Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan

17 Okt 2023

Ruang, Waktu dan Peristiwa

1. Tak ada yang kebetulan

 

Saya mau kilas balik dulu. Tanggal 21 Juli 2023, ada sebuah acara yang istimewa, yaitu peresmian Kampung Alien. Ini sebagai rangkaian acara Indonesia UFO Festival 2023. Kampung Alien ini terletak di Kenteng, Kembang, Nanggulan, Kulon Progo, Yogyakarta. Ini kali kedua datang ke Yogyakarta di bulan itu setelah tanggal 15 mengikuti SETI Cenference yang juga bagian dari Indonesia UFO Festival. Namun ini nampaknya buat saya pribadi merupakan sebuah tipping point. Mengapa bisa begitu? Hal ini yang ingin saya ceritakan sebagai bagian dari refleksi saya atas perjalanan yang saya lalui.

 

Saya selalu percaya bahwa tak ada yang kebetulan dalam kehidupan ini. Semua terjadi pasti ada alasannya. Kalaupun saya tidak tahu itu kenapa, saya tetap percaya bahwa pasti ada sesuatu tujuan di balik itu. Namun saya tidak terlalu percaya kepada keberuntungan. Saya lebih meyakini bahwa sesuatu itu adalah merupakan sebab akibat. Kalaupun dianggap keberuntungan, itu merupakan perjumpaan antara persiapan dan kesempatan.

 

Barangkali tak ada yang meragukan minat dan passion saya di bidang UFO. Itu juga yang membuat saya mengusahakan untuk bisa ikut menghadiri SETI Conference walau baru saja menjalani operasi saluran kencing. Begitu juga saat peresmian Kampung Alien seminggu berikutnya. Sayang memang kondisi saya benar-benar tidak mengijinkan untuk ikut acara perkemahan UFO di akhir bulan. Namun tanggal 21 Juli itu, yang bertepatan dengan Hari UFO Nasional, nampaknya akan membuat perubahan yang sangat berarti.

 

Ketika saya sudah kembali ke Surabaya, tanggal 23 Juli 2023, saya ditawari untuk ikut bergabung di dalam sebuah WA Group AREA YMCA, adminnya ada mas Aris, mas Yonz, pak Abu dan mas Ipank. Tentu bagi saya tak ada yang kebetulan, walau juga cukup terkejut ketika tiba-tiba diberi link untuk join group. Sebagian besar yang ada di sana, saya sudah kenal, namun ada juga yang belum. Namun dengan bergabungnya saya ke group ini, sepertinya akan ada hal-hal lain yang akan saya lakukan tanpa saya rencanakan sebelumnya.

 

2. Bubarnya Kafe UFO

 

Sebelumnya, setelah saya tidak lagi menjadi ketua di sebuah komunitas UFO yang saya dirikan, saya membuat sebuah group WA yang bernama Kafe UFO. Sejujurnya, group ini adalah tempat saya menghibur diri. Topiknya beragam, bebas, bisa posting apa saja asal dalam batas-batas wajar. Bisa pamer sedang makan apa, atau hal-hal lain yang remeh temeh. Namun dari group ini juga pernah ada pembicaraan yang serius tentang UFO. Group ini saya buat tanggal 26 Juli 2021.

 

Menjelang akhir bulan Januari 2023, saya ikut menjadi admin dari sebuah WAG yang akhirnya diberi nama Studi UFO Nusantara. Saya menginginkan group yang ini lebih serius membahas UFO. Sementara Kafe UFO lebih bersifat bincang-bincang santai sebagaimana umumnya di sebuah kafe.

 

Ketika saya sudah bergabung di WAG AREA YMCA, entah kenapa, mungkin juga karena sebelumnya saya bertemu dengan banyak teman-teman di Yogyakarta saat SETI Conference dan peresmian Kampung Alien, saya merasa ingin serius kembali menekuni dunia perufoan ini. Mungkin juga karena makin banyak WAG yang saya ikuti, saya merasa pembicaraan di Kafe UFO menjadi kurang menarik lagi. Padahal, saya satu-satunya admin di sana. Saya juga tidak ingin menyerahkan WAG ini kepada orang lain. Maka kemudian, saya mengarahkan agar anggota yang ada di WAG Kafe UFO bisa bergabung dengan WAG Studi UFO Nusantara. Tanggal 2 Agustus 2023, WAG ini saya bubarkan dan semua anggotanya saya keluarkan. Banyak yang terkejut karena mengira dirinya ditendang, tapi saya jelaskan bahwa groupnya memang sudah tidak ada lagi.

 

Saya kemudian lebih banyak ikut di WAG group yang ada, dan saya tidak ada beban menjadi admin sendirian. Di WAG lain saya juga ikut sebagai anggota, bukan admin. Jadi saya pada dasarnya merasa tidak perlu pusing lagi memikirkan anggota yang beraneka ragam karakter dan sifatnya.

 

3. GMeet

 

Group AREA YMCA mempunyai beberapa WAG lain yang tergabung dalam UFO-ALIEN-PARANORMAL. Salah satunya adalah RV-AREA 57. Group ini untuk diskusi dan belajar tentang remote viewer dan lain-lainnya. Sepertinya, entah group yang mana, apakah AREA YMCA atau RV-AREA 57, nampaknya sering mengadakan GMeet di antara anggotanya. Sejauh itu saya belum pernah ikutan. Beberapa kali ajakan GMeet terlewatkan, entah karena saya sudah capek atau ada kegiatan lain.

 

Saya sendiri waktu itu memang punya keinginan untuk menyelesaikan buku saya. Ada beberapa buku yang saya rencanakan untuk bisa selesai di tahun 2023. Ini sudah menjadi resolusi di awal tahun dulu, tetapi rupanya selalu tertunda alias malas. Namun saya yakin ini juga bukan kebetulan, ada sebuah kejadian yang membuat saya termotivasi atau terprovokasi untuk bisa menyelesaikan buku ini di awal bulan Oktober. Bahkan kalau mungkin, di bulan November dan Desember akan bisa selesai masing-masing satu buku lagi. Ambisius memang, tapi kalau tidak ditantang, pasti juga akan ditunda-tunda lagi.

