25 Jun 2013

Melihat dan berpikirlah

Ada sebuah sajak berjudul ”Sang Entrepreneur” yang dibuat sendiri oleh Pak Ciputra. Bait pertama dari sajak itu berbunyi, “Ada yang melihat namun tidak berpikir.” Kalimat ini nampaknya sederhana, namun sebenarnya mengandung makna yang sangat dalam. Apa hubungannya dengan seorang entrepreneur? Bukankah melihat dan berpikir itu sudah sering kita lakukan? Mengapa juga dikatakan ada yang melihat namun tidak berpikir? Apa yang dimaksudkan dengan melihat dan berpikir itu?

Dalam kalimat itu ada dua hal, yakni melihat dan berpikir. Apakah melihat itu? Ada sebuah kalimat yang sering diucapkan, “Barang siapa punya mata hendaklah melihat” Ya, kita punya mata yang bisa melihat. Tapi makna dari hendaklah melihat, bukan sekedar membuka mata. Kemampuan melihat adalah salah satu karunia yang diberikan kepada kita.  Kemampuan melihat merupakan salah satu nikmat ilahi. Nah, ketika dikatakan, barang siapa punya mata hendaklah melihat, sebenarnya ini bukan sekedar melihat tapi juga memperhatikan. Dalam bahasa Jawa hal ini disebut niteni. Kalau dalam bahasa Inggris, ini beda antara “see dengan “watch”. Melihat dan memperhatikan itu beda. Melihat belum tentu memperhatikan. Sedang memperhatikan sudah pasti melihat.

Melihat tanpa memperhatikan tidak akan mungkin membuat kita berpikir. Saya coba beri contoh saat Isaac Newton melihat buah apel jatuh dari pohon. Semua orang akan tahu kalau apel itu jatuh ke bawah. Tapi Newton kemudian berpikir dan akhirnya menghasilkan sebuah teori gravitasi. Mengapa Newton bisa melihat dan berpikir, sementara yang lain hanya melihat saja?  Ini yang membedakan satu orang dengan orang lainnya. 

Ketika pak Ciputra mengatakan,  “Ada yang melihat namun tidak berpikir”, maka ini juga yang membedakan antara seorang entrepreneur atau bukan. Suatu contoh sederhana, kalau kita lihat seekor sapi, apakah kita hanya melihatnya saja, atau kita lantas kemudian berpikir? Apa yang Anda pikirkan ketika melihat seekor sapi? Banyak orang yang kemudian tidak berpikir apa-apa. 

Orang biasanya hanya berpikir jika mendapat sebuah pertanyaan. Pertanyaan ini bisa bersumber dari sebuah permasalah atau persoalan. Kita baru berpikir jika ditanya, berapa hasil dari 24 dikali 6. Kita tidak akan berpikir apa-apa jika melihat angka “24”, misalnya. Jadi, ketika tadi kita melihat seekor sapi, tanpa ada yang bertanya, kita tidak akan berpikir. Baru ketika ditanya, apa yang Anda pikirkan ketika melihat sapi? Bisa jadi Anda baru mulai berpikir. Tapi apa yang harus dipikirkan jika pertanyaannya juga tidak begitu jelas? 

Kalau berpikir itu terjadi ketika kita mendapat pertanyaan, maka sebenarnya kata tanya itu tidak banyak. Orang bertanya itu bisa dengan: apa, siapa, di mana, kapan, mengapa dan bagaimana. Dalam bahasa Inggris adalah what, who, when, where, why dan How, yang disingkat dengan 5W + 1H.  Kombinasi dari pertanyaan ini bisa lebih banyak, misalnya, dari “mengapa” menjadi “mengapa tidak?”, atau dari “bagaimana” menjadi “bagaimana mungkin”. 
Seorang entrepreneur harus mempunyai pertanyaan yang muncul dari dirinya sendiri. Sikap untuk bertanya ini berarti ada tiga hal yang perlu ada, pertama adalah rasa ingin tahu yang membuatnya penasaran. Yang kedua, adalah sikap kritis.  Sementara yang ketiga adalah berpikir kreatif. Jadi, sikap pertama diawali dengan pertanyaan “mengapa begini”, kedua adalah “mengapa tidak begitu” dan ketiga adalah “bagaimana supaya bisa begitu.”

