30 Apr 2003

Hukum alam dan pilihan manusia


Kita sebagai manusia berada dalam puncak rantai makanan. Tak heran kalau populasi kita dengan pesatnya berkembang. Walau jumlah manusia masih dikalahkan oleh jumlah semut di planet bumi ini, namun keberadaan manusia lebih berpengaruh secara signifikan terhadap planet bumi ini ketimbang semut, baik positif maupun negatif.

Seperti diajarkan dalam biologi ketika smp dulu, keseimbangan ekosistem itu perlu. Jumlah manusia yang bertambah banyak, sebenarnya 'berbahaya' bagi keseimbangan alam ini sendiri. Hal itu karena kita punya kecerdasan untuk bertahan dalam kehidupan ini. Kita bisa selamat dari proses seleksi alam.

Kita juga pernah dijarakan di smp dulu tentang teorinya Thomas Robert Malthus, bahwa populasi bisa dikontrol oleh bencana. Bencana bagi manusia adalah peperangan, kelaparan, penyakit dan bencana alam. Lalu, apakah jika terjadi peperangan hal itu karena ada pihak-pihak yang memang sengaja mengaturnya? Bagi yang percaya teori konspirasi, jawabnya adalah ya. Bahkan ada yang paranoid dengan beranggapan bahwa terjangkitnya suatu virus yang mematikan adalah juga disengaja. Semua itu untuk mengontrol populasi manusia agar ekosistem ini seimbang.

Hm, kesannya aneh ya juga... Barangkali kalau memang ada yang mau mengendalikan populasi manusia dengan cara seperti itu, mereka sebenarnya punya agenda tersendiri, mungkin "one world goverment" atau "new world order."

Hal lain yang dihadapi manusia adalah bencana alam. Bencana alam akhir-akhir ini luar biasa. Mestinya bencana alamnya ya sama saja, namun karena jumlah manusia yang lebih banyak, maka lebih banyak korban.  Gempa bumi, tsunami, badai, angin puyuh, kebakaran, banjir dan longsor mampu memporakporandakan kehidupan manusia dalam waktu singkat. Orang bilang itu merupakan peringatan atau hukuman dari pencipta. Orang bilang itu adalah balasan dari ibu pertiwi (mother nature) akibat ulah manusia dalam merusak ekosistem.

Bumi ini adalah bumi yang tidak pernah tenang. Baik secara fisik maupun energinya (jika mau sebut aja secara spiritnya). Entah mau disebut animisme karena menganggap bumi ini punya spirit, namun orang jaman dulu menyebutnya gaia (ini bukan terpengaruh film final fantasy, namun kepercayaan ini sudah ada sejak dulu).

Alam semesta ini juga tidak pernah tenang. Walau kita melihatnya semua berjalan secara teratur, bulan mengitari bumi setiap harinya dengan baik, tapi seandainya posisi bulan bergeser sedikit saja, planet bumi ini sudah dalam keadaan bahaya buat kehidupan manusia. Bencana gempa bumi di Aceh itu konon membuat bumi sedikit bergeser yang membuat waktu tidak sesuai (sepersekian detik) dari posisi semestinya.

Pembunuhan terhadap manusia terus terjadi, baik itu dilakukan oleh manusia sendiri, oleh alam atau oleh makhluk lain. Kita mungkin tidak lagi terancam oleh bahaya ular, harimau atau buaya.... namun kita terancam oleh makhluk kecil seperti virus, bakteri yang mungkin dibawa oleh burung, nyamuk, tikus dan lain-lain. Jutaan orang mati dulu karena penyakit pes, influenza dan kini oleh virus seperti HIV, dll.

Masalahnya, menghentikan manusia membunuhi manusia bukan berarti hidup kita ini kemudian aman. Apakah ini terkesan berbau percaya akan takdir? Entahlah. Hukum alam dan keseimbangan alam nampaknya mempunyai hukum sendiri. Kita belum punya kekuatan atau teknologi untuk menghadapinya. Bayangkan kalau sebuah asteroid menubruk planet bumi. Apakah kita berharap ada seorang pahlawan yang siap meledakkan asteroid itu seperti dalam film Armagedon?

Di planet bumi ini, manusia mengembangkan budaya "good' and "evil"... atau kalau dalam film starwars "dark force" dan "light force". Ada hitam dan putih. Ah, terkesan seperti tao. Tapi itu nampaknya yang berkembang dalam peradaban manusia. Kedua kutub ini harus saling seimbang meski dalam prosesnya seperti dua kutub magnet akan saling tarik menarik meski terkadang juga berusaha saling meniadakan.

Coba kita lakukan kalkulasi, berapa juta orang mati setiap tahunnya, entah karena bencana alam, kelaparan, perang atau penyakit. Barangkali jumlah itu tidak jauh beda atau bahkan lebih banyak ketimbang jumlah korban waktu perang dunia....