 

Tanggal 27 September malam, kalau tidak salah, ada lagi GMeet. Waktu itu saya juga capek sehingga tidur sore-sore. Namun sekitar jam 1 pagi, berarti sudah tanggal 28, saya bangun dan kemudian menghidupkan komputer untuk meneruskan penulisan buku saya. Pada dasarnya isi dari buku itu sudah rampung, namun masih perlu diedit dan ditata. Hal itu saya lakukan kalau tidak salah sampai jam setengah 3. Lalu saya melihat rupanya masih ada pembicaraan di WAG tentang GMeet dan saya nimbrung bahwa saya malah baru bangun. Mas Aris lantas bilang, masih ada nobar (nonton bareng). Saya sebenarnya ragu untuk ikut, tapi entah apa ini kehendak semesta, saya kemudian mengklik link Gmeet dan bergabunglah saya ikut nobar. Saya teruskan mengedit naskah buku saya di PC sambil ikut nobar di HP.

 

Nobar selesai ternyata dilanjutkan dengan obrolan. Di sinilah terjadi obrolan yang nampaknya membuat sebuah peristiwa akan terjadi. Ruang Gmeet, waktu subuh, di mana konon katanya energi semesta sedang jernih-jernihnya, nampaknya membuat sebuah bincang-bincang yang mestinya santai menjadi sesuatu yang serius.

 

4. Ke Yogyakarta

 

Saya memang punya rencana ke Yogyakarta, yaitu tanggal 7 Oktober 2023. Tujuan saya adalah untuk melihat pameran dari seorang teman yang bernama mas Faisal Amir. Karyanya berupa cukilan kayu dan banyak temanya tentang UFO dan alien. Saya berencana ingin melihatnya sekaligus menunjukkan support saya akan pamerannya. Tak ada motivasi lain. Awalnya hanya ingin datang, melihat pamerannya, kebetulan sorenya ada diskusi di sana, dan saya pikir, besoknya saya akan kembali pulang.

 

Lalu, di obrolan GMeet, memang ada terbersit keinginan, barangkali kalau buku sudah selesai, maka bisa dirilis pada hari Minggu, tanggal 8 Oktober. Bertemu dengan beberapa teman, ngobrol bareng, pasti menyenangkan. Tapi rupanya, tanggal 8 Oktober dianggap terlalu cepat. Tidak cukup waktu untuk menyiapkan hal itu.

 

Entah apa yang terjadi, malah diputuskan sebaiknya tanggal 15 Oktober saja. Memang ini karena banyak teman yang tidak bisa kalau tanggal 22 Oktober. Jadi tanggal 8 terlalu cepat sementara 22 juga banyak yang berhalangan. Akhirnya disepakati tanggal 15.

 

5. Pekan Ufologi dan Antariksa

 

Saya tidak perlu cerita detil apa yang terjadi saat di GMeet itu, namun entah kenapa, saat itu mas Ipank dengan arahan mas Venzha langsung inisiatif membantu membuat flyer acaranya. Menurut teman-teman, informasi acara ini harus segera disebarkan karena kalau ditunda-tunda nanti malah juga akan percuma. Dari yang semula rencana hanya rilis buku, ternyata berkembang dengan ide-ide acara lain. Muncul gagasan untuk pameran karya seni rupa yang pernah saya buat. Trus ada juga acara pengamatan benda langit karena saat itu mas Aris mengatakan akan ada gerhana matahari. Dari sana yang semua acara ufo ditambahkan dengan antariksa. Mengajak Griya Antariksa, Jogja Astro Club dan Teropong Bintang Mangunan. Ternyata, kebetulan juga di awal bulan Oktober itu merupakan World Space Week 2023. Jadi, dari sana kemudian direncanakan sebuah acara yang bernama Pekan Ufologi dan Antariksa.

 

Pembicaraan berlanjut hingga pagi, bahkan sempat jam 9 pagi saya minta ijin sambil mendampingi anak saya, Andre, belajar sepeda. Jadi saya tetap ikut GMeet di luar rumah. Direncanakan juga acara lomba menggambar, namun kemudian diubah menjadi lomba mewarnai karena pesertanya adalah anak-anak PAUD dan TK. Intinya, waktu itu spontanitas saja. Tak memikirkan bagaimana soal biayanya. Saya juga waktu itu belum memikirkan tentang hal itu. Orang bilang, yang penting yakin. Kalau semesta mendukung, nanti pasti akan ada saja jalannya.

 

Semula pameran rencananya berlangsung hanya 4 hari, yaitu tanggal 13 – 16 Oktober 2023. Namun saya bilang, saya sepertinya harus menyiapkan materi untuk dipajang di pameran pada tanggal 8 Oktober. Sehari setelah saya mengunjungi pamerannya mas Faisal. Trus ada usulan, kalau tanggal 8 sudah dipajang, bukankah lebih baik jika pameran dimulai tanggal 9 Oktober? Jadi pamerannya berlangsung pada tanggal 9 – 16 Oktober 2023. Saya iyakan saja. Dalam benak saya, kalau memang sudah dipasang tanggal 8, tak ada salahnya dan toh mengapa harus menunda untuk memulai tanggal 13?

 

6. Flyer disebar

 

Sebelum flyer disebar, tempat acara mesti dipastikan dulu. Awalnya direncanakan di Griya Antariksa, namun kemudian pindah ke Monumen UFO / Crop Circle di Berbah, Sleman, Yogyakarta. Tempat ini juga merupakan sebuah rumah makan dengan nama Kedai Suru Pitoe. Rupanya mereka pernah juga ketempatan lomba mewarnai, sehingga memberi gambaran bahwa pesertanya bisa ratusan. Waktu itu cukup kaget juga, sebab bayangannya, pesertanya 20 anak saja sudah bagus. Ini bakal ada ratusan. Bagaimana nanti mengaturnya? Tetapi sekali lagi, ini memang merupakan peluang. Kalau kita siap, maka ini akan menjadi sebuah keuntungan. Pihak Kedai Suru Pitoe sepakat untuk memberi hadiah tunai bagi pemenang. Sementara hal-hal lain disediakan oleh komunitas UFO, seperti trophy, piagam, kertas gambar, dan lain-lainnya. Untunglah, mbak Dian Graha punya pengalaman dalam mengadakan lomba mewarnai. Jadi kesiapan itu ada. Jadi, peluang ini bisa diharapkan menjadi sebuah kemeriahan dalam acara Pekan Ufologi dan Antariksa. Membayangkan bakal ada ratusan peserta lomba, sudah gembira sekali.

