24 Jun 2013

Sejatinya kita adalah entrepreneur



Oleh Nur Agustinus

Saya sangat terkesan dengan ucapan yang pernah disampaikan oleh Muhammad Yunus, seorang entrepreneur sosial asal Bangladesh, peraih Nobel. “All human beings are entrepreneurs. When we were in the caves, we were all self-employed … finding our food, feeding ourselves. That’s where human history began. As civilization came, we suppressed it. We became ‘labor’ because they stamped us, ‘You are labor.’ We forgot that we are entrepreneurs.” Artinya kira-kira, kita semua adalah entrepreneur. Saat kita tinggal di gua dulu, kita semua adalah bekerja untuk diri kita sendiri… mencari makan, mensuplai kebutuhan kita sendiri. Itulah sejarah awal manusia. Ketika peradaban berkembang, kita kemudian menekan hal itu. Kita menjadi ‘pekerja’ karena mereka mencap kita, “kamu adalah pekerja.’ Kita lupa bahwa kita ini adalah entrepreneur.

Apa yang diucapkan Muhammad Yunus ini menggugah diri saya. Ya, mengapa kita sekarang harus tergantung pada pemberian orang lain sebagai pekerja? Manusia memang telah dibudayakan sedemikian rupa, entah oleh siapa, barangkali juga karena sistem perekonomian kita, bahwa siapa yang menganggur dianggap sebagai beban. Orang harus bekerja, sehingga dengan demikian, dia harus bisa menjadi manusia yang berguna. Lulus sekolah harus bekerja. Bahkan bekerja jadi sebuah tuntutan dan keharusan. Ibu juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Bekerja dalam sebuah sistem, bergabung dengan sebuah industri, di mana kemudian terbentuk dua jenis masyarakat yang berbeda, kaum borjuis dan kaum proletar. Kaum borjuis adalah sebuah kelas sosial dari orang-orang yang dicirikan oleh kepemilikan modal dan kelakuan yang terkait dengan kepemilikan tersebut. Mereka adalah bagian dari kelas menengah atau kelas pedagang, dan mendapatkan kekuatan ekonomi dan sosial dari pekerjaan, pendidikan, dan kekayaan. Berada di sisi yang lain adalah kaum proletar, yakni kelas yang menerima gaji oleh kelas pertama yaitu kelas majikan. Mereka bekerja guna memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Sedang kelas majikan bekerja dengan mencari untung atau laba.

Di India masyarakat dibatasi dengan adanya kasta yang dilegalisasi oleh agama mereka. Kaum proletar di sana dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah kaum sudra yang merupakan kelas orang-orang pekerja dan pelayan. Kedua adalah Pariah, sebenarnya kelas ini adalah kelas terbuang dari kelas-kelas sebelumnya bahkan bisa dibilang kelas ini merupakan kelompok masyarakat yang tidak diakui dalam kasta.

Kehidupan manusia kemudian dibagi-bagi dalam strata yang bertingkat-tingkat. Saya tidak ingin membuat rumit pembahasan ini dengan membawa kita ke dalam sistem budaya yang tampaknya membeda-bedakan manusia. Namun kembali kepada kata-kata dari Muhammad Yunus tadi, kita sejatinya adalah entrepreneur. Sejarah awal manusia menunjukkan hal itu. Namun kita menjadi kehilangan keberanian mengambil resiko, menjadi tumpul kemampuan kita melihat buruan kita yang harusnya merupakan peluang, serta berhenti melakukan inovasi karena terpenuhinya kebutuhan kita oleh pihak lain. Kita benar-benar menjadi tak berdaya, ibarat singa yang sudah menjadi tua dan ompong, terlebih kemudian terbiasa mendapatkan makanan yang sudah dijatah sehingga kita tak perlu lagi pusing mencari di luar.

Tapi… kita sejatinya adalah entrepreneur. Kata-kata itu terngiang terus, membuat saya lantas bertanya, mengapa bangsa kita kekurangan entrepreneur saat ini. Apakah karena memang disebabkan karena kita terjajah cukup lama? Atau secara mental kita terkonstruksi sedemikian rupa?

Saya jadi teringat ketika saya masih kelas 1 SMA dulu, guru sejarah saya seorang frater, kami memanggilnya frater Fidelis, mengajar dengan cara yang tidak biasa. Menggunakan buku karya Mochtar Lubis yang berjudul “Manusia Indonesia: sebuah pertanggungjawaban”. Dari buku itu saya belajar tentang ciri-ciri manusia Indonesia. Mochtar Lubis menceritakan sifat-sifat yang melekat pada manusia Indonesia, yaitu pertama, munafik atau hipokrit. Kedua, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Ketiga, sikap dan perilaku yang feodal. Keempat, masih percaya akan takhayul. Kelima, artistik. Keenam, lemah dalam watak dan karakter. Hal ini membuat saya menjadi berpikir, dan kini saya tahu bahwa guru saya itu menyuruh murid-muridnya membaca buku ini agar berpikir. Hingga kinipun saya berpikir, apakah ini yang membuat manusia Indonesia ragu untuk menjadi entrepreneur dan lebih suka menjadi pegawai, apalagi pegawai negeri?

