13 Feb 2017

Lost in Translation in Tianjin

Sudah  lama sekali saya ingin menulis pengalaman saya ini. Kejadiannya sudah lama, sudah lebih dari tiga tahun lalu terhitung saat saya menulis ini. Saya sering menceritakan pengalaman ini ke beberapa teman namun baru kali ini menuliskannya.

Pemandangan kota Tianjin
Pada tanggal 15 Oktober 2013, saya berangkat ke Tianjin, Tiongkok. Sebelumnya saya sudah berada beberapa hari di Hong Kong. Pesawat Air China dari Hong Kong ke Tianjin delay dua jam, sehingga saya sampai di Tianjin sekitar jam 6 petang, yang harusnya sampai jam 4 sore. Perjalanan menuju Tianjin ini dalam rangka untuk mengikuti  25th International Council for Open and Distance Education (ICDE) World Conference yang diselenggarakan tanggal 16-18 Oktober 2013. 

Sebelumnya, saat di Surabaya, saya sudah memesan sebuah hotel lewat sebuah situs travel di internet. Saya memesan sendiri karena pihak travel biro langganan institusi tempat saya bekerja tidak bisa memesankannya. Saya memilih sebuah hotel yang menurut lokasinya dekat dengan tempat berlangsungnya acara, yakni di Tianjin Meijiang Conference and Exhibition Centre

Saat di Bandara Tianjin
Setiba di bandara Tianjin, yang lokasinya cukup jauh dari kota, saya menghubungi panitia yang sudah berada di sana. Mereka memberi fasilitas bus untuk mengantar peserta konferensi ke hotel yang disediakan oleh panitia. Hotel yang disediakan memang harus bayar sendiri dan yang direkomendasikan panitia adalah hotel berbintang yang mahal. Namun saya berpikir, setidaknya saya bisa ikut terangkut ke kota dan dari sana bisa menuju ke hotel yang saya sudah booking. Menurut petunjuk peta, lokasi hotelnya tidak jauh dari hotel tempat bus nantinya akan menuju.

Perjalan dengan bus sekitar 45 menit, saat tiba di hotel mereka, sekitar jam setengah delapan malam. Udara waktu itu cukup dingin, sebab bulan itu sudah mulai memasuki musim dingin. Untung atas nasihat teman waktu di Hong Kong, saya membeli jaket lagi. Malam itu, saya menggunakan jaket rangkap dua dan masih terasa dinginnya.

Naik bus ke kota Tianjin
Saya berangkat ke Tianjin sendirian, dengan hanya bisa bahasa Inggris. Tak bisa bahasa mandarin, namun saya sudah siap dengan nama hotel dalam tulisan mandarin, sebab menurut kabar, sebaiknya kalau ke Tiongkok bawa tulisan mandarin agar mudah berkomunikasi. Kebanyakan dari mereka tidak bisa membaca huruf latin.

Bus tiba di Hotel Renaissance. Seturun dari bus, saya mulai berjalan. Menurut peta, lokasi hotel saya tidak jauh, mungkin sekitar 2 kilometer. Itu biasa bagi saya untuk berjalan kaki.  Namun di lokasi yang kira-kira hotel itu berada, ternyata tidak ada tanda-tanda hotelnya. Saya berjalan dan kemudian mencoba memanggil taxi.  Sebuah taxi menghampiri saya dan lewat jendela saya menunjukkan alamat hotel. Pengemudi taxi tampak tidak mengerti dan menggeleng-gelengkan kepala dan menunjukkan tanda dia tidak mau mengantar saya dan kemudian pergi. Saat itu mulai berpikir keras dan mencoba tetap tenang.

