27 Apr 2014

Merumuskan Metode Penelitian Ufologi


(Oleh: Nur Agustinus)

Perkembangan ufologi tidak lepas dari sejauh mana pemikiran dan penelitian mengenai fenomena ufo. Ada banyak spekulasi dan teori tentang UFO yang bisa kita baca. Akan tetapi, apakah teori-teori itu benar? Untuk menguji kebenaran secara ilmiah diperlukan upaya penelitian. Tentu saja untuk itu diperlukan metodologi penelitian yang benar secara ilmiah.

Bagaimana merumuskan sebuah metodologi penelitian di bidang ufologi? Hal ini sungguh penting karena tidak mudah merumuskan sebuah metodologi penelitian yang sesuai untuk ufologi. Sebagian besar dari kita tentu percaya bahwa ufo itu ada. Tapi banyak orang juga tidak percaya akan adanya ufo. Bahkan kebanyakan masih berpendapat bahwa ufo adalah pseudoscience, jadi bagaimana metode penelitiannya bisa dianggap ilmiah?



Fenomena ufo memang diakui tidak dapat diuji dalam sebuah laboratorium ilmiah. Hal ini juga diakui oleh organisasi UFO di Amerika Serikat seperti yang didirikan oleh J. Allen Hynek, yakni CUFOS, yang mengemukakan, "Many researchers (called 'ufologists') have theories about what UFOs might be, but because no one can examine a UFO in a scientific laboratory, all of these ideas are really only educated guesses." Lalu, bagaimana cara meneliti ufo? Apa metodologi penelitian yang bisa digunakan untuk meneliti fenomena ufo?


Apakah penelitian itu?


Penelitian bisa mempunyai dua arti. Pertama adalah riset yang dalam bahasa Inggris disebut research, artinya mencari kembali (re-search), dan yang kedua adalah investigasi yang sebenarnya bermakna penyelidikan. Dalam hubungan dengan riset, maka penelitian bisa merupakan sebuah pengujian hipotesis. Dengan kata lain, penelitian merupakan suatu upaya penyelidikan atau pengujian yang dilakukan secara teliti dan kritis dalam mencari fakta-fakta atau prinsip-prinsip serta menggunakan langkah-langkah tertentu.Berdasarkan tujuannya, sebuah penelitian merupakan sebuah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.

Agak berbeda pengertiannya dengan investigasi, yang umum digunakan dalam terminologi jurnalistik, dan dikalangan ufologi dikenal juga istilah ufo investigator, sebuah kegiatan investigasi adalah upaya penelitian, penyelidikan, pengusutan, pencarian, pemeriksaan dan pengumpulan data, informasi, serta temuan lainnya untuk mengetahui atau membuktikan kebenaran atau bahkan kesalahan sebuah fakta yang kemudian menyajikan kesimpulan atas rangkaian temuan dan susunan kejadian.

Penelitian dimulai dari pertanyaan yang belum dapat dijawab oleh seorang peneliti. Untuk ini diperlukan adanya motivasi yang berupa rasa ingin tahu untuk mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk melihat dengan jelas tujuan dan sasaran penelitian, perlu diadakan identifikasi masalah dan lingkungan masalah itu. Masalah penelitian selanjutnya dipilih dengan kriteria, antara lain apakah penelitian itu dapat memecahkan permasalahan, apakah penelitian itu dapat diteliti dari taraf kemajuan pengetahuan, waktu, biaya maupun kemampuan peneliti sendiri. Semua ini harus dikembalikan pada obyek penelitian yaitu fenomena ufo.

