11 Mei 2013

Menjadi manusia yang Logis dan Humanis


Oleh: Nur Agustinus

Pembicara publik Mario Teguh dalam satu sesi inspirasional menuturkan, banyak orang yang bekerja ternyata bukan dari bidang yang dipelajarinya saat kuliah, termasuk dia sendiri. Menurutnya, pendidikan itu bukan menyiapkan kita dari keilmuan, namun menyiapkan kedewasaan  mental kita untuk menyelesaikan masalah yang sulit dengan berpikir urut logis dan belajar melihat gambar besar. Kalau itu dikuasai saat kuliah, maka kita bisa bekerja di bidang apapun.

Di perguruan tinggi, Ilmu Alamiah Dasar diberikan dengan tujuan menjadikan mahasiswa sebagai ilmuwan dan profesional yang berpikir kritis, kreatif, sistemik dan ilmiah, berwawasan luas, etis, estetis serta memiliki kepedulian terhadap pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

Kemampuan berpikir logis dan benar menjadi sebagian elemen dasar kegagalan bangsa ini seperti tampak dari praktek suap dan korupsi elit politik dewasa ini. Berpikir logis itu penting, tidak sekadar akal sehat, sebab akal yang dianggap sehat ini sering juga eror. Kita sering melakukan kesalahan logika atau kesesatan nalar dalam berargumen atau membuat keputusan, entah itu berupa generalisasi yang terlalu tergesa-gesa, keterlibatan emosi atau pengaruh persepsi subyektif.

Namun berpikir logis saja tidak cukup. Kita juga perlu berpikir secara benar. Ketepatan berpikir dalam logika berarti sebuah “true”, namun benar di sini berarti “right”. Kita perlu berpikir secara “true” dan “right” atau tepat dan benar.  Mengapa itu menjadi penting?

Ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain, selalu terbuka kemungkinan untuk konflik. Hal ini karena manusia memiliki keyakinan dan sikap yang bisa berbeda antara satu dengan yang lain. Ini juga membuat sesesorang bisa sepakat atau tidak sepakat. Ketidaksepakatan bisa terjadi di level keyakinan, namun dapat juga pada tingkat sikap, atau bahkan pada tataran keduanya. Apa maksudnya?

Misalnya saja, ada sebuah laporan bahwa ada seorang siswa melakukan sebuah perbuatan yang menurut seorang guru, hal itu tidak benar. Karena ingin masalah diselesaikan, guru tersebut ingin bertemu dengan murid yang bersangkutan. Murid tersebut datang dengan didampingi oleh orangtuanya. Nah, di sini terjadi ketidaksepakatan dalam hal sikap. Orangtuanyanya yang tidak ingin anaknya disalahkan beranggapan bahwa perbuatan si anak itu biasa saja, bahkan untuk apa harus diributkan. Ketidaksamaan ini ada dalam tataran ketidaksepakatan sikap, yang bisa menyulut konflik.

Lain halnya jika ada kasus, seorang murid terlambat masuk sekolah. Dia mengatakan bahwa dia terlambat karena jalanan macet. Gurunya tidak sepakat karena tidak yakin bahwa telah terjadi kemacetan di jalan yang menyebabkan di murid terlambat. Ketidaksepakatan ini terjadi karena perbedaan keyakinan.

Dalam dua kasus ini, jika kita amati dan seandainya itu terjadi pada diri kita sendiri, walau letak ketidaksepakatannya berbeda, namun jika kita merasa benar dan dikalahkan dalam argumentasi atau karena power, maka kita akan merasa diperlakukan secara tidak adil. Di sini peluang konflik, ketidakpuasan, kekecewaan akan terjadi.

Nah, kasus-kasus seperti ini sering terjadi. Lalu apa hubungannya dengan perkuliahan umum yang lebih banyak mendidik aspek humaniora seperti kewarganegaraan, agama, etika, bahasa, ilmu budaya dasar atau alamiah dasar? Tujuannya sebenarnya adalah bagaimana membentuk manusia yang utuh dan humanis.

