TERTIDUR di ruang kuliah bagi mahasiswa sudah hal lumrah. Dua hari yang
lalu saya melihat mahasiswa saya tertidur nyenyak telentang di lantai
seperti sangat kelelahan dan tak menyadari bahwa kuliah sudah dimulai.
Saya
terus saja kuliah dengan prinsip mahasiswa adalah pembelajar yang telah
dewasa sehingga jika pilihannya adalah tidur di ruang kuliah, silakan
dengan merdeka memilih hal itu.
Meski demikian, saya merasa tertampar
sebagai dosen, rupanya kuliah saya sudah tidak bermakna lagi sehingga
ada pilihan lain yang lebih bermakna: bisa tidur, bisa juga melakukan
aktivitas lain. Sang mahasiswa dibangunkan oleh teman di dekatnya ketika
dalam sela-sela perkuliahan saya mengeluarkan soal untuk kuis
interaktif.
Nilai nominal
Belakangan saya lebih merasa bersalah
lagi sebab tidak membangunkan mahasiswa saya sebelum memulai
perkuliahan. Sang mahasiswa ini saya ajak berbincang selesai kelas. Saya
selidiki mengapa ia tidur. Menurut dia, kelelahan adalah penyebab
utamanya. Ia katakan telah tidur sebelum saya tiba di kelas. Mengapa
ketika ada kuis interaktif mahasiswa lain membangunkan dia?
Makin
tertempelaklah saya, sebab ini berarti para mahasiswa hanya mendambakan
nilai kuis. Sekali lagi, kuliah saya tidak dibutuhkan. Ada yang lebih
bermakna: nilai nominal.
Cerita orang yang lebih tua dan meskipun
berpengalaman ternyata tak lagi superior dalam proses pembelajaran.
Salah satu bukti nyata dan kuat mengapa dosen tak lagi boleh hanya
mengajar di depan kelas. Maka kesadaran untuk paradigma unsuperiority
terutama berkaitan dengan sumber pembelajaran jelas amat penting.
Kemarin,
saya ceritakan pengalaman di atas kepada beberapa mahasiswa di fakultas
lain tempat saya berkarya. Para mahasiswa ini malah menambah lagi rasa
bersalah saya dengan timbunan cerita yang bermuara dan berhilir pada
masalah yang sama: dosen tak boleh hanya mengajar di depan kelas.
Begini
ceritanya; ada beberapa dosen yang sering marah saat memberi kuliah
gara-gara para mahasiswanya mengobrol. Di antara dosen-dosen ini, salah
satunya mengusir mahasiswa dari ruang kelasnya. Para mahasiswa pencerita
ini bahkan punya nama khusus di kalangan mereka untuk dosen pengusir
mahasiswa.
Bukan merasa bersalah, para mahasiswa yang terusir
justru merasa lega sebab berhasil secara sah keluar dari kelas sang
dosen. Mengapa demikian? Jawab mereka karena materi kuliah yang
diberikan oleh sang dosen tidak ada yang baru, dan infonya dapat diakses
dengan mudah di tempat lain. Mengapa harus memboroskan waktu mendengar
sang dosen yang superfisial?
Akses materi kuliah
Para mahasiswa
ini bahkan menunjukkan kepada saya dari mana bahan-bahan yang lebih
update dan lebih bermakna dapat mereka peroleh ketimbang dari sang
dosen. Lebih unik lagi dengan kecepatan bandwidth internet, mereka
sebarkan bahan itu melalui group mereka, tentu saja minus akunnya dosen.
Tidakkah
kita menutup mata jika hanya menganggap mahasiswa belajar dengan cara
dosennya belajar? Pada zaman yang percepatan dan kecepatan kemajuan
teknologinya berbeda? Pada masa yang perkembangan sosial budaya juga
berbeda? Unik sungguh profesi dosen (dan guru). Tuntutan mengajar yang
10-20 tahun lalu tepat sasaran kini sudah amat kuno. Baheula.
Perlu
dan harus berubah. Mahasiswa membutuhkan teman sejawat, yang menilai
dengan kritis apa sumber-sumber belajar mereka, yang menyarankan
berbagai sumber belajar yang lebih absah, variatif, bermakna.
Pilihan
superiority tidak ada lagi. Dosen (dan guru) tak ada pilihan lain,
harus berani merelakan sembilan puluh persen waktu kuliahnya untuk
mendengar, berargumentasi mendorong lahirnya pertanyaan; singkat kata:
membuat pusat pembelajaran adalah sang pembelajar (student-centered
learning).