Penelitian ilmiah pada dasarnya untuk mencari kebenaran ilmiah. Ada tiga sifat dasar kebenaran ilmiah yaitu (1) strutur kebenaran ilmiah yang rasional-logis, yakni kebenaran ilmiah selalu dicapai berdasarkan kesimpulan yang logis dan rasional dari proposisi atau premis-premis tertentu. Proposisi-proposisi dapat berupa teori atau hukum ilmiah yang telah terbukti benar dan diterima sebagai benar atau dapat pula mengungkapkan data atau fakta baru tertentu. Proposisi yang menjadi kesimpulan yang dianggap benar dapat diperoleh melalui deduksi atau induksi. Kebenaran ilmiah bersifat rasional dan berlaku universal. (2) Sifat empiris, bahwa bagaimanapun juga kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kebenaran yang yang ada, (3) Sifat pragmatis, artinya menggabungkan sifat kebenaran ilmiah yang rasional/logis dan sifat kebenaran empiris. Sebuah pernyataan dianggap benar secara logis dan empiris, jika pernyataan tersebut juga berguna dalam kehidupan manusia yaitu berguna membantu memecahkan berbagai persoalan dalam hidup manusia.

Mencari kebenaran

Ada hal yang sama antara riset dengan investigasi, keduanya berhubungan dengan "kebenaran". Dari kecil, manusia selalu bertanya dan punya rasa ingin tahu. Manusia selalu ingin mencari kebenaran. Jika seandainya pengertian atau pengetahuan seseorang sesuai dengan apa yang diketahuinya (dengan realitas), maka dikatakan bahwa orang tersebut pengetahuannya benar. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan obyeknya. Lalu, apakah sesungguhnya "kebenaran" itu? Bagaimana kita bisa memperoleh "kebenaran" jika kebenaran ada di luar sana, seperti slogan film seri X-Files, "The truth is out there"? Apakah dalam ufologi kita menemukan kebenaran dengan cara riset, atau dengan investigasi?

Kata-kata "The Truth is Out There" memang terkenal, namun kalau dipikir serius, kalimat ini sebenarnya tidak membawa optimisme pada studi ufologi. Mengapa? Karena jika kebenaran ada di luar sana, bagaimana kita bisa mengetahui kebenaran tersebut? Apakah dengan cara kita berada di luar sana? Bagaimana cari kita berada di luar sana? Apakah di luar sana adalah di luar realtitas? Sementara kebenaran adalah "yang ada" dalam realitas.

Ada yang mengatakan bahwa realitas itu adalah apa yang ada dalam persepsi seseorang. Oleh karena itu kebenaran akan "sesuatu yang-ada" dalam hal ini adalah ufo, adalah juga relatif tergantung persepsi tiap orang. Namun persoalannya adalah, ketika berada dalam persepsi seseorang, apakah sesungguhnya obyek tersebut benar ada? Definisi kebenaran yang dianggap standard adalah kesesuaian antara pikiran dan kenyataan/realitas. Jika di depan saya ada sapi, maka sapi itu adalah benar sapi karena dalam pikiran saya, sapi bentuknya seperti itu dan kenyataannya juga seperti itu. Jadi keberadaan sapi itu benar. Apakah keberadaan ufo itu benar?

Dalam kaitannya dengan ini, ada yang dinamakan konsep "evidensi". Dengan adanya evidensi ini, kenyataan/realitas memaksakan diri kepada saya dan saya harus merespon evidensi ini. Semakin jelas evidensi yang ada, semakin tidak perlu diragukan validitasnya. Namun di satu sisi, manusia memiliki kemungkinan meragukan sebuah eviden (bukti atau "yang-ada" yang menyatakan dirinya). Ada dua sikap ekstrem manusia menanggapi kebanaran, pertama adalah pesimisme dan di sisi lain adalah optimisme.

Sikap pesimisme terjadi saat orang tidak percaya akan kemampuan akal budi manusia untuk memahami kebenaran. Bentuk pesimisme yang paling umum adalah skeptisisme. Berbeda dengan optimisme, merupakan sikap yang menekankan bahwa kita mengetahui kebenaran secara tuntas, total, langsung, jelas. Optimisme yang ekstrem membuat orang kurang obyektif dan merasa yakin akan kebenaran yang dipersepsi olehnya. Dua sikap ekstrem ini menunjukkan bagaimana orang bersikap terhadap kebenaran, dari yang ekstrem menerima begitu saja hingga meragukannya.

