20 Jun 2014

Menerima dan menyikapi kritik



Banyak orang tidak tahan dikritik. Saran para ahli ialah: jangan marah kalau dikritik. Pakailah sebagai sarana untuk tumbuh dan mencapai keberhasilan, baik dalam pekerjaan, maupun hidup pribadi. Percayalah, kritik dapat kita manfaatkan secara lebih menguntungkan. Tidak seorang pun bisa menerima kritik dengan senyum lebar dan mata berbinar. Meskipun disampaikan dengan kata-kata manis atau dikemas dengan istilah "konstruktif". Kritik tetap saja terasa pedas dan menyengat. Tapi marah tanpa perhitungan karena dikritik juga rugi sendiri.

Bagaimana cara terbaik menghadapi kritik? Para ahli memberi resep jitu seperti di bawah ini. Kita biasanya cenderung emosi dan tak mampu mengendalikan diri kalau menghadapi situasi yang menekan atau dituduh tidak bertanggung jawab. Padahal, menurut Dr. Peter Brill, direktur Pusat Studi Perilaku Orang Dewasa, segala bentuk reaksi emosional seperti marah, air mata, ogah mundur, berdalih, sangat merugikan. Kita akan mendapat cap negatif: terlalu perasa, terlalu emosional, mudah tersinggung; bahkan lebih celaka lagi; cengeng seperti wanita.

Lalu, bagaimana cara terbaik untuk menghadapi kritik yang tak terduga, tanpa reaksi emosional? Sikap langsung yang terbaik ialah tidak memberi reaksi sama sekali. Tahan reaksi anda sampai mendapat kesempatan untuk menjalankan refleksi pribadi. Pada saat itu, anda cukup mengatakan, "Saya belum yakin bagaimana sebaiknya menanggapi masalah itu. Saya minta waktu untuk memikirkannya."
Pria biasanya mampu menanggapi kritik secara lebih baik. Menurut Dr. Matti Gershenfeld, seorang psikolog Amerika, yakin bahwa pria bisa menerima kritik karena mereka dulu terbiasa menerima teguran dari pelatih atau rekan-rekan tim olahraga sekolah. Mereka lalu memeriksa diri: Di mana kesalahanku? Apa yang harus kulakukan untuk memenuhi syarat?

Sebaliknya, wanita tidak pernah terlatih merasakan kritik kelompok. Maka setiap kali menerima kritik dia selalu menganggap segalanya ditujukan pada dirinya pribadi. Sebagian besar di antara mereka tidak terbiasa membedakan antara kritik terhadap tugas dari kritik itu sendiri. Mereka mencampuradukkan antara kritik dengan teguran terhadap diri mereka sendiri.

Dr. Pat Wisch, direktur Philadelphia's Institute of Awareness, menegaskan bahwa kritik hanya sekadar mencerminkan perbedaan pandangan. Atasan atau rekan kerja yang banyak mengritik tidak otomatis benar atau salah. Mungkin mereka hanya menganut sudut pandang yang berlainan.

Orang yang menjadi tegang dan gelisah kalau menerima kritik, biasanya tidak bisa menangkap tujuan utamanya, yakni tindakan evaluatif. Ada baiknya bila kita minta penjelasan kalau menerima kritik. "Banyak orang takut dicap nyinyir kalau terlalu njelimet, sehingga tidak mau bersusah-susah minta penjelasan terinci. Padahal penjelasan itu sering bisa menjernihkan persoalan."
Pakar psikologi mengelompokkan kritik atas tiga kategori: tepat, diragukan, tidak tepat. Kritik yang tergolong tepat (dan biasanya kita bisa langsung tahu) harus kita terima secara sportif, dan kita pergunakan sebagai titik awal perubahan.

Kalau anda dikritik karena terlambat menyerahkan laporan, misalnya, jangan mencari-cari dalih. Jawablah dengan mengaku terus terang, "Ya, saya memang mengalami kesulitan untuk selesai waktunya. Tetapi saya masih terus menggarapnya." Kita tidak perlu bersilat lidah.
Jika kita meragukan apakah suatu kritik patut dilaksanakan, jangan segan-segan mendatangi sumbernya, dan minta penjelasan lebih terinci. Kita bisa menyatakan keraguan itu kepada rekan yang bisa kita andalkan.
Kritik yang tidak tepat dan tidak pada tempatnya paling sulit diatasi. Namun, ada beberapa cara untuk menghindari kekesalan. Salah satu di antaranya ialah "menelan" saja "pil pahit" itu dan kemudian tidak menghiraukannya. Pendekatan itu akan lebih mudah kalau kita memusatkan pikiran pada sasaran jangka panjang.

