang hasil penjualannya bukan untuk membantu orang miskin yang lebih memerlukan? Tapi terlepas dari hal ini, model seperti ini adalah charity. Ini juga bukan hal yang diajarkan di kelas saya untuk dikerjakan. Perlu dibedakan antara orang yang dermawan atau philantropis dengan seorang social entrepreneur.

Contoh lain, ada sekelompok mahasiswa membuat sabun dari kulit durian. Ide mahasiswa ini bagus, mengubah sampah (kulit durian) menjadi sesuatu yang berguna. Inovatif, muncul dari ide bahwa kulit durian bisa menghilangkan bau. Manfaat sosialnya baik untuk lingkungan, tapi yang menjadi pertanyaan, kalau bisnis ini dilakukan, apa bedanya dengan bisnis yang lain?

Satu hal yang menarik adalah kegiatan sekolah gratis yang dilakukan oleh sekelompok orang di daerah yang banyak terjadi Di daerah itu, orang tua sudah menganggap biasa "menjual" anaknya. Beberapa pemuda di sana terpanggil untuk mengatasi masalah sosial tersebut. Mereka membuat sekolah gratis, semacam SMP terbuka. Mereka adalah social entrepreneur. Apa yang dilakukan oleh mereka jelas tidak mudah. Melawan mafia para pelaku perdagangan manusia. Tapi, bagaimana agar usaha mereka bisa berkelanjutan? Sejauh mana kegiatan mereka bisa terus berlangsung?

Ada juga kegiatan radio yang menyiarkan acara macapat. Mereka bertujuan untuk melestarikan budaya. Sebuah kegiatan yang baik untuk melestarikan budaya bangsa. Demikian juga beberapa contoh lain. Dengan adanya contoh-contoh ini, saya mengharapan mahasiswa bisa memahami apa yang baik untuk dilakukan sebagai seorang social entrepreneur.


Kuliah ini memang sebelum liburan Hari Raya Idul Fitri. Saya meminjamkan beberapa buku cerpan kepada mahasiswa serta mengharuskan mereka membaca cerpen.Tujuan membaca cerpen lebih pada menambah kosa kata dan melatih gaya bahasa (diksi) mahasiswa. Bagi yang tidak kebagian buku, saya menyarakan agar mencari cerpen yang penulisnya sudah terkenal, misalnya yang pernah dimuat di harian Kompas. Ada beberapa blog yang isinya tentang cerpen Kompas.  Sebagai salah satu tugasnya, saya minta mereka membuat cerpen yang bercerita tentang rencana program sosial yang akan dilakukan.
  
Sebelumnya di kelas juga dibahas tentang bentuk badan hukum dari bisnis sosial, di antaranya adalah yayasan dan perkumpulan. Mahasiswa melakukan presentasi juga mengenai rencana program sosial yang akan dikerjakan. Beberapa masih perlu pembenahan dan masih belum jelas. Semoga di minggu-minggu mendatang mereka bisa segera merealisasikan rencananya.

* Catatan: E5 adalah kelas Entrepreneurship semester 5 di Universitas Ciputra

Kolala

Dulu Krista hinga usia 2 tahun lebih belum bisa bicara dengan baik. Bahkan di usianya yang sudah lebih dari tiga tahun ini, belum bisa bercakap-cakap dengan kalimat panjang. Krista suka minum susu, dan kini yang disukainya adalah susu coklat. Nah, karena dulu dia tidak bisa ngomong dengan baik, dia menyebut susu coklat itu dengan kolala. Jadi, hingga kini, kalau mau minum susu, dia minta dibuatkan kolala.

3 Agu 2013

From Zero to Hero, Perjalanan hidup 24 orang Buruh Migran Indonesia


Ketika saya memberi pelatihan entrepreneurship di Hong Kong di hadapan sekitar 300 Buruh Migran Indonesia, saya yakin tidak ada satupun yang di saat belia ingin bercita-cita menjadi buruh di tanah negeri orang lain. Walau banyak alasan mengapa bekerja di luar negeri, namun saya melihat bahwa langkah yang ditempuh ini jelas tidak mudah di awalnya. Cerita bagaimana berada di tempat agen, menunggu proses pengiriman dan tidur bersama yang lain dalam kegelapan, terbayang wajah keluarga, terutama yang sudah punya anak, yang akan ditinggalkan untuk sekian lama membuat harus menahan isak tangis agar tidak terdengar yang lain.  

