
Saya membaca 
sebuah buku yang berjudul 
“ACTION! For One Family One Entrepreneur” yang ditulis 
oleh A. Khoerussalim Ikhs., di salah satu uraiannya mengenai pendidikan 
kewirausahaan, dikemukakan: “Mengajar kewirausahaan tidak sama dengan 
mengajarkan ilmu-ilmu lainnya. Mengajarkan kewirausahaan harus mampu 
melakukannya. Kesalahan terbesar pengajar kewirausahaan di sekolah adalah 
gurunya bukan pelaku usaha.” (hal 41). Apa yang dikemukakan ini tidak salah 
memang. Argumentasinya, kalau sebagai pengajar entrepreneurship kita sendiri tidak bisa 
meyakinkan bahwa kita bisa berbisnis, bagaimana kita akan bisa memotivasi atau 
menginspirasi orang lain menjadi pengusaha?
Khoerussalim menegaskan bahwa 
itulah kesalahan terbesar selama ini para pengajar kewirausahaan di banyak SMK 
dan perguruan tinggi. Mereka mengajarkan bisnis tanpa dirinya pernah menjadi 
pelaku bisnis.  Ibaratnya, seorang pengajar renang memberi pelajaran tentang 
bagaimana cara berenang, namun dirinya sendiri takut air dan tidak pernah 
berenang. Jelas mereka tidak bisa menjadi seorang penyelamat yang baik jika 
muridnya tenggelam.  Yang terburuk, bisa saja muridnya menjadi takut berenang 
karena gurunya sendiri tidak berani mencebur ke kolam. Jika kita sendiri tidak 
pernah berani terjun sebagai pengusaha, dapatkah kita mengharapkan murid kita 
menjadi entrepreneur?
Beberapa waktu lalu, Universitas Ciputra kedatangan 
seorang profesor dari  University of Missouri-Kansas City yang bernama Prof. 
John Norton. Beliau adalah Institute Managing Director dari  Department of 
Global Entrepreneurship and Innovation UMKC.  Dalam satu kesempatan berdiskusi 
bersama dengannya, John Norton mengatakan bahwa seorang pengajar 
entrepreneurship seharusnya adalah seorang yang kalau dalam bahasa Jepang 
disebut sebagai 
SENSEI. Apa itu sensei?
Sensei (先生) adalah berarti 
"person born before another",  sebuah istilah yang digunakan oleh orang-orang 
Jepang sebagai panggilan untuk orang yang dihormati karena posisinya.  Sen pada 
kata Sensei berasal dari kata sakidatsu (先立って?, lebih dulu di depan), sedangkan 
sei berarti murid. John Norton mengartikan bahwa seorang sensei adalah orang 
yang sudah pernah menjalani lebih dahulu. Jadi, jika dia seorang sensei di 
bidang entrepreneurship, seharusnya dia sudah pernah menjadi seorang 
entrepreneur.
Namun, bukankah seorang guru kimia tidak harus 
berpengalaman di industri kimia? Apakah tidak cukup seorang guru melalui proses 
pendidikan keguruan yang telah membekalinya dengan teori dan praktek serta cara 
mengajar yang baik? Ya, dalam hal ini memang benar.  Tapi sebagai pengajar 
entrepreneurship memang bisa berbeda situasi dan kondisinya. 
Kalau dalam 
pengamatan saya, mengajar apapun itu, kita perlu menguasai tiga hal, yakni 
pengetahuan (knowledge), semangat (spirit) dan nilai (value) yang terkandung di 
dalamnya. Kegagalan pengajar entrepreneurship, sebagaimana juga dikemukakan oleh 
Khoerussalim dalam bukunya ini, adalah hanya mampu melakukan transfer 
knowledge.  Padahal pengetahuan saja tidak cukup. 
Mengajar 
entrepreneurship paling cocok barangkali dianalogikan dengan pendidikan 
ketentaraan. Seorang instruktur militer, memang seharusnya dia adalah juga 
seorang tentara. Seorang yang mengajarkan bagaimana menembak, tentu dia sendiri 
harus bisa menembak. Seorang yang melatih pasukan katak, juga harus sering 
menyelam. Nah, pertanyaannya kini adalah apakah seorang instruktur militer harus 
pernah terjun ke medan perang?