Hotel yang dibooking
Waktu terus berjalan, sudah lewat jam 9 malam. Saat berjalan, sepertinya ada sebuah gedung pemerintah yang dijaga banyak polisi. Saya menghampiri sekerumunan polisi dan bertanya dengan menunjukkan alamat. Mereka juga menunjukkan tanda tidak tahu. Tidak bisa berhasa Inggris. Saya tidak mengerti bahasanya, mereka tidak mengerti bahasa saya. Akhirnya, seorang polisi menunjuk ke taxi dan mengisyaratkan agar saya bertanya ke taxi. Baiklah kalau begitu. Saya kemudian beranjak dari sana kemudian berjalan lagi.
Ada satu taxi lewat lagi dan saya memanggilnya. Dia berhenti dan saya menyodorkan alamat hotel. Lagi-lagi dia mengernyitkan dahinya tanda tak tahu. Dia tak mau mengantar dan saya kemudian ditinggal sendirian di jalan.

Taxi Tianjin (foto dari internet)
Jalan sudah sepi, memang ada satu dua mobil lewat, tapi udara yang dingin mungkin membuat jalanan juga sepi. Ini pengalaman pertama saya ke Tianjin. Sebelumnya saya pernah ke kota di negara lain seperti Singapura, Hong Kong, Bangkok, Macau, tapi ini tempat di mana saya merasa benar-benar asing karena saya tidak tahu bahasa mereka dan mereka tidak mengerti bahasa saya dan saya sendirian, malam hari dengan cuaca yang makin dingin. Pikiran saya waktu itu adalah, saya akan coba cari MacDonald yang buka 24 jam. Mungkin saya harus semalaman duduk di sana jika terpaksa. Alternatif ini membuat saya tetap tenang, saya ikuti saja pengalaman ini, apapun yang terjadi.

Saya menyusuri sebuah jalan raya besar. Nama jalannya adalah Youyi Road. Saya sempat duduk untuk istirahat di bawah pohon yang ada di pinggir jalan. Melihat pemandangan sambil berpikir apa yang mesti saya lakukan selanjutnya. Udara walau dingin, namun tidak sampai 15 derajat saya kira. Bukan cuaca yang ekstrem setidaknya.

Sepuluh atau lima belas menit saya duduk sambil memandangi sekitar dan kemudian beranjak jalan lagi. Tujuan saya mencari tempat makan yang buka 24 jam.

Selang beberapa saat, melintas sebuah taxi berrwarna biru di depan saya. Dia muncul dari jalan kecil dan kemudian masuk ke jalan raya besar itu. Saya pikir, ini harus saya coba lagi. Saya melambaikan tangan tanda memanggilnya dan dia berhenti. Dia menepi, membuka jendelanya. Saya menunjukkan kertas berisikan alamat. Pengemudi taxi ini kali ini berbeda. Dia seorang perempuan, usia mungkin sekitar 45-50 tahun. Dia membaca, juga tidak mengerti. Tapi kali ini berbeda. Dia menyuruh saya masuk ke dalam mobilnya. Saya menurut dan masuk. 

Di dalam mobil, saya dan dia berkomunikasi ala Tarzan. Dia nampak seorang yang peduli dengan keadaan saya. Dia menunjukkan tanda isyarat untuk telepon. Dia menunjukkan nomor telepon yang ada di kertas saya itu dan sepertinya menyuruh saya telepon. Ponsel saya untung masih menyala. Saya tekan nomornya dan menyerahkan ponsel saya ke dia untuk bicara. Terjadi percakapan di antara mereka. Dalam hati saya mulai bersyukur, ini bantuan dari Tuhan yang dikirimkan ke saya.  Setelah telepon selesai, dia mengambil kertas dan mulai menggambar. Dia menunjukkan dengan coretannya bahwa jarak dari tempat itu ke hotel saya tersebut sekitar 80 km. Alamak! Itu sama dengan Surabaya ke Malang, paling tidak dua jam perjalanan! Ok, saya harus segera membuat keputusan …  Saya sudah membooking hotel tersebut dengan biaya sekitar 2,65 juta. Apakah saya harus merelakan kehilangan uang tersebut dan mencari hotel lain yang ada di sekitar sana. Saya putuskan, ok tak apa, ini pelajaran dan pengalaman. Uang 2,65 juta tak sebanding dengan ketidakjelasan tempat hotel saya. 