Sikap terhadap eviden berbeda dengan sikap terhadap kebenaran itu sendiri. Dua kutub ekstrem sikap terhadap evidensi ini adalah cinta dan kecongkakan. Cinta membuka dan menyediakan kehendak untuk mendengar apa yang dinyatakan oleh kenyataan sehingga bersedia menaati tuntutan dan kenyataan. Dengan sikap cinta, kita membiarkan kenyataan untuk menyatakan dirinya. Sementara sikap congkak tidak bersedia mendengar apa yang dikatakan oleh kenyataan dan memberi isi menurut keinginannya sendiri, menolak pengabdian, menolak ketaatan dan kebaktian terhadap kenyataan serta cenderung untuk menguasainya. Sikap ini membahayakan keterbukaan bagi kenyataan yang menyatakan diri.Di kalangan ufologi, sikap seperti ini biasa pada para debunker. Jadi di sini adalah kesediaan memperoleh bukti atau sebaliknya menolak bukti yang ada.

Sikap yang ekstrem pada umumnya dianggap kurang baik. Meneliti fenomena ufo sebaiknya dengan sikap open-minded skeptic. Kita terbuka sekaligus meragukan, yang berarti kita tidak serta merta menerima begitu saja apa yang ada, namun berusaha untuk mengkritisi sehingga terbuka kemungkinan untuk dikoreksi. Hal itu juga diperlukan sikap cinta terhadap fenomena ufo, sehingga ada kesediaan untuk menerima evidensi yang dihadirkan oleh realitas. Tanpa sikap-sikap ini, akan sulit untuk memulai sebuah penelitian di bidang ufologi.

Jika tujuannya adalah mencari kebenaran, maka hal ini berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Setiap pengetahuan yang dimiliki seseorang yang mengetahui suatu obyek ditinjau dari bagaimana pengetahuan itu dibangun. Pengetahuan tersebut bisa berupa: (1) pengetahuan biasa yang sifatnya subyektif, (2) pengetahuan ilmiah yang bersifat relatif, (3) pengetahuan filosofi yang sifatnya absolut-intersubyektif, dan (4) pengetahuan agama yang bersifat absolut.

Tentu saja dalam rangka mencari kebenaran bisa terjadi ketidaksepakatan. Kebenaran pengetahuan yang dibangun oleh tiap-tiap orang dapat mengalami kesulitan untuk menacapi titik temunya. Manusia dalam membangun pengetahuannya bisa melalui melalui (1) inderawi (sense experience), (2) akal budi, rasio atau intuitif, serta (3) kepercayaan atau keyakinannya. Perbedaan pengalaman hidup, keyakinan dan proses berpikir menyebabkan akan ada banyak variasi pengetahuan, yang pada akhirnya membuat kebenaran menjadi begitu beraneka di tiap-tiap individu.

Kata Yunani untuk kebenaran adalah alètheia, yang artinya ”ketaktersembunyian adanya” atau ”ketersingkapan adanya”. Kita belum berjumpa pada kebenaran jika “adanya” masih tersembunyi. Kebenaran dapat didefinisikan sebagai “conformity of mind with reality” atau kesesuaian antara pikiran dan realitas. Oleh karena itu, kebenaran sebenarnya adalah adalah persamaan antara pikiran (thought) dan sesuatu (thing).

Mengkonstruksi teori

Teori adalah hubungan antara dua konsep/konstruk atau lebih. Seperti misalnya, ada teori bahwa alien adalah nenek moyang manusia. Di sini "alien" adalah "nenek moyang manusia" merupakan hubungan anara dua konsep "alien" dan "nenek moyang manusia". Pada dasarnya kita tidak menyebut teori itu benar atau salah, melainkan ialah teori yang kuat dan lemah. Teori akan kuat jika didukung dengan bukti-bukti, sementara lemah jika kurang didukung data empiris (bukti). Teori yang sangat lemah dukungan empirisnya akan menjadi pseudoscience jika masih ada yang mengikuti teori itu. Proses analisisnya bisa melalui proses berpikir logis dengan deduksi dan induksi.

