11 Mei 2013

Putri Duyung yang Mendamba

Tulisan ini adalah resensi yang pernah saya tulis, sekitar tahun 1990-an lalu dan pernah dimuat di sebuah surat kabar. Saya tertarik dengan buku ini, yang berjudul ”Putri Duyung yang Mendamba” dan ditulis oleh Romo Y.B. Mangunwijaya (alm). Diterbitkan oleh Yayasan Obor, Jakarta (1987). Sudah lebih dari 20 tahun buku ini terbit, mungkin sudah sulit ditemukan di toko buku namun saya pernah melihat kumpulan tulisan Romo Mangun di toko buku beberapa minggu lalu, yang isinya juga merupakan hampir sama dengan buku ini.

MEMBELA ILMUWAN

Pernahkah Anda bertanya diri, dari mana Anda dapat bertanya diri? Itulah kalimat yang mengawali bab pertama dari buku Putri Duyung yang Mendamba. Sebuah pertanyaan klise agaknya, namun akan selalu tetap menarik. Manusia selalu ingin menjawab pertanyaan itu, karena sering jawaban yang dilontarkan tidak terlalu memuaskan. Mangunwijaya mencoba menjawab pertanyaan itu menurut persepsinya. Dan jadilah buku ini sebagai suatu renungan filsafat hidup manusia modern.

Kalau kita berbicara tentang manusia modern, maka kita tidak dapat lepas dari keberadaan kaum ilmuwan, khususnya sarjana modern. Tugas dan kehidupan seorang sarjana modern sering dibayangkan begitu indah dan orang tidak mengira bahwa tantangan yang dihadapi mereka sebenarnya cukup berat. Hal ini terutama karena kaum sarjana modern atau ilmuwan harus berhadapan dengan kaum tradisional yang setengah mati menentangnya. Masalah khusus yang sering diperdebatkan adalah soal agama.

Umumnya kaum ilmuwan (sains) tidak dapat begitu saja menghayati agama seperti yang diharapkan darinya oleh kaum tradisional. Menurut Mangunwijaya, sebenarnya hal ini bukan karena mereka (Kaum sains) itu semakin sombong atau tak mau lagi tergolong kaum beriman, akan tetapi sering justru karena mereka memang tahu lebih banyak dan lebih mendalam tentang seluk beluk banyak perkara dibandingkan dengan kaum tradisional. Kaum sains inilah yang dibayangkan oleh Mangunwijaya sebagai putri duyung. Diutarakan, bahwa kaum sains itu bagaikan putri duyung yang ekornya masih terikat dunia ikan hewan, namun yang di atas sudah ikut dunia yang lebih tinggi. Tapi lebih lanjut Mangunwijaya mengemukakan bahwa putri duyung ini merana, sebab ia jujur dan tidak ingin ingkar pada kebenaran.

Memang harus diakui bahwa semakin manusia berilmu dan tahu banyak secara mendalam tentang alam semesta lewat pengamatan eksakta dan logika, maka akan semakin takjublah dia dalam pengakuan dirinya sebagai makhluk yang semakin merasa kecil dan tidak tahu banyak. Sesungguhnya dengan ketidaktahuan itulah manusia mempunyai peluang untuk menjadi tahu.

Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan karangan dari Y.B. Mangunwijaya. Dalam kata pengantarnya disebutkan bahwa karangan ini ditulis dalam bahasa musafir selama salah satu perjalanan perantauannya pernah dimuat dalam harian Kompas. Mangunwijaya sendiri menganggap manusia adalah musafir yang sedang menuju ke suatu tujuan yang terakhir dan sejati namun sekaligus juga mencari jalan dan sikap yang benar dan jujur.

Perubahan jaman harus diakui tidak bisa lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan. Semuanya ini menimbulkan gelombang-gelombang kejutan kritis yang oleh Mangunwijaya ada enam gelombang kejutan. Yang pertama datang dari seorang rahib Polandia, Copernicus yang mengemukakan bahwa bukanlah matahari yang melingkari bumi, melainkan sebaliknya. Saat itu, pendapat ini sangat mengejutkan. Terbukalah kesadaran manusia bahwa kebenaran dan keterangan tentang segalanya harus ia cari sendiri. Semula manusia hanya mendasarkan pengamatan langsung pada alam dan mempercayai apa yang dilihatnya tanpa berusaha mencari kebenaran yang sesungguhnya.