Dan kita suatu saat akan menghadapi bahaya yang lebih besar, sebuah bahaya yang pernah dihadapi oleh makhluk terdahulu. Seperti dinosaurus, kita akan musnah.. hapus dari planet bumi ini... dan planet ini akan mengembang satu jenis spesies baru yang ... mudah-mudahan... lebih baik dari versi manusia yang ada sekarang ini. Hal ini tidak akan berhenti dan terus berproses, dalam hitungan umur geologis... ratusan juta tahun, miliaran tahun.... sehingga apalah artinya seorang manusia yang umurnya tidak sampai satu abad ini..

Adakah kita punya pilihan?

Salam,
nur agustinus

20 Apr 2003

Barter Sex


Bermula dari jaman dulu, di mana masyarakatnya hidup berburu. Yang berburu biasanya kaum laki-laki atau perempuan yang belum punya anak. Yang sudah punya anak atau sedang hamil agak kesulitan kalau harus berburu. Perempuan pun kadang nggak bisa ikut berburu karena dia harus di rumah kalau datang bulan. Karena dia di rumah, maka kemudian dia dapat beban mengurus rumah (kemah atau gua), menyiapkan makanan, menyamak kulit, dan lain sebagainya. Perempuan yang punya anak juga harus tinggal karena merawat anak yang masih kecil dan biasanya akan diikuti dengan kehamilan berikutnya. Laki-laki yang sudah tua juga tinggal di rumah karena sudah tidak bisa lagi berlari kencang.

Karena berburu butuh tenaga dan sering harus berhari-hari, maka pekerjaan ini kemudian didominasi laki-laki. Lalu, karena karena ladang perburuan sering kali terbatas, apalagi kalau musim tidak menunjang, maka terjadi perebutan daerah pebururuan antara klan atau suku lain. Di sini mulai terjadi perang atau perselisihan. Jadi, berburu punya resiko banyak, terbunuh oleh binatang buas, dan bisa juga terbunuh atau terluka saat berkelahi dengan suku lain karena mempertahankan atau merebut daerah perburuan. Akibatnya, terjadi seleksi mana si pemburu yang hebat atau orang yang berani menghadapi musuh. Inilah kemudian yang menyebabkan adanya istilah "warrior".

Karena kaum laki-laki sering berburu, dan punya resiko tinggi saat pergi, maka ketika pulang, mereka akan mengadakan pesta. Sebab siapa tahu mereka besok sudah tidak hidup lagi. Untuk kelangsungkan sukunya, maka pihak perempuan harus bisa menghasilkan anak dari para laki-laki (pemburu). Dan secara alamiah, mereka akan mencari bibit unggul. Pemburu atau warrior yang gagah berani, akan menjadi selebritis di kalangan mereka. Akibatnya banyak perempuan yang berharap bisa punya keturunan daripadanya. Apalagi kemudian, pemburu yang terhebat akan diangkat menjadi kepala suku atau raja, dan karena kekuasaan sang pemimpin, maka hal itu bisa diwariskan kepada keturunannya.

Jadi, banyak perempuan yang ingin digauli oleh sang pemburu yang hebat, dan di sini mungkin mulai terjadi poligami. Sebab, selain mengharapkan keturunan yang baik, seorang pemburu yang hebat biasanya juga memiliki kekayaan yang lumayan akibat berhasil menjarah kekayaan musuhnya yang berhasil dikalahkannya, pajak yang harus disetorkan oleh suku taklukannya. Kekuasaan, keserakahan dan kepemilikan bermain di sini.

Tapi, tentu saja tidak semua perempuan kebagian atau terpilih menjadi istri atau selir sang raja. Ada banyak di antara mereka yang akhirnya memilih pemburu kelas dua atau kelas tiga. Nah, bagi pemburu yang tidak terpilih, tentu saja dia melakukan sistem bargaining dengan perempuan yang tersisa. Akhirnya, dia melakukan barter dengan perempuan untuk memenuhi kebutuhan seksnya. Walaupun, sebenarnya kebutuhan seks itu juga bisa dipenuhi dengan memperkosa perempuan yang diculiknya dari kelompok yang diserang dan dikalahkannya. Hanya saja, mereka tetap berkeinginan mempunyai keturunan "resmi" dari klan-nya sendiri.

Yang jadi pertanyaan, kenapa perempuan mau melakukan barter ini? Dan mengapa perempuan mau melayani beberapa macam laki-laki?

Di India, prostitusi pada masa lalu merupakan "profesi" yang terhormat. Di saat prostitusi disediakan untuk melayani kasta ksatria atau bangsawan, hal itu menjadi kehormatan. Demikian juga prostitusi untuk melayani laki-laki kelas atas. Namun, ketika prostitusi kemudian menjadi suatu pekerjaan untuk mencari nafkah dan hal itu juga dibuka kesempatan kepada siapa saja asalkan punya uang atau barang untuk barter, maka prostitusi mulai dianggap hina. Terlebih lagi setelah mulai maraknya penyakit kelamin yang banyak disebarkan melalui prostitusi, maka prostitusi makin dianggap sebagai sampah masyarakat.

Popular Posts