Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan

17 Feb 2023

Jarak Antara Hidup dan kematian


Aku bersama Ari setelah beberapa hari ia dilahirkan.

Kematian sejatinya adalah peristiwa yang sering terjadi di sekitar kita. Seseorang bisa mempunyai pemikiran filosofis yang berbeda-beda tentang hal ini. Ada banyak penafsiran dan pandangan. Orang bisa berdebat panjang lebar. Baik menurut keyakinannya maupun pemikiran rasionalnya. Ada juga yang dengan gigih menyampaikan berbagai bukti yang diyakininya ilmiah. Tapi bukan hal ini yang hendak aku bahas. Aku ingin cerita tentang adik sepupuku. Aku memanggilnya Ari. Nama lengkapnya Yohanes Ari Budiman Soedjatmiko.

Ari adalah anak pertama dan Om Johnny, adik paling bungsu dari papiku. Aku dekat dengan saudara-saudara papiku, mulai dari Tante Vonny, Om Leo dan Om Johnny. Semuanya saat ini sudah meninggal dunia. Keluarga papiku berasal dari Probolinggo. Om Leo dan Om Johnny adalah adik dari papiku, sementara tante Vonny adalah kakaknya, anak tertua dari opa dan omaku. 

Om Leo dan Om Johnny pernah tinggal di rumah keluargaku saat mereka belum menikah. Om Johnny suka sekali dengan fotografi. Kamarnya bisa dijadikan kamar gelap, tempat mencuci dan mencetak foto hitam putih. Om Leo bekerja sebagai detailer, sekarang istilahnya lebih sering disebut Medical Representative, di sebuah perusahaan Farmasi, Kalbe Farma.

Setelah Om Leo dan Om Johnny menikah, mereka tinggal di rumahnya masing-masing. Aku punya beberapa adik sepupu. Dalam tulisan ini, aku ingin cerita tentang Ari, anak sulung Om Johnny.

Ari lahir tanggal 15 Mei 1980. Saat itu berarti aku kelas 3 SMP. Om Johnny dan tante Maudy, istrinya, beserta Ari, tinggal di rumah kontrakan di jalan Sanggar. Rumah ini tidak jauh dari rumahku. Kalau aku ke sekolah, jalan kaki, aku pasti melewati rumah Om Johnny. Biasanya aku sering mampir. Aku memang jadi keponakan yang lumayan disayang oleh om dan tanteku dari pihak papiku, mungkin karena aku adalah keponakan pertama. 

Sayangnya, Ari tidak berumur panjang. Ia meninggal dunia pada tanggal 4 Mei 1988. Masih berusia akan 8 tahun. Saat itu aku sudah kuliah. Om Johnny dan keluarga juga sudah tinggal di rumah sendiri di kawasan Darmo Permai. Ari meninggal karena sakit demam berdarah. Saat sakit, dokter yang memeriksanya waktu itu hanya mendignosa ia sakit gabagen. Ternyata di hari kelima memburuk dan oleh seorang mantri kenalan Om Johnny yang tinggal dekat rumahnya, disuruh segera dibawa ke UGD Dr. Soetomo. Saat itu kondisinya sudah kritis, tak sadarkan diri. Aku dikabari dan menyusul ke rumah sakit. Di sana aku bertemu Ari, tapi hanya bisa melihatnya terbaring tak berdaya. Menurut dokter. Ari sudah mengalami pendarahan internal. Sebelum Ari menghembuskan nafasnya yang terakhir, dia sempat membuka matanya, melihat papinya, lalu memejamkan mata untuk selamanya. Mungkin ia ingin berpamitan kepada papinya. Aku berada di sampingnya waktu itu.

Kelanjutannya mungkin tak perlu aku ceritakan. Kesedihan luar biasa pada keluarga Om Johnny. Kami semua sedih, tak mengira hal ini bisa terjadi. Namun ada hal lain yang ingin aku ceritakan setelahnya.

Saat dimakamkan di Kembang Kuning, Ari dikubur di area pemakaman anak-anak. Aku melihat banyak batu nisan dari anak-anak yang telah meninggal dunia. Ada yang usianya hanya setahun, ada yang dua tahun, ada juga yang hidup hanya beberapa hari, bahkan ada juga yang meninggal di hari yang sama dengan kelahirannya. 

