(5 Oktober 1939 – 17 Juni 1990)
ditulis ulang oleh : Haryanto Soedjatmiko
M.F.Basuki Soedjatmiko dilahirkan di Probolinggo pada tanggal 5 Oktober 1939 sebagai anak kedua dari Bapak Carolus Suryo Soedjatmiko (alm.) dan Ibu Francisca Swandayani (alm.). Terlahir sebagai Liem Hok Liong, ia selalu menyatakan kebanggaannya karena mempunyai orang tua dan saudara-saudara yang saling mencinta dan saling mendukung.
Sejak kecil Basuki telah menunjukkan kemauan yang keras. Meskipun tidak ditunjang oleh tersedianya kertas tulis yang baik, ia tidak kehilangan akal. Untuk mewujudkan bakat menulis kreatifnya, ia mendekati dan si Mbok yang membantu ibunya berjualan nougat agar diberi kertas roti pembungkus nougat (ting-ting). Di atas kertas roti itulah ia mulai mengembangkan penulisan kreatifnya dan melahirkan puisi dan cerpen-cerpennya yang pertama.
Pada awal sekolahnya ia tidak begitu bahagia karena guru tidak dapat menyelami jiwanya yang penuh imajinasi. Sampai di kelas lima SD Mater Dei ia bertemu dengan Sr. Katerin, SPM yang menghargai karangan fiksinya dan inilah yang menumbuhkan kepercayaan dirinya. Kecintaannya kepada Sr.Katerin ini dikenangnya sampai wafatnya.
Di SMP Mater Dei Probolinggo, sebagai anak puber, bakatnya makin berkembang di bawah bimbingan Sr.Lusia,SPM (alm.). Teladan suster yang sederhana, lemah lembut tetapi disiplin ini dan yang selalu memberikan dorongan belajar dan spiritual ini ikut memberikan warna dalam hidupnya.
Sesampai di Surabaya, kedekatannya dengan para suster di masa remaja itu membuatnya suatu waktu menelpon ke susteran SPM. Ia menanyakan Sr.Katerin tetapi malah berkenalan dengan Sr.M.Gertrudis yang lama-lama menjadi ibu rohani baginya. Oleh asuhan suster-suster SPM inilah di tahun 1961, Basuki dibabtis dengan memilih nama Santo Mateus penulis Injil sebagai pelindungnya (pada masa itu Kitab Suci masih belum boleh dibaca umat, tetapi Basuki sudah menjadikan Sabda Allah sebagai makanan rohani sehari-harinya di samping Mengikuti Jejak Kristus, buku kecil yang ditulis oleh Thomas a Kempis). Semangat kemiskinan Santo Fransiskus Asisi membuatnya memilih santo ini sebagai pelindungnya pada waktu menerima sakramen Krisma. Karena itu di kalangan teman, dan sebagai penulis, ia dikenal sebagai M.F., kepanjangan dari Mattheus Fransciscus.
Dalam perjalanan hidup rohaninya, Basuki sangat mencintai Bunda Maria. Pulang pergi dari rumah kos di jalan Tidar ke tempat kerjanya di Majalah Liberty di jalan Pahlawan, ia tidak pernah lupa berdoa rosario. Dan bersama Romo H.J.G Veel,CM, Basuki mencari dana untuk mengimpor patung Bunda Maria yang pertama di Gua Lorjen, dan stained glass yang sangat indah menghias gereja Kelahiran Santa Perawan Maria (Kelsapa) Kepanjen hingga saat ini. Di bawah Romo P.Heuvelmans,CM, Basuki menjabat salah seorang ketua Dewan Paroki pertama di Paroki Kelsapa.
Perjalanan kariernya dimulai di Majalah Liberty di tahun 1959. Meskipun cita-citanya menjadi pengarang, akhirnya ia berkembang sebagai kuli tinta. Di tahun 1959 ia sibuk membuat laporan dan ulasan tentang orang Cina yang ditelantarkan di pelabuhan Tanjung Perak karena kapal RRC yang tidak datang menjemput warganya seperti yang dijanjikan.Karena ketajaman tulisan-tulisannya, pemuda yang masih berusia 20-an ini sudah pernah meringkuk dalam tahanan demi menegakkan kebenaran. Dan setelah 25 tahun menjadi wakil pemimpin Majalah Liberty, juga dalam menegakkan kebenaran, ia keluar dan beberapa bulan kemudian bekerja di Jawa Pos (1984). Kariernya sebagai wartawan dititinya sampai akhir hidupnya. Sebagai wartawan Jawa Pos yang diperbantukan di Liberty, hingga detik-detik terakhir ia masih memimpin majalah itu lewat telpon dari kamar tidurnya. Basuki sepenuhnya mencintai dan menghayati hidupnya sebagai wartawan baik di Majalah Liberty maupun di Jawa Pos.
Sebagai penulis, Basuki melahirkan puisi, cerpen, dan cerber tak terbilang banyaknya. Satu cerber kebanggaannya adalah Sinyo Sipit, sebuah novel perjuangan yang ditulisnya dari tempat istirahat (pada awal sakitnya tahun 1984) di Prigen, yang dimuat di Jawa Pos secara bersambung. Dua novel lain yang ditulisnya Nyonya Sita dan Bunga Mawar Kuning Tercinta. Ia juga menyusun buku Etnis Tionghoa yang merupakan sebuah studi tentang pemikiran-pemikiran etnis Cina seperti dicetuskan dalam Majalah Bok Tok yang terbit di Malang sebelum kemerdekaan. Ia juga dikenal sebagai ahli Hongsuinipun yang membawa ilmi ini diperhitungkan dalam dunia arsitektur Surabaya (di luar negeri tidak ada pembangunan gedung atau rumah yang tidak memakai Hongsui). Dengan melihat hubungan tata letak rumah dan kesehatan dan keberuntungan sebagai hubungan logis dan bukan ketakhayulan, ia menerbitkan dua buku, Hongsuinipun dan Kasus-kasus Hongsuinipun.
Keyakinannya bahwa kelompok etnis Cina harus menyatu ke dalam tubuh besar bangsa Indonesia, dan agar perasaan diterima dan menerima ini menjadi dasar kehidupan berbangsa kelompoknya, membawanya aktif di Urusan Pembinaan Kesatuan Bangsa Staf Umum V Kodam VIII Brawijaya. Bahkan dalam menentang Baperki yang menjadi anak organisasi PKI pada saat itu, di tahun 1966, bersama rekan-rekan seperjuangan di Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa ia ikut berdemonstrasi di depan Konsulat RRC. Keyakinannya ini terekspresikan dalam tulisan-tulisannya, pola berpikir dan gaya hidupnya dan keluarganya.
Basuki menikah dengan Wuri pada tanggal 7 Februari 1965 dan mempunyai tiga anak: Nur, Endang, dan Sandy. Basuki yang bertahan dalam sakitnya selama enam tahun itu betul-betul mempersiapkan keluarganya dengan penuh cinta kasih. Ia sempat menyaksikan dua anaknya lulus sarjana dan sempat menyaksikan istrinya menjadi doktor. Ia seorang suami, ayah, teman dan kekasih, yang besar.
Manusia tidak diukur oleh panjangnya usia, tetapi oleh apa yang diperbuatnya di masa hidupnya.