Teori yang tidak didukung oleh bukti empiris dan ditinggalkan akan menjadi sejarah, misalnya teori bahwa matahari yang mengitari bumi. Teori yang lemah, sebenarnya merupakan hipotesis yang masih harus didukung oleh bukti-bukti empiris. Tak dipungkiri bahwa banyak sekali teori di kalangan ufologi yang masih belum memiliki dukungan bukti empiris yang kuat. Sifatnya cenderung spekulatif meski beberapa analisis nampaknya masuk akal. Untuk menjadi sebuah teori yang kuat, ukti empiris harus dicari melalui kaidah ilmu pengetahuan dan metodologi riset yang baku.

Sebelum masuk pada sebuah konstruksi teori, adalah perlu untuk menyamakan konsep. Dengan kata lain, persoalan definisi menjadi sangat penting. Kata definisi berasal dari bahasa Latin definitio yang artinya pembatasan. Definisi adalah suatu bagian yang menjelaskan makna sebuah istilah (kata, frase atau simbol). Setiap definisi terdiri dari dua bagian, yaitu definiendum dan definiens. Definiendum adalah kata atau kelompok kata yang didefinisikan. Definiens adalah kata atau susunan kata yang mendefinisikan. Contoh: ufo adalah pesawat makhluk asing. Term “ufo” disebut definiendum dan susunan kata-kata “pesawat makhluk asing” disebut definiens.

Definisi merupakan langkah pertama untuk menghindari kekeliruan, terutama kekeliruan yang disebabkan oleh faktor bahasa. Pada hakekatnya, definisi merupakan komponen dari ilmu pengetahuan yang merumuskan dengan singkat dan tepat tentang sesuatu objek. Definisi yang disusun dan disepakati menjadi alat dan prasyarat untuk berfikir dengan logis.

Dalam mengkonstruksi sebuah teori, hal itu tidak lepas dari pengetahuan yang dimiliki. Kehidupan sehari-hari telah menyimpan dan menyediakan kenyataan, sekaligus pengetahuan yang membimbing perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas obyektif yang ditafsirkan oleh individu, atau memiliki makna-makna subyektif.

Mengkonstruksi teori sama dengan membuat model konseptual yang bisa menjelaskan sebuah fenomena. Dengan demikian, sebuah teori tentang ufo harus bertujuan untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena ufo itu sendiri. Pada umumnya untuk mengkonstruksi teori, jika tujuan model untuk menjelaskan keadaan/situasi, maka asumsi harus mendekati realitas.

Realitas dan Kenyataan

Apakah ufo merupakan sebuah realitas? Atau eksistensi ufo masih misteri? Misteri adalah sesuatu yang belum diketahui dengan pasti dan menarik keingintahuan orang-orang. Misteri biasanya dikaitkan dengan kejadian-kejadian supernatural. Akan tetap, Oscar Wilde berkata, “The true mystery of the world is the visible, not the invisible.”

Jika kita mempelajari sejarah ilmu pengetahuan, maka yang di masa lalu dianggap sebagai misteri, ternyata bisa dipecahkan oleh ilmu pengetahuan. Gunung meletus bukan dikarenakan dewa sedang marah, tetapi karena gerakan magma bumi yang menghasilkan erupsi karena tekanan yang kuat dari dalam.

Ini mendasari sebuah harapan, bahwa misteri ufo suatu saat bisa dipecahkan oleh sains. Omne ens est intelligibile, yang artinya tiap kenyataan terbuka untuk dikenal. Persoalannya, sains membutuhkan bukti empiris. Carl Sagan bahkan pernah berkata, "Extraordinary claims require extraordinary evidence.”

Tentu saja masih banyak orang yang sulit menerima ufo sebagai sebuah realitas dan kenyataan. Kenyataan disebut benar berarti kenyataan itu bersifat intelligible, artinya terbuka bagi budi dan masuk akal. Dalam banyak hal, fenomena ufo sering dianggap tidak masuk akal. Ada sejumlah pertanyaan logis yang sulit dijawab yang membuatnya meragukan untuk dipercaya sebagai sebuah kenyataan.

Dalam rangka menguak misteri dan menyatakan relaitasnya, kenyataan mempunyai diri terhadap subyek yang mengenalinya. Norma kebenaran dengan demikian tidak terletak pada sains semata, melainkan juga pada kenyataan yang menyatakan diri. Aktivitas dari subyek bersifat mendengarkan, yaitu aktivitas yang reseptif.