Bekerja di luar negeri adalah sebuah keputusan besar yang harus diambil untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Mungkin ada yang harus berangkat karena keluarga terjerat utang, atau bisnis yang dibangun ternyata gagal dan menguras ekonomi rumah tangga, atau sebagai suatu bentuk pelarian dari kondisi di tempat asal yang carut marut. Apapun itu, berangkat bekerja di luar negeri, menjadi sebuah pilihan yang dengan sejumlah harapan.

Ya, harapan… harapan untuk tidak berada dalam kondisi yang sama terus menerus. Harapan akan adanya sebuah perubahan yang lebih baik. Ketika tolok ukur lebih baik adalah kesejahteraan, maka bekerja di luar negeri dengan pendapatan yang bisa berkali-kali lipat ketimbang bekerja di Indonesia, adalah jalan keluar yang sangat menjanjikan.

Tapi perjuangan tidak akan berhenti sampai di sana. Bertahun-tahun bisa berlalu dengan cepat. Bahkan mungkin ada yang hingga belasan tahun bekerja di luar negeri. Mungkin demi adik-adik agar bisa sekolah lebih baik, atau untuk biaya orang tua yang sedang sakit. Bekerja di luar negeri, boleh jadi menjadi sebuah pengorbanan tersendiri.

Banyak yang telah kembali, bisa berhasil di tempat asalnya. Tapi ada juga yang setelah kembali, merasa tidak lagi cocok dengan keadaan di desanya, lalu kembali lagi bekerja di luar negeri. Maka salah satu jalan adalah berwirausaha. Persoalannya, menjadi wirausaha itu bisa kaya raya, tapi bisa juga miskin sekali. Terpanggil untuk ini, banyak pendidikan entrepreneurship diberikan untuk membekali baik semangat maupun kecakapan untuk berusaha sendiri. Saya sendiri mendapat kesempatan tak terduga menjadi ikut melatih kewirausahaan di komunitas BMI.

Ketika saya berjumpa dengan murid kelas online entrepreneurship di Hong Kong, saya melihat jelas bahwa kesungguhan mereka belajar sangat melebihi dari mahasiswa saya yang ada di kampus. Beda ini jelas karena dengan belajar ada sebuah cita-cita yang ingin dicapai. Ada harapan yang sedang dipegang. Harapan bahwa masa depannya akan jauh lebih baik. Dalam mengajar, saya memperlakukan mereka sebagai sahabat.
Ketika saya membaca pengalaman hidup yang dikemukakan dengan tulus oleh para sahabat, saya sangat berharap agar kisah tersebut bisa diterbitkan dan dibaca orang lain. Bukan untuk mencari sensasi atau mendramatisir kehidupan. Namun perjuangan yang dilalui ini perlu untuk dibagi agar diketahui dan dipahami banyak orang.  Ketika mengetahui bahwa buku ini akan dicetak, bahkan dengan biaya bersama dari mereka sendiri, saya makin kagum dengan kesungguhan ini. Bahwa apa yang dilakukan ini adalah untuk membuat perubahan besar dalam kehidupan mereka. 

From Zero to Hero, saya kira ini bukan berlebihan. Bukan sekedar menjadi pahlawan devisa yang sering kali dikemukakan dengan tanpa rasa empati, tapi sejatinya mereka adalah pahlawan bagi keluarganya. Walau kadang, tak jarang ada yang harus kecewa karena di rumah, terjadi hal lain yang membuat kisah hidup makin memilukan. Saya yakin kisah-kisah dalam buku ini, yang disusun dengan linangan air mata, bisa memberi inspirasi bagi banyak orang dan makin menghargai apa yang telah dilakukan.

Saya bangga telah menjadi bagian dari kehidupan para sahabat-sahabat yang telah berani berbagi kisah hidupnya di sini. Saya yakin ini tidak mudah. Perjuangan yang sesungguhnya adalah ketika kembali ke tanah air karena bekerja di luar negeri bukanlah cita-cita, melainkan hanya sebagai jalan keluar untuk sebuah angan-angan dan rencana. Sukses akan menanti para sahabat, hadapi hidup dengan semangat. Jangan ragu untuk menuju ke jenjang kehidupan berikutnya. 

Semoga para pembaca juga bisa mengambil hikmah dari refleksi yang dituangkan dalam buku ini.

Surabaya, 26 Juni 2013
Nur Agustinus

Popular Posts