Cara berpikir itu bisa beraneka ragam. Ada berpikir logis dan ada juga berpikir kreatif. Lebih jauh lagi, seorang ahli tentang berpikir, Edward de Bono, memperkenalkan cara berpikir yang disebutnya berpikir lateral. Berpikir lateral ini sebenarnya merupakan salah satu bagian dari berpikir kreatif, namun sangat tepat untuk digunakan dalam menghasilkan ide bisnis. Bagaimana prinsip dari berpikir lateral ini? Apa bedanya berpikir lateral dengan cara berpikir yang lain?
Misalnya begini, berapa 4 dikali 2? Jawabnya adalah 8. Berapa 7 ditambah 8, maka jawabnya adalah 15. Nah, berpikir lateral ini justru sebaliknya. Misalnya Anda mendapat pertanyaan, berapa ditambah berapa supaya hasilnya adalah 15? Nah, jawabannya bisa macama-macam. Bisa 2 ditambah 13, bisa juga 6 ditambah 9, dan masih banyak kemungkinan jawaban lain. Dalam buku “Berpikir Lateral” yang ditulis olej Edward de Bono, berpikir lateral adalah cara berpikir yang berusaha mencari solusi untuk masalah terselesaikan melalui metode yang tidak umum, atau sebuah cara yang biasanya akan diabaikan oleh pemikiran logis. Nah, lantas apa kaitannya dengan entrepreneurship.

Kembali ke soal sapi, ketika Anda melihat sapi, apa yang Anda pikirkan? Ketika sang entrepreneur melihat dan berpikir, apa yang dipikirkannya? Entrepreneur adalah orang yang mampu memberi nilai tambah melalui inovasi. Nah, kalau cara berpikir kita tidak terbiasa secara lateral, kita sulit sekali menemukan jawabannya. Kita lebih mudah menjawab berapa 5 dikali 6, ketimbang untuk menjadi 30, perlu berapa kali berapa? Apa yang bisa kita inovasikan agar diperoleh nilai tambah dari seekor sapi?
Saya beri contoh lain. Kalau kita memiliki satu bongkah besi yang harganya misalnya 10 ribu rupiah, maka kalau kita ubah menjadi mur dan baut, harga jualnya bisa lebih mahal. Bahkan kalau kita bisa mengubahnya menjadi jarum, nilai tambah yang didapatkan bisa lebih banyak lagi. Nah, mari kita kembali lagi ke sapi. Ketika melihat sapi, apakah Anda berpikir untuk melakukan inovasi agar menghasilkan nilai tambah yang besar? Saya tidak akan memberikan jawabannya, sebab sama halnya dengan berapa kali berapa untuk bisa menghasilkan angka 30, maka jawaban itu ada di diri kita masing-masing.  Ketika dalam benak Anda punya aneka jawaban, sapi tersebut bisa diapakan untuk mendapatkan nilai tambah, di sinilah Anda mulai mempunyai ide bisnis.

Nah, melihat dan berpikir untuk menghasilkan nilai tambah, itulah kunci awal seorang entreprenuer. Bahkan tak berlebihan jika ketika melihat rongsongkan sekalipun, kita kemudian berpikir untuk mengubahnya menjadi emas. Maka mulai sekarang, mari membiasakan diri untuk melihat dan berpikir. Barang siapa punya mata hendaklah ia melihat. Kita punya mata sebagai anugerah untuk melihat. Barang siaiapa ingin menjadi entrepreneur, hendaklah ia berpikir. Melihatlah dan berpikirlah untuk kesejahteraan bersama.