Evidensi kenyataan menjadi norma kebenaran dan kenyataanlah yang menyatakan diri pada subyek. Jadi untuk sampai pada pengetahuan yang benar, manusia sebagai subyek harus membiarkan kenyataan berbicara. Evidensi yang obyektif menjadi ukuran dan batu ujian kebenaran.


Mencari jawaban lewat referensi agama

Manusia adalah makhluk yang bertanya. Manusia merasa heran akan sekelilingnya lalu dia bertanya. Setiap kali manusia bertanya dan memperoleh jawaban maka selalu akan muncul pertanyaan baru. Manusia bingung maka untuk itu dia memerlukan refleksi. Dalam refleksinya manusia berdiskusi baik dengan dirinya sendiri maupun juga dengan sesamanya. Dalam diskursus itu manusia bersepakat tentang jawaban-jawaban. Jadi, manusia sejak awal adalah makhluk yang berdiskusi, bermusyawarah dan bersepakat. Hanya saja, sering kali ada yang berusaha memaksakan pendapatnya akan kebenaran menurut dirinya.

Nico Syukur Dister, seoran teolog, mengemukakan bahwa agama memiliki fungsi emotif-afektif, fungsi sosio-moral dan juga fungsi intelektual-kognitif. Fungsi yang terakhir ini membuat agama sebagai sarana untuk memuaskan intelek manusia manakala manusia diliputi pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya fundamental. Sebagai misal, ketika manusia bertanya tentang hakikat penciptaan dan tujuan keberadaan mereka di muka bumi ini. Nico menjelaskan ada dua sumber kepuasan dapat ditemukan dalam agama oleh intelek. Pertama, agama dapat menyajikan pengetahuan yang sifatnya rahasia, dan kedua, memberikan kepuasan dalam pertanyaan-pertanyaan etis.

Karena ufo adalah misteri, maka tak heran jika agama kemudian digunakan sebagai referensi dalam diskusi ufo. Pertanyaannya, apakah hal itu harus dihindari atau sesuatu yang tak perlu dicegah? Jika kita membahas dari sudut pandang agama, pada dasarnya yang dilakukan adalah melakukan tafsir atas teks agama. Tak dipungkiri bahwa tarik-menarik kepentingan tafsir agama yang dibumbui pemutlakan kebenaran atas tafsir agama masing-masing.

Doktrin yang banyak tertanam dalam pikiran dan perilaku umat beragama adalah bahwa kebenaran agama bersifat tunggal, pasti, dan tuntas. Mereka menganggap, bahwa agama adalah wilayah yang harus disucikan dari kreatifitas dan kritik manusia. Hal ini dikarenakan agama adalah wilayah milik Tuhan yang terjamin kebenarannya. Orang yang berani mengkritik agama justru dianggap orang yang gila, aneh, jauh dari kebenaran. Ali Harb, pemikir Islam kontemporer asal Libanon mengemukakan bahwa kebenaran agama adalah relatif. Kebenaran sering menjadi suatu bentuk pengklaiman dari berbagai pihak secara subyektif dan menjadi konsep tunggal dan sederhana atau teologis metafisik yang sangat jauh dari wilayah penelitian dan pemikiran.


Keyakinan dan sikap

Persoalan ufo seringkali dipertanyakan antara fakta dengan fiksi, antara nyata dengan fantasi. Ada dua hal yang harus diperhatikan saat membahas fenomena ini, yakni antara keyakinan dan sikap. Keyakinan ini berkaitan dengan fakta atau kejadian, misalnya apakah kita yakin bahwa fakta itu benar atau tidak, atau kejadian tersebut benar terjadi atau tidak.

Sebagai contoh, saat ada yang bersaksi mengalami peristiwa diculik oleh alien, apakah kita yakin bahwa kejadian yang dialami oleh saksi tersebut benar atau tidak. Keyakinan kita tentu tidak serta merta menunjukkan kebenaran akan peristiwa itu, sebab keyakinan kita yang menentukan apakah itu benar atau tidak. Pada tataran keyakinan ini, tiap orang bisa berbeda-beda hasilnya. Lalu, bagaimana melakukan penelitian untuk menentukan keyakinan mana yang benar?