Yohanes Ari Budiman Soedjatmiko

Aku kemudian merenung, berpikir, mencoba merasa, bagaimana jika seandainya aku dulu mati saat usia sehari? Atau setidaknya umur setahun? Apakah aku akan pernah merasa bahwa aku ini pernah ada di dunia ini? Seperti yang aku pahami saat belajar filsafat, “aku berpikir maka aku ada”, bagaimana aku bisa menyadari keberadaan diriku jika aku belum bisa berpikir? Lebih jauh aku kemudian bertanya-tanya dalam hati, apakah janin-janin yang mati karena ibunya mengalami keguguran, tak pernah punya kesempatan lagi untuk merasa ada dalam dunia ini? Ataukah masih punya kesempatan sebagai “AKU” di tubuh yang lain. Ini tidak bisa aku jawab. Memang ada banyak pandangan agama, spiritual ataupun metafisika tentang hal ini. Namun jawaban yang ada masih belum bisa memuaskan aku. Apa yang dirasakan hatiku sering kali masih aku ragukan dengan nalarku. Ini membuat aku gelisah.

Tempat Ari dimakamkan bersama papinya

Kematian memang tidak bisa dihindarkan. Suatu saat pasti terjadi. Gelisahku bukan karena aku takut mati. Memang betul, siapa yang tidak takut mati? Manusia pasti takut akan sesuatu yang dianggapnya “unknown”, yang tidak diketahuinya. Gelisahku ini lebih pada, bagaimana nasib para “aku” yang ketika masih bayi sudah meninggal dunia. Walau aku juga sadar, kita ini merasa ada juga karena adanya memori. Aku tak punya ingatan saat usia di bawah 5 tahun. Jadi, aku kemudian berpikir, seandainya aku mati saat itu, apakah aku akan pernah sadar bahwa aku pernah ada?

Bagi orang lain, mungkin buat apa hal ini dipusingkan. Hidup ya dijalani saja. Kalau sudah waktunya tiba, yang ada hanya tinggal kenangan bagi orang-orang dekatnya. Atau mungkin juga kehampaan. Sama seperti keadaan sebelum aku dilahirkan. Misteri...  Menjadi manusia itu sendiri adalah sebuah misteri.

Barangkali karena aku suka membaca tentang filsafat eksistensialisme, aku juga tertarik dengan bahasan kematian. Kita hanya bisa tahu saat orang lain mengalaminya. Seperti ada sebuah dialog di film yang berjudul “The King” (2019): "All men are born to die. We know it. We carry it with us always. If your day be today, so be it. Mine will be tomorrow. Or mine today and yours tomorrow. It matters not." ("Semua manusia dilahirkan untuk mati. Kita mengetahuinya. Kita selalu membawanya bersama kita. Jika harimu adalah hari ini, jadilah itu. Hariku bisa saja besok. Atau waktuku hari ini dan saatmu besok. Itu tidak masalah.")

Maaf jika ceritaku kali ini agak bikin suasana muram. Tapi ah sudahlah… hidup ini kuat dilakoni, ra kuat ditinggal ngopi …

Filsafat

Tahun 1983, aku masuk kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Salah satu mata kuliah yang aku suka adalah Filsafat. Entah kenapa aku menikmati kuliah ini, sementara teman-teman seangkatan mengatakan merasa tidak mudah paham. Bagi kebanyakan, belajar statistik masih lebih mudah daripada filsafat. 

Mungkin ada beberapa sebab kenapa aku suka dengan filsafat di awal kuliahku dulu. Sepertinya karena dosennya menarik cara mengajarnya. Namanya Pak Poerwadi, Lic.  Lengkapnya R.M. Gregorius Poerwadi, Lic. Saat masuk kuliah, beliau adalah Pembantu Dekan III. Dekat dengan mahasiswa, sering nongkrong bareng di kantin kampus. Bertahun-tahun kemudian, saat bekerja di Universitas Ciputra, aku pernah mengikuti sebuah workshop menjadi dosen yang professional, Ibu Prof. Dr. Anita Lie yang menjadi narasumbernya mengatakan, pengajar yang baik itu adalah yang bisa menginspirasi, yang bisa membuat muridnya ingin tahu lebih banyak dan menyukai pelajarannya. Tak ada pelajaran yang sulit jika murid itu tertarik dengan dengan ilmu tersebut, dan ketertarikan itu datang lewat guru yang menginspirasi.

Pertama kali menjadi mahasiswanya, aku sudah tertarik dengan apa yang dikatakannya. Aku masih ingat bahwa beliau berkata, “Setiap kepala itu bisa berfilsafat. Ada seribu kepala maka ada seribu filsafat.” Cara berpikir orang memang berbeda-beda. Dunia dipenuhi dengan berbagai macam cara pandang, Kami juga diberitahu definisinya, Filsafat dari kata Philia dan Sophia, yang artinya mencintai kebijaksanaan.

 R.M. Gregorius Poerwadi, Lic. 