Salam entrepreneur!
Ada sebuah sajak berjudul ”Sang Entrepreneur” yang dibuat sendiri oleh Pak Ciputra. Bait pertama dari sajak itu berbunyi, “Ada yang melihat namun tidak berpikir.” Kalimat ini nampaknya sederhana, namun sebenarnya mengandung makna yang sangat dalam. Apa hubungannya dengan seorang entrepreneur? Bukankah melihat dan berpikir itu sudah sering kita lakukan? Mengapa juga dikatakan ada yang melihat namun tidak berpikir? Apa yang dimaksudkan dengan melihat dan berpikir itu?

Dalam kalimat itu ada dua hal, yakni melihat dan berpikir. Apakah melihat itu? Ada sebuah kalimat yang sering diucapkan, “Barang siapa punya mata hendaklah melihat” Ya, kita punya mata yang bisa melihat. Tapi makna dari hendaklah melihat, bukan sekedar membuka mata. Kemampuan melihat adalah salah satu karunia yang diberikan kepada kita. Kemampuan melihat merupakan salah satu nikmat ilahi. Nah, ketika dikatakan, barang siapa punya mata hendaklah melihat, sebenarnya ini bukan sekedar melihat tapi juga memperhatikan. Dalam bahasa Jawa hal ini disebut niteni. Kalau dalam bahasa Inggris, ini beda antara “see dengan “watch”. Melihat dan memperhatikan itu beda. Melihat belum tentu memperhatikan. Sedang memperhatikan sudah pasti melihat.

Melihat tanpa memperhatikan tidak akan mungkin membuat kita berpikir. Saya coba beri contoh saat Isaac Newton melihat buah apel jatuh dari pohon. Semua orang akan tahu kalau apel itu jatuh ke bawah. Tapi Newton kemudian berpikir dan akhirnya menghasilkan sebuah teori gravitasi. Mengapa Newton bisa melihat dan berpikir, sementara yang lain hanya melihat saja? Ini yang membedakan satu orang dengan orang lainnya.

Ketika pak Ciputra mengatakan, “Ada yang melihat namun tidak berpikir”, maka ini juga yang membedakan antara seorang entrepreneur atau bukan. Suatu contoh sederhana, kalau kita lihat seekor sapi, apakah kita hanya melihatnya saja, atau kita lantas kemudian berpikir? Apa yang Anda pikirkan ketika melihat seekor sapi? Banyak orang yang kemudian tidak berpikir apa-apa.

Orang biasanya hanya berpikir jika mendapat sebuah pertanyaan. Pertanyaan ini bisa bersumber dari sebuah permasalah atau persoalan. Kita baru berpikir jika ditanya, berapa hasil dari 24 dikali 6. Kita tidak akan berpikir apa-apa jika melihat angka “24”, misalnya. Jadi, ketika tadi kita melihat seekor sapi, tanpa ada yang bertanya, kita tidak akan berpikir. Baru ketika ditanya, apa yang Anda pikirkan ketika melihat sapi? Bisa jadi Anda baru mulai berpikir. Tapi apa yang harus dipikirkan jika pertanyaannya juga tidak begitu jelas?

Kalau berpikir itu terjadi ketika kita mendapat pertanyaan, maka sebenarnya kata tanya itu tidak banyak. Orang bertanya itu bisa dengan: apa, siapa, di mana, kapan, mengapa dan bagaimana. Dalam bahasa Inggris adalah what, who, when, where, why dan How, yang disingkat dengan 5W + 1H. Kombinasi dari pertanyaan ini bisa lebih banyak, misalnya, dari “mengapa” menjadi “mengapa tidak?”, atau dari “bagaimana” menjadi “bagaimana mungkin”.