Tentu tidak mudah untuk membuat penilaian atas sebuah pernyataan. Mengacu kepada Aristoteles, filsuf Yunani kuno, kualitas dari sebuah argumen tergantung dari tiga aspek pembuktian, yaitu logika, etika dan emosional. Ini menyangkut kredibilitas penyampai informasi, yakni kecerdasan, karakter dan niat baiknya.

Di kalangan ufologi, penyampai berita yang memiliki motif finansial, kurang mendapat dukungan. Misalnya, ketika seseorang yang memiliki foto atau video ufo namun meminta sejumlah uang sebagai imbalannya. Namun, penting untuk diuji sejauh mana karakter dan kejujuran dari orang yang melaporkan pengalamannya tersebut. Mengingat bahwa kebenaran itu sangat tergantung dari pengalaman masing-masing penilai, maka orang bisa tidak sepakat dalam hal keyakinan mengenai benar tidaknya sebuah peristiwa yang dilaporkan.

Hal yang kedua adalah sikap. Sikap seseorang bisa berbeda dengan yang lain. Mungkin dua orang bisa sepakat dalam hal keyakinan, namun sikapnya berbeda. Seseorang memandang alien itu baik sementara yang lain sebaliknya. Sebagai contoh, sering dikatakan bahwa alien jenis reptilian mempunyai agenda yang tidak baik untuk manusia, namun tentu saja bisa terjadi ketidaksepakatan sikap di antara para pengamat ufo tentang hal ini. Mereka sama-sama yakin bahwa alien reptilian itu ada, tapi berbeda sikap tentangnya.

Dikarenakan fenomena ufo ini masih misteri dan pengujian kebenarannya tidak semudah membuktikan apakah benar terjadi kecelakaan mobil di jalan raya “A” tadi pagi, maka seringkali ketidaksepakatan dalam hal keyakinan dan sikap ini bisa berlarut-larut tanpa ada satupun yang bisa dengan pasti membuat pernyataan bahwa dirinya yang benar. Sebagai contoh, ada yang menyatakan bahwa apa yang disampaikan oleh Billy Meier adalah sebuah kebohongan, namun tetap saja ada yang yakin itu benar terjadi. Demikian juga mengenai apa yang dilaporkan oleh George Adamski. Banyak sekali orang yang mengaku mendapat kontak dari alien, baik langsung maupun melalui proses medium (channeling), diyakini benar terjadi oleh satu pihak, sementara ada pihak lain yang meragukannya atau bahkan menganggap orang-orang tersebut mengalami gangguan kejiwaan. Oleh karena itu, jalan keluar atas hal ini tidak pernah mudah.

Penggunaan teks agama sebagai sebuah evidensi (bukti) tentang penampakan atau kejadian yang berhubungan dengan makhluk cerdas bukan manusia di masa lalu juga bisa menimbulkan ketidaksepakatan dalam hal keyakinan dan sikap. Orang bisa yakin bahwa teks tersebut benar terjadi, sementara ada yang tidak meyakininya peristiwa itu pernah terjadi. Namun demikian, dengan asumsi bahwa apa yang ada dalam teks agama itu merupakan catatan sejarah, maka hal itu bisa digunakan sebagai catatan sebuah peristiwa. Hanya saja, sekali lagi, meski kebenaran agama itu absolut, tetapi hanya berlaku kepada yang mengimaninya saja.

Maka sebuah penelitian di bidang ufologi sangat mudah terjadi kekeliruan dan kesalahan pada keputusan atau kesimpulan. Apa beda kekeliruan dan kesalahan? Kekeliruan terletak pada penilaian manusia, bukan pada bendanya sendiri. Manusialah yang membuat penilaian secara gegabah. Dengan keputusan, kita mengadakan afirmasi atau negasi mengenai sesuatu, dan bisa jatuh dalam kekeliruan. Sementara mengenai kesalahan adalah hasil dari tindakan tersebut. Menyadari kekeliruan belum dengan sendirinya menemukan yang benar, namun menyadari kesalahan merupakan langkah yang tepat untuk menuju kebenaran.