Buku yang dipakai sebagai pegangan adalah Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat, karya Harry Hamersma. Pertanyaan yang ada di awal buku ini benar-benar membuat aku berpikir. Memang sudah lama aku bertanya-tanya tentang  “Siapa Aku? Dari mana Aku berasal? dan ke mana Aku akan pergi?”  Pertanyaan ini barangkali muncul di setiap benak manusia. Ada yang terus mencari, namun ada juga yang kemudian mengabaikan karena ada hal-hal yang lebih penting untuk dipikirkan maupun dikerjakan. Lalu, mungkin juga hampir sama dengan kebanyakan mahasiswa, aku juga terpesona dengan kata-kata Rene Descartes, “Cogito ergo sum”,  aku berpikir maka aku ada. Belakangan saat kuliah di S3 aku akhirnya tahu, lewat dosen filsafat Romo Armada Riyanto, bahwa kata-kata itu lengkapnya adalah  “dubito, ergo cogito, ergo sum” yang artinya, "Saya ragu, maka saya berpikir, maka saya ada".  

Ada juga dua buku sastra yang ditugaskan oleh Pak Poerwadi untuk dibaca. Pertama adalah Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG dan kedua adalah Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata. Buku yang terakhir ini buatku luar biasa. Bercerita tentang kisah Ramayana, dan aku terpikat dengan tokoh Anoman di dalamnya. Satu penggalan cerita dalam buku itu yang membekas adalah:

”Trijata, bolehkah aku mencintaimu?” tanya Anoman.

Tiada terdengar jawaban. Hanya terasa sebuah ciuman mesra di pipi Anoman. Ciuman yang meninggalkan sentuhan hati yang dalam. Ciuman yang mengusir segala bayang-bayang. Maka terdengarlah suara burung tadahasih yang sedang berkasih-kasihan di waktu malam, bagai menyanyikan harapan, rasa sayang tiada akan lenyap meski pagi telah mengundang bayang-bayang.

”Trijata, tidakkah aku hanya seekor kera?” tanya Anoman.

”Tapi hatimu lebih dari manusia, Anoman,” jawab Trijata.

Pada saat inilah Anoman merasa apa artinya hidup sebagai manusia. Manusia itu bukan lagi suatu kerinduan, saat ia menerima cinta. Dan wujud apa pun, bahkan seekor kera, bukan lagi suatu kekurangan, ketika sesama makhluk menerima dan mengakui keluhurannya. Tiada kebahagiaan seperti malam yang indah itu bagi Anoman.

Kembali ke soal filsafat, entah kenapa juga, aku lebih suka filsafat eksistensialisme ketimbang yang lain. Mungkin ini berkenaan dengan makna hidup manusia sebagai bagian dari semesta ini. Karena itu pula, aku menyukai tokoh psikologi Viktor E. Frankl dengan logoterapinya. Tokoh-tokoh filsafat eksistensialisme yang aku juga suka baca karya-karyanya adalah Kierkegaard, Heidegger, Nietzsche, Karl Jaspers, Sartre, Erich Fromm, Gabriel Marcel. Buku filsafat waktu itu yang menarik perhatianku seperti Manusia Multi Dimensional (M. Sastrapratedja) dan masih banyak yang lainnya. Aku punya banyak buku di rumah, karena saat aku menyukai sebuah ilmu, maka aku terobsesi untuk membeli buku dan membacanya. 

Saat semester dua, mata kuliah filsafat adalah logika. Aku tak ada kesulitan dengan pelajaran ini. Tentang silogisme, true false dan lainnya. Selanjutnya di semester berikutnya belajar tentang Filsafat Manusia. Buku yang digunakan adalah Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis tentang Makhluk Paradoksal karya Louis Leahy. Buku ini juga membuatku makin tertarik ke dunia filsafat. Saat itu, kurikulum psikologi di kampusku ada 4 semester dan aku selalu dapat nilai A dari Pak Poerwadi.

Pak Poerwadi wafat pada tanggal 4 April 2003. Bagiku, beliau adalah dosen yang luar biasa dan sangat berpengaruh dalam kehidupanku.

Aku ingin menutup ceritaku kali ini dengan kutipan dari Gabriel Marcel. “Cinta adalah sebuah seruan hati: "Hendaklah engkau hidup bersama denganku."


23 Jul 2019

River of Heaven



Saat mengikuti acara Indonesia UFO Network #2 di Yogyakarta, 21 Juli 2019, saya mendapatkan sebuah pencerahan. Harus saya akui, walau suka, saya memang kurang mendalami topik ancient aliens atau ancient arkeologi, termasuk yang dari sudut pandang non mainstream. Pencerahan itu saya dapatkan dari mas Erianto Rachman dari Human Earth. Saat itu topik yang dibawakan adalah tentang hubungan antara makrokosmos dengan mikrokosmos pada peradaban Mesir kuno.