Ketika beberapa waktu lalu saya ke Bandung dan mampir ke sebuah toko buku, saya melihat sebuah buku yang ukurannya cukup besar, berjudul “Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe” karya Olivier Johannes Raap. Ada satu buku yang dibuka plastiknya sehingga saya bisa membuka dan membaca isinya. Lalu saya melihat satu-satu gambar foto dari masa lalu tentang pekerjaan yang dilakukan oleh bangsa kita. Ada tukang kopi, tukang es, penjual tebu, penjual jagung, penjual rujak ulek, penjual ikan, penjual roti, penjual gulali, penjual rokok dan masih banyak lainnya. Ada juga tukang oncom, penjual gula jawa, pedagang ternak, penjual singkong. Bahkan ada warung makan, toko alat kerja, rumah gadai, pemintal benang, penenun, perajin topi, perajin keris, emas, kulit, wayang dan lainnya. Termasuk juga penjual jasa, mulai dari penatu, tukang pos, babu, guru, pengemudi becak, pengemudi perahu, hingga pelacur. Semua pekerjaan ada fotonya di sana. Belum lagi pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian seperti tukang kunci, tukang sepeda, tukang pijat, tukang jahit, hingga seniman mulai penari ular, wayang senggol, artis keroncong sampai dalang.

Buku ini menarik perhatian saya, sehingga walau harganya Rp. 127.500,- akhirnya saya beli juga. Sudah lama sejak sepulang dari Bandung saya ingin menulis tentang ini dan baru sempat sekarang. Apa yang membuat saya tergelitik untuk menulis? Saya melihat bahwa sebenarnya banyak sekali pekerjaan yang dilakukan itu adalah pekerjaan yang sifatnya mandiri, di mana sesungguhnya itu adalah cikal bakal entrepreneur atau seorang wirausaha. Walau memang, kalau menurut Robert Kiyosaki, kebanyakan masih dalam kuadran S atau Self employee. Robert Kiyosaki membagi dalam 4 kuadran, yakni E (Employee), S (Self-Employed), B (Business Owner) dan I (Investor). Sebenarnya juga, sektor informal kita banyak orang yang berkerja sendiri atau memiliki perniagaan kecil yang di usahakan sendiri. Masalahnya, ada banyal orang yang sudah berada di kategori S (self employed) akhirnya memilih menjadi E (employee) karena merasa lebih aman dan hidupnya terjamin.

Kalau saya lihat di buku ini, sejatinya bangsa kita adalah bangsa yang mau bekerja keras dan hidup secara mandiri. Tiap orang punya keahliannya sendiri-sendiri. Mungkin juga secara turun temurun. Sebenarnya, kalau kita kembal ke sistem peradaban manusia di jaman dahulu, ketika barter masih terjadi, maka tiap orang pasti punya sesuatu untuk dipertukarkan. Nampaknya ketika alat tukar itu diseragamkan menjadi uang, yang dicari kini adalah uang untuk bisa membeli kebutuhan kita yang lain. Salah satu yang bisa dijual adalah tenaga atau pikiran. Akhirnya kita lantas memilih menjadi pekerja bukan lagi berusaha sendiri.

Saya sependapat betul dengan apa yang dikatakan Muhammad Yunus. Seharusnya, kita ini sejatinya adalah entrepreneur. Namun kita telah lupa, karena kita telah terlena sedemikian lama. Saya pikir terlalu naif jika kita menyalahkan ini karena penjajah. Tapi betul bahwa pikiran kita dibentuk dan dikonstruksi secara sosial, mungkin untuk kepentingan salah satu pihak agar kita kemudian yang bekerja untuk mereka lantas membeli produk mereka juga. Kita harusnya ingat, menggali kembali jati diri kita, menelusuri keahlian yang harusnya bisa kita miliki dan kembangkan, membangkitkan keberanian kita untuk mengambil resiko yang terukur serta mempertajam naluri kita untuk berusaha, agar ketika kita melihat sekitar maka kita akan kemudian berpikir. Sebab sejatinya… kita adalah entrepreneur!

Salam Entrepreneur.


