11 Mei 2013

Partnership: Bagaimana memilih partner bisnis?



Oleh: Nur Agustinus

Dalam dunia usaha, kalau kita mau besar, sebaiknya kita bekerja dalam suatu tim. Bekerja secara single fighter sudah bukan zamannya lagi. Untuk jangkauan yang lebih luas, sudah tak mungkin dapat ditangani sendiri. Maka dari itu, partner kerja atau mitra usaha harus segera dicari. Siapa yang tepat untuk dapat menjadi pasangan kerja?

Yang utama sebenarnya, tidaklah baik kalau kita memilih partner usaha hanya karena dia kaya. Kalau mencari partner dengan tujuan itu, berarti kedudukan kita lemah. Yang terjadi akhirnya adalah suatu jalinan kerja sama yang didasari oleh perasaan saling memanfaatkan, bukan saling membutuhkan. bentuk kerjasama seperti ini biasanya sulit sekali bertahan lama. Banyak sekali kerjasama yang berantakan hanya karena sebab ini.

Kerja sama semacam ini banyak dijumpai pada orang-orang yang punya pengetahuan dan pengalaman manajemen baik tetapi tidak punya modal, sedangkan yang kaya dan punya modal, namun tidak punya ketrampilan manajemen. Misalnya, pembagian keuntungan 70-30, artinya 30% untuk yang punya modal dan 70% bagi yang mengelola. Kalau perusahaan sudah mulai jalan, tak jarang kemudian timbul saling curiga dan berusaha menggeser yang satunya untuk mengambil keuntungan sepenuhnya. Karena kerja sama semacam ini biasanya awalnya juga disadari oleh rasa saling percaya, maka tidak ada ikatan perjanjian kerja yang sah, hanya berdasarkan pembicaraan saja. Akibatnya banyak manajer-manajer yang kemudian dikecewakan oleh boss-nya karena kemudian digeser digantikan oleh orang lain yang dibayar secara gaji, bukan pembagian keuntungan. Inilah satu sifat manusia yang berbahaya, yaitu serakah dan tamak.

Tetapi tidak semuanya pasti akan berakhir seperti itu. Memang juga tergantung dari perjanjian yang dibuat sebelumnya. Masalahnya, kadang perjanjian tidak dibuat secara tertulis karena pada mulanya didasari dengan rasa saling percaya dan sungkan. Akibatnya, kelemahan ini dipakai sebagai dasar untuk menggeser partnernya yang tidak memiliki kekuatan hukum dalam bekerja sama. Hubungan yang didasari uang, akhirnya bisa berantakan. Lalu bagaimana caranya memilih partner bisnis? Sementara kita juga membutuhkan modal? Sebaiknya, dalam hal dana, kedudukan kita juga kuat. Artinya, kita bukan berasal dari modal dengkul saja.

Kita sudah punya modal, katakanlah sekian ratus juta, tetapi belum cukup untuk usaha yang dimaksud. Agar dapat klop, kemudian dicari partner yang menutupi kekurangan. Tetapi hubungan kerja sama dengan cara ini saja juga kurang bisa langgeng. Sebab kalau suatu saat kita merasa sudah mampu mandiri, kalau kita sedang gelap mata, bisa saja partner yang selama ini telah membantu kita kemudian kita singkirkan, baik dengan cara halus atau kasar. Hubungan lalu putus dan semua menjadi tak enak. Memang kalau sudah bicara soal uang, kawan yang asalnya teman sepermainan bisa saling membunuh. Perjanjian yang kita ucapkan pada awal kerja sama bisa berubah kalau perusahaan kemudian menjadi besar. Kita semua harus hati-hati dan menjaga hal ini, karena setiap manusia bisa dijakiti sakit iri hati dan tamak.

Memilih partner bisnis atau pasangan dalam dunia usaha sesungguhnya tidak dapat dikatakan mudah. Kita bisa saja memilih teman yang cocok dengan kita. Tetapi kalau kita salah pilih, biasanya akan muncul problem di belakang hari. Memilih partner bisnis hampir sama seperti memilih pacar. Jangan hanya sekedar cantik atau kaya, tetapi belakangan hari baru ketahuan belangnya.

Dalam sebuah iklan lama dalam majalah Fortune International, IBM merelease sebuah resep How to chose a partner. Dalam iklan tersebut disebutkan ada beberapa hal utama yang harus ada dalam diri partner yang kita cari.

Syarat yang pertama adalah Partner itu haruslah seorang yang punya perhatian terhadap usaha kita sebanyak yang kita lakukan sendiri. Kalau kita punya partner kemudian ia acuh tak acuh saja terhadap usaha kita atau ia tidak mau tahu bila ada masalah, maka ia bukan partner yang baik. Kalau sementara perusahaan sedang dalam masa sulit, tetapi ia kemudian bepergian untuk bersenang-senang dan melepaskan tanggung jawabnya, ia bukan partner yang sesungguhnya.

Kemudian, syarat yang kedua, seorang partner juga seyogyanya akan berada di perusahaan itu bila dalam keadaan darurat. Misalnya, katakanlah perusahaan sedang dalam keadaan jatuh, ia harus tetap berada di sana, tidak kemudian lari meninggalkan kita. Demikian pula, kalau perusahaan kita sedang ditimpa kemalangan, misalnya kantor terbakar, maka biarpun malam hari, partner yang baik pasti sudah muncul di sana. Bahkan mungkin kehadirannya lebih cepat dari kita sendiri. Pendek kata, suka maupun duka ditanggung bersama-sama.

