9 Nov 2020

Mengapa saya kuliah di psikologi?

Kalau mengenang akan hal ini, maka ingatan saya akan kembali ke masa saya masih sekolah di SMP dan SMA. Saat SMP, saya memiliki minat yang tinggu terhadap dunia astronomi. Saya beruntung orang tua saya memperhatikan hobby saya dan saat ulang tahun (waktu itu kelas dua SMP), saya diberi hadiah teleskop. Tentu hal ini membuat saya makin suka meneropong langit tiap malam. Naik ke atap dan menikmati pemandangan bintang-bintang di langit yang saat itu masih bisa diamati di Surabaya. Paman saya yang juga saat itu tinggal serumah, dan beliau hobby fotografi, mengajarkan ke saya memotret bintang-bintang dengan kameranya yang bisa diatur bukaan lensanya selama beberapa detik sehingga bisa menghasilkan gambar bintang-bintang yang begitu banyak.

Saat itu, dengan teropong yang saya miliki, yang kemampuannya memang masih rendah, pembesaran kalau tidak salah hanya maksimal 60x, saya sudah bisa melihat cincin saturnus, empat satelit Jupiter dan juga kawah-kawah di bulan. Sampai lulus SMP, saya tetap berangan-angan menjadi seorang astronom. Saya juga berkirim surat kepada penulis di majalah Mekatronika dan juga dosen di astronomi ITB.

Saat SMA kelas 1, saya mendapat pelajaran sejarah dari seorang frater, namanya Frater Fidelis. Beliau mengajarnya begitu menarik. Dengan segera menjadi guru idola di sekolah saya. Banyak yang menyukainya. Gara-gara ini, saya sempat tertarik untuk nantinya kuliah di arkeologi. Mungkin juga saya terpengaruh dengan bacaan buku karya Eric von Daniken yang menulis tentang kunjungan astronaut dari bintang lain di masa lalu. Tapi Frater Fidelis mengatakan, buat apa kuliah di sana, nggak ada duitnya. Saya hanya senyam senyum saja waktu itu. Tapi memang, keinginan untuk menempuh studi di arkeologi tidak lama dan kemudian pupus.

Saat di SMA, saya bukan pelajar yang pandai, khususnya untuk mata pelajaran IPA. Walau saya masuk jurusan IPA, namun untuk pelajaran seperti Fisika, Kimia dan juga matematika, boleh dibilang nilai-nilainya termasuk jelek. Sering kalau ulangan fisika, saya hanya dapat nilai 20 untuk ongkos nulis. Pernah guru fisika saya bertanya ke saya, saya ingin kuliah apa, saya jawab ingin masuk astronomi. Beliau lantas ketawa dan bilang, mana bisa? Saya ya maklum, nilai-nilai pelajaran fisika saya memang buruk.

Saya tidak ingat persis tahun berapa, tapi kemungkinan saat saya kelas 3, ayah saya mendapat promosi di tempat kerjanya. Ayah saya oleh pimpinannya diangkat menjadi orang kepercayaannya untuk mengelola majalah Liberty. Saat itu berarti sekitar tahun 1982 atau awak tahun 1983. Ayah saya yang juga seorang jurnalis, memang sudah puluhan tahun kerja di majalah Liberty, penuh antusias mengelola majalah ini. Saat itu, ayah saya memang pernah bilang dan menyarankan agar saya kuliah di psikologi. Menurut ayah saya, kalau saya kuliah di psikologi, nanti saya akan bisa membantu beliau dalam mengelola perusahaan majalah Liberty ini. Saya mengiyakan saja, dan memang karena alasan ini, saya juga mendaftar di Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya). Selain mendaftar di sana, untuk pendaftaran Proyek Perintis I (untuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri), saya akhirnya malah tidak memilih astronomi sebagai pilihan pertama, melainkan saya memilih ke Meteorologi dan Geofisika di ITB. sebenarnya saya bisa masuk ke IPB secara langsung tanpa tes (jalur khusus) karena saya memenangkan juara II di Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI-TVRI tahun 1983, namun karena saya tidak meminati bidang biologi dan pertanian, jadi saya tidak memilihnya. Selain itu, saya juga mendapat di FKIP jurusan FMIPA di Unika Widya Mandala. Baik di Ubaya dan di WM, diterima. Namun saya akhirnya memilih di Psikologi Ubaya. Saya tetap ingat, dengan tujuan saya bisa membantu ayah saya setelah lulus nanti.

Sekitar tahun 1985, ada peristiwa yang tidak begitu baik di tempat kerja ayah saya. Perusahaan majalah Liberty ternyata dijual oleh pemiliknya ke orang Jakarta. Dan dari pemilik baru ini, sepertinya tidak suka dengan ayah saya. Mungkin juga ingin mengisinya dengan orang-orang baru yang bisa diatur mereka. Ayah saya memang idealis orangnya. Jadi ayah saya akhirnya disingkirkan. Ini membuat ayah saya depresi, sakit. Pertolongan kemudian datang dari Pak Dahlan Iskan, yang kemudian menawari ayah saya untuk bekerja di Jawa Pos. Waktu ayah saya berhenti dari majalah Liberty, saya sempat bertanya ke ayah saya, buat apa saya kuliah psikologi? Ayah saya bilang, " jadilah orang dewasa... orang dewasa itu like or dislike. akan menyelesaikan apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya." Jadi saya tetap menekuni psikologi, menyelesaikan kuliah. Jawa Pos sendiri memang kemudian membeli majalah Liberty, dan ayah saya kemudian ditugaskan mengelola kembali majalah Liberty. Saya bisa melihat ada kebanggan pada ayah saya bisa kembali lagi ke kantor Liberty. Walau sakit, tetap dipaksakan bekerja. Ayah saya tidak ingin mengecewakan Pak Dahlan Iskan yang telah membantunya dari keterpurukan. Ayah saya tidak menghiraukan kondisinya yang sakit diabates dan paru-paru. Kata dokter memang harus istirahat total agar sembuh. Tapi ayah saya tidak bisa diam. Tidak bisa disuruh istirahat. Hingga akhirnya setelah lima tahun ikut Jawa Pos, di tahun 1990, ayah saya meninggal dunia.