Kemampuan untuk menanggapi kritik berkaitan erat dengan percaya diri. Kelompok umur 18 - 34 tahun biasanya peka terhadap kritik, karena sebagian besar di antara mereka masih dalam tahap membangun jati diri. Salah satu cara untuk menguatkan kesadaran diri dalam pekerjaan ialah dengan mengumpulkan penilaian orang lain tentang prestasi kita. Kritik informatif tentang pelaksanaan tugas selalu bermanfaat besar, dan merupakan pembangkit motivasi yang ampuh. Tidak ada salahnya minta keterangan, selama kita tidak kelihatan raguragu atau terlalu membutuhkan persetujuan orang lain untuk hal-hal kecil.

Hadapilah penilaian itu dengan sikap positif. Katakan kepada atasan, "Pekerjaan ini sangat penting artinya bagi saya, Saya ingin memupuk segi kekuatan saya, dan menyadari titik kelemahan saya. Sudahkah saya menjalankan tugas saya dengan baik? Bagaimana saya bisa meningkatkan diri?" Kalau atasan anda hanya memberi jawaban samar-samar dan umum ("Anda tentu bisa lebih baik lagi"), desaklah sampai dia menyebutkan contoh-contoh kongkret.

Belajar berani banyak bertanya tidak lepas dari rasa aman dalam pekerjaan. Semakin kita merasa yakin, semakin mudah jadinya untuk memanfaatkan kritik sebagai motivasi positif untuk mengubah diri. Mengetahui kelemahan dan kekuatan diri merupakan langkah pertama untuk bekerja lebih efektif dan produktif.
Bagaimanapun, kalau kita bisa saling memberitahu kelemahan yang lain, dan berupaya untuk memperbaiki diri, maka hasil kerja akhir pasti bisa lebih baik lagi. Hanya saja, sampaikan kritik dengan baik, dengan rasa hormat dan saling menghargai.
Ada baiknya kita juga memiliki pandangan bahwa berbuat salah itu manusiawi. Setiap orang terkadang melakukan kebodohan, tetapi tidak ada yang sengaja merencanakan kesalahan, begitu kata Dr. Wisch. Kritik hanya berarti bahwa apa yang telah kita lakukan mungkin sia-sia atau merugikan. Setiap orang sebaiknya maklum, bahwa seseorang tidak menjadi jelek karena melakukan kesalahan.

Sekali kita bisa menerima kritik sebagaimana adanya, kita akan bisa menyingkirkan rasa sakit hati atau tersinggung, lalu menelaah isi kritik itu. Kita bisa menimbang-nimbang kritik tersebut tanpa emosi.

19 Jun 2014

Bingung mau usaha apa


Oleh: Nur Agustinus

Seseorang barangkali telah mengikuti pelatihan entrepreneurship hingga beberapa kali. Semangatnya sudah luar biasa. Keinginannya untuk segera membuka usaha sendiri telah menggebu-gebu. Tapi, yang menjadi masalah, ternyata mereka tidak juga memulai usaha. Ketika saya bertanya, jawabannya sangat umum, yakni ternyata mereka belum tahu mau usaha apa.

Banyak teori maupun mentoring diberikan. Tapi ternyata tidak mampu menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Uang untuk modal bahkan sudah terkumpul, tapi action nyata untuk menjadi entrepreneur tidak juga dilakukan. Mengapa? Padahal sudah banyak pelatihan atau motivasi untuk berbisnis tanpa modal (uang), atau bahkan ada teori efektuasi yang mengatakan bahwa modal utama itu adalah diri sendiri, yaitu siapa kita, apa yang bisa kirta lakukan dan siapa yang kita kenal. Tiga hal ini sebenarnya cara mudah untuk menemukan, bisnis apa yang bisa kita masuki dengan mudah. Tapi lagi-lagi, itu masih menjadi masalah.

Memang, ada juga yang  sudah melakukan bisnis, bahkan kemudian sukses. Tapi kalau kita bicara prosentase, sebenarnya itu tidak banyak. Kalau mau jujur, ada jauh lebih banyak yang masih menunggu saat yang tepat. Masih menunda dengan alasan mengumpulkan modal. Atau masih terikat kontrak kerja. Yang dikhawatirkan, semangat yang berkobar-kobar saat ini, barangkali bisa padam di kemudian hari, terlena dengan penghasilan rutin yang diterima. Terlebih iming-iming bonus dan THR sering orang menunda untuk berhenti bekerja. Ya, godaan itu memang luar biasa.