Kita memang belajar di perguruan tinggi, di sebuah fakultas, untuk menempuh sebuah bidang keilmuan. Bisa belajar kedokteran, teknik, pariwisata, desain, psikologi , politik, ekonomi dan masih banyak lainnya. Setelah menempuh studi itu, kita akan dianggap ahli. Namun, seperti dikatakan oleh Mario Teguh, anehnya banyak sekali orang yang kemudian bekerja tidak di bidang yang ditekuninya saat kuliah. Kita memang tidak mudah memprediksi masa depan. Bisa jadi semasa kuliah itu merupakan passionnya, tapi saat bekerja atau berwiraswasta, passion itu beralih. Problem seperti ini banyak terjadi, karena anak-anak kita sering kali tidak jelas serta kurang konsisten dengan cita-citanya. Beberapa malah ikut-ikutan teman atau hanya karena dianjurkan orang tuanya untuk kuliah di jurusan tertentu.

Secara keilmuan, sebenarnya apa yang kita pelajari di bangku kuliah, saat lulus sudah tidak relevan lagi. Ini sangat dirasakan oleh mereka yang kuliah di jurusan informatika atau teknologi komputer. Ketika di kuliah mereka belajar bahasa program seperti Pascal, sementara saat lulus program itu sudah tidak dipakai lagi. Lalu, apa yang mesti dilakukan?

Salah satu kuncinya adalah mengajarkan serta mendidik mahasiswa untuk berpikir kritis. Kita tahu bahwa adalah jauh lebih baik kita memberi kail ketimbang langsung memberi ikan kepada seseorang. Mengajarkan ilmu kepada mahasiswa adalah sama dengan memberi kail. Tapi, anggaplah kail tertentu hanya bisa untuk memperoleh ikan tertentu. Maka ketika ikan itu sudah tidak ada, maka kail itu menjadi tidak berguna.  Justru pelajaran lain yang sifatnya dianggap hanya sebagai pendukung, seperti mata kuliah umum dan humaniora, mendidik bagaimana berpikir kritis, sekaligus mengajarkan bagaimana membuat kail yang lain. Ibarat menyiapkan mahasiswa dengan kemampuan menciptakan kunci-kunci  untuk bisa membuka segala pintu dunianya.

Kalau saat ini kita melihat banyak kasus di negara kita, misalnya korupsi yang masih merajalela, politisi yang saling melakukan pembunuhan karakter, beragumen yang tidak logis hanya demi pencitraan, perilaku pengusaha yang tidak etis, keputusan yang ambigu atau pemimpin yang tidak bisa memikirkan skala prioritas yang benar, maka rasanya ada hilang dalam sistem pendidikan kita.

Socrates, filsuf Yunani pernah mengatakan, setiap orang pada dasarnya ingin menjadi baik serta berbuat kebaikan, tapi seringkali orang tidak tahu bagaimana cara melakukannya. Untuk itu, manusia perlu diajari bagaimana cara untuk berbuat baik. Masalahnya, kita sering lupa mengajarkan untuk berbuat baik, bahkan kepada orang-orang di sekitar kita, anak-anak kita, saudara-saudara kita, atau bahkan kita sendiri belajar kepada orang lain untuk berbuat baik. Kita terlalu sibuk untuk mencapai prestasi puncak, kedudukan, kekayaan. Kepada anak, kita menuntutnya untuk mendapat nilai tertinggi di kelasnya dengan belajar keras. Sementara dalam kehidupan sehari-hari, akhirnya si anak lebih peduli dengan dirinya sendiri ketimbang persoalan sosial di sekitarnya.

Memang, pengajar mata kuliah umum ini sendiri juga langka. Jarang orang yang mau mengajar di bidang yang dianggap kering ini. Di Amerika, lowongan terbanyak untuk pengajar adalah di bidang studi humaniora. Apa mungkin karena sedikit pelamarnya? Padahal, kalau kita ikuti pendapat Daniel Goleman, kecerdasan manusia tidak cukup hanya dari aspek intelektual, tapi juga dari emosional dan sosial.  Demikian juga Howard Gardner dengan teorinya tentang kecerdasan majemuk, sebenarnya mengingatkan bahwa kesuksesan tidak semata ditentukan dari kecerdasan intelektual saja. Kita perlu membangun generasi yang peduli dengan orang lain, sosok pribadi yang logis dan humanis. (*)

Popular Posts