Dari penjelasannya yang sangat menarik itu, saya baru sadar bahwa selama ini, galaksi kita yang namanya milky way atau jalan susu (disebut juga Bima Sakti), adalah sebuah “sungai yang mengalir di surga”. Memang sudah sejak lama saya memahami bahwa surga ini adalah heaven, sky atau langit. Saya tidak pernah membayangkan surga seperti kepercayaan orang-orang bahwa di sana merupakan tempat yang penuh permata, intan dan batuan yaspis yang indah sebagaimana ditulis di kitab-kitab kuno, karena bagi saya itu adalah metafora. Tapi mendengar ceramahnya mas Erianto Rachman, ternyata itulah yang sebenarnya. Yaitu, bagaimana masyarakat di masa lalu, memandang langit yang begitu indah, penuh intan permata di langit. Tentu saja, intan permata, batu delima dan yaspis itu adalah bintang-bintang yang bertaburan di langit.

Di masa lalu, saat manusia masih banyak tinggal di luar, padang gurun dan mengembara, maka duduk dengan memandang langit adalah sebuah kegiatan yang biasa dilakukan. Pemandangan langit juga pasti lebih luar biasa dibandingkan dengan saat ini. Belum ada polusi cahaya, tak ada juga polusi asap pabrik, maka sudah pasti langit akan nampak bertaburan bintang-bintang yang sangat indah dan cemerlang.

Pemandangan langitpun juga tidak sama dengan saat ini karena bumi dan matahari mengalami pergerakan. Dengan demikian, arah atau garis “sungai di surga” juga beda dengan saat ini. Mas Erianto menjelaskan tentang posisi sungai Nil yang pas bertemu dengan sungai atau jalan susu (milky way). Penjelasan ini langsung mengingatkan saya pada sungai di taman Eden yang kemudian membuat empat cabang di bumi, yaitu sungai Eufrat, Tigris, Gison dan Pison. Saat ini, di bumi yang dikenal hanya ada dua sungai yaitu Eufrat dan Tigris. Hasil penyelidikan ahli arkeologis, konon mengatakan bahwa kedua sungai yang lain sudah tertimbun pasir atau menjadi sungai yang ada di dalam tanah.

Boleh jadi, rasi-rasi bintang yang indah di langit, juga membuat orang-orang di masa itu membayangkan sebagai bidadari-bidadari yang rupawan. Dengan bintang-bintang cemerlangnya nampak bagai bidadari surga yang bermata jeli. Apakah sebuah kebetulan, jika Zodiaque de Denderah (Zodiak Dendera) dengan 48 rasi bintang dari Claudius Ptolemaus, diidentifikasi di antara yang hadir 72 rasi bintang di Zodiak tersebut.

Terlepas dari semua itu, kosmologi di masa lalu memang menakjubkan. Kita selalu terpesona melihat langit dan memuat kita merasa begitu kecil tak berdaya. Carl Sagan juga mengatakan bahwa bumi ini sebagai sebuah titik biru muda di jagad raya.... dan kita, manusia, hanyalah bagian dari debu bintang. 

(nur agustinus)

2 Agu 2016

Kenyataan dan Kebenaran

Apakah kebenaran itu? Bagaimana kita menganggap sesuatu itu benar atau salah? Apa saja sikap dalam menerima kenyataan yang ada? Bagaimana jika kita salah atau keliru? Silahkan menyimak video yang saya buat ini.


19 Mei 2014

Memaknai hidup

Kita tidak bisa hanya bekerja atau bertindak berdasarkan passion saja, kita butuh tujuan hidup yang dapat memaknai keseharian kita. Banyak dari kita yang merasa sudah melakukan apa yang kita sukai tapi akhirnya masuk dalam pusaran rutinitas yang membuat kita kehilangan arah bahkan merasa tersesat dalam hidup.

Sebenarnya, hal yang lebih utama dalam hidup ini adalah kemana kita mau menuju. Pertanyaan yang selalu ada dalam diri manusia adalah siapakah aku, dari mana aku, mau kemana dan apa tujuanku. Memang, banyak yang kemudian meninggalkan pertanyaan ini karena tidak mudah untuk mencari jawabannya. Kita lantas melakukan apa saja yang kita senangi. Alih-alih menjalani hidup sesuai kemana air mengalir, tapi kita kemudian bingung saat aliran itu tidak benar-benar seperti yang kita inginkan.