Lalu dengan bahasa isyarat saya menjelaskan ingin mencari hotel yang dekat. Dia mengerti. Dia membuka laci di mobilnya dan mengambil sejumlah kartu nama. Lantas dia telepon dengan ponselnya. Saya mengatakan, saya ingin mencari hotel dengan budget sekitar 500 yuan per malam. Saat itu kurs 1 yuan sekitar Rp 1.500,-. Setelah telepon, dia mengantar saya ke sebuah hotel. Dia turun, dengan percaya meninggalkan saya di mobil, lalu berteriak di pintu hotel ke dalam, lantas tak lama keluar lagi. Sepertinya tidak ada kamar. Lalu dia menjalankan kembali mobilnya ke sebuah hotel lain. Dilakukan hal yang sama, kali ini katanya tarifnya 1000 yuan semalam. Saya bilang dengan isyarat, saya tidak bisa untuk harga segitu. Untunglah dia sabar.

Sementara itu, saya berpikir apa yang bisa saya lakukan. Saya coba buka ponsel saya, untung bisa konek internet meski roaming. Saya cari budget hotel di Tianjin dan sebuah nama hotel yang saya kenal muncul: Ibis. Saya menunjukkan hotel tersebut lalu dia mengatakan dengan isyarat agar saya telepon. Saya tekan nomornya dan menyerahkan ponsel saya ke dia. Lalu terjadilah percakapan. Rupanya kali ini beruntung, ada kamar tersedia. Dia kemudian segera memutar mobilnya dan menuju Hotel Ibis. Lega sekali tiba di halaman hotel, saya menanyakan berapa ongkosnya, dia menunjukkan argonya. Biayanya nggak sampai 30 yuan. Saya pikir kok murah, padahal sudah berkeliling banyak tadi. Saya kemudian memberikan 50 yuan sebagai ucapan terima kasih. 

Saya tidak pernah tahu namanya. Saya tidak tanya namanya karena saya tidak tahu cara bertanyanya. Saya juga tidak sempat memotret dia untuk kenang-kenangan, atau setidaknya wefie. Mungkin juga karena saya sungkan. Biarlah dia terekam dalam ingatan saya saja. 

Itu adalah pengalaman saya pertama kali ke Tianjin. Saya beruntung bukan tipe orang yang mudah panik. Saya juga bersyukur, ada orang baik yang mau membantu orang asing yang tersesat di kotanya. Masih ada beberapa pengalaman menarik lainnya saat di Tianjin. Ibarat seperti film Lost in Translation, saya benar-benar mengalaminya. Pengalaman ini banyak memberi pelajaran. Berbuat baik itu perlu, bahkan kepada orang yang tidak kita kenal sekalipun. Sebab kita, mungkin suatu ketika kelak, juga membutuhkan pertolongan dari orang-orang baik yang ada di sekitar kita…

Kamar Hotel Ibis Tianjin
Epilog:  Masuk ke hotel, menuju resepsionis, saat itu tak ada yang bisa berbahasa Inggris. Mereka memanggil seorang, entah pegawai atau supervisornya dari dalam yang rupanya adalah satu-satunya yang bisa berbahasa Inggris. Saya dilayani dengan baik. Kamar hotel juga tidak mahal, Kalau tak salah 200 yuan semalam. Saya diberi kartu sebesar kartu nama yang dia bilang ini adalah kartu yang sangat penting. Ada banyak alamat penting, baik dalam alfabet maupun tulisan mandarin. Jika naik taxi, cukup tunjukkan ke pengemudinya… Malam itu, saya tidur di Hotel Ibis di Tianjin. Kamarnya besar dan sangat nyaman. Beda dengan kamar hotel di Hong Kong dengan harga yang sama namun sempit. Saya berusaha untuk membatalkan booking hotel yang tidak jelas itu lewat internet namun tidak berhasil. Ah, biarlah.... Sekali lagi saya sudah sangat beruntung malam itu, bersyukur bahwa saya masih diberi kenikmatan…


Bus berhenti di Hotel Renaissance, lalu berjalan kaki hingga ke jalan Youyi. Bertemu taxi yang mau mengantar hingga akhirnya ke Hotel Ibis Tianjin Railway Station.

Popular Posts