 

Flyer langsung disebar melalui media sosial, ke berbagai WAG dan Instagram sejak tanggal 29 September. Rencana yang baru digagas tanggal 28 pagi, besoknya sudah dipublikasikan. Tanpa ada proposal, tanpa ada rincian tertulis. Ibaratnya, yang penting yakin. Dalam benak saya, memang langsung mikir apa saja yang mesti dilakukan. Banyak sekali yang harus dikerjakan. Mempersiapkan pameran, menyelesaikan buku, membuat kaos, dan lainnya.

 

7. Buku

 

Buku harus selesai. Tanggal 2 Oktober, buku memang akhirnya selesai dan siap diproduksi. Namun saya masih belum merasa final. Saya kemudian membuat satu untuk proof cetak dulu. Saat itu tanggal 2 Oktober 2023. Sehari kemudian, satu buku itu selesai dan bisa saya lihat dulu untuk dilakukan perbaikan jika perlu. Dengan selesainya buku ini, saya memberanikan diri untuk mulai memasarkan buku ini dengan cara pre-order.

 

Ada dua cara untuk pre-order, pertama langsung pesan ke saya lewat WA, dan kedua bisa membeli lewat Tokopedia. Walau pembeli sudah membayar ke Toped, namun tentu saja uangnya akan baru saya terima saat buku sampai diterima pembeli. Jadi, tetap akan butuh modal nantinya buat produksi. Saya tidak tahu, apakah nanti akan siap biayanya atau tidak. Kalaupun tidak, maka perlu dipikirkan plan B, plan C atau yang lain. Pesanan yang masuk sudah cukup banyak. Tapi saya belum juga mengorderkan untuk mencetak dalam jumlah sesuai pesanan. Saya memang diberi waktu oleh Tokopedia sampai tanggal 16 Oktober untuk mengirim buku tersebut. Ini kejar-kejaran dengan waktu karena tanggal 14, saya sudah harus ke Yogjakarta lagi dan rilis buku. Artinya, sebelum tanggal 14, buku itu harus selesai cetak dan dikirim.

 

Persoalannya, saya ke Jogja tanggal 7 dan baru kembali ke Surabaya tanggal 10 Oktober. Ini karena tanggal 9 Oktober saya harus ada di tempat pameran untuk melakukan pembukaan. Saya membawa proof buku itu ke jogja untuk saya baca-baca. Berarti, kalau tanggal 10 saya balik, maka baru tanggal 10 sore saya bisa order untuk cetak dan harus selesai paling lambat tanggal 13. Cuma bisa berdoa agar itu bisa terjadi…

 

8. Persiapan pameran

 

Mengejar tanggal 7 Oktober, maka paling lambat tanggal 6 Oktober saya harus sudah siap dengan gambar dan rencana tampilan pamerannya. Pada tanggal 5 Oktober, saya memasukkan file digital untuk diprint dan baru bisa diambil tanggal 6. Tanggal 6 juga saya beli tripleks dan kayu untuk lis sebab nanti rencananya akan dipasang seperti dalam bentuk pigura. Print gambar itu sendiri ternyata tidak murah. Satu gambar biaya printnya Rp 30 ribu. Saya cetak ukuran A2. Total saat itu ada 22 gambar, jadi sekitar 600 rb an biayanya. Untuk tripleksnya butuh 3 lembar dan kayu lis sekitar 30 batang. Kira-kira butuh biaya 300 rb an.

 

Malam tanggal 6 Oktober, saya dan istri tidak tidur sama sekali untuk menggergaji tripleks dan kayu. Hingga pagi mengemasnya tapi kemudian saya ragu membawanya karena khawatir tidak diperbolehkan masuk ke kereta api. Jadinya, saya pikir, saya hanya membawa lisnya saja, sementara tripleksnya saya tinggal. Saya putuskan nanti akan beli di jogja dan bikin lagi di sana.

 

9. Bantuan biaya

 

Saya tidak pernah memimpikan, bahwa tiba-tiba ada yang memberi bantuan dana untuk kegiatan ini. Dari beberapa orang, akhirnya terkumpul dana saat itu sekitar 5 juta seratus ribu rupiah. Saya sangat bersyukur sebab ini bisa membuat saya tidak perlu menjalankan plan B dan seterusnya alias harus cari pinjaman uang. Dana yang terkumpul saya gunakan untuk mempersiapkan pameran, membeli perlengkapan dan beberapa peralatan yang nantinya dibutuhkan, membuat beberapa kaos yang rencananya akan saya berikan.  Selain itu juga untuk membeli tiket kereta api dan kemungkinan untuk biaya menginap di jogja. Bantuan lain datang dari teman-teman  yang membeli kaos dan buku namun dananya dilebihkan.

 

Orang mungkin bilang, ini sebuah kebetulan. Kebetulan ada yang memberi sumbangan. Kebetulan juga dana yang masuk boleh dibilang lumayan. Namun ini seperti ada yang mengatur. Orang bisa bilang ini kehendak Tuhan, semesta mendukung.  Apakah ini benar-benar bukan kebetulan? Bagaimana jika ternyata tidak ada yang memberi donasi? Saya tidak berani berpikir “what if”. Saya mensyukuri apa yang terjadi. Melakukan apa yang saya bisa perbuat dengan sebaik-baiknya. Pasti tidak akan sempurna, sebab saya tidak punya pengalaman pameran di luar kota, di tempat yang gudangnya para seniman. Siapalah saya? Tapi, the show must go on. Tidak ada lagi pikiran untuk mundur. Ini mesti dilakukan. Ada yang bilang, hasil tidak akan mengkhianati usaha.  Saya juga harus mengusahakan, dengan dana yang ada, harus bisa terlaksana dengan meriah meski tidak mewah.