Dalam hidup ini, ada banyak dilosofi hidup yang membantu memberikan pencerahan bagi manusia untuk memperoleh arti hidupnya. Salah satunya dalam filosofi Kejawen ada yang berbunyi “Sangkan Paraning Dumadi”. Apa sebenarnya Sangkan Paraning Dumadi? Tidak banyak orang yang mengetahuinya. Padahal, jika kita belajar tentang Sangkan Paraning Dumadi, maka kita akan mengetahui kemana tujuan kita setelah hidup kita berada di akhir hayat. Ini menandakan betapa pentingnya manusia untuk mengetahui kemana aah hidup kita.

Mengetahui tujuan hidup ini sebenarnya merupakan langkah awal untuk memaknai hidup kita. Kalau kita ditanya, apa gunanya kita hidup, jawabannya bisa beraneka ragam. Tapi kalau jawaban itu tidak murni dari hati kita, atau sekedar asal, ini biasanya yang membuat kita tidak bisa bahagia.

Viktor E. Frankl, psikiater yang mengembangkan Logoterapi mengemukakan bahwa kekuatan motivasi utama dari seorang individu adalah untuk menemukan makna hidup. Menurut Frankl, seseorang dapat menemukan makna dalam hidupnya dalam tiga cara yang berbeda, yang pertama adalah dengan menciptakan pekerjaan atau melakukan perbuatan. Hal ini tergantung juga dari nilai hidup yang dianut oleh seseorang. Yang kedua, orang dapat memaknai hidupnya dengan mengalami sesuatu atau menghadapi seseorang; dan yang ketiga berdasarkan oleh sikap yang kita ambil menuju dihindari penderitaan dari orang lain. Intinya sebenarnya adalah kalau kita merasa hidup ini berguna, entah bagi diri sendiri atau orang lain, maka hidup kita bermakna. Untuk bisa berguna, kita perlu menetapkan tujuan hidup yang jelas. 

Viktor Frankl dalam bukunya Man's Search for Meaning, mengemukakan: "Jangan mengejar sukses – semakin dikejar dan semakin dijadikan target, semakin kita akan kehilangan dia. Karena sukses, seperti halnya kebahagiaan, tidak dapat dikejar. Ia harus terlahir dengan sendirinya, dan hal itu hanya terjadi sebagai dampak sampingan yang tidak direncanakan dari dedikasi pribadi seseorang kepada suatu tujuan yang lebih besar daripada dirinya sendiri atau sebagai produk sampingan dari penyerahan diri seseorang kepada seseorang yang lain daripada dirinya sendiri."

Untuk bisa lebih memaknai hidup, kita juga perlu melihat apa yang telah terjadi di masa lalu.  Menghubungkan titik-titik dalam kehidupan kita. Connecting the dots, seperti yang pernah dikatakan oleh Steve Jobs. Namun kita jangan terpaku pada masa lalu. Kita harus punya tujuan hidup yang jelas. Apa yang menjadi mimpi untuk kita capai.

23 Jun 2013

Lima Jalan Membuktikan Eksistensi Tuhan dari St. Thomas Aquinas

Hari Kamis, 23 September 2010, saya mengikuti kuliah filsafat yang disampaikan oleh Romo Adrian Adiredjo, OP. Kuliah filsafatnya mengenai lima jalan membuktikan eksistensi Tuhan menurut St. Thomas Aquinas (Summa Theologiae, I, q. 2, a. 3). Ada 5 argumen, yaitu: (1) gerak (2) penyebab efisien (3) keberadaan niscaya (4) kesempurnaan, dan (5) keteraturan/order. Berikut adalah penjelasannya.

Yang pertama adalah tentang gerak (motion). Gerak itu berarti berubah, yaitu perubahan dari potensi ke actus. Hal ini berdasarkan teori Aristoteles tentang actus potensi. Apa itu potensi? Potensi adalah sesuatu dari benda yang belum menjadi realitas namun punya kemungkinan untuk menjadi sesuatu, misalnya: air berpotensi menjadi uap. Seorang dosen berpotensi menjadi seorang profesor. Sementara actus adalah sesuatu yang telah menjadi realitas. Potensi ini akan menjadi actus melalui agent of change. Tidak mungkin potensi ini berubah sendiri tanpa ada agen perubahan. Misalnya air tidak akan menjadi uap, walau dia berpotensi menjadi uap, tanpa adanya panas hingga 100 derajat celsius yang membuat air menjadi uap.

