11 Mei 2013

Mengkonstruksi Budaya Inovatif



Oleh: Nur Agustinus
 
Kamis pagi, 29 juli 2010, saya menghadiri undangan seminar dari Universitas Ciputra tentang Culture & Innovation yang dibawakan oleh Prof. Uichol Kim dari Inha University, Korea. Materi yang disampaikan sungguh menarik dan bermanfaat. Berikut adalah sebagian dari apa yang disampaikan.

Manusia dalam organisasi adalah solusi sekaligus problem untuk inovasi dan kreativitas. Memang, untuk menunjang proses inovasi dibutuhkan adanya manusia. Namun mengelola manusia tidak mudah, terlebih orang yang bekerja di perusahaan adalah orang dewasa. Mengapa orang dewasa kebanyakan punya hambatan dalam hal ini?

Menurut Prof Kim, orang dewasa telah memiliki masa lalu sehingga hal ini sering menghambat untuk maju ke depan. Berbeda dengan anak-anak dan remaja yang boleh dibilang tidak punya ‘past’, membuatnya lebih terbuka (open) terhadap hal baru di masa depan, tidak ragu dan berani mengambil resiko. Saya setuju dengan hal ini. Ketika saya pertama kali membuka usaha di usia 24 tahun, setelah lulus sarjana, seperti tidak ada hambatan dalam diri. Berbeda dengan bertahun-tahun kemudian, ketika saya ingin lagi mengembangkan usaha baru, saya mengalami keraguan, banyak pertimbangan, apakah akan bisa berhasil seperti dulu? Atau jangan-jangan malah rugi sehingga membuat usaha yang telah dibangun jadi terganggu. Adanya ’past’ ini membuat saya kurang open terhadap masa depan. Apa yang disampaikan Prof Kim memberi inspirasi kepada saya bagaimana saya harus mengubah mind-set saya.

Prof Kim juga mengemukakan bahwa mengenal diri sendiri itu adalah hal yang paling rumit. Hambatan terbesar justru biasanya datang dari diri sendiri. Ketika kita menghadapi krisis atau sebaliknya sebuah peluang, ada dua kemungkinan sikap yang kita ambil. Pertama adalah helpless, merasa tak berdaya, sehingga akhirnya kehilangan harapan; dan yang kedua adalah sikap entrepreneur, di mana kita berusaha melakukan inovasi. Baik krisis dan peluang harusnya dihadapi secara positif dan berusaha untuk melakukan inovasi.
Prof Kim


Memang pada prakteknya tidak sederhana. Untuk mengelola sebuah bisnis perlu memahami tiga hal. Tiga hal itu menurut Prof Kim adalah bisnis, people dan self (dri sendiri). Seperti dikemukakan tadi, memahami diri sendiri ini yang tidak mudah. Orang bisa belajar bisnis, bisa memperdalam ilmu soal manusia (psikologi), namun untuk memahami diri sendiri tidak mudah.

Kesulitan ini dikarenakan semua ini tergantung bagaimana kita mempersepsi realitas. Sebuah realitas yang harusnya sama, bisa dipersepsi secara berbeda oleh orang yang berbeda. Kalau kita tidak memahami diri sendiri, boleh jadi kita bisa ’disesatkan’ oleh persepsi kita sendiri. Antara apa yang kita ketahui dan dengan yang kita lihat juga mempengaruhi perilaku kita. Pertanyaannya, apakah kita mempercayai apa yang kita ketahui, atau yang kita lihat?

Ketika seseorang berhadapan dengan realitas, sebenarnya yang ada adalah persepsi. Untuk memahami realitas, ada dua faktor yang mempengaruhi, yaitu pertama adalah budaya (culture) dan yang kedua adalah aspek fisiologis. Dari segi budaya, kita menggunakan bahasa dan simbol. Hal ini sesuai dengan apa yang saya pelajari dalam sosiologi mengenai interaksi simbolik. Mau tidak mau hal ini juga tergantung dari konsep diri seseorang, yang akan mempengaruhi persepsinya. Dari aspek fisiologi, kita mempersepsi realitas melalui indera yang kita punya.

Sehubungan dengan entrepreneurship, menurut Prof Kim, seseorang yang cenderung mudah takut, mudah cemas, ragu-ragu, tidak akan bisa menjadi seorang entrepreneur. Sebenarnya, ada jalan keluar untuk mengatasi rasa takut ini, yaitu dengan menambah pengetahuan. Kita sering takut atau cemas karena kita tidak tahu. Jika kita tahu dalam artian punya knowledge, hal ini bisa mengurangi rasa takut. Sama seperti kita akan ragu untuk potong rambut di penata rambut yang tidak kita kenal. Memiliki pengetahuan, itu berarti kita tahu akan masa lalu dan dengan demikian kita bisa memprediksi masa depan.