Sejatinya kita adalah entrepreneur

Oleh Nur Agustinus

Saya sangat terkesan dengan ucapan yang pernah disampaikan oleh Muhammad Yunus, seorang entrepreneur sosial asal Bangladesh, peraih Nobel. “All human beings are entrepreneurs. When we were in the caves, we were all self-employed … finding our food, feeding ourselves. That’s where human history began. As civilization came, we suppressed it. We became ‘labor’ because they stamped us, ‘You are labor.’ We forgot that we are entrepreneurs.” Artinya kira-kira, kita semua adalah entrepreneur. Saat kita tinggal di gua dulu, kita semua adalah bekerja untuk diri kita sendiri… mencari makan, mensuplai kebutuhan kita sendiri. Itulah sejarah awal manusia. Ketika peradaban berkembang, kita kemudian menekan hal itu. Kita menjadi ‘pekerja’ karena mereka mencap kita, “kamu adalah pekerja.’ Kita lupa bahwa kita ini adalah entrepreneur.

Apa yang diucapkan Muhammad Yunus ini menggugah diri saya.  Ya, mengapa kita sekarang harus tergantung pada pemberian orang lain sebagai pekerja? Manusia memang telah dibudayakan sedemikian rupa, entah oleh siapa, barangkali juga karena sistem perekonomian kita, bahwa siapa yang menganggur dianggap sebagai beban. Orang harus bekerja, sehingga dengan demikian, dia harus bisa menjadi manusia yang berguna. Lulus sekolah harus bekerja. Bahkan bekerja jadi sebuah tuntutan dan keharusan. Ibu juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Bekerja dalam sebuah sistem, bergabung dengan sebuah industri, di mana kemudian terbentuk dua jenis masyarakat yang berbeda, kaum borjuis dan kaum proletar.  Kaum borjuis adalah sebuah kelas sosial dari orang-orang yang dicirikan oleh kepemilikan modal dan kelakuan yang terkait dengan kepemilikan tersebut. Mereka adalah bagian dari kelas menengah atau kelas pedagang, dan mendapatkan kekuatan ekonomi dan sosial dari pekerjaan, pendidikan, dan kekayaan. Berada di sisi yang lain adalah kaum proletar, yakni kelas yang menerima gaji oleh kelas pertama yaitu kelas majikan. Mereka bekerja guna memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Sedang kelas majikan bekerja dengan mencari untung atau laba.

Di India masyarakat dibatasi dengan adanya kasta yang dilegalisasi oleh agama mereka. Kaum proletar di sana dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah kaum sudra yang merupakan kelas orang-orang pekerja dan pelayan. Kedua adalah Pariah, sebenarnya kelas ini adalah kelas terbuang dari kelas-kelas sebelumnya bahkan bisa dibilang kelas ini merupakan kelompok masyarakat yang tidak diakui dalam kasta. 

Kehidupan manusia kemudian dibagi-bagi dalam strata yang bertingkat-tingkat.  Saya tidak ingin membuat rumit pembahasan ini dengan membawa kita ke dalam sistem budaya yang tampaknya membeda-bedakan manusia. Namun kembali kepada kata-kata dari Muhammad Yunus tadi, kita sejatinya adalah entrepreneur. Sejarah awal manusia menunjukkan hal itu. Namun kita menjadi kehilangan keberanian mengambil resiko, menjadi tumpul kemampuan kita melihat buruan kita yang harusnya merupakan peluang, serta berhenti melakukan inovasi karena terpenuhinya kebutuhan kita oleh pihak lain. Kita benar-benar menjadi tak berdaya, ibarat singa yang sudah menjadi tua dan ompong, terlebih kemudian terbiasa mendapatkan makanan yang sudah dijatah sehingga kita tak peru lagi pusing mencari di luar.

Tapi… kita sejatinya adalah entrepreneur. Kata-kata itu terngiang terus, membuat saya lantas bertanya, mengapa bangsa kita kekurangan entrepreneur saat ini. Apakah karena memang disebabkan karena kita terjajah cukup lama? Atau secara mental kita terkonstruksi sedemikian rupa? 
 
Saya jadi teringat ketika saya masih kelas 1 SMA dulu, guru sejarah saya seorang frater, kami memanggilnya frater Fidelis, mengajar dengan cara yang tidak biasa. Menggunakan buku karya Mochtar Lubis yang berjudul “Manusia Indonesia: sebuah pertanggungjawaban”. Dari buku itu saya belajar tentang ciri-ciri manusia Indonesia.  Mochtar Lubis menceritakan sifat-sifat yang melekat pada manusia Indonesia, yaitu pertama, munafik atau hipokrit. Kedua, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Ketiga, sikap dan perilaku yang feodal. Keempat, masih percaya akan takhayul. Kelima, artistik. Keenam, lemah dalam watak dan karakter. Hal ini membuat saya menjadi berpikir, dan kini saya tahu bahwa guru saya itu menyuruh murid-muridnya membaca buku ini agar berpikir. Hingga kinipun saya berpikir, apakah ini yang membuat manusia Indonesia ragu untuk menjadi entrepreneur dan lebih suka menjadi pegawai, apalagi pegawai negeri? 
 