Contoh lain adalah, jika diumpamakan kita mengatur sebuah susunan domino balok yang berjajar, di mana ketika satu balok jatuh akan membuat balok di depannya jatuh. Maka jika satu dijatuhkan maka semua balok domino ini akan jatuh. Itu artinya, domino A bergerak jatuh menyebabkan domino B bergerak jatuh dan menimpa domino C, demikian seterusnya. Pertanyaan filsafatnya adalah, kita melihat bahwa alam semesta ini selalu berubah (ibarat domino jatuh), sehingga bagaimana atau apa yang mem buat jatuhnya domino pertama? Thomas Aquinas yang mengembangkan filsafat Aristoteles, menyebut hal itu sebagai the first mover. First mover ini menurut Thomas Aquinas adalah supreme being, sementara menurut aristoteles adalah energia. Dengan pemikiran ini, maka harus ada penggerak pertama, dan itu bukti eksistensi supreme being, di mana supreme being ini kalau menurut agama adalah Tuhan. Itu dalil yang pertama...

Dalil kedua adalah penyebab efisien (efficient cause). Sesuatu itu ada karena disebabkan oleh yang lain. Misalnya, api itu ada karena ada korek, atau karena ada lilin. Dalil kedua ini dalil yang sering dibicarakan orang, yaitu misalnya kita ada karena orang tua kita, orang tua kita ada karena orang tuanya lagi. Demikian seterusnya sehingga dengan dalil  yang kedua ini, jika ditarik bahwa eksistensi sesuatu disebabkan karena yang lain, maka secara logika tentunya ada yang pertama, di mana ada yang eksistensinya tidak ditentukan oleh yang lain.  Nah ini yang menurut thomas Aquinas adalah Tuhan (being yang eksistensinya tidak disebabkan oleh yang lain).

Yang ketiga adalah keberadaan niscaya (nessecary). Artinya niscaya adalah selalu ada, tidak pernah menjadi dan tidak pernah berakhir untuk ada. Penjelasannya adalah sebagai berikut. Kita ada saat ini, suatu saat akan menjadi tiada. Dulu belum ada laptop, sekarang ada laptop, dan suatu saat pasti laptop ini juga tidak ada lagi (digantikan yang lain). Dulu ada dinosaurus, sekarang tidak ada. Dulu belum ada manusia, sekarang ada manusia. Padahal, untuk mengadakan ini, perlu ada sesuatu yang harus selalu ada, dan tidak pernah diciptakan dan tidak pernah ada matinya (tidak akan musnah). Itu dalil ketiga, bahwa harus ada yang selalu ada, dan itu disebut sebagai supreme being, atau Tuhan jika menurut agama katolik, agamanya Thomas Aquinas.

Dalil keempat adalah kesempurnaan. Kita sering menganggap bahwa itu manusia sempurna. Tapi mengapa kita tahu bahwa kita sempurna? Ini berarti kita tahu ada yang tidak sempurna, ada yang kurang sempurna, ada yang cukup sempurna, ada yang lumayan sempurna, ada yang sangat sempurna dan ada yang mutlak sempurna. Contoh lain misalnya, anjing yang sempurna itu bagaimana? Anjing yang sempurna misalnya yang berkaki empat, matanya dua, punya mulut, hidung, ekor. Tapi kalaupun ada ajing yang misalnya kakinya hanya tiga, dia tetap anjing, kan? Namun dia akan disebut anjing yang kurang sempurna.

Nah, di sini kita punya konsep bagaimana yang dimaksud sempurna itu. St. Thomas Aquinas memang menggunakan dalil ini dengan pola pikir Plato. Ada idea yang sempurna. Semakin mendekati "kesempurnaan", kita mengetahui bahwa sesuatu itu makin sempurna. Thomas Aquinas juga menunjukkan bahwa dengan keberadaan reaitas yang ada, kita bisa mengatakan bahwa sebenarnya eksistensinya belum mutlak sempurna. Namun karena kita punya konsep kesempurnaan, tentunya ada yang mutlak sempurna.  Lalu... yang kesempurnaan itu sendiri apa? Siapa? Itu yang oleh Thomas Aquinas disebutkan sebagai supreme being, sesuatu yang eksistensinya harus mutlak sempurna.

Dalil yang kelima adalah dalil keteraturan (order by intelligence).  Perjalanan semua hal di alam semesta ini berjalan menuju akhir. Tapi dalam perjalanan menuju akhir ini, ada keteraturan... yang berarti, semua yang terjadi ini mempunyai tujuan. Bahkan cacing tanah pun eksistensinya punya tujuan. Hal lain misalnya, kalau kita mengalami penderitaan, itu juga ada tujuannya. Keteraturan ini, menurut Thomas Aquinas, tentunya diatur oleh sesuatu yang sangat cerdas. Bayangkan kalau dunia kita ini tidak teratur. Obat A yang harusnya menyembuhkan penyakit B, tapi karena tidak teraturnya alam semesta ini, maka obat A tidak mesti menyembuhkan penyakit B. Contoh keteraturan lain, jika saya menekan keyboard laptop huruf G, maka yang keluar di layar juga G.  Nah, alam semesta juga bekerja dengan keteraturan dan setiap kejadian punya tujuan. Semua diatur oleh yg cerdas. Jadi, yang cerdas ini siapa? Thomas Aquinas menunjukkan bahwa ini bukti eksistensi supreme being.