Menurut Prof Kim ada 10 faktor penting dalam bisnis, yaitu: Big, Speed, Power, Persistence, Organization, Stealth, Differentiation, Focus, Marketing (menarik pihak lain), dan Quality. Tentu kalau hal itu berdiri sendiri-sendiri, misalnya perusahaan itu hanya “Big” maka juga bisa mengalami kegagalan kalau dia tidak adaptif dengan lingkungannya. Namun perusahaan yang besar itu pada umumnya bisa survive karena dengan more volume itu berarti more profit.
Kembali ke soal kreativitas, ada 3 hal utama yang perlu ada menurut Prof. Kim, yaitu: (1) Idea, (2) Resource, dan (3) Skills. Adanya ketiga hal ini akan menghantarkan proses kreatif menuju sasaran yang diinginkan. Namun tiga hal ini perlu dikelola dan dilakukan supaya apa yang semula adalah ide bisa terwujud.

Menjadi kreatif sebenarnya tidak harus muluk, sebab kreativitas itu bisa dengan mengubah yang semula tak berguna menjadi berguna. Misalnya ada lahan yang semula tandus, tidak bermanfaat, akhirnya bisa menjadi sebuah daerah pemukiman yang bagus. Proses kreatif juga bisa mengubah dari yang tidak berbentuk (formless) menjadi sebuah bentuk (structure). Intinya adalah dari proses destructive menjadi constructive. Bahkan membuat dari yang semula sulit dan mengubahnya menjadi mudah, itu juga hasil sebuah proses kreatif. Namun yang paling penting, ada dua hal yang menjadi dasar agar orang itu kreatif, yaitu kedisiplinan dan kemauan sering berlatih. Tanpa dua hal ini, mustahil ada kreativitas. Ini juga sesuai dengan apa yang diungkapkan Thomas Alva Edison, bahwa jauh lebih penting adalah kerja keras. Kedisiplinan itu sangat penting.

Prof Kim juga memberikan tips bagaimana meningkatkan potensi diri. Idenya sederhana, yaitu ubahlah lingkunganmu. Bagaimana misalnya? Menurutnya salah satunya adalah ganti teman-teman kita. Menurutnya, teman-teman lama umumnya memiliki karakteristik yang sama, dan ini tidak akan membuat kita berubah. Adanya teman baru akan bisa membawa pengaruh untuk perubahan.

Tips berikutnya adalah cobalah untuk memahami setiap pengalaman yang terjadi. Belajar dari pengalaman itu penting. Karakter yang kuat umumnya dibentuk dari situasi yang kacau, bukan kondisi yang nyaman. Oleh karena itu, sehubungan dengan pendidikan, Prof Kim menerapkan sistem untuk membuat mahasiswanya menderita, artinya diberi banyak tugas dan tantangan. Baginya, no pain no gain. Prof Kim juga mengatakan, apa yang membedakan seseorang akan menjadi pemenang dan yang tidak, adalah persistence. Seperti yang dikatakannya. ”in the last minutes, the winner can still run.

Sebenarnya masih banyak yang disampaikan oleh Prof Kim. Satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah “be ethical”. Dalam berbisnis, kita harus menggunakan etika. “Do the right thing,” begitu katanya. Memang, banyak tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mengejar ketinggalan. Jika di tahun 60-an, Indonesia 6 kali lebih kaya dari Korea, namun 50 tahun kemudian, justru Korea yang 6 kali lebih kaya dari Indonesia. Hal itu tak lepas dari budaya bangsa Korea yang siap berkorban (sacrifice) dan siap bekerja keras. Prof Kim mengemukakan bahwa hal itulah yang ditanamkan pada anak-anak Korea. Berbeda dengan penelitiannya di Indonesia, Prof Kim menemukan bahwa bangsa kita mengharapkan ‘caring & sharing’. Hal ini saya coba uji ketika saya kembali ke kantor saya dan bertanya ke staf saya, apa yang diharapkan anak-anak dari orang tuanya, jawabannya ternyata persis, yaitu: kasih sayang. Jawaban ini sepertinya indah, tapi pada kenyataannya membuat budaya kita cenderung untuk ingin mendapat asuhan dan diperhatikan.

Ada pertanyaan dari salah seorang peserta, apakah budaya ini bisa berubah? Prof Kim mengatakan bisa, namun seringkali tidak berubah sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Walau demikian, Prof Kim sangat optimis bahwa Indonesia di masa mendatang akan menjadi negara yang inovatif. Mengapa? Karena menurutnya, kreativitas akan lahir dalam keanekaragaman (diversity). Bangsa Indonesia ini beragam, jadi peluang untuk kreatif sangat besar. Apa yang dikatakan tentu memberi harapan. Namun kita juga harus ingat bahwa seperti dikemukakan tadi, kreativitas tidak bisa datang secara tiba-tiba. Perlu kedisiplinan dan terus menerus berlatih. Seperti kata pepatah, “Practice makes better”. Pertanyaannya, siapkah kita untuk berubah? Maukah kita mengkonstruksi budaya inovatif untuk kemajuan bangsa? Sebenarnya Indonesia adalah yang penuh sumber daya (resource). Seperti kata-kata di sebuah lagu Koes Plus, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Namun jangan-jangan karena kenyamanan ini membuat kita maunya santai saja dan merasa puas dengan apa yang ada.

Popular Posts