25 Agu 2013

Ngobrol ruang dan waktu, di ruang dan waktu yang terbatas

Di ruang waktu terbatas bersama mas Imam dan Pak Eric Pramono
Jum'at, 23 Agustus 2013, di atas awan-awan, di dalam pesawat Citilink perjalanan menuju Jakarta, mengisi waktu, saya dengan pak Eric Pramono dan mas Imam, ngobrolin soal ruang dan waktu. Ini bukan bahasan filosofis, meski obrolan ini mengingatkan saya pada pelajaran filsafat kosmologi yang pernah saya ikuti beberapa waktu lalu di Unika Widya Mandala saat sit in di kelas filsafat.

Ah, saya jadi ingin membahas dulu soal ruang dan waktu secara filsafat. Kita pasti tahu, di dunia kita ini, yang tidak pernah tetap adalah perubahan itu sendiri. Apa yang ada selalu mengalami perubahan. Nah, setiap perubahan yang terjadi (dan karena hal itu selalu terjadi), akan melibatkan ruang dan waktu. Mengapa? Apa maksudnya?

Ketika kita berubah sebenarnya kita melakukan pergerakan. Bergerak dari satu titik ke titik yang lain. Diri kita sendiri mempunyai dimensi. Misalnya, ada jarak antara jarak tangan saya yang kiri dan yang kanan. Bahkan jari kelingking dengan jempol saya juga ada jarak. Ada ruang yang bisa diukur. Lalu manusia membuat perbedaan ruang itu dengan alat ukur. Mulai dari ukuran milimeter, ada yang menggunakan satuan ukuran hasta, kaki, yard dan lain sebagainya. Ini baru soal ruang. Ketika manusia bergerak dari satu titik ke titik yang lain, misalnya saya berpindah dan Surabaya ke Jakarta, maka ada ruang yang harus saya tempuh. Inilah esensi dari ruang.

Lalu, bagaimana dengan waktu? Sebelum manusia menggunakan satuan waktu, manusia menandai waktu dengan pembanding. Misalnya, si Badu lahir pada waktu gunung Merapi meletus. Dia meninggal dunia saat huru hara terjadi di kota itu. Konsep waktu biasanya ada pembanding. Akan tetap, konsep waktu ini sangat melekat pada ruang. Bagaimana penjelasannya?

Ketika saya berpindah antara satu titik ke titik yang lain, saya membutuhkan waktu. Bumi bergerak mengitari matahari, berarti perjalanan itu dari satu titik ke titik yang lain, kita merasakan tidak seketika. Namun ada waktu yang harus dialami. Waktu ini kemudian disebut sebagai satu tahun. Kita menandainya dengan posisi matahari kembali ke titik semula. Demikian pula pergerakan bumi berputar, kita tandai sebagai satu hari. Lalu kita bagi menjadi 24 jam.

Kembali ke soal obrolan, sebelum makin melantur memikirkan soal ruang dan waktu secara filosofis. Apa yang dibahas sebenarnya hal yang simple namun sering kita abaikan. Ruang dan waktu mempunyai kesamaan. Pertama keduanya adalah hal yang tidak terbatas sekaligus terbatas. Hakikatnya adalah tidak terbatas, namun karena ruang dan waktu itu kemudian menjadi milik kita, itu yang membuat menjadi terbatas.

Misalnya, kita hanya punya waktu 24 jam tiap harinya. Kita tidak bisa membuat waktu kita sehari ada 30 jam, misalnya. Demikian juga ruang, kita juga batas, misalnya ruang kantor yang kita miliki, ruang kamar punya kita.

Apa yang kita bahas adalah soal manajemen ruang dan waktu. Kalau soal ruang, sering kali kita ini membeli barang, tapi lupa soal ruang penyimpanannya. Mungkin kita sudah sempat kita pikirkan, tapi sering diabaikan. Coba lihat, barangkali pakaian yang Anda miliki sudah tidak cukup lagi untuk masuk ke lemari pakaian Anda. Atau mainan anak-anak kita menjadi berserakan karena tidak tahu harus disimpan di mana. Bagi penggemar buku seperti saya, buku-buku yang dibeli makin bertumpuk-tumpuk dan tak muat lagi untuk ditata di lemari buku yang ada. Jadi, ruang ini terbatas. Karena keterbatasan ruang ini, membuat kita harus pandai-pandai melakukan manajemen ruang.

Bagaimana supaya ruang yang kita miliki masih tersisa ruang? Caranya memang sederhana, yakni harus mengeleminasi (menghilangkan) barang yang sudah tidak berguna. Bagi mereka yang terbiasa dengan Kaizen atau 5 S (silahkan lihat penjelasan tentang 5S ini di http://id.wikipedia.org/wiki/5s), maka barang-barang yang sudah tidak terpakai, harus rela disingkirkan. Ini tujuannya agar kita bisa menempatkan barang yang kita gunakan atau yang baru dibeli.

Soal ruang yang terbatas ini, mirip dengan konsep rumah susun atau apartemen, di mana kalau lahan terbatas, maka sebaiknya dibangun ke atas, Pak Eric Pramono menginvestasikan untuk membeli lemari plastik susun untuk menyimpan mainan-mainan anaknya. Nah, dia kemudian membuat aturan, di mana ada 2 harus ada rak ruang kosong dari lemari itu. Dia mengajarkan pada anaknya, kalau seandainya penuh semua, tidak akan ada mainan baru. Supaya bisa kosong, anaknya harus menyingkirkan mainan itu dari lemari, entah memberikan kepada saudaranya atau temannya. Kalau berjiwa bisnis, barangkali bisa dijual. Nah, kalau sudah ada ruang kosong, baru bisa akan ada mainan baru. Aturan yang bagus saya pikir.

Nah, hal yang sama soal waktu. Waktu yang kita miliki ini terbatas. Kalau kita dibebani tugas yang menyita waktu, maka mirip dengan lemari pakaian kita, akan semakin sesak. Lama-lama, akan ada tugas-tugas yang tidak terselesaikan karena memang sebenarnya sudah tidak muat lagi dalam slot waktu kita. Inilah esensi dari manajemen waktu.

Kita harus bisa memilah, mana yang harus dieleminasi. Tugas apa yang harus didelegasikan, tugas apa yang harus ditolak. Kalau kita tidak bisa menolak dan mudah memberi janji, maka ini akan bahaya. Selain kita makin terbebani, kita juga akan makin stress.

Obrolan singkat yang dibatasi lamanya perjalanan di angkasa dan di dalam pesawat Citilink yang ruangnya terbatas karena sempitnya kursi, menambah wawasan soal ruang dan waktu.

Semoga bermanfaat dan mari kita kelola ruang dan waktu kita.

Popular Posts