Supreme being itu apa atau siapa? Kalangan new age mungkin akan menyebut ini sebagai energi alam. Mungkin juga The Law. Tapi sebagai orang katolik atau beragama, kita menyebutnya itu sebagai Tuhan. Ini adalah masalah terminologi kata. Semua itu sebenarnya sama, namun orang sering terjebak dalam esensialisme yang berusaha mendefinisi tentang Tuhan yang kemudian membatasinya sehingga nampak berbeda.

Manusia memang makhluk yang mencari pengertian. Man's search for meaning. Ingin mengerti tentang alam semesta ini, ingin paham tentang dirinya, dari mana dia dan akan kemana. Jika orang tidak mempunyai dasar yang kuat dan menelan mentah-mentah, kita tidak bisa berpikir kritis dan open minded.  Romo Adrian Adiredjo juga menjelaskan, ketika seseorang kurang memahami dasar-dasar sebuah ajaran, sering jatuh pada fideisme. Apa itu fideisme? Fideisme adalah kepercayaan buta, namun karena dia hanya comot sana comot sini ajaran yang cocok dengan dirinya, atau yang mudah dipahami (yang pas dengan dirinya), maka meski dia tampak mengimani sungguh-sungguh keyakinannya, namun dasarnya sangat lemah. Orang mungkin menonton film The Secret, kemudian merasa cocok, maka diimani sebagai kebenaran. Melihat film “What the bleep”, kemudian cocok, maka diimani, bahkan mungkin nonton film The Matrix, jika merasa cocok akan diimani juga sebagai sebuah kebenaran. Tentu bukan suatu hal yang terlarang untuk mencerna informasi, namun ada baiknya kita tetap berpikir secara kritis. Bahkan menurut Romo Adrian, agama yang baik juga harus siap dikritik. (Nur Agustinus, Surabaya, 24 September 2010)

12 Mei 2013

Awal sebuah keraguan

 
 
Maka dari dalam badai Tuhan menjawab Ayub:
"Siapakah dia yang menggelapkan keputusan
dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan.
Bersiaplah engkau sebagai laki-laki!
Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku.
Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi?
Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian!"
(Ayub, 38:1-4)

 
Ketika manusia mempertanyakan dia datang dari mana, dia pun akan berusaha sebisanya mencari jawabnya. Bahwa jawaban itu kadang tidak memuaskan dirinya, justru membuat manusia terus menerus berpikir, sehingga makin banyaklah spekulasi tentang asal usul manusia. Lalu, dengan kemampuan pikirnya, manusia mencoba menjelajah ke masa lalu, masa yang paling mula. Seperti apakah masa itu? Bila kita lihat alam semesta yang terbentang luas ini, tentu wajarlah bila kita bertanya-tanya, sampai di manakah batas alam semesta ini? Pertanyaan ini sudah muncul sejak jaman purbakala. Ataukah mungkin yang perlu dipertanyakan terlebih dahulu, apakah alam semesta ini mempunyai batas atau tidak?

Suatu ketika, aku mencoba untuk membayangkan. Dengan perkembangan teknologi yang luar biasa nantinya, aku terbang melesat menuju kekelaman alam semesta untuk mencapai batasnya. Aku menggunakan pesawat luar angkasa yang sangat cepat, aku menjelajahi alam semesta. Berjuta-juta bintang aku lewati, waktu berlalu terus-menerus tanpa terasa. Sampaikah aku di batas alam semesta? Akan mungkinkah aku tiba di sana? Mungkin sampai sejauh ini, kita hanya bisa membayangkan bahwa batas itu mungkin tidak pernah ada. Suatu ruang tanpa batas yang luar biasa besarnya. Suatu ruang yang tak mungkin dapat dihitung volumenya karena tak diketahui ukurannya. Memang, bagaimana kita bisa mengetahui besar volumenya tanpa mengetahui tinggi, lebar dan panjangnya? Ke atas, ke bawah, ke kiri dan ke kanan, semuanya sama. Tanpa batas. Suatu ruangan yang tanpa batas yang sangat sulit untuk bisa kita bayangkan, sehingga tak terasa seakan-akan kita berada di tengah-tengah, mengambang dengan tenang, melalui hukum-hukum gaya tarik untuk menjaga keseimbangan secara luar biasa!