 

10. Kolaborasi

 

Saya yakin, ini tidak mungkin dilakukan sendiri. Kata kuncinya adalah kolaborasi. Mesti kerja bareng. Kegembiraan acara ini harus dirasakan bersama-sama. Semua perlu merasa terlibat. Sejak awal membuat flyer sudah melibatkan banyak orang.  Ada 12 pihak yang ikut berkolaborasi dalam kegiatan ini. Saya ingat pepatah afrika, kalau mau pergi cepat, pergilah sendiri. Kalau mau pergi jauh, pergilah bersama-sama. Bagi saya, ini adalah sebuah perjalanan jauh. Jauh dalam artian beyond my imagination. Kalau dibilang cepat secara harafiah ya memang cepat. Ide pertama muncul tanggal 28 September. Lalu, tanggal 9 Oktober acara sudah dimulai. Berarti hanya 11 hari persiapannya. Tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

 

Ketika saya sampai di Jogja dan mesti mempersiapkan pameran dengan menggergaji lagi tripleks yang saya beli di jogja, saya dibantu mas Aris. Mas Ipank juga menyempatkan datang untuk membantu persiapan pameran.  Saat tiba di lokasi, sudah menunggu mas Yonz dan mbak Dian Graha. Lalu datang juga mas Hangno yang membantu memasang-masang panel pameran.

 

Singkat kata, acara berlangsung sesuai dengan rencana, bahkan di luar ekspektasi. Pameran bisa dibuka tanggal 9 Oktober. Mbak Ira bersedia menjadi kurator dan membuat tulisan yang sangat bagus. Acara rilis buku juga berjalan lancar. Mas Mutoha Arkanuddin datang dengan kawan-kawan dari Jogja Astro Club untuk melakukan pengamatan benda langit. Sayang cuaca berawan, namun pak Mutoha membawa alat yang menarik yang bisa melacak benda langit dan melakukan pemotretan.

 

Keesokan harinya, peserta lomba mewarnai yang ikut ternyata banyak juga. Ada 63 peserta TK dan 44 peserta dari PAUD. Total berarti ada 107 peserta. Acara begitu meriah, ada hiburan pagelaran Wayang Alien dari mas Hangno Hartono dan juga peluncuran roket air oleh mas Muhtoha Arkanuddin. Mas Tyok Sule juga hadir dalam tiap acara, mulai saat pembukaan, rilis buku dan juga acara puncak di hari minggu saat lomba mewarnai. Acara juga dimeriahkan dengan pembagian banyak door prize yang telah disiapkan oleh mbak Dian Graha dan mas Yonz.  Kolaborasi ini sungguh indah, semua senang dan rasa itu membuat kita semua melakukannya dengan suka rela serta suka cita.

 

11. Eksistensi

 

Saya teringat pembicaraan dengan mas Venzha, pada dasarnya setiap orang itu butuh eksistensi. Barangkali acara ini juga menjadi cara saya untuk menunjukkan eksistensi. Seperti kata mas Venzha juga kepada driver Gocar saat kami menuju Monumen Crop Circle. Orang pameran itu ya tujuannya untuk pamer. Ya, pasti saya akan dianggap pamer, berusaha menunjukkan eksistensi diri. Namun buat saya pribadi, ini sebenarnya juga merupakan sebuah ujian. Menguji  diri saya sendiri apakah saya masih mampu, terutama dalam hal tenaga. Usia saya sudah 57 tahun. Saya kagum juga dengan mas Hangno yang sudah 60 tahun tapi tetap penuh semangat. Mbak Dian Graha sempat komentar, generasi X ini memang beda dengan generasi Y. Kalau ada tantangan, selalu siap melakukannya. Tidak kebanyakan mikir.

 

 Beberapa orang ada yang bertanya, apakah acara Pekan Ufologi dan Antariksa ini akan berlangsung lagi? Apakah tahun depan akan diselenggarakan lagi? Tentu, harapannya begitu. Semoga bisa menjadi sebuah kerja bareng dan kolaborasi bersama agar persahabatan terus terjalin. Paling tidak, sudah ada rencana-rencana yang sempat muncul, seperti lomba peluncuran roket air, pengamatan bintang, menyelenggarakan kursus ufologi, dan lain sebagainya. Semua itu mesti dilakukan bersama. Sudah bukan lagi saatnya dikerjakan sendiri. Kita mau seperti Buzz Lightyear, to infinity and beyond.  Untuk itu kita perlu pergi bersama-sama.

 

Akhirnya, saya ingin mengutip kata-kata mas Tyok Sule kepada saya lewat WA: “Gazzz tetap semangat di jalur ini, pak Nur… Semoga selalu dilancarkan semua dan upaya, Berkah.”

 

Saya hanya bisa mengucapkan terima kasih, kiranya semesta selalu mendukung niat kita dan memberi kesempatan untuk mewujudkannya.

 

Surabaya, 18 Oktober 2023

Nur Agustinus

 

Sekali lagi terima kasih kepada seluruh sahabat dan komunitas yang telah berpartisipasi dan berkolaborasi dalam rangka Pekan Ufologi dan Antariksa 2023.

 

1. Kedai Suru Pitoe

2. Griya Antariksa

3. Info UFO

4. Studi UFO Nusantara

5. Jogja Astro Club

6. Extraterrestrial Indonesia

7. SUASU (Special Unit for Anomaly Surveillance of the Unknown)

8. UFO Investigator

9. Omah Budaya Kahangnan

10. House of kybalion

11. Area 57

12.Teropong Bintang Mangunan

 

17 Feb 2023

Save the best for the last


Sejak kecil aku suka sekali makan yang namanya telur ceplok atau telur mata sapi. Kebiasaanku waktu makan selalu menghabiskan dulu nasinya, baru terakhir menikmati telurnya. Bukan cuma telur, namun saat makan lainnya, misal ayam goreng, maka nasinya habis duluan, baru setelah itu ayamnya. Belakangan setelah aku besar, aku kemudian dengar istilah, “save the best for the last”. Menyisakan hal paling baik untuk yang terakhir. 

Aku tidak tahu, apakah itu kebiasaan yang baik atau tidak. Apakah ini juga mirip dengan peribahasa,  'Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dulu, bersenang-senang kemudian'? Entahlah. Sepertinya juga tidak sama persis, karena makan nasi bukanlah penderitaan. Apakah dengan makan nasi dulu ini supaya kenyang lalu setelah itu baru menikmati yang enak? Atau, jika seandainya aku makan telurnya dulu dan habis, apakah aku akan bisa menikmati saat menghabiskan nasinya? 

Nasi adalah makanan pokok buat kebanyakan orang Indonesia. Makanan sumber karbohidrat yang berguna sebagai sumber tenaga harian. Walau kini banyak himbauan agar mengurangi karbohidrat. Aku sendiri sudah sejak usia sekitar 40an, dinyatakan mengidap diabetes tipe 2. Papiku juga penderita diabetes. Itu sebabnya ada yang bilang bahwa penyakit ini adalah turunan. Opa dan Omaku, orangtua papiku, keduanya diabetes. Semua anak-anaknya atau saudara papiku, menderita diabetes tipe 2. Namun aku juga sadar betul bahwa kalau aku saat ini memiliki penyakit gula, itu juga karena pola makan dan gaya hidupku yang kata banyak orang, tidak sehat. Apalagi aku juga tidak suka olah raga.