Bingung mau usaha apa, itu juga menjadi momok yang harus dicarikan jalan keluar. Orang banyak mempertimbangkan soal seberapa besar keuntungan yang bakal didapat, seberapa keras usaha yang harus dilakukan, bahkan juga masalah gengsi. Ada banyak yang merasa masih belum mampu. Dalam psikologi, hal ini disebut efikasi dirinya kurang. Kurang memiliki keyakinan bahwa bisa. Ini membuat ragu-ragu, membuat tidak berani nekad untuk maju terus pantang mundur.

Menurut pengamatan saya, problem seperti ini biasanya tidak terjadi pada mereka yang punya hobby. Ketika saya melihat acara Kick Andy yang mewawancara seorang pengusaha budidaya cacing dan juga seorang yang berbisnis di bidang telur semut (kroto), mereka bermula dari hobby. Ada yang karena hobby mancing kemudian berbisnis kroto. Ketika kita punya hobby dan sangat menjiwai, ibaratnya sudah menjadi passionnya, maka dia akan berusaha mencari tahu informasi selengkap-lengkapnya. Apa yang dilihatnya bisa menjadi inspirasi baginya. Hobby ini bisa sangat sepele, tapi kalau kita mendalaminya, ada banyak peluang di sana.

Namun sekali lagi, ini tidak sesederhana dikatakan. Barangkali hanya ada satu dua orang saja yang kemudian terjun ke bisnis berawal dari hobbynya. Yang lain mungkin mencoba meniru kesuksesan orang lain namun tidak dilengkapi dengan minat yang sama kuatnya.

Mereka yang masih bingung mau usaha apa, seringkali problemnya juga adalah tidak fokus. Ketika ada teman yang sukses di bisnis tertentu, dia ingin terjun ke usaha serupa. Ketika dia kenal dengan seseorang dan orang itu menjanjikan bisa menjadi supplier, maka dia lantas beralih rencana. Kebingungan karena tidak fokus ini membuat orang tidak segera memulai usahanya. Makin banyak pilihan bukannya bagus malah sebaliknya membuat bingung.

Melakukan fokus ini juga tidak mudah. Sebenarnya, dengan passion dan focus, itu sudah merupakan modal yang luar biasa. Ini akan membuat seluruh energi dan pikiran kita bisa mendorong ke arah kesuksesan. Tapi kalau kita asal ikut-ikutan dan bingung sehingga salah pilih, maka bakal menjadi masalah.

Contoh yang ada di Kick Andy juga menceritakan bahwa bisnis yang dilakukan belum tentu langsung berhasil. Pengusaha budidaya cacing ini, sebelumnya berbisnis belut, tapi gagal. Namun karena belut ini makanannya adalah cacing, maka dia kemudian banting setir bisnis cacing dan kemudian sukses.

Kita tidak tahu apakah kita sukses atau tidak. Bahkan meskipun kita sudah kerja ekstra luar biasa, juga tidak ada jaminan sukses. Namun kuncinya adalah tidak menyerah. Gagal yang satu, bangkit untuk berusaha lagi.

Tapi, sebelum mau memulai bisnis sendiri, sebenarnya ada pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur. Benarkah Anda ingin sungguh-sungguh menjadi entrepreneur? Sebab ada banyak yang termotivasi karena baru ikut seminar. Semangat luar biasa tumbuh seketika, tapi biasanya juga padam bersamaan dengan berlalunya waktu. Ada lima hal yang mesti Anda uji pada diri Anda sendiri, apakah pilihan menjadi entrepreneur itu memang cocok untuk Anda, yaitu:

1. Apakah saya punya produk atau jasa yang hendak ditawarkan dan saya memiliki passion yang kuat di bidang tersebut?

Jika Anda belum punya bayangan apa yang akan Anda jual, itu berarti angan-angan Anda masih sebatas mimpi.

2. Seberapa besar tolerasi saya terhadap resiko?

Menjadi entrepreneuer itu tidak ada jaminan pasti sukses. Jika Anda saat ini sedang bekerja dan selalu ragu untuk berhenti dari pekerjaan Anda meski pikiran Anda sudah mengangankan untuk berusaha sendiri, berarti sebenarnya toleransi Anda terhadap resiko tergolong rendah.

3. Apakah saya bagus dalam membuat keputusan?

Berwirausaha artinya berusaha sendiri. Jadi semuanya nanti akan diputuskan oleh Anda. Mulai dari memutuskan untuk mencari pegawai, memutuskan akan membuka kantor atau toko di mana, apakah saya akan pinjam uang ke keluarga atau mengunakan seluruh tabungan? Semua ini butuh keberanian untuk membuat keputusan. Kalau selama ini Anda cenderung ragu-ragu atau belum berani membuat keputusan sendiri, sepertinya menjadi entrepreneur perlu dipikirkan ulang atau cobalah Anda berusaha meningkatkan keyakinan diri, keberanian dan ketegasan untuk membuat keputusan.

