23 Apr 2009

Membuka biro psikologi

Saya dulu ikut ISPSI (Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia) yang sekarang menjadi HIMPSI. Saya jadi anggota dan saya ikut beberapa pertemuannya. Saya sebenarnya bukan tipe pembelot bahkan punya konformitas yang cukup baik. Nah, pada suatu pertemuan, saya bertanya: "Apakah seorang psikolog diperkenankan promosi?" dijawab oleh salah seorang pengurus, "Boleh" Lalu pertanyaan kedua, "apakah seorang psikolog boleh mendesain alat tes sendiri." Dijawab, "Itu bahkan bagus dan sangat dianjurkan."

Nah, saya di tahun 1990, setelah saya lulus, saya buka biro psikologi dengan nama Bina Grahita Mandiri. Biro psikologi saya memang tergolong agak berbeda untuk masa itu, karena saya dibekali dengan ilmu manajemen yang saya peroleh di program MBA yakni khususnya ilmu marketing. Sekalian mau bagi pengalaman, ilmu marketing itu ada yang namanya 4P, yaitu Price (harga), Place (tempat), Promotion (promosi) dan Product (produk). Saya mengutak-atik keempat hal itu karena itu merupakan kunci dari keberhasilan pemasaran (menurut Kotler).

Maka, harga saya buat bersaing, lebih murah. Ini wajar, sebagai pendatang baru, apalagi di kota surabaya yang masyarakatnya suka menuntut sesuatu itu murah tapi bagus, jadi harga harus diperhatikan. Kedua, saya punya tempat yang cukup strategis. Kelebihan saya waktu itu adalah, klien bisa mengirimkan peserta untuk tes kapan saja dan tidak perlu harus janjian. Kebanyakan psikolog lain punya pekerjaan lain, entah jadi dosen atau apa, sehingga mereka baru bisa melayani psikotes di sore hari atau harus janjian dulu. Selanjutnya, hasil tesnya selesai dalam 1 atau 2 hari. Cukup cepat dan saya tahu bahwa kebutuhan klien adalah hasil yang cepat karena itu dibutuhkan mereka untuk membuat keputusan. Ini yang saya dicela oleh pengurus ISPSI waktu saya dipanggil untuk disidang. Katanya nggak mungkin bisa selesai secepat itu. Saya bilang, saya diajarkan waktu kuliah, tes hari ini bikin laporannya juga hari ini. Kalau nunggu satu minggu baru selesai, saya mungkin sudah lupa dengan orang yang bersangkutan. Yang lebih hebat lagi, hasil tesnya itu saya kirimkan ke kantor klien saya. Saya merasa bahwa perusahaan saya adalah perusahaan jasa, oleh karena itu, service adalah hal yang penting.

Soal promosi, kebetulan saya dekat dengan media Jawa Pos, Liberty dan saya pernah bekerja di Suara Indonesia (group jawa pos). Saya nulis di sana, barter iklan. Saya mengisi kolom psikologi dan manajemen. Kliping tulisan saya masih ada semua. Memang saya tidak jadi ngetop seperti Hermawan Kertajaya, karena saya kemudian mau lebih low profile sebab waktu itu banyak psikolog senior yang kurang suka dengan kiprah saya.

Soal produk, bentuk laporan saya berbeda dengan kebanyakan laporan psikotes waktu itu yang cuma selembar atau dua lembar kertas. Bentuk laporan saya berupa buku. Idenya saya peroleh ketika ayah saya, almarhum Basuki Soejatmiko, konsultasi ke dokter jantung dan mendapat report hasil EKG-nya yang saya lihat kok bagus dan ingin saya terapkan di laporan psikologi saya. Hasilnya, dengan harga lebih murah, pelayanan lebih bagus, produk lebih bagus dan saya punya metode khusus untuk mengetahui potensi seseorang, maka setiap setahun, kira-kira pertambahan perusahaan klien saya sekitar 100 perusahaan. Jadi, setelah 17 tahun berdiri, klien saya leih dari 1500 perusahaan dan setiap hari ada saja perusahaan yang mengirim orang untuk psikotes.

Mengenai ijin praktek. Jujur saja, saya sudah mau pensiun dan lebih senang bermain-main internet serta mengurusi hobby nyeleneh saya, yakni UFO. Jadi, kalau memang UU yang ngurusi psikologi itu gol, saya pikir akan seperti apotek yang punya apoteker. Saya akan merekrut lulusan yang punya ijin praktek.

Sementara ini, selama UU belum ada, saya tidak bisa dianggap melanggar. Di Indonesia tidak ada kewajiban organisasi tunggal Dengan kata lain, bisa saja ada HIMPSI tandingan atau organisasi profesi psikologi lain. Dan itu tidak dilarang menurut undang-undang ke-ormas-an. Memang HIMPSI berusaha menggolkan undang undang itu. Dan kalau memang itu ada, ya saya akan patuh. Tapi saya yakin, sudah bertahun-tahun HIMPSI berusaha kearah sana. Bahkan mungkin bisa dianggap sudah belasan tahun. Namun masih saja tidak ada kepastian. Yang ada justru lulusan diombang-ambingkan. Kalau dulu perlu mengikuti program pendalaman psikodiagnostik, kemudian diubah mengikuti S1 plus, sekarang diubah menjadi S2 profesi.

Jadi, buat saya, saya mau pensiun saja. Tapi kalau memang perlu, saya tinggal mengubah biro saya menjadi sebuah lembaga konsultasi manajemen sumber daya manusia (bukan lembaga psikologi). Dan istilah yang saya pakai bukan lagi psikotes, tapi personal assessment. Direkturnya saya pasang saja istri saja yang magister manajemen. Yang tanda tangan buat laporan bisa saja dia, kan tidak menyalahi aturan. Bahwa klien-klien biro saya masih terus saja mengirimkan calon pegawai atau pegawainya ke tempat saya, baik untuk tes maupun konsultasi, tentu itu menunjukkan adanya level kepercayaan yang cukup baik.
(nur agustinus - 13 Maret 2007)

Popular Posts