Aku waktu kecil tidak suka sayur. Makanan dan minuman saat itu sudah mulai banyak yang manis-manis serta porsinya banyak. Menu di Surabaya itu biasanya banyak, Orang mengatakan porsi kuli. Saat aku kuliah, rumah makan waralaba fast food mulai banyak muncul, seperti CFC, KFC, McD, pizza dan lain sebagainya. Minuman soda seperti coke atau lainnya juga menjadi minuman pelengkap resto cepat saji ini. Bahkan dengan tambah uang sedikit, bisa dapat porsi minuman yang lebih besar. Tentang minuman soda ini sendiri memang sudah ada sejak aku kecil. Saat itu ada yang namanya limun bermerk F&N. Aku paling suka yang rasa coffee beer. Ada juga Green Spot, Seven Up, Mirinda dan lain sebagainya. Enak semua. Aku dulu juga suka Fanta rasa nanas. Namun minuman rasa ini tidak lama dipasarkan, entah kenapa.

Kembali ke “Save the best for the last”, saat makan ceplok, sampai hari ini, aku juga lebih suka memakan putihnya dulu, baru terakhir menghabiskan kuningnya. Jelas yang kuning lebih gurih dan enak daripada yang putih. Sepertinya banyak juga yang seperti aku cara makannya. Kenapa ya? Apakah ada penjelasan teori psikologi untuk hal ini? Mengapa orang suka menyisakan yang dirasakan paling enak untuk saat terakhir?

Tentu saja, kebiasaan ini tidak semua orang melakukannya. Yang aku tahu, salah satu anakku, Krista, punya kebiasaan makan telurnya dulu. Atau setidaknya dimakan sembari dengan nasinya. Kalau dipikir, harusnya ini yang betul. Nasi dimakan dengan lauknya. Nah karena Ferdinand jika makan ambil nasinya banyak, maka sering telurnya sudah habis duluan dan nasinya masih ada.  Tapi dia bisa menghabiskan nasinya meski lauknya sudah habis.

Saya lantas ingat dengan salah satu eksperimen marshmallow di Stanford. Eksperimen ini adalah sebuah percobaan yang dilakukan oleh Walter Mischel dari Universitas Stanford untuk mempelajari mengenai kepuasan tertunda. Percobaan ini dilakukan Mischel pada tahun 1960an. Hal ini kemudian juga dihubungkan dengan kecerdasan emosional. Eksperimen ini dilakukan pada anak-anak usia pra sekolah dan dihadapannya ada sebuah marsmallow (permen kenyal). Si anak diberitahu, bahwa dia akan ditinggal sendirian untuk sementara waktu (sekitar 15 menit), lalu jika nanti si petugas datang kembali dan si anak bisa menahan dirinya untuk tidak mengambil dan memakan marsmallow itu, maka dia akan dihadiahi satu marsmallow lagi. Hasil dari percobaan tersebut adalah sekitar sepertiga dari anak-anak tersebut langsung dengan segera memakan marshmallow, sepertiga lainnya menunggu hingga Mischel kembali dan mendapatkan dua marshmallow, sementara sisanya berusaha menunggu tetapi akhirnya menyerah setelah waktu yang berbeda-beda. Eksperimen ini memang berkenaan dengan pengendalian diri anak.  

Apakah eksperimen ini bisa menjelaskan fenomena “save the best for the last”? Aku belum mendalaminya lebih lanjut. Namun dari pengalamanku, cara makanku sepertinya begitu. Misalnya saat makan sate, biasanya satenya aku sisakan untuk yang terakhir. Aku bisa menikmati makan nasi dengan bumbunya. Tapi herannya, saat aku makan kacang rebus misalnya, aku justru mengambil dulu kacang-kacang yang besar. Justru saat-saat terakhir, aku melihat yang ada tersisa adalah kacang-kacang yang kecil dan tidak menarik. Padahal aku mengambilnya tidak selalu dengan melihat dulu. Apakah tanganku dengan meraba bisa memilih yang terbaik lebih dulu? Tapi kenapa tidak berlaku “save the best for the last”? Apakah kalau makan camilan seperti kacang rebus ini terbiasa dimakan bersama banyak orang lain sehingga terjadi semacam kompetisi agar jangan sampai aku mendapatkan kacang rebus yang kecil dan jelek sebab yang bagus-bagus akan diambil oleh yang lain? 

Aku pernah mengikuti seminar Financial Planning dari Bapak Dr. Denny Bernardus, teman kuliahku di S3 dulu yang sekaligus menjadi bossku saat aku bergabung dengan Universitas Ciputra. Beliau mengajarkan juga prinsip “save the best for the last” ini dalam mengelola keuangan. Prinsip ini penting untuk pengeluaran yang besar.  Dari pengalaman, beliau mengatakan, kebanyakan orang kalau memakan telur mata sapi ini, biasanya yang dimakan adalah putihnya dahulu baru kemudian yang terakhir adalah kuningnya. Save the best for the last. Aku setuju sekali karena aku melakukan seperti itu. 

Menurut Pak Denny, ini sebenarnya hanya bisa dilakukan kalau kita benar-benar tahu apa yang kita inginkan di masa mendatang. Misalnya, mau punya rumah. Orang sering tidak sabar dan salah dalam membuat keputusan. Seperti di eksperimen marsmallow tadi ini sebenarnya prinsip belajar menahan nafsu atau kontrol diri. Jadi pertanyaannya, sanggupkan kita menahan diri untuk mencapai apa yang kita cita-citakan dan tidak tergoda untuk membeli barang-barang yang sebenarnya hanya kita inginkan tapi tidak kita butuhkan? Sepertinya soal cara makan ini adalah hal yang sepele saja. Tapi mungkin bisa mempengaruhi perilaku serta keputusan kita juga. Dalam ilmu perilaku ekonomi, memang banyak keputusan yang kita ambil itu dilakukan secara emosional dan tidak rasional.

