8 Jul 2013

Haruskah seorang guru entrepreneurship adalah entrepreneur?





Saya membaca sebuah buku yang berjudul “ACTION! For One Family One Entrepreneur” yang ditulis oleh A. Khoerussalim Ikhs., di salah satu uraiannya mengenai pendidikan kewirausahaan, dikemukakan: “Mengajar kewirausahaan tidak sama dengan mengajarkan ilmu-ilmu lainnya. Mengajarkan kewirausahaan harus mampu melakukannya. Kesalahan terbesar pengajar kewirausahaan di sekolah adalah gurunya bukan pelaku usaha.” (hal 41). Apa yang dikemukakan ini tidak salah memang. Argumentasinya, kalau sebagai pengajar entrepreneurship kita sendiri tidak bisa meyakinkan bahwa kita bisa berbisnis, bagaimana kita akan bisa memotivasi atau menginspirasi orang lain menjadi pengusaha?

Khoerussalim menegaskan bahwa itulah kesalahan terbesar selama ini para pengajar kewirausahaan di banyak SMK dan perguruan tinggi. Mereka mengajarkan bisnis tanpa dirinya pernah menjadi pelaku bisnis.  Ibaratnya, seorang pengajar renang memberi pelajaran tentang bagaimana cara berenang, namun dirinya sendiri takut air dan tidak pernah berenang. Jelas mereka tidak bisa menjadi seorang penyelamat yang baik jika muridnya tenggelam.  Yang terburuk, bisa saja muridnya menjadi takut berenang karena gurunya sendiri tidak berani mencebur ke kolam. Jika kita sendiri tidak pernah berani terjun sebagai pengusaha, dapatkah kita mengharapkan murid kita menjadi entrepreneur?

Beberapa waktu lalu, Universitas Ciputra kedatangan seorang profesor dari  University of Missouri-Kansas City yang bernama Prof. John Norton. Beliau adalah Institute Managing Director dari  Department of Global Entrepreneurship and Innovation UMKC.  Dalam satu kesempatan berdiskusi bersama dengannya, John Norton mengatakan bahwa seorang pengajar entrepreneurship seharusnya adalah seorang yang kalau dalam bahasa Jepang disebut sebagai SENSEI. Apa itu sensei?

Sensei (先生) adalah berarti "person born before another",  sebuah istilah yang digunakan oleh orang-orang Jepang sebagai panggilan untuk orang yang dihormati karena posisinya.  Sen pada kata Sensei berasal dari kata sakidatsu (先立って?, lebih dulu di depan), sedangkan sei berarti murid. John Norton mengartikan bahwa seorang sensei adalah orang yang sudah pernah menjalani lebih dahulu. Jadi, jika dia seorang sensei di bidang entrepreneurship, seharusnya dia sudah pernah menjadi seorang entrepreneur.

Namun, bukankah seorang guru kimia tidak harus berpengalaman di industri kimia? Apakah tidak cukup seorang guru melalui proses pendidikan keguruan yang telah membekalinya dengan teori dan praktek serta cara mengajar yang baik? Ya, dalam hal ini memang benar.  Tapi sebagai pengajar entrepreneurship memang bisa berbeda situasi dan kondisinya.

Kalau dalam pengamatan saya, mengajar apapun itu, kita perlu menguasai tiga hal, yakni pengetahuan (knowledge), semangat (spirit) dan nilai (value) yang terkandung di dalamnya. Kegagalan pengajar entrepreneurship, sebagaimana juga dikemukakan oleh Khoerussalim dalam bukunya ini, adalah hanya mampu melakukan transfer knowledge.  Padahal pengetahuan saja tidak cukup.

Mengajar entrepreneurship paling cocok barangkali dianalogikan dengan pendidikan ketentaraan. Seorang instruktur militer, memang seharusnya dia adalah juga seorang tentara. Seorang yang mengajarkan bagaimana menembak, tentu dia sendiri harus bisa menembak. Seorang yang melatih pasukan katak, juga harus sering menyelam. Nah, pertanyaannya kini adalah apakah seorang instruktur militer harus pernah terjun ke medan perang?

Mengajar entrepreneurship ada berbagai tingkatan. Ada yang level basic seperti halnya basic training di kemiliteran. Pelatih untuk baris berbaris, lari, latihan fisik dan lainnya, tidak harus seorang yang pernah berperang, namun mereka yang memang ahli di bidangnya. Misalnya saat pelajaran bela diri, harus dilatih oleh mereka yang jago bela diri. Bahkan mereka yang melatih ini, pangkatnya juga tidak terlalu tinggi.