4. Apakah saya siap menerima tanggung jawab di berbagai bidang?

Kalau kita menjadi pekerja, tanggung jawab kita biasanya hanya spesifik. Ketika Anda menjadi entrepreneur, maka semua bidang akan menjadi tanggung jawab Anda. Baik soal pemasaran, produksi, pelayanan, personalia, strategi bisnis, dan banyak lainnya. Bahkan termasuk ketika usaha menurun, Anda mesti memikirkan solusinya. Kondisi perekonomian juga perlu menjadi perhatian Anda. Ini karena sebagai seorang pemilik usaha, Anda telah menjadi seorang "Jenderal".

5. Apakah saya dapat menghindari terkena burn out?

Burn out adalah sebuah kondisi di mana seseorang merasa dirinya kehabisan waktu dan tenaga karena pekerjaan yang dilakukannya. Ibaratnya diri seperti terbakar habis. Ini bisa membuat seseorang menjadi stress dan kemudian tak berdaya. Kita tahu bahwa seorang entrepreneur itu bukan orang yang kerjanya hanya santai-santai saja kemudian dapat uang dengan sendirinya. Mereka harus bekerja keras, melebihi kerja umumnya seorang pegawai. Ibaratnya kerja tak kenal waktu, hari liburpun perlu memikirkan usahanya. Kalau Anda mudah stress dan kemudian burn out, berarti Anda belum cocok jadi entrepreneur. Belakangan banyak nasihat mengatakan, untuk apa kerja keras? Yang penting adalah kerja cerdas. Pendapat ini menurut saya bisa menyesatkan. Kerja keras itu penting. Tapi jangan kerja keras yang itu-itu saja. Kreativitas sangat penting dan bekerjalah dengan antusiasme kerja yang tinggi.

Kelima hal ini memang berat untuk dilakukan. Kalau ada yang bilang menjadi entrepreneur itu mudah. Menurut saya itu omong kosong. Itu hanya motivasi yang bisa membuai diri Anda, tapi ketika Anda sendiri harus memulainya, maka banyak problem yang baru terlihat.

Kalaupun Anda masih bingung, tak apa, sebab Anda tidak sendiri. Mereka yang telah sukses pasti bercerita banyak yang bisa membangkitkan semangat kita. Tapi  mereka adalah pribadi yang sudah teruji. Kita memang masih harus melewati berbagai ujian, untuk membuktikan bahwa kita memang cocok menjadi seorang entrepreneur. Terlepas dari semua itu, tulisan ini bukan membuat Anda patah semangat, tapi justru tempalah diri Anda. Menjadi entrepreneur, sekali lagi bukan hal yang mudah, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan.

Salam entrepreneur!





Referensi: http://guides.wsj.com/small-business/starting-a-business/how-to-decide-if-entrepreneurship-is-right-for-you/

Daun, Pohon dan Angin


Daun terbang bukan karena angin tapi karena pohon tak lagi memintanya untuk tinggal.

10 Jun 2014

Pahami aturan berbisnis dan apa yang dipertaruhkan


Ada pepatah Tiongkok kuno yang mengatakan, "Jika kamu harus bermain, putuskan berdasarkan tiga hal ini saat mulai: 1. aturan dari permainan, 2. apa yang dipertaruhkan, 3. waktu untuk keluar dari permainan." Ketika saya membaca hal ini, saya lantas berpikir bahwa apa yang dikemukakan ini sangat besar sekali pembelajaran di dalamnya, terutama dalam entrepreneurship. Kenapa bisa begitu?

Kalau kita amati, banyak orang yang terjun ke suatu hal, belum memahami benar aturan dari permainan yang ada. Misalnya, kalau kita mau bermain catur, mestinya kita tahu aturan permainannya. Demikian juga kalau kita mau berbisnis, maka aturan mainnya harus kita ketahui dengan baik. Nah, banyak orang yang melakukan bisnis, entah karena ikut-ikutan teman yang dilihatnya sukses, atau nekad berwirausaha, namun sebenarnya belum memahami betul aturan dalam berusaha. Akibatnya, banyak yang mengalami masalah karena tidak tahu cara mengelola usaha dengan baik.

Hal yang sama sebenarnya kita bisa lihat di jalan raya, ada banyak orang yang bisa mengendari kendaraan, tapi tidak bisa berlalu lintas dengan baik. Mereka bisa mengoperasikan kendaraan, tahu cara belok, tahu cara mengemudi, tapi tidak paham dengan rambu-rambu lalu lintas serta aturan yang ada. Akibatnya, kemungkinan bisa terjadi kecelakaan.