Mengakhiri cerita soal makan ini, aku teringat dengan pengalaman seorang temanku. Dia cerita punya pengalaman yang membagongkan gara-gara menerapkan prinsip save the best for the last. Saat itu dia bersama keluarganya makan di sebuah rumah makan. Dia pesan ayam goreng. Seperti biasa, nasinya dihabiskan dulu. Lalu setelah semua sudah selesai makan dan kemudian balik ke parkiran mobil untuk pulang, dia baru ingat kalau ayam gorengnya belum dia makan. Kelupaan. Ya, ini risiko gara-gara save the best for the last…

Salam sehat untuk semua, jangan lupa bahagia.

Komik

Komik adalah bagian dari budaya popular. Keberadaannya memang agak tersisihkan oleh animasi dan film. Masa kecilku hingga remaja, diwarnai oleh banyak komik, baik komik dalam negeri maupun dari luar, khususnya komik Eropa. Ini juga tidak lepas dari keberadaan majalah anak-anak dan remaja seperti Bobo dan Hai. Bahkan aku bisa mengetahui cerita lengkap dari sebuah karya sastra kelas dunia lewat Album Cerita Ternama yang diterbitkan oleh Gramedia. 

Waktu kecilku, aku suka sekali membaca komik, terutama komik superhero dan yang bernuansa sains fiksi. Komik dagelanpun suka seperti Petruk Gareng. Beberapa komik silat, tergantung komikusnya, misalnya aku suka karya Jan Mintaraga dan Teguh Santosa. Aku malah belum pernah sama sekali membaca buku cerita karya Ko Ping Hoo. Namun komik wayang karya RA Kosasih, aku sangat suka. Ini juga yang membuat aku suka wayang dan tahu ceritanya lewat baca komik. Dari komik yang diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia, membuat aku tahu cerita lengkap dari Alkitab. 

Karena di masa kecilku lebih banyak baca komik lokal, maka aku lebih kenal dan menggemari tokoh seperti Godam, Gundala, Pangeran Mlar, Masa Sang Penakhluk, Aquanus dan lainnya. Superhero luar yang aku kenal saat itu seperti Superman, Batman dan Robin, Green Lantern hingga Flash Gordon. 

Tapi bukan tentang komiknya yang aku ingin ceritakan kali ini. Tadi aku menyebutkan bahwa aku lebih banyak mengkonsumsi komik lokal. Nah ini ada sebabnya dan ini yang aku ingin ceritakan. 

Tak jauh dari rumahku, mungkin sekitar 350 meter, tepatnya di jalan yang namanya Jagaraga, ada orang yang membuka usaha persewaan komik. Tempatnya sederhana, kecil tapi buku komiknya banyak. Dikelola oleh seorang perempuan, entah apakah mbak-mbak atau ibu-ibu. Karena waktu itu aku masih kecil, aku melihatnya dia sudah dewasa. Nama persewaan komiknya adalah Shinta. Sepertinya itu dari namanya. 

Aku sering meminjam komik di sana. Seri komik karya Hasmi, Wid NS dan lain-lainnya adalah yang paling aku suka. Memang di masa kecilku, di tahun 70-an, lahirlah tokoh-tokoh superhero kita. Misalnya baru saja aku baca di Wikipedia, Godam adalah tokoh komik ciptaan Wid NS, muncul pertama kali dalam judul Memburu Doktor Setan pada tahun 1969. Gundala, tokoh komik ciptaan Hasmi yang muncul pertama kali dalam komik "Gundala Putra Petir" pada tahun yang sama. Aku belum sempat bertemu dengan Win NS, Beliau meninggal di tahun 2003. Namun aku sempat berjumpa dengan pak Hasmi (Harya Suryaminata) di Yogyakarta pada tahun 2016, beberapa bulan sebelum beliau tutup usia.

Kembali ke persewaan komik Shinta ini, saat ini sudah tidak ada. Menurut kabar, rumahnya yang dulu jadi tempat persewaan komik sekarang kosong, tak ada yang menempati. Kemarin aku potong rambut di Pak Nasir, dekat pasar Krembangan, beliau cerita kalau anak-anaknya Shinta saat ini semua sukses, kerja di bank dan tinggal di daerah Benowo. Pastinya aku tidak begitu tahu. Namun, setiap aku lewat jalan Jagaraga ini, aku teringat dengan persewaan komik tersebut. Bagaimanapun, komik-komik ini benar-benar mengisi dan membentuk diriku seperti saat ini. Untuk yang usianya hampir sama, aku cukup yakin, pasti komik punya peran besar dalam kehidupan kita.

Padahal, komik saat itupun dianggap sebagai barang yang tabu dan dilarang. Setiap generasi pasti ada yang dikuatirkan. Kalau sekarang orang tua dan guru mencemaskan anak-anak yang tergantung dengan gawainya, Jaman aku kecil dulu, kalau ketahuan membaca komik, terlebih di sekolah, bisa dirampas. 

Soal komiknya, memang komik lokal kita menjadi tersisih dengan hadirnya komik import, baik dari Eropa, Amerika maupun Jepang. Bisa juga karena aspek marketing maupun manajemennya. Diawali dengan komik Tintin, Tanguy and Laverdure, Smurf, Storm, Trigan, dan masih banyak lainnya, yang diterbitkan saat itu oleh Indira dan Misurind. Disusul serbuan komik asal Jepang seperti Doraemon, Tsubasa, Dragon Ballz, Sinchan  dan lain sebagainya. Yang pasti, komik ini memang luar biasa pengaruhnya dalam kehidupan manusia.

Persewaan komikpun berjaya di tahun-tahun 80 hingga akhir tahun 2000 dan ada di berbagai sudut kota. Kini di Surabaya boleh dibilang amat sangat jarang. Terakhir aku menyewa komik, novel atau majalah di persewaan yang ada di jalan Waspada, seberang Pasar Atum. Banyak yang kemudian beralih menjadi persewaan VCD dan DVD, yang diawali dengan persewaan kaset Betamax atau VHS, sampai akhirnya karena mereka umumnya menyewakan barang illegal (bajakan), kemudian ditertibkan. 

Aku merindukan masa kecilku dulu, yang bisa menyewa komik dan membacanya tanpa harus membelinya. Mungkin karena itu, sebagian dari orang-orang seperti aku, saat ini mulai mengumpulkan kembali komik-komik bacaan di masa lalu. Lalu ada yang menjadi kolektor komik, yang membuat harga komik menjadi melonjak tinggi.