Salah paham
Ada kesalahpahaman para dosen (dan guru)
ketika pusat pembelajaran adalah siswa, bukan berarti dosen mengalihkan
tugasnya kepada mahasiswa. Betapa sulitnya membagikan ide berbasis
bukti bahwa student-centered learning (SCL) telah menggeser peran dosen
sebagai pengajar tunggal di depan kelas, sebagai sumber, menjadi peran
yang setara, menyediakan diri mengelola (facilitating) proses
pembelajaran.
Betapa sulitnya meyakinkan para dosen bahwa tugas
dosen dalam SCL bermula dari desain pembelajaran dan berakhir hingga
evaluasi proses. Jalan panjang dan berliku ini jelaslah berbeda dengan
proses dosen mengajar secara pasif di depan kelas (traditional teaching)
dengan persiapan pribadi secukupnya (mayoritas persiapan bahan materi
kajian).
SCL menuntut persiapan matang tak hanya pada materi
kajian saja, tetapi termasuk di dalamnya kemungkinan respons-respons
mahasiswa yang bisa saja tidak terduga.
Kedua, implementasi SCL jelaslah berbeda dan amat beragam,
sementara implementasi traditional teaching cukup semacam saja.
Peristiwa tak terduga hampir tidak ada pada implementasi traditional
teaching.
Evaluasi proses
Asesmen penguasaan materi kajian juga
berbeda, perlu desain lagi. Pertanyaan esai yang hanya satu baris
diawali dengan kata: sebutkan, jelaskan, apa, mengapa dan bagaimana
sudah tidak memadai lagi pada penilaian metode SCL. Produk penilaian
sangat besar pada proses formatif lebih perlu masukan dari dosen.
Terakhir,
evaluasi proses jelas sangat berbeda karena lini persiapan,
implementasi, dan asesmen yang beragam dan amat berbeda. Siapkah dosen
(dan guru) kita? Jelaslah dosen yang hanya mengajar (traditional
teaching) tak perlu heran mengapa mahasiswa memilih dikeluarkan dari
kelasnya.
Setelah bicara mengenai dosen (dan guru) yang tidak
hanya mengajar (traditional teaching), pertanyaan krusial berikutnya
siapkah lembaga pendidikan menilai kinerja dosen (dan guru) kita yang
tidak hanya mengajar?
Elisabeth Rukmini, Pengajar Unika Atma Jaya Jakarta
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005805560
Dikutip dari: http://doa-bagirajatega.blogspot.com/2014/04/dosen-tak-boleh-hanya-mengajar.html
Popular Posts
-
Hari Kamis, 23 September 2010, saya mengikuti kuliah filsafat yang disampaikan oleh Romo Adrian Adiredjo, OP. Kuliah filsafatnya meng...
-
Oleh: Nur Agustinus Pasti kita sudah sering melihat, sebuah perusahaan didirikan tapi tidak bertahan lama. Ada yang bangkrut, ada yang ...
-
Saat ini banyak yang membahas soal BMC, Business Model Canvas. Bentuk dari BMC memang macam-macam, bamun karena namanya canvas, secara pr...
-
Hospitality marketing adalah pemasaran untuk meningkatkan pendapatan dalam industri/bisnis yang berhubungan dengan hospitality, seperti peng...
-
Orang biasanya berkata bahwa seorang entrepreneur itu harus pandai menemukan peluang. Tapi sesungguhnya hal yang lebih baik kalau kita bis...
-
Salah satu kegiatan utama seorang entrepreneur adalah jualan (selling). Nah, menjual produk atau jasa, tidak boleh mengabaikan apa ya...
-
Oleh: Nur Agustinus Waktu adalah uang. Begitu nampaknya kapitalisme telah membuat mindset para pelaku ekonomi benar-benar menjadi homo...
-
Bersama Profesor Saras D. Sarasvathy Banyak orang ketika ditanya, apakah ingin jadi pengusaha? Pasti banyak yang ingin. Namun ketik...
-
Saya dulu ikut ISPSI (Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia) yang sekarang menjadi HIMPSI. Saya jadi anggota dan saya ikut beberapa pertemuanny...
-
Waktu masih SD dulu (sekitar tahun 70an) ada buku seri terbitan Gramedia yang namanya "Ceritera dari Lima Benua". Salah s...