Sejak masa Copernicus tersebut, ilmu pengetahuan berkembang pesat dan melahirkan kejutan kedua yakni datang dari Charles Darwin yang mengemukakan bahwa manusia masih mempunyai garis keturunan dari binatang. Belum lagi kejutan ketiga dari Sigmund Freud yang mengemukakan bahwa bukan hanya secara biologis saja manusia masih ada keturunan langsung dari binatang, tetapi seara kejiwaan manusia masih memiliki mental kebinatangan dalam alam bawah sadarnya.

Kejutan lainnya yang keempat datang dari Albert Einstein yang dapat dikatakan sebagai penemu anak kunci taman-taman dalam pemahaman rahasia alam yang paling misterius, bahwa hakekat massa hanyalah salah satu bentuk energi. Kejutan kelima adalah diketemukannya dimensi-dimensi yang lebih dari tiga. Ruang dan waktu serta mungkin masih banyak dimensi-dimensi lain. Kejutan keenam sebenarnya bukan kejutan, melainkan konsekuensi langsung dari kesadaran baru tadi dan kemudian manusia mulai turut menipta melalui penelitian genetika enginering untuk membentuk species baru. Hal ini oleh kaum tradisional dianggap sudah memasuki daerah kekuasaan Tuhan, yaitu rahasia penumbuhan dan pembentukan benih-benih kehidupan. Manusia memang luar biasa!

Hal-hal semacam inilah yang dihadapi oleh sarjana modern abad ini, yaitu hidup sebagai manusia apa adanya. Mereka adalah ikan duyung itu. Di satu pihak sudah dapat mengerti rahasia alam semesta. tetapi di pihak lain, mereka tetap merasa bahwa ada suatu keterbatasan dan kerinduan tersendiri kepada penciptanya. Kerap kali manusia sarjana modern sangat ingin tetap beriman dan ingin beragama secara betul, tetapi mereka sudah menjadi ikan duyung. Permasalahannya memang tidak sederhana.

Buku ini mengulas suatu kenyataan yang terjadi umum di dalam masyarakat modern. Sebuah buku yang membela kaum sains dan mencoba mengajak mereka untuk menemukan jalannya. Manusia selalu mencari jalan kebenaran. Dan kebenaran yang sejati itu sulit untuk diterangkan secara eksakta dan logika, sehingga tak heran bila ada orang yang mempunyai kepercayaan terhadap sains begitu kuat. Mereka meyakini bahwa ilmu pengetahuan itulah agama mereka. Itulah kenyataan sekarang, bahwa manusia percaya dalam arti berharap penuh pada ilmu pengetahuan.

Kerinduan manusia terhadap penciptanya memang merupakan suatu misteri. Bahkan kaum ilmuwanpun mempunyai keinginan yang sama. Ahli astronomi Johannes Kepler yang merupakan seorang Kristen saleh pernah menulis,"Aku ingin mampu melihat Tuhan dalam jiwa manusia dengan kebeningan yang sama dengan kebeningan aku melihat alam." Setiap ilmuwan produktif akan berpikir sama seperti Kepler. Mengapa? Sebab penghayatan keteraturan matematis dalam alam sebenarnya adalah suatu bentuk pengalaman religius. Hal ini bisa kita lihat melalui percakapan filsuf Jerman termashyur Immanuel Kant kepada Konrad Lorenz,"Jika aku melihat suatu sarang burung, aku hanya dapat menjatuhkan diri, berlutut dan memujanya." Lorenz berkomentar:"Tepat itulah yang kualami."

Mangunwijaya selanjutnya mengemukakan bahwa siapa yang menggumuli alam, pada suatu saat akan merasa terdorong untuk menundukkan kepala dan berdoa, apapun agama yang dipeluknya.

Buku karangan Mangunwijaya ini agaknya memberikan suatu hal baru pada kita. Ada banyak hal yang menarik yang dapat kita temukan dari sana. Apalagi pembawaannya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan komunikatif, tidak bertele-tele dan bisa kita renungkan secara mendalam. Memang pada permulaan buku ini, tidak jelas apa yang dimaksud oleh penulis, tetapi setelah kita selesai membacanya akan menemukan banyak penghayatan baru. Selain itu, kita bisa melihat bahwa kaum ilmuwan yang sering dikatakan ateis atau tak beriman sebenarnya tidaklah demikian. Mereka punya kesadaran yang sama akan alam. Buku ini juga mampu menyajikan banyak hal penting yang dapat dijadikan pedoman atau filsafat hidup manusia modern.

Salam,
nur agustinus

Popular Posts