Ketika saya beberapa waktu lalu say di Bandung dan mampir ke sebuah toko buku, saya melihat sebuah buku yang ukurannya cukup besar, berjudul “Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe” karya Olivier Johannes Raap.  Ada satu buku yang dibuka plastiknya sehingga saya bisa membuka dan membaca isinya. Lalu saya melihat satu-satu gambar foto dari masa lalu tentang pekerjaan yang dilakukan oleh bangsa kita. Ada tukang kopi, tukang es, penjual tebu, penjual jagung, penjual rujak ulek, penjual ikan, penjual roti, penjual gulali, penjual rokok dan masih banyak lainnya. Ada juga tukang oncom, penjual gula jawa, pedagang ternak, penjual singkong. Bahkan ada warung makan, toko alat kerja, rumah gadai, pemintal benang, penenun, perajin topi, perajin keris, emas, kulit, wayang dan lainnya. Termasuk juga penjual jasa, mulai dari penatu, tukang pos, babu, guru, pengemudi becak, pengemudi perahu, hingga pelacur. Semua pekerjaan ada fotonya di sana. Belum lagi pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian seperti tukang kunci, tukang sepeda, tukang pijat, tukang jahit, hingga seniman mulai penari ular, wayang senggol, artis keroncong sampai dalang. 
 
Buku ini menarik perhatian saya, sehingga walau harganya Rp. 127.500,- akhirnya saya beli juga. Sudah lama sejak sepulang dari Bandung saya ingin menulis tentang ini dan baru sempat sekarang. Apa yang membuat saya tergelitik untuk menulis? Saya melihat bahwa sebenarnya banyak sekali pekerjaan yang dilakukan itu adalah pekerjaan yang sifatnya mandiri, di mana sesungguhnya itu adalah cikal bakal entrepreneur atau seorang wirausaha.  Walau memang, kalau menurut Robert Kiyosaki,  kebanyakan masih dalam kuadran S atau Self employee. Robert Kiyosaki membagi dalam 4 kuadran, yakni E (Employee), S (Self-Employed), B (Business Owner) dan I (Investor).  Sebenarnya juga, sektor informal kita banyak orang yang berkerja sendiri atau memiliki perniagaan kecil yang di usahakan sendiri. Masalahnya, ada banyal orang yang sudah berada di kategori S (self employed) akhirnya memilih menjadi E (employee) karena merasa lebih aman dan hidupnya terjamin. 
 
Kalau saya lihat di buku ini, sejatinya bangsa kita adalah bangsa yang mau bekerja keras dan hidup secara mandiri. Tiap orang punya keahliannya sendiri-sendiri. Mungkin juga secara turun temurun. Sebenarnya, kalau kita kembal ke sistem peradaban manusia di jaman dahulu, ketika barter masih terjadi, maka tiap orang pasti punya sesuatu untuk dipertukarkan. Nampaknya ketika alat tukar itu diseragamkan menjadi uang, yang dicari kini adalah uang untuk bisa membeli kebutuhan kita yang lain. Salah satu yang bisa dijual adalah tenaga atau pikiran. Akhirnya kita lantas memilih menjadi pekerja bukan lagi berusaha sendiri.
 
Saya sependapat betul dengan apa yang dikatakan Muhammad Yunus. Seharusnya, kita ini sejatinya adalah entrepreneur. Namun kita telah lupa, karena kita telah terlena sedemikian lama. Saya pikir terlalu naif jika kita menyalahkan ini karena penjajah. Tapi betul bahwa pikiran kita dibentuk dan dikonstruksi secara sosial, mungkin untuk kepentingan salah satu pihak agar kita kemudian yang bekerja untuk mereka lantas membeli produk mereka juga. Kita harusnya ingat, menggali kembali jati diri kita, menelusuri keahlian yang harusnya bisa kita miliki dan kembangkan, membangkitkan keberanian kita untuk mengambil resiko yang terukur serta mempertajam naluri kita untuk berusaha, agar ketika kita melihat sekitar maka kita akan kemudian berpikir. Sebab sejatinya… kita adalah entrepreneur!

Salam Entrepreneur.

www.nuragustinus.com

Popular Posts