Kalaupun batas itu ada, tentu menjadi pertanyaan pula, di luar batas itu, ada apakah di sana? Semakin rumit pertanyaan yang muncul. Pikiran manusia belum bisa mencapai ke sana. Lalu, apabila alam semesta yang tak terbatas itu terisi oleh bintang-bintang, ada berapakah jumlahnya? Tentu tak terhingga pula. Dan bagaimana mulanya, hingga semua ini bisa ada?

Bila kita memandang ke langit di malam hari, bintang-bintang bertebaran dengan indahnya. Semuanya menghiasi alam raya dengan keteraturan yang luar biasa. Dan pernah suatu ketika aku bertanya-tanya dalam hati, apakah alam raya yang indah ini dari dulu sudah ada? Ataukah pernah suatu saat alam raya ini diciptakan oleh Tuhan seperti yang aku baca di Kitab Injil semasa aku kecil, dan bagaimanakah keadaan semuanya ini sebelum diciptakan?

Di suatu malam, aku naik ke atap rumah dan duduk di atas sana sambil menengadah ke langit. Kuamati bintang-bintang itu satu persatu. Kucoba untuk mengukur jaraknya, dan berapa jauh bentangan alam semesta ini. Kurenungkan juga, seperti apa dan kapan semuanya itu terbentuk. Tapi saat itu aku tak berhasil menemukan jawabannya. Aku kemudian penasaran. Segala buku yang menceritakan tentang awal penciptaan alam semesta aku baca. Dan anehnya, tidak semuanya sama. Aku makin kebingungan, mana yang benar, kalau kebenaran itu tunggal.

Suatu permulaan, bila kita mencoba menganalisanya melalui ilmu pengetahuan, tentu berusaha mencari jawabannya dengan melihat kelahiran bintang-bintang yang dapat kita amati sekarang dengan teleskop. Banyak teori yang menerangkan kelahiran bintang-bintang sekaligus kematiannya. Tetapi masa kelahiran bintang-bintang itu tidaklah sama. Ada bintang yang baru lahir, ada pula bintang yang sudah lama sekali lahir dan ada juga bintang yang sudah lama sekali mati. Kapankah awal mula itu di mulai? Dan bagaimanakah keadaannya saat itu? Adakah yang di sebut awal mula itu? Kalaupun ada, tentunya yang paling cocok di sebut sebagai awal mula adalah keadaan yang sama sekali tidak ada. Keadaan tidak ada ini mungkin untuk sementara kita bisa menyamakannya dengan keadaan kosong. Baru kemudian, dengan suatu keajaiban luar biasa, keadaan kosong ini mulai terisi dengan bintang-bintang, berkembang menjadi banyak dan memenuhi alam raya yang maha luas ini.

Nah, apabila kita sepakat bahwa ada masa kosong itu, lalu kapan masa kosong itu? Tentu saja kita tidak bisa menentukan kapan waktu itu berlangsung. Kita memang belum bisa membuka tabir misteri abadi ini dengan teori atau teknologi macam apapun, sampai kapan pun. Seperti juga kita tidak bisa mengetahui secara pasti, kapan berakhirnya alam semesta. Dan apakah alam semesta ini akan berakhir, kita juga belum tahu pasti.

Setiap pertanyaan tentang awal dan akhir, apalagi bila hal itu menyangkut manusia dan lingkungannya, selalu menarik. Pertanyaan mengenai hal ini selalu memancing pendapat berbagai kalangan. Dulu, memang agaknya hanya dari golongan rohaniawan saja yang berhak menjawabnya. Tapi dengan kemajuan di bidang teleskop radio, fisika nuklir dan fisika zarah elementer, para ilmuwan kini berusaha mencari jalan bahkan berlomba-lomba untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu.

Ketika Dalton, pada awal abad 19, mengemukakan teori atom untuk pertama kalinya, ia mengira telah berhasil menemukan bahan asal semua materi dalam alam semesta, yakni yang dinamainya atom. Namun kenyataannya, atom masih mempunyai bahan penyusun, yaitu inti atom dan awan elektron. Ernest Rutherford dan Niels Bohr, ilmuwan yang menemukan bahwa atom masih dapat terbagi lagi, memecahkan misteri itu seratus tahun semenjak penemuan Dalton!

Hal ini merupakan salah satu contoh perjuangan keras manusia dalam mencari apa yang paling dasar dan apa yang paling mula. Suatu pertanyaan yang tak akan pernah berhenti dilontarkan sepanjang sejarah manusia ada. Dan apa yang dikatakan sekarang sebagai asal mula, mungkin saja, sepuluh tahun atau berpuluh-puluh tahun mendatang akan ditemukan yang lebih awal lagi. (Nur Agustinus)

Popular Posts