11 Mei 2013

From stranger to partner


Boleh dibilang orang tidak mempunyai bekal ilmu pacaran dengan baik. Orangtua juga belum tentu mau mengajarkan cara pacaran karena mungkin dianggap tabu atau tidak tahu harus mengajari apa. Tulisan yang membahas tentang Intimate Relationship sebenarnya mencoba mengajari bagaimana menjalin hubungan yang baik, namun seringnya tidak dibaca atau coba untuk dipahami oleh yang masih pacaran atau belum pacaran. Baru setelah mendapat masalah, mencari solusi, itupun sering tidak dilakukan bersama.

Pacaran itu tidak mudah. Setiap orang berawal dari asing satu sama lain. From stranger to partner itu tidak mudah dan prosesnya bisa berliku-liku. Tidak juga sesederhana ketemu seseorang yang cocok di hati lalu jadi. Dalam memilih partner dari sekian stranger yang ada ini, ada tahapan yang namanya seleksi. Namun manusia punya keterbatasan kognitif dan rasional. Bahkan kadang-kadang tidak rasional dalam membuat keputusan. Ataupun sudah coba serasional mungkin dalam memilih, toh tetap ada kemungkinan adverse selection. Artinya, kita salah pilih. Kelihatannya bagus, berkesan luar biasa, namun setelah menjalin hubungan ternyata baru kelihatan aslinya yang tidak sesuai dengan harapan.

Pacaran saya ibaratkan sebagai sebuah short time contract dan menikah merupakan long time contract. Berhubung saya sedang kuliah ilmu manajemen saat ini yang bicara soal organisasi, akuisisi, merger dan sejenisnya, sementara latar belakang ilmu saya sebenarnya adalah psikologi, saya mencoba membayangkan hubungan antara dua orang ini seperti hubungan antar organisasi. Hubungan antar pasangan bisa beraneka ragam bentuknya. Walau secara hukum mereka diikat oleh sebuah lembaga perkawinan, namun sifatnya bisa berbeda-beda. Ada yang mungkin berbentuk aliansi, ada yang joint ventures, ada yang mungkin malah hubungannya seperti barter atau jual beli. Tentu tidak bisa disamakan persis, tapi kalau kita pelajari dan amati, bentuk-bentuk relationship antar manusia bisa beraneka ragam.

Yang sering diabaikan dalam pembahasan psikologi soal relationship adalah soal biaya. Dalam sebuah relationship menurut saya ada biaya relationship (cost of relationship). Paling tidak, kalau kita pacaran, maka pengeluaran kita bisa lebih banyak, atau bahkan sebaliknya secara biaya menurun tapi ada biaya dalam bentuk lain yang mesti "dibayar". Setiap biaya yang dikeluarkan, manusia tentu berharap akan manfaat (benefit) yang bisa dicapai.

Ini juga karena setiap kita berusaha menjalin hubungan dengan orang lain, maka ada harapan yang muncul terhadap orang tersebut. Tentu bisa panjang membahas teori harapan ini. Namun yang saya maksudkan adalah, kuat lemahnya hubungan, juga tergantung dari harapan yang kita punya.

Nah, masalahnya, seringkali membicarakan masalah biaya ini adalah tabu kalau disandingkan dengan urusan cinta. Cinta sering dianggap tidak boleh ada unsur materinya. Cinta adalah urusan hati. Tapi kalau mau realitis, sebenarnya tidak demikian. Hubungan pasangan mau tidak mau ada unsur "give and take"-nya. Disini ada unsur transaksi sebenarnya. Lebih jauh lagi, hubungan akan menjadi baik, kalau unsur fairness (keadilan) tetap dijaga. Kalau si A merasa hebat atau merasa pasangannya beruntung mendapat dirinya, berarti patut dipertanyakan unsur fairnessnya.

Lebih jauh lagi, tentu yang tidak mungkin bisa dihilangkan dalam menjalin sebuah hubungan adalah unsur kepercayaan. Trust. Kepercayaan ini bisa subyektif sifatnya karena seringkali percaya tidak ditentukan oleh fakta, tapi juga oleh opini dan persepsi. Kalau Anda sudah punya persepsi bahwa orang yang sudah pernah pacaran pasti akan ingat pacar lamanya, maka trust tidak mungkin terbentuk dengan baik.

Nah, masalah yang sering dihadapi, banyak pasangan mengalami entrapment atau masuk dalam posisi "terjebak". Sering orang tahu bahwa dia sudah nggak sreg dengan pasangannya, tapi tidak bisa melepas karena banyak alasan. Biasanya dengan pertimbangan "komitmen" atau "tanggung jawab" karena tidak mau "menyakiti" atau juga karena masalah sosial, misalnya sudah terlanjur dikenalkan sama orang tua, atau lainnya. Atau di sisi lain, pacaran yang dilarang orang tua, bisa membuat makin lengket. Ini karena hormonal, dalam situasi yang tidak pasti, orang cenderung tetap kasmaran (seperti dalam kasus perselingkuhan). Walau sebenarnya sudah tidak cocok, sering bertengkar, namun tetap dipaksakan untuk bersama. Akibatnya setelah menikah, baru menjadi masalah besar karena unsur kasmarannya sudah hilang. Hormon cintanya sudah habis dan bukan tidak mungkin akhirnya kembali lagi from partner to stranger...

Surabaya, 23 Maret 2010
Nur Agustinus

Popular Posts