Seorang entrepreneur harus mempunyai pertanyaan yang muncul dari dirinya sendiri. Sikap untuk bertanya ini berarti ada tiga hal yang perlu ada, pertama adalah rasa ingin tahu yang membuatnya penasaran. Yang kedua, adalah sikap kritis. Sementara yang ketiga adalah berpikir kreatif. Jadi, sikap pertama diawali dengan pertanyaan “mengapa begini”, kedua adalah “mengapa tidak begitu” dan ketiga adalah “bagaimana supaya bisa begitu.”

Cara berpikir itu bisa beraneka ragam. Ada berpikir logis dan ada juga berpikir kreatif. Lebih jauh lagi, seorang ahli tentang berpikir, Edward de Bono, memperkenalkan cara berpikir yang disebutnya berpikir lateral. Berpikir lateral ini sebenarnya merupakan salah satu bagian dari berpikir kreatif, namun sangat tepat untuk digunakan dalam menghasilkan ide bisnis. Bagaimana prinsip dari berpikir lateral ini? Apa bedanya berpikir lateral dengan cara berpikir yang lain?

Misalnya begini, berapa 4 dikali 2? Jawabnya adalah 8. Berapa 7 ditambah 8, maka jawabnya adalah 15. Nah, berpikir lateral ini justru sebaliknya. Misalnya Anda mendapat pertanyaan, berapa ditambah berapa supaya hasilnya adalah 15? Nah, jawabannya bisa macama-macam. Bisa 2 ditambah 13, bisa juga 6 ditambah 9, dan masih banyak kemungkinan jawaban lain. Dalam buku “Berpikir Lateral” yang ditulis olej Edward de Bono, berpikir lateral adalah cara berpikir yang berusaha mencari solusi untuk masalah terselesaikan melalui metode yang tidak umum, atau sebuah cara yang biasanya akan diabaikan oleh pemikiran logis. Nah, lantas apa kaitannya dengan entrepreneurship.

Kembali ke soal sapi, ketika Anda melihat sapi, apa yang Anda pikirkan? Ketika sang entrepreneur melihat dan berpikir, apa yang dipikirkannya? Entrepreneur adalah orang yang mampu memberi nilai tambah melalui inovasi. Nah, kalau cara berpikir kita tidak terbiasa secara lateral, kita sulit sekali menemukan jawabannya. Kita lebih mudah menjawab berapa 5 dikali 6, ketimbang untuk menjadi 30, perlu berapa kali berapa? Apa yang bisa kita inovasikan agar diperoleh nilai tambah dari seekor sapi?

Saya beri contoh lain. Kalau kita memiliki satu bongkah besi yang harganya misalnya 10 ribu rupiah, maka kalau kita ubah menjadi mur dan baut, harga jualnya bisa lebih mahal. Bahkan kalau kita bisa mengubahnya menjadi jarum, nilai tambah yang didapatkan bisa lebih banyak lagi. Nah, mari kita kembali lagi ke sapi. Ketika melihat sapi, apakah Anda berpikir untuk melakukan inovasi agar menghasilkan nilai tambah yang besar? Saya tidak akan memberikan jawabannya, sebab sama halnya dengan berapa kali berapa untuk bisa menghasilkan angka 30, maka jawaban itu ada di diri kita masing-masing. Ketika dalam benak Anda punya aneka jawaban, sapi tersebut bisa diapakan untuk mendapatkan nilai tambah, di sinilah Anda mulai mempunyai ide bisnis.

Nah, melihat dan berpikir untuk menghasilkan nilai tambah, itulah kunci awal seorang entreprenuer. Bahkan tak berlebihan jika ketika melihat rongsongkan sekalipun, kita kemudian berpikir untuk mengubahnya menjadi emas. Maka mulai sekarang, mari membiasakan diri untuk melihat dan berpikir. Barang siapa punya mata hendaklah ia melihat. Kita punya mata sebagai anugerah untuk melihat. Barang siapa ingin menjadi entrepreneur, hendaklah ia berpikir. Melihatlah dan berpikirlah untuk kesejahteraan bersama.

Salam entrepreneur!
Surabaya, 26 Juni 2013
nur agustinus


Popular Posts