11 Agu 2013

Sosial entrepreneur bukan sekedar philantropis

Minggu kedua mengajar kelas E5 Social Entrepreneurship, 31 Juli 2013, diawali dengan listrik padam gara-gara terjadi hubungan arus pendek di kelas. Hari itu memang rencananya tanpa bantuan slide presentasi. Jadi sebenarnya tak masalah listrik padam. Tapi kelas jadi gelap, tirai ternyata tidak bsia dibuka semua. Namun, the show must go on.

Sementara teknisi berusaha memperbaiki perlistrikan, saya membagikan fotokopian kliping contoh-contoh aktivitas sosial, mulai dari charity hingga bisnis sosial. Sebenarnya saya kurang suka dengan ruangan kelas ini. Ruangan ini kursinya pakai meja lipat, kurang leluasa untuk melakukan tugas-tugas yang sifatnya project.

Beberapa hari sebelumnya, saya mengumpulkan beberapa artikel features dari koran Jawa Pos dan Kompas, yang menampilkan beberapa kegiatan sosial dan juga kegiatan lain yang berkaitan dengan hobby. Tujuan saya adalah ingin menampilkan berbagai tipe aktivitas social entrepreneurship. Aktivitas bisnis sosial ini bisa dilihat dari sejauh mana dampak manfaat sosial yang diberikan serta sejauh mana profit yang bisa dicapai. Kalau tak ada manfaat sosial serta tidak ada profit, maka kegiatan itu lebih bersifat hobby. Misalnya salah satu contohnya adalah komunitas jalan kaki yang sambil melihat-lihat bangunan bersejarah di kota Surabaya. Jadi, kegiatan ini lebih pada budaya, tapi tidak memberi dampak sosial yang besar pada komunitas tertentu serta tak ada profit. Jelas bukan kegiatan seperti ini yang diinginkan untuk dilakukan pada kelas social entrepreneurship.

Lalu ada juga cerita dari seorang perempuan yang usianya sudah paruh baya, yang suka melukis dan hasil penjualan lukisannya diberikan kepada orang yang ingin berumroh atau naik haji. Kegiatan ini dari sisi religi adalah mulia. Saya yakin kalau dalam tipologi Spranger, ibu ini tipe religius sekaligus artistik. Tapi ada salah satu mahasiswa saya yang berkomentar dalam blognya, dia amat heran mengapa uang hasil penjualannya bukan untuk membantu orang miskin yang lebih memerlukan? Tapi terlepas dari hal ini, model seperti ini adalah charity. Ini juga bukan hal yang diajarkan di kelas saya untuk dikerjakan. Perlu dibedakan antara orang yang dermawan atau philantropis dengan seorang social entrepreneur.

Contoh lain, ada sekelompok mahasiswa membuat sabun dari kulit durian. Ide mahasiswa ini bagus, mengubah sampah (kulit durian) menjadi sesuatu yang berguna. Inovatif, muncul dari ide bahwa kulit durian bisa menghilangkan bau. Manfaat sosialnya baik untuk lingkungan, tapi yang menjadi pertanyaan, kalau bisnis ini dilakukan, apa bedanya dengan bisnis yang lain?

Satu hal yang menarik adalah kegiatan sekolah gratis yang dilakukan oleh sekelompok orang di daerah yang banyak terjadi Di daerah itu, orang tua sudah menganggap biasa "menjual" anaknya. Beberapa pemuda di sana terpanggil untuk mengatasi masalah sosial tersebut. Mereka membuat sekolah gratis, semacam SMP terbuka. Mereka adalah social entrepreneur. Apa yang dilakukan oleh mereka jelas tidak mudah. Melawan mafia para pelaku perdagangan manusia. Tapi, bagaimana agar usaha mereka bisa berkelanjutan? Sejauh mana kegiatan mereka bisa terus berlangsung?

Ada juga kegiatan radio yang menyiarkan acara macapat. Mereka bertujuan untuk melestarikan budaya. Sebuah kegiatan yang baik untuk melestarikan budaya bangsa. Demikian juga beberapa contoh lain. Dengan adanya contoh-contoh ini, saya mengharapan mahasiswa bisa memahami apa yang baik untuk dilakukan sebagai seorang social entrepreneur.


Kuliah ini memang sebelum liburan Hari Raya Idul Fitri. Saya meminjamkan beberapa buku cerpan kepada mahasiswa serta mengharuskan mereka membaca cerpen.Tujuan membaca cerpen lebih pada menambah kosa kata dan melatih gaya bahasa (diksi) mahasiswa. Bagi yang tidak kebagian buku, saya menyarakan agar mencari cerpen yang penulisnya sudah terkenal, misalnya yang pernah dimuat di harian Kompas. Ada beberapa blog yang isinya tentang cerpen Kompas.  Sebagai salah satu tugasnya, saya minta mereka membuat cerpen yang bercerita tentang rencana program sosial yang akan dilakukan.
  
Sebelumnya di kelas juga dibahas tentang bentuk badan hukum dari bisnis sosial, di antaranya adalah yayasan dan perkumpulan. Mahasiswa melakukan presentasi juga mengenai rencana program sosial yang akan dikerjakan. Beberapa masih perlu pembenahan dan masih belum jelas. Semoga di minggu-minggu mendatang mereka bisa segera merealisasikan rencananya.

* Catatan: E5 adalah kelas Entrepreneurship semester 5 di Universitas Ciputra

Popular Posts