Entrepreneurship juga sama. Banyak kecakapan yang harus dilatih, misalnya bagaimana menjual, berkomunikasi, mendesain produk, membuat rencana bisnis dan lain sebagainya. Menurut saya, pengajar di bidang ini tidak harus seorang yang pernah terjun langsung sebagai pengusaha, namun harus yang benar-benar paham dan mampu mengajar dengan baik. Hanya saja, pendidikan entrepreneurship tidak berhenti sampai di sini. Transfer knowledge saja tidak cukup. Bagaimana kita bisa menularkan spirit, semangat serta value, ini dibutuhkan seorang mentor yang bisa memotivasi dan menginspirasi. Mereka ini yang bisa menjadi seorang entrepreneur enabler, menemukan dan mengembangkan potensi entrepreneurial orang lain.

Kembali ke perbandingan dengan pendidikan militer, seorang prajurit yang pernah terjun ke medan perang dengan yang tidak pernah, jelas berbeda.  Hampir mirip di dunia pendidikan dan praktisi, ada yang academic smart dan ada juga yang disebut dengan street smart.  Pendidikan entrepreneurship jelas tidak bisa hanya duduk di bangku sekolah atau kampus. Tidak juga cukup membaca dan menghafal teori-teori atau rumus. Pendidikan entrepreneurship harus melalui pengalaman dan latihan yang dibuat semirip mungin dengan kondisi di lapangan. Metode pembelajaran yang digunakan harus berupa project-based learning. Ibarat seorang calon pilot, setelah mencoba berlatih di dalam sebuah simulator, harus juga berlatih menerbangkan pesawat sungguhan.  Namun berlatih menjadi pilot tidak boleh gagal. Pesawat jatuh, bisa jadi nyawa juga melayang. Berlatih entrepreneurship, jatuh beberapa kali masih dan harus bisa bangkit lagi.

Problem para praktisi atau mereka yang sudah berpengalaman sebagai entrepreneur adalah tidak semuanya bisa mengajarkan apa yang diketahuinya. Banyak entrepreneur sukses juga tidak bisa mengajarkan ilmu entrepreneurshipnya kepada anak-anaknya sendiri. Pengetahuan yang mereka miliki, yang ditempa oleh pengalaman bertahun-tahun, telah menjadi sebuah “tacit knowledge”.  Tacit knowledge adalah pengetahuan yang ada dalam otak/pikiran kita.

Tacit knowledge merupakan pengetahuan yang pada umumnya belum terdokumentasi karena pengetahuan ini masih ada pada keahlian atau pengalaman seseorang. Pada umumnya, tacit knowledge berhubungan dengan hal yang bersifat praktek dan untuk menularkannya dilakukan dengan cara sosialisasi langsung. Tacit knowledge dapat didokumentasikan, tetapi membutuhkan penjelasan rinci agar tidak terjadi kesalahpahaman kepada orang yang membaca dokumentasi dari pengetahuan tersebut. Nah, pengetahuan yang sudah didokumentasikan akan menjadi explicit knowledge.

Explicit knowledge adalah pengetahuan yang formal dan mudah untuk dibagikan ke orang lain. Umumnya merupakan pengetahuan yang bersifat teori yang memudahkan para ahli untuk membagi pengetahuannya kepada orang lain melalui buku, artikel dan jurnal tanpa harus datang langsung untuk mengajari orang tersebut. Misalnya pelajaran manajemen, di mana mahasiswa dapat belajar dari modul-modul yang disediakan oleh dosen. Pertanyaannya, bagaimana mengubah pendidikan entrepreneurship menjadi sebuah explicit knowledge?

Menurut saya hal ini bukan mustahil untuk dilakukan. Banyak sekali kini buku yang ditulis untuk mendokumentasikan tacit knowledge para entrepreneur atau orang yang sukses. Misalnya buku Jack Welch, Warren Buffet, Steve Jobs, Bill Gates, hingga tokoh dari Indonesia seperti Dahlan Iskan, Jokowi, Chairul Tanjung, Ciputra, Sandiaga Uno, dan masih banyak lainnya.

Saya jadi teringat buku “The Richest Man in Town: The Twelve Commandments of Wealth” yang ditulis oleh W. Randall Jones, di mana salah satu tipsnya adalah “Learn from the best and the worst”. Kita bisa belajar dari yang terbaik sekaligus yang terburuk (untuk tidak melakukan kesalahan yang sama).  Membaca biografi orang sukses adalah sangat baik, karena ini sekaligus menggali tacit knowledge dari para entrepreneur.

Maka belajar entrepreneurship memang tak ada salahnya dari mereka yang sudah terbukti terjun sebagai entrepreneur. Namun entrepreneurship itu bukan sekedar terjun berbisnis. Untuk terjun ke medan pertempuran yang sesungguhnya, banyak sekali kecakapan yang harus dimiliki. Untuk itu, belajarlah kepada siapa saja. Jangan karena melihat sang guru belum pernah terjun sebagai pengusaha, maka berkurang rasa hormat kita. Belajarlah marketing kepada sensei marketing, belajarlah keuangan pada sensei keuangan. Belajarlah berbisnis kepada sensei bisnis.

Salam entrepreneur!


Popular Posts