Mengajar entrepreneurship ada berbagai 
tingkatan. Ada yang level basic seperti halnya basic training di kemiliteran. 
Pelatih untuk baris berbaris, lari, latihan fisik dan lainnya, tidak harus 
seorang yang pernah berperang, namun mereka yang memang ahli di bidangnya. 
Misalnya saat pelajaran bela diri, harus dilatih oleh mereka yang jago bela 
diri. Bahkan mereka yang melatih ini, pangkatnya juga tidak terlalu tinggi.
Entrepreneurship juga sama. Banyak kecakapan yang harus dilatih, 
misalnya bagaimana menjual, berkomunikasi, mendesain produk, membuat rencana 
bisnis dan lain sebagainya. Menurut saya, pengajar di bidang ini tidak harus 
seorang yang pernah terjun langsung sebagai pengusaha, namun harus yang 
benar-benar paham dan mampu mengajar dengan baik. Hanya saja, pendidikan 
entrepreneurship tidak berhenti sampai di sini. Transfer knowledge saja tidak 
cukup. Bagaimana kita bisa menularkan spirit, semangat serta value, ini 
dibutuhkan seorang mentor yang bisa memotivasi dan menginspirasi. Mereka ini 
yang bisa menjadi seorang entrepreneur enabler, menemukan dan mengembangkan 
potensi entrepreneurial orang lain.
Kembali ke perbandingan dengan 
pendidikan militer, seorang prajurit yang pernah terjun ke medan perang dengan 
yang tidak pernah, jelas berbeda.  Hampir mirip di dunia pendidikan dan 
praktisi, ada yang academic smart dan ada juga yang disebut dengan street 
smart.  Pendidikan entrepreneurship jelas tidak bisa hanya duduk di bangku 
sekolah atau kampus. Tidak juga cukup membaca dan menghafal teori-teori atau 
rumus. Pendidikan entrepreneurship harus melalui pengalaman dan latihan yang 
dibuat semirip mungin dengan kondisi di lapangan. Metode pembelajaran yang 
digunakan harus berupa project-based learning. Ibarat seorang calon pilot, 
setelah mencoba berlatih di dalam sebuah simulator, harus juga berlatih 
menerbangkan pesawat sungguhan.  Namun berlatih menjadi pilot tidak boleh gagal. 
Pesawat jatuh, bisa jadi nyawa juga melayang. Berlatih entrepreneurship, jatuh 
beberapa kali masih dan harus bisa bangkit lagi.
Problem para praktisi atau mereka 
yang sudah berpengalaman sebagai entrepreneur adalah tidak semuanya bisa 
mengajarkan apa yang diketahuinya. Banyak entrepreneur sukses juga tidak bisa 
mengajarkan ilmu entrepreneurshipnya kepada anak-anaknya sendiri. Pengetahuan 
yang mereka miliki, yang ditempa oleh pengalaman bertahun-tahun, telah menjadi 
sebuah “tacit knowledge”.  Tacit knowledge adalah pengetahuan yang ada dalam 
otak/pikiran kita.
Tacit knowledge merupakan pengetahuan yang pada 
umumnya belum terdokumentasi karena pengetahuan ini masih ada pada keahlian atau 
pengalaman seseorang. Pada umumnya, tacit knowledge berhubungan dengan hal yang 
bersifat praktek dan untuk menularkannya dilakukan dengan cara sosialisasi 
langsung. Tacit knowledge dapat didokumentasikan, tetapi membutuhkan penjelasan 
rinci agar tidak terjadi kesalahpahaman kepada orang yang membaca dokumentasi 
dari pengetahuan tersebut. Nah, pengetahuan yang sudah didokumentasikan akan 
menjadi explicit knowledge.

 
Explicit knowledge adalah pengetahuan yang 
formal dan mudah untuk dibagikan ke orang lain. Umumnya merupakan pengetahuan 
yang bersifat teori yang memudahkan para ahli untuk membagi pengetahuannya 
kepada orang lain melalui buku, artikel dan jurnal tanpa harus datang langsung 
untuk mengajari orang tersebut. Misalnya pelajaran manajemen, di mana mahasiswa 
dapat belajar dari modul-modul yang disediakan oleh dosen. Pertanyaannya, 
bagaimana mengubah pendidikan entrepreneurship menjadi sebuah explicit 
knowledge?

Menurut saya hal ini bukan mustahil untuk dilakukan. Banyak 
sekali kini buku yang ditulis untuk mendokumentasikan tacit knowledge para 
entrepreneur atau orang yang sukses. Misalnya buku Jack Welch, Warren Buffet, 
Steve Jobs, Bill Gates, hingga tokoh dari Indonesia seperti Dahlan Iskan, 
Jokowi, Chairul Tanjung, Ciputra, Sandiaga Uno, dan masih banyak lainnya. 
Saya jadi teringat buku 
“The Richest Man in Town: The Twelve 
Commandments of Wealth” yang ditulis oleh W. Randall Jones, di mana salah satu 
tipsnya adalah “Learn from the best and the worst”. Kita bisa belajar dari yang 
terbaik sekaligus yang terburuk (untuk tidak melakukan kesalahan yang sama).  
Membaca biografi orang sukses adalah sangat baik, karena ini sekaligus menggali 
tacit knowledge dari para entrepreneur. 
Maka belajar entrepreneurship 
memang tak ada salahnya dari mereka yang sudah terbukti terjun sebagai entrepreneur. Namun 
entrepreneurship itu bukan sekedar terjun berbisnis. Untuk terjun ke medan 
pertempuran yang sesungguhnya, banyak sekali kecakapan yang harus dimiliki. Untuk 
itu, belajarlah kepada siapa saja. Jangan karena melihat sang guru belum pernah 
terjun sebagai pengusaha, maka berkurang rasa hormat kita. Belajarlah marketing 
kepada sensei marketing, belajarlah keuangan pada sensei keuangan. Belajarlah 
berbisnis kepada sensei bisnis.
Salam entrepreneur!