Itu ceritaku hari ini… Salam cergam buat semua pecinta komik.

Jarak Antara Hidup dan kematian


Aku bersama Ari setelah beberapa hari ia dilahirkan.

Kematian sejatinya adalah peristiwa yang sering terjadi di sekitar kita. Seseorang bisa mempunyai pemikiran filosofis yang berbeda-beda tentang hal ini. Ada banyak penafsiran dan pandangan. Orang bisa berdebat panjang lebar. Baik menurut keyakinannya maupun pemikiran rasionalnya. Ada juga yang dengan gigih menyampaikan berbagai bukti yang diyakininya ilmiah. Tapi bukan hal ini yang hendak aku bahas. Aku ingin cerita tentang adik sepupuku. Aku memanggilnya Ari. Nama lengkapnya Yohanes Ari Budiman Soedjatmiko.

Ari adalah anak pertama dan Om Johnny, adik paling bungsu dari papiku. Aku dekat dengan saudara-saudara papiku, mulai dari Tante Vonny, Om Leo dan Om Johnny. Semuanya saat ini sudah meninggal dunia. Keluarga papiku berasal dari Probolinggo. Om Leo dan Om Johnny adalah adik dari papiku, sementara tante Vonny adalah kakaknya, anak tertua dari opa dan omaku. 

Om Leo dan Om Johnny pernah tinggal di rumah keluargaku saat mereka belum menikah. Om Johnny suka sekali dengan fotografi. Kamarnya bisa dijadikan kamar gelap, tempat mencuci dan mencetak foto hitam putih. Om Leo bekerja sebagai detailer, sekarang istilahnya lebih sering disebut Medical Representative, di sebuah perusahaan Farmasi, Kalbe Farma.

Setelah Om Leo dan Om Johnny menikah, mereka tinggal di rumahnya masing-masing. Aku punya beberapa adik sepupu. Dalam tulisan ini, aku ingin cerita tentang Ari, anak sulung Om Johnny.

Ari lahir tanggal 15 Mei 1980. Saat itu berarti aku kelas 3 SMP. Om Johnny dan tante Maudy, istrinya, beserta Ari, tinggal di rumah kontrakan di jalan Sanggar. Rumah ini tidak jauh dari rumahku. Kalau aku ke sekolah, jalan kaki, aku pasti melewati rumah Om Johnny. Biasanya aku sering mampir. Aku memang jadi keponakan yang lumayan disayang oleh om dan tanteku dari pihak papiku, mungkin karena aku adalah keponakan pertama. 

Sayangnya, Ari tidak berumur panjang. Ia meninggal dunia pada tanggal 4 Mei 1988. Masih berusia akan 8 tahun. Saat itu aku sudah kuliah. Om Johnny dan keluarga juga sudah tinggal di rumah sendiri di kawasan Darmo Permai. Ari meninggal karena sakit demam berdarah. Saat sakit, dokter yang memeriksanya waktu itu hanya mendignosa ia sakit gabagen. Ternyata di hari kelima memburuk dan oleh seorang mantri kenalan Om Johnny yang tinggal dekat rumahnya, disuruh segera dibawa ke UGD Dr. Soetomo. Saat itu kondisinya sudah kritis, tak sadarkan diri. Aku dikabari dan menyusul ke rumah sakit. Di sana aku bertemu Ari, tapi hanya bisa melihatnya terbaring tak berdaya. Menurut dokter. Ari sudah mengalami pendarahan internal. Sebelum Ari menghembuskan nafasnya yang terakhir, dia sempat membuka matanya, melihat papinya, lalu memejamkan mata untuk selamanya. Mungkin ia ingin berpamitan kepada papinya. Aku berada di sampingnya waktu itu.

Kelanjutannya mungkin tak perlu aku ceritakan. Kesedihan luar biasa pada keluarga Om Johnny. Kami semua sedih, tak mengira hal ini bisa terjadi. Namun ada hal lain yang ingin aku ceritakan setelahnya.

Saat dimakamkan di Kembang Kuning, Ari dikubur di area pemakaman anak-anak. Aku melihat banyak batu nisan dari anak-anak yang telah meninggal dunia. Ada yang usianya hanya setahun, ada yang dua tahun, ada juga yang hidup hanya beberapa hari, bahkan ada juga yang meninggal di hari yang sama dengan kelahirannya. 

Yohanes Ari Budiman Soedjatmiko

Aku kemudian merenung, berpikir, mencoba merasa, bagaimana jika seandainya aku dulu mati saat usia sehari? Atau setidaknya umur setahun? Apakah aku akan pernah merasa bahwa aku ini pernah ada di dunia ini? Seperti yang aku pahami saat belajar filsafat, “aku berpikir maka aku ada”, bagaimana aku bisa menyadari keberadaan diriku jika aku belum bisa berpikir? Lebih jauh aku kemudian bertanya-tanya dalam hati, apakah janin-janin yang mati karena ibunya mengalami keguguran, tak pernah punya kesempatan lagi untuk merasa ada dalam dunia ini? Ataukah masih punya kesempatan sebagai “AKU” di tubuh yang lain. Ini tidak bisa aku jawab. Memang ada banyak pandangan agama, spiritual ataupun metafisika tentang hal ini. Namun jawaban yang ada masih belum bisa memuaskan aku. Apa yang dirasakan hatiku sering kali masih aku ragukan dengan nalarku. Ini membuat aku gelisah.

Tempat Ari dimakamkan bersama papinya

Kematian memang tidak bisa dihindarkan. Suatu saat pasti terjadi. Gelisahku bukan karena aku takut mati. Memang betul, siapa yang tidak takut mati? Manusia pasti takut akan sesuatu yang dianggapnya “unknown”, yang tidak diketahuinya. Gelisahku ini lebih pada, bagaimana nasib para “aku” yang ketika masih bayi sudah meninggal dunia. Walau aku juga sadar, kita ini merasa ada juga karena adanya memori. Aku tak punya ingatan saat usia di bawah 5 tahun. Jadi, aku kemudian berpikir, seandainya aku mati saat itu, apakah aku akan pernah sadar bahwa aku pernah ada?

