23 Apr 2009

Film dan empati

Kalau kita bicara film, sebenarnya yang dimanfaatkan oleh para sineas adalah kemampuan manusia dalam berempati. Jika kita melihat orang tertawa, kita ikut tertawa. Jika kita melihat orang sedih, kita ikut sedih. Jika kita melihat orang marah, kita ikut marah. Lebih jauh lagi, bukan cuma empati yang dicari, tapi simpati. Misalnya melihat orang ditindas, kita ikut menderita dan marah. Ini merupakan kemampuan manusia sejak kecil. Seperti misalnya seorang anak kalau melihat ayahnya tersenyum, pasti anaknya ikut tersenyum. Demikian juga sebaliknya. Agak sulit dibayangkan kalau melihat anak senyum, terus bapaknya menangis.

Nah, sinetron atau semua film juga begitu. Ketika melihat sang pemain sedang ketakutan mau dibunuh oleh penjahat, kita yang menontonnya juga merasakan ketakutannya. Apalagi dibumbui dengan suara dan lagu yang menyertainya.

Pemunculan karakter anatgonis dan protagonis tetap dibutuhkan untuk setiap film. Harus ada "the good, the bad an the ugly". Ini mewakili manusia secara umum dan biasanya, hampir kebanyakan orang (tidak selalu) akan menempatkan diri pada posisi sang hero, karakter protagonis. Tentu saja, penggambaran yang ideal akan lebih disuka. Namun pada tipe penonton tertentu, yang sudah biasa dunia tak sekedar hitam dan putih namun ada banyak warna lain (tidak hanya abu-abu), maka seorang lakon bisa saja punya "dosa". Bahkan film sekaliber Star Wars dengan beberapa episodenya juga menampilkan karakter antagonis dan protagonis. Namun dalam ilmu perfilman, sebuah film akan terasa hambar kalau tidak ada unsur romannya.

Yang ingin saya kemukakan, pada tingkat masyarakat tertentu, mengeluarkan perasaan itu adalah sangat wajar dan biasa. Hanya saja, makin berpendidikan seseorang, biasanya perasaan ini makin ditekan dan tidak dengan mudah dikeluarkan. Ingat di jaman dulu, kalau orang menonton bioskop, bisa tertawa terbahak-bahak dengan keras bahkan ketika sang jagoan keluar, mereka bisa bertepuk tangan. Mengungkapkan perasaan adalah hal biasa dan wajar. Tapi kini sudah jarang. Menangis karena melihat film bioskop akan dianggap cengeng, jadi orang akan berusaha menghidari untuk ketahuan bahwa dia sedang menangis.

Sinteron kita atau hampir semua film drama, pasti bertujuan menggugah perasaan itu. Bagi banyak orang, tergugahnya perasaan atau emosi bukan merupakan masalah besar. Tapi untuk sebagian orang, melihat adegan yang ada di sinetron itu, membuat dirinya gemes, jengkel dan mungkin marah. Karena dia tidak tahan dengan munculnya emosi seperti itu (tidak bisa membiarkan larut dalam cerita), maka dia tidak menyukai sinetron itu.

Jadi, masalahnya bukan dari tingkat pendidikan. Namun lebih pada kecenderungan untuk menekan perasaan agar tidak diketahui oleh orang lain. Kita sadar bahwa dengan melihat sinteron atau film apapun, perasaan kita akan terbawa. Justru disinilah kita biasanya memilih film, yang mana yang kita pilih dan cocok untuk penyaluran emosi kita. Di sisi lain, untuk sebagian banyak orang, sinetron seperti yang ada sekarang ini merupakan hal yang biasa. Melihat secara bersama, jengkel bersama, nangis bersama dan gembira bersama saat sang lakon yang terlunta-lunta akhirnya bahagia. Saya pikir, hal yang sama akan kita rasakan, misalnya kita melihat film seperti "Pursuit of Happiness", apalagi itu merupakan kisah nyata.
(nur agustinus - 27 Juli 2007)

Popular Posts