Saat itu, sebelum ayah saya meninggal dunia, sebenarnya saya sudah lulus kuliah psikologi bahkan juga sudah lulus kuliah MBA. Saya lulus psikologi (ujian lokal tahun 1988) lalu mengambil kuliah MBA dibiayai seorang teman ayah saya yang merasa berutang budi ke ayah saya. Lulus MBA tahun 1990, cuma saat itu kemudian lulusan MBA tidak diakui negara, dan orang harus kuliah MM lagi agar gelarnya diakui. Saya tidak ada biaya untuk itu, jadi ya tetap pakai gelar sarjana psikologi dan MBA.

Namun saat itu... setelah lulus saya tidak bekerja. Saya memang menghasilkan uang dari honor menulis. Sebelumnya saya memang pernah bekerja di tahun 1988 sebagai staf personalia di sebuah pabrik cold storage udang di sidoarjo, kemudian saya bergabung ke perusahaan real estate yang bossnya membiaya saya kuliah MBA, namanya Pak Hartono Wibowo. Namun saat itu keadaannya krisis, ada Pakto 88 yang kemudian disusul dengan kencangkan ikan pinggang. Bisnis real estate banyak yang rontok, termasuk usaha boss saya. Jadi saat itu saya menganggur di rumah, namun saya tetap rutin menulis artikel di Jawa Pos dan majalah Liberty. Honor yang saya terima lumayan. Saya sudah sejak SMP menulis di majalah, sehingga waktu kuliah juga biaya sendiri dari honor menulis. Nah, saat itu, ayah saya yang sedang sakit memanggil saya, bertanya kepada saya begini, " Kalau adikmu ditanya teman-temannya, kakakmu kerja apa? Apa yang akan mereka jawab? Mereka bisa malu kalau bilang kakaknya menganggur. Memang kamu punya penghasilan, tapi orang akan melihat kamu pengangguran." Sebelumnya memang saya pernah dipanggil wawancara di beberapa perusahaan, tapi gajinya kecil dan masih lebih banyak dari honor saya menulis. Juga kerjanya menurut saya tidak cocok. Jadi saya belum menerima pekerjaan itu. Menjawab pertanyaan ayah saya itu, saya diam sebentar, lalu kemudian saya menjawab, "Nur mau buka usaha sendiri, boleh?" Ayah saya menjawab boleh. Lalu, malamnya saya merenung di garasi yang gelap, sambil memikirkan, nama apa yang akan saya pakai untuk usaha yang saya buat. Hasilnya saya mendapatkan nama Bina Grahita Mandiri. Grahita itu artinya mental atau jika. Jadi kalau diartikan, membina jiwa mandiri. 

Saya kemudian mulai terima jasa konsultasi. Saya juga menulis rubrik psikologi di majalah Liberty dan itu memudahkan saya mempromosikan diri sehingga ada yang kemudian datang untuk berkonsultasi. Ada suami istri yang ingin bercerai, ada anak yang hiperaktif, dan lain sebagainya. Namun kemudian, di bulan Juni ayah saya meninggal. Setelah itu saya membukan usaha saya lebih gencar lagi. Memang bukan perusahaan besar, tapi bisa menghindupi keluarga hingga saat ini. Setelah selang beberapa tahun kemudian, saya kemudian mengambil kuliah S2 Psikologi juga. Setelah lulus, Ibu saya yang menjabat sebagai Direktur Pasca Sarjana di Unika Widya Mandala, membuka program S3 Manajemen. Saya kemudian tertarik ikut juga. Ada teman yang juga ikut bersama, namanya Ragil Sugiharto. Sayang teman saya kemudian meninggal dunia dan saya sendiri kemudian terlalu asyik bekerja di Universitas Ciputra, sehingga meski saya sudah menjadi kandidat doktor, tapi saya tidak berhasil menyelesaikan disertasi saya. 

Saat kerja di kampus, saya memegang distance learning khusus untuk mendidik para Buruh Migran Indonesia yang ada di luar negeri, khususnya di Hong Kong, walau ada juga yang dari Korea Selatan, Malaysia. taiwan dan juga di Kanada. Saya sempat juga dipercaya memimkpin departemen Social Entrepreneuship, yang memberi pelatihan bersama dinas koperasi dan dinas sosial Pemkot, untuk melatih entrepreneurship para pedagang kaki lima, anak-anak risiko putus sekolah, remaja nakal hingga mantan pekerja seks. Saya kemudian ambil  keputusan untuk tidak meneruskan kuliah S3 saya. Saya sendiri kemudian di tahun 2016 berhenti dari tempat kerja saya, mengelola kembali usaha saya, Bina Grahita Mandiri, yang selama itu tetap berjalan dikelola istri saya. Entah di kemudian hari, jika masih ada kesempatan dan niat, mungkin saya akan kuliah S3 lagi. Mungkin untuk saat ini, saya lebih baik menekuni kembali dunia UFO, juga bila mungkin, membuat legacy yang bisa bermanfaat bagi orang lain.

Popular Posts