Bagi orang lain, mungkin buat apa hal ini dipusingkan. Hidup ya dijalani saja. Kalau sudah waktunya tiba, yang ada hanya tinggal kenangan bagi orang-orang dekatnya. Atau mungkin juga kehampaan. Sama seperti keadaan sebelum aku dilahirkan. Misteri...  Menjadi manusia itu sendiri adalah sebuah misteri.

Barangkali karena aku suka membaca tentang filsafat eksistensialisme, aku juga tertarik dengan bahasan kematian. Kita hanya bisa tahu saat orang lain mengalaminya. Seperti ada sebuah dialog di film yang berjudul “The King” (2019): "All men are born to die. We know it. We carry it with us always. If your day be today, so be it. Mine will be tomorrow. Or mine today and yours tomorrow. It matters not." ("Semua manusia dilahirkan untuk mati. Kita mengetahuinya. Kita selalu membawanya bersama kita. Jika harimu adalah hari ini, jadilah itu. Hariku bisa saja besok. Atau waktuku hari ini dan saatmu besok. Itu tidak masalah.")

Maaf jika ceritaku kali ini agak bikin suasana muram. Tapi ah sudahlah… hidup ini kuat dilakoni, ra kuat ditinggal ngopi …

What If...

Kemarin (18/1/23) aku mengantar Maria kontrol seperti biasa ke poliklinik di RS. Kali ini lama sekali dan lumayan melelahkan karena mulai jam 11 siang dan baru selesai sekitar jam 4 sore. Mulai menunggu diperiksa hingga ambil antrian di farmasi. Aku baca di pengumuman, sepertinya memang ada keterlambatan layanan karena sedang ada migrasi sistem manajemen informasi di rumah sakit tersebut. Tapi aku lihat memang pasien kemarin banyak sekali. Biasanya sekitar 1 atau 2 jam sudah selesai. Ini hampir 5 jam.

Setelah selesai, kami kemudian makan siang yang boleh dibilang terlambat. Selanjutnya pulang ke rumah. Karena capek, aku tak lama kemudian tertidur. Hampir tengah malam, jam 11, aku terbangun. Aku mengira sudah pagi, ternyata masih belum ganti hari. Yang ingin aku cerita adalah soal mimpi. Tapi mimpi ini berdasarkan kisah nyata. Aku tidak tahu kenapa memimpikan ini, sebab dalam mimpi ini, aku berpikir bahwa ini bisa dibuat jadi tulisan. Memang aku sempat ragu, apakah perlu diceritakan atau tidak. Namun aku juga berpikir, tak ada yang kebetulan di dunia ini. There is no coincidence... 

Mungkin timbul tanda tanya, kok bisa mimpi ini adalah kisah nyata? Dalam mimpi ini aku sepertinya sedang berbicara dengan Om Johnny, adik dari papiku. Aku cerita tentang kejadian lama, yaitu saat aku dulu pernah hampir punya tanah yang dijual oleh temanku yang bernama Raymond (alm). Hanya saja, aku tidak jadi membelinya karena papiku melarang dan disuruh mengembalikan. Alasannya, tanah itu dekat kuburan. Tanah itu sendiri masih Petok D. Lokasinya di daerah Kenjeran, kalau sekarang sepertinya dekat dengan jalan menuju jembatan Suramadu.

Waktu aku bangun, aku memang heran. Kenapa kok mimpi ini? Apakah karena belum dapat ide untuk menulis sehingga pikiranku teringat ke masa lalu? Apa yang muncul di mimpi itu memang kejadian nyata. Kejadian yang pernah aku alami dulu. Aku lupa persisnya tahun berapa. Namun karena papiku meninggal dunia tahun 1990, mestinya ini terjadi antara tahun 1988 hingga 1990. Aku mulai kerja di sebuah cold storage udang tahun 1988.

Waktu itu, Raymond, seorang teman yang lumayan dekat denganku sejak SD hingga SMA, menghubungi aku dan kemudian dia datang ke rumah. Dia menawarkan sebuah tanah yang masih Petok D. Lokasinya aku sudah tidak ingat persis di mana. Tapi kira-kira di daerah Bulak, Kenjeran. Aku pernah melihat tempatnya dulu. Sudah 30 tahun lebih dan kini berubah banyak karena sudah ada pelebaran jalan untuk ke jembatan Suramadu, penduduknya juga makin padat. Jadi kalau disuruh mencari lagi, sudah pasti tidak bisa.

Temanku mau menjual dengan harga satu juta. Aku sendiri tidak begitu paham harga itu wajar atau tidak. Luasnya mungkin sekitar 200 meter. Aku tidak ingat persis. Tapi buat aku yang masih bujangan, belum punya asset apa-apa, berpikir akan menarik sekali jika punya tanah sendiri. Aku menyetujuinya dan terjadi transaksi. 

Namun setelah aku memberitahu papiku, ternyata papiku tidak setuju. Alasannya adalah karena berdasarkan denah yang ada, letak tanah itu dekat sekali, kalau tidak bersebelahan, dengan kuburan. Papiku memang mengasuh rubrik hongsuinipun di majalah Liberty yang saat itu dikelola Jawa Pos. Konon secara hongsui, tanah yang lokasinya dekat kuburan adalah tidak bagus. Intinya, aku disuruh membatalkan dan kalau bisa meminta kembali uangnya. Aku tidak tahu, apa sekedar itu alasannya, atau mungkin papiku ragu dengan status tanah itu. Memang, jual belinya tanpa notaris, hanya di bawah tangan saja. 

Temanku nampaknya juga tidak ada masalah membatalkan transaksi. Jadi jual beli ini kemudian batal tanpa ada keributan. Yang pasti, aku tidak jadi punya tanah. Kalau aku pikir, saat ini mestinya tanah itu pasti mahal harganya karena sudah ada jembatan Suramadu. Memang dulu ada sedikit menyesal kenapa aku dilarang membeli tanah itu oleh papiku. Tapi aku pikir, papiku pasti punya pertimbangan yang baik.

Aku tidak tahu, kenapa aku baru saja memimpikan hal ini. Aku memang masih ingat dengan kejadian itu, tapi bukan peristiwa yang menghantui pikiranku. Buat aku, semua hal yang terjadi pasti ada alasannya.  Everything happens for a reason.  Nasihat ini selalu membuat aku tenang. Tidak menyesali apapun yang terjadi kemudian. No regrets. Mungkin, di semesta paralel yang lain, seperti di film Marvel, What If, ada cerita lain tentang aku, yang tetap punya tanah itu…

Popular Posts