Syarat ketiga adalah, ia memahami usaha yang kita kerjakan dan mengetahui sistem bisnisnya. Artinya, kita tidak perlu lagi mengajarinya dari nol, tetapi ia punya kemampuan intelektual yang baik dan dapat menjalankan usaha yang kita kerjakan secara bersama-sama. Dengan demikian, partner yang kita cari ini merupakan pasangan kerja. Seringkali kita mencari partner yang tidak bisa apa-apa. Malah kalau perlu dicari yang tidak bisa apa-apa sehingga tidak mencampuri urusan kita. Pendapat ini salah. Kerja sama yang baik adalah sama-sama bekerja, bukan hanya menyaksikan ia bekerja. Boleh jadi kita yang membayar dia, tetapi kalau kita cuma duduk enak-enakan saja sementara ia kerja keras membanting tulang, maka ia juga tidak akan senang pada kita. Artinya kita bukan partner yang cocok baginya.

Syarat berikutnya yang tak kalah pentingnya adalah: Ia dapat menolong kita untuk berprestasi lebih baik daripada kalau kita kerjakan sendiri. Jadi misalnya saja, kalau kita bekerja sendiri peningkatan keuntungan yang kita peroleh dari tahun ke tahun adalah 15%, maka partner yang baik harus dapat meningkatkan keuntungan lebih daripada itu. Memang, apalah artinya partner kalau keuntungan atau prestasi perusahaan tetap sama saja. Apalagi kalau partner itu bahkan menghabiskan dana dan mengurangi keuntungan. Lebih baik kita bekerja sendiri saja daripada punya partner semacam itu.

Partner yang baik adalah partner yang mampu memecahkan masalah, bahkan kalau bisa, ia mengembangkannya menjadi suatu hal yang menguntungkan. Artinya, ia mampu mengubah tantangan menjadi sebuah peluang. Oleh sebab itu, partner yang biasanya cuma mengeluh atau mengomel saja tidak akan disenangi. Apalagi partner yang kerjanya cuma bisa marah-marah kalau melihat usahanya tidak untung-untung.

Alangkah baiknya seorang partner bisnis dapat memberi sumbangan ide yang inovatif untuk menolong staf-staf kita agar dapat bekerja lebih efisien. Artinya dari partner itu kita harapkan dapatnya terbentuk suatu sistem kerja yang jauh lebih baik hingga karyawan kita dapat bekerja lebih produktif.

Selebihnya, kita sendiri sebagai seorang partner perlu mempunyai pandangan ke depan dan dapat menolong kita untuk menyusun suatu rencana strategis jangka panjang. Partner yang hanya memeberikan rencana-rencana jangka pendek (1 sampai 5 tahun) biasanya masih ada yang disembunyi-sembunyikan. Umumnya ini dijadikan sebagai senjata agar ia tidak begitu saja mudah didepak. Bahkan terkadang partner ini membuat sistem manajemen yang akan berantakan bila ditinggalkan olehnya. Hal ini tidak baik, meski ia tak dapat disalahkan sepenuhnya karena bisa saja sikap kita yang membuatnya harus berjaga-jaga. Tetapi dengan dasar saling percaya dan jaminan tak ada pengkhiatan, maka partner yang baik akan menyumbangkan segala pemikiran strategis jangka panjang untuk rekan bisnisnya.

Selebihnya, partner yang kita pilih haruslah punya pandangan bahwa konsumen adalah yang terpenting. Artinya, ia harus punya pandangan bahwa keberhasilan suatu dunia usaha terletak pada kemampuan kita meraih konsumen. Usaha apapun itu, pasti punya unsur menjual, baik itu menjual barang atau menjual jasa. Kalau partner kita orientasinya hanya pada produksi saja, ia bisa tidak mau tahu apakah barangnya laku atau tidak. Partner yang terbaik adalah punya keyakinan bahwa konsumen itu penting.

Yang terakhir, partner bisnis kita sebaiknya punya kemampuan untuk memusatkan dan mendayagunakan sumberdayanya pada pencapaian hasil yang puncak. Artinya, ia akan menyumbangkan segala apa yang dimilikinya, misalnya uang, pikirannya, tenaganya dan apa saja yang dimilikinya, agar perusahaan ini mencapai hasil seoptimal mungkin. Syarat yang terakhir ini yang jarang dijumpai. Jauh lebih banyak partner yang sete-ngah-tengah saja dalam menyumbangkan sumber daya yang dimilikinya. Boleh jadi ia belum percaya seratus persen pada mitra bisnisnya atau mungkin karena sebab-sebab lain.

Dari hal ini, maka dengan didasari oleh rasa saling percaya yang kuat dan sifat kerja sama yang saling membutuhkan bukannya saling memanfaatkan, maka kerjasama akan lebih lancar jalannya. Pembagian keuntungan harus jelas dan semua pihak harus jujur. Sebab partner ini haruslah sudah merupakan orang yang kita anggap "keluarga" sendiri. Tak perlu lagi rasa saling curiga, iri hati atau jegal menjegal.

* * *

Popular Posts