Nah, menjadi pengusaha jangan semata karena ingin atau passion saja, tapi kuasai juga aturan mainnya atau bagaimana mengelolanya. Pemahaman tentang manajemen itu perlu. Ada banyak orang yang mengatakan, tidak perlu banyak bicara atau belajar teori, yang penting action. Ya, mungkin mereka bisa membuka usaha, tapi bisa diramalkan nanti akan banyak yang gulung tikar.

Yang kedua, adalah apa yang dipertaruhkan. Hidup ini penuh resiko. Usaha juga penuh resiko. Setiap resiko itu ada bahaya sekaligus ada peluangnya. Sama halnya kita naik motor, itu ada resikonya, yakni mengalami kecelakaan di jalan raya yang akibatnya bisa fatal. Tapi dengan naik motor, kita bisa pergi ke suatu tempat tujuan dengan cepat dan efisien. Saat berusaha juga sama, ada hal-hal yang dipertaruhkan. Entah itu modal uang, tenaga, pikiran bahkan juga nama baik.

sebagai entrepreneur, mengelola resiko itu perlu. Kita juga harus mengkalkulasi resiko dengan baik. Jadi, benar seperti pepatah tadi, kita harus tahu apa yang dipertaruhkan. Namun sebaiknya, selain tahu apa yang dipertaruhkan, kita juga harus siap kehilangan apa yang kita pertaruhkan itu. Oleh karenanya, kita harus bisa mengukur seberapa banyak kita siap untuk rugi. Jika kita ragu, jangan lakukan. Ketahui batas mana kita siap untuk kehilangan. Ketika sudah melakukannya, jangan ragu-ragu lagi dan jangan hanya coba-coba. Berbisnislah dengan keyakinan. Ibarat kalau kita bermain, setelah tahu aturan main dan tahu apa yang dipertaruhkan, maka bermainlah dengan baik dan serius. Jangan mempermainkan permainan.

Yang terakhir, kita harus tahu kapan waktu untuk berhenti. Ini bukan berarti kita harus meninggalkan usaha kita. Tapi jika kondisi sudah tidak memungkinkan atau justru sebaliknya, ada peluang yang jauh lebih baik, maka sebaiknya kita keluar dari permainan itu. Terlebih kalau usaha kita sudah tidak menguntungkan lagi karena memang tidak bisa dikendalikan. Jangan terperangkap untuk terus mempertahankan sehingga kerugian menjadi semakin besar sehingga jauh melebihi dari apa yang kita mampu. Coba bayangkan, banyak penjudi yang karena ingin menang maka membesarkan taruhannya. Atau ketika dia kalah, maka terus berjudi dengan pikiran untuk menebus kekalahannya. Akibatnya justru kerugian makin besar yang dideritanya. Pepatah lama mengatakan, orang bijak tahu saat untuk berhenti.

Dari nasihat ini, sebenarnya kita bisa mendapatkan pembelajaran tentang bagaimana berbisnis dan mengkalkulasi resiko. Ketika kita mau terjun ke sebuah bisnis, pikirkan tiga hal itu. Pertama tahu aturan mainnya. Seorang pengusaha meubel harus tahu benar aturan main yang ada dalam bisnis itu. Demikian juga untuk bisnis yang lain. Jangan melakukan bisnis yang Anda tidak paham aturan mainnya. Kedua, ketahui apa yang harus Anda pertaruhkan, dan ketika itu sudah melebihi dari batas yang bisa Anda hadapi, Anda harus berani memutuskan untuk berhenti atau keluar dari bisnis ini. Tentu, kalau bisnis tersebut makin maju dan besar, lanjutkan dan kembangkan lebih baik lagi.

Semoga bermanfaat, salam entrepreneur!


Belajar dari pelanggan yang kecewa


Pelanggan Anda yang paling tidak puas adalah sumber terbaikmu untuk belajar. ~ Bill Gates

Jadi kalau ada pelanggan yang marah atau kecewa, jangan dijauhi atau bahkan ikut emosi serta menutup diri. Jadikan pelajaran berharga untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas produk dan layanan.

Fokuslah pada pelanggan Anda


Mengapa harus fokus pada lawan atau pesaing? Jack Ma, pendiri Alibaba justru mengatakan lupakan itu Fokuslah pada pelanggan Anda. Jaga kualitas produk dan layanan Anda serta jangan berhenti berinovasi. Itu jauh lebih penting!

Popular Posts