Sesi kedua acara workshop adalah tentang bagaimana menulis hard news. Seperti telah disebut sebelumnya, hard news adalah sebuah tulisan yang menceritakan tentang sebuah peristiwa dengan cara langsung. Sepertinya mudah namun ternyata tidak sesederhana itu. Menulis berita harus lepas atau bebas dari opini penulis. Hanya fakta atau kejadian yang bisa dipertanggung jawabkan yang layak ditulis.
Menulis sebuah berita memang tidak lepas dari standpoint. Istilah ini kalau dalam marketing sama dengan positioning. Memang tidak mungkin lepas dari keberpihakan, yaitu berpihak pada value yang dianut oleh penulis atau media. Standpoint berbeda dengan point of view (sudut pandang). Stand of view adalah mengamati dari sudut yang berbeda, misalnya si A mengamati dari sisi ini, sementara si B dari sisi yang lain.
Public blog dari The Jakarta Post |
Menulis berita harus dilakukan dengan kalimat yang singkat. Hindari kata-kata yang tidak perlu, apalagi kalimat yang hanya untuk memperpanjang saja tapi tak ada nilai beritanya. Sebagai latihan, para peserta workshop diminta untuk mendaftar di blog The Jakarta Post. Pertama masuk ke http://www.thejakartapost.com/ dan kemudian menuju ke "Public Blog". Siapa saja bisa resgister di blog ini secara gratis dan mulai menulis di blog yang dibuatnya.
Riyadi meminta kami untuk berlatih menulis berita. Sebelumnya diberi contoh gaya bahasa berita dan strukturnya. Di The Jakarta Post, biasanya satu alinea adalah satu kalimat. Sementara struktur berita adalah seperti piramid terbalik. Yang di atas adalah yang paling penting, berikutnya penting hingga paling akhir adalah yang paling kurang penting. Mengapa susunannya seperti itu? Ini karena agar pembaca bisa dengan cepat membaca dan kalau tidak begoti bermkinat bisa membaca yang lain namun karena misalnya sudah membaca aliena pertama, pembaca sudah bisa menangkap apa isinya. Selain itu, menulis berita sering terbentur dengan ruang halaman. Maka jika terlalu panjang akan dipotong bagian bawahnya. Jika itu terjadi maka tidak sampai mempengaruhi isi berita sebab bagian akhir adalah bagian yang paling kurang penting.
Untuk latihan membuat berita, kami diberikan sebuah catatan kejadian (fakta). Dari fakta atau daftar kejadian peristiwa itu, kami diminta untuk membuat berita. Tulisan dipasang di blog sehingga setiap orang bisa membaca dan fasiliator mengomentari satu per satu tulisan yang sudah muncul di blog.
Riyadi juga menjelaskan beberapa terminologi di media, mulai dari apa itu headline, byline, deadline, dateline, blurb, photo caption, stop press, sampai photo credit. Diterangkan pula apa-apa saja profesi dalam jurnalistik, seperti jurnalis, reporter, editor, photographer, graphic designer, lay-outer, correspondent, stringers (penulis berita lepas), contributors (biasanya pakar) dan colomnist.
Tak lupa juga dikemukakan bagaimana alur kerja di bagian redaksi, yaitu mulai reporter yang kemudian memberi reportasenya ke editor. Editor memeriksa bahasa, alur artikel, fakta dari artikel itu dan gaya (style), misalnya mengguakan AP stylebook. Setelah itu diberikan kepada copy editor (mengedit soal teknis penulisan, bahasa, ejaan, meski kadang , tapi kadang copy editor mengubah isi sesuai dengan pengetahuannya). Dari copy editor kembali ke editor untuk kemudian di-layout, dibuat dummy dan dilakukan proof reading.
Akhir dari sesi ini kami diminta diberi PR, yaitu dengan membuat berita yang dilihat saat perjalanan pulang ke rumah. Disarankan untuk melewati rute yang berbeda dari biasanya, sebab jika melalui rute yang sama/biasa, orang cenderung mengabaikan yang dilihatnya. Tapi dengan lewat jalur lain, pasti akan banyak hal baru yang menarik perhatian untuk ditulis.
(bersambung)