Tak ada teori yang mutlak benar

Penelitian sudah seharusnya mensyaratkan penekunan pada kenyataan dan pengetahuan. Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomen-fenomen yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang tidak dapat kita tiadakan dengan angan-angan). Di sisi lain, pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik. Sementara itu yang juga berperan penting adalah common sense, yaitu pengetahuan yang dimiliki individu bersama individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal, dan sudah jelas dengan sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika seseorang berusaha membuat sebuah teori atau kesimpulan terhadap fenomena ufo ini, maka hal itu kembali kepada sejauh mana ufo itu merupakan realitas baginya. Bagi sains realitas adalah segala sesuatu yang bisa diobservasi, bagi filsafat realitas adalah segala sesuatu yang bisa dipikirkan. Karena "realitas" adalah dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran.

Tujuan penelitian itu sendiri adalah mengkonstruksi teori yang bisa menjelaskan fenomena. Lalu, apakah dalam penelitian tentang ufo ini tidak hanya menghasilkan teori-teori yang sifatnya spekulatif saja? Karl Popper mengatakan, ”Perkembangan suatu ilmu pengetahuan dimulai dengan hipotesa dari proposal imajinasi, sesuatu yang berasal dari sebuah pengertian individu dan tak dapat diprediksi…”

Bagi Popper segala pengetahuan bersifat sementara, maka terbuka untuk dikatakan salah. Karena itu, menurut Popper kita harus meninggalkan usaha untuk mencari kepastian mutlak dalam pengetahuan manusia. Pengetahuan kita selamanya bersifat konjektural, tentatif, dan selalu harus diuji. Ini mempunyai implikasi metodologis, yakni bahwa suatu teori harus dirumuskan sejelas mungkin sehingga terbuka terhadap penyangkalan. Jadi, ilmu pengetahuan dalam pandangan Popper, merupakan suatu sistem yang terbuka dinamis, dan tak pernah final.

Popper mengatakan bahwa ilmiah tidaknya suatu ilmu pengetahuan yang didasarkan pada kemampuannya terhadap ketahanan uji (testability), bisa disalahkan (falsibility) dan bisa disangkal (refutability). Apabila teori dapat diuji dan memenuhi kompenen untuk disangkal maka ia telah memenuhi syarat keilmuan. Prinsip falsifikasi adalah upaya untuk membantah, menyangkal dan menolak teori. Menurut Popper, hal ini adalah prinsip ilmu sejati dan seorang ilmuwan sejati tidak boleh takut untuk menghadapi penolakan, bantahan, kritik, terhadap hipotesa yang dikemukakannya. Bahkan sebaliknya, ia akan terus mengharapkan sanggahan untuk tercapai kebenaran sejati. Menurut Popper, baik memverifikasi maupun mengkonfirmasi suatu teori itu mudah, tapi membuktikan bahwa teori itu salah (falsified) itu yang lebih penting.

Problemnya, orang sering terjebak pada logosentrisme. Ingin kebenaran yang pasti dan mutlak. Di sisi lain, kita juga punya pola pikir skeptisisme, meragukan (skeptis), bahkan meragukan pikirannya sendiri. Meragukan segala sesuatu sebenarnya membuat kita berpikir, mempertanyakan. Ini adalah kunci menuju pencerahan adalah berani berpikir sendiri. Maka adalah penting untuk mencari kebenaran akan fenomena ufo ini berangkat dari diri sendiri. Imanuel kant, seorang filsuf pernah mengatakan "sapere aude" yang artinya "beranilah berpikir sendiri" ("Have courage to use your own understanding!"). Namun sekaligus harus siap menghadapi adanya sanggahan bahwa apa yang Anda pikir benar itu ternyata bisa saja keliru. Sikap inilah yang dibutuhkan sebagai peneliti ufo, yakni open-minded skeptic. Galileo Galilei berkata, “All truths are easy to understand once they are discovered; the point is to discover them.”

* * *

Surabaya, 20 Agustus 2011

Popular Posts