Waktu lulus dari program MBA, saya diajak teman-teman satu kelas di MBA itu untuk bikin usaha (sampai sudah ke notaris untuk bikin akte). Saya mau aja, tapi saya bilang, saya tidak punya uang namun saya yang akan kerja. Jadi, saya punya semacam saham kosong. Tapi teman yang lain tidak setuju, saya tetap harus nyetor duit. Nah, ada teman sekelas saya yang lain (yang tidak ikut dalam join itu), namanya pak Susanto, mau membantu saya dengan meminjamkan uang rp 1 juta kepada saya. Eh, tidak tahu kenapa, tiba-tiba teman-teman saya itu (lupa jumlahnya berapa, mungkin sekitar 6 orang), membatalkan niat kerja sama itu sehingga saya dipanggil lagi untuk datang ke notaris dalam rangka pembubaran badan usaha. Jadi, uangnya yang sudah terlanjur saya pinjam 1 juta itu akhirnya terpakai buat nambah modal untuk usaha sendiri, yaitu yang membuka sebuah biro psikologi. Saya sempat hanya mencicil 100 rb kepada teman saya dan berjanji akan membayar sisanya secara mencicil juga. Jadi, saya masih punya utang rp 900.000,-
Waktu berjalan berlalu, bertahun-tahun, saya tidak berjumpa dengan teman saya. Kurs mata uang sudah berubah. Nilai sejuta saat itu sudah berbeda dengan sekarang. Saya sempat berpikir, saya ingin mengembalikan uang dengan nilai kurs dolar yang disesuaikan. Sampai akhirnya saya bertemu dengan dia lagi saat kuliah S2 (dia malah kuliah S3). Waktu itu sempat menyapa. Pertemuan berikutnya yang tidak sengaja adalah saat di toko buku, dan saya bilang kalau saya masih punya utang kepadanya. Ternyata dia sudah lupa dan saya ingatkan detailnya lagi. Katanya, "ah sudahlah, nggak perlu dipikirin, sudah aku anggap lunas." Jadi lega...hilang beban yang saya bawa selama sepuluh tahun lebih... Saya hanya bisa membalas kebaikan itu dengan berusaha membantu orang lain yang memerlukan. Sebelumnya, waktu kuliah MBA itu juga dibayari oleh teman ayah saya yang nilainya juga sekitar 10 jutaan.
Saya teringat akan petuah paman saya. Saya pernah bertanya, “Bagaimana cara seorang anak membalas orangtuanya?” Beliau menjawab, "Balaslah dengan cara merawat dan mendidik anakmu dengan sebaik-baiknya." Budi baik seseorang hanya bisa dibayar dengan cara memberi kebaikan kepada orang yang lain lagi.
(nur agustinus - 27 Februari 2009)
23 Apr 2009
Perilaku utang
Dulu waktu kuliah S2, sempat soal pinjam meminjam uang ini mau aku jadikan topik penelitian untuk menulis thesis namun tidak jadi.
Di budaya jawa, memang orang kalau sudah meminta pinjam uang dan ditolak, rasa malunya besar sekali dan itu berubah jadi marah. Lah, mau pinjam uang, ditolak, malah marah... lucu bukan... Tapi itulah yang terjadi.
Kita juga sulit menolak dengan alasan tidak ada uang, orang tidak akan percaya.
Di sisi lain, orang yang pinjam uang, kalaupun dia dapat rejeki berlebih, maka prioritas membayar utang adalah yang terakhir.
Sebenarnya ada dua tipe pengutang, pertama yang ingin segera utangnya lunas, ini biasanya jarang utang dan kalau utang biasanya kalau terdesak saja. Kalau dia punya rejeki lebih, maka dia akan segera membayar. Utang akan membuatnya susah tidur.
Tipe yang lain, dia nyaman dengan utang, kalaupun ada rejeki lebih, dia tetap akan membayar sesuai dengan aturan, malah kalau bisa dijadwal ulang, akan diperpanjang. Tak jarang mereka akhirnya gali lubang tutup lubang.
(nur agustinus - 24 Februari 2009)
Di budaya jawa, memang orang kalau sudah meminta pinjam uang dan ditolak, rasa malunya besar sekali dan itu berubah jadi marah. Lah, mau pinjam uang, ditolak, malah marah... lucu bukan... Tapi itulah yang terjadi.
Kita juga sulit menolak dengan alasan tidak ada uang, orang tidak akan percaya.
Di sisi lain, orang yang pinjam uang, kalaupun dia dapat rejeki berlebih, maka prioritas membayar utang adalah yang terakhir.
Sebenarnya ada dua tipe pengutang, pertama yang ingin segera utangnya lunas, ini biasanya jarang utang dan kalau utang biasanya kalau terdesak saja. Kalau dia punya rejeki lebih, maka dia akan segera membayar. Utang akan membuatnya susah tidur.
Tipe yang lain, dia nyaman dengan utang, kalaupun ada rejeki lebih, dia tetap akan membayar sesuai dengan aturan, malah kalau bisa dijadwal ulang, akan diperpanjang. Tak jarang mereka akhirnya gali lubang tutup lubang.
(nur agustinus - 24 Februari 2009)
Apa manfaat psikologi?
Saya teringat ucapan dosen saya waktu saya kuliah dulu. Nama dosen saya adalah pak Ino Yuwono. Beliau mengatakan, psikologi itu adalah ibarat kembangan sebuah ban. Maksud "kembangan ban" itu adalah kalau sebuah ban itu gundul, maka mobil atau kendaraan yang berjalan akan bisa saja jalan, tapi keselamatannya bisa berbahaya. Bukan berarti tanpa "kembangan ban" pasti kecelakaan, namun kalau kita naik mobil yang bannya masih bagus, maka kita bisa lebih selamat.
Di sisi lain, sebenarnya mau tidak mau harus diakui bahwa psikologi banyak memberi manfaat dan membawa dampak yang sangat siginifikan bagi perkembangan budaya dan kualitas hidup manusia. Tentu saja, ibarat koin uang, psikologi bisa punya dua sisi yang berbeda, tergantung mau dipakai buat apa. Misalnya saja, dengan psikologi diketahui bahwa ada dampak tayangan televisi pada seseorang, sehingga itu bisa mengerem tayangan-tayangan yang sangat sadis tidak muncul di tv. Atau, perubahan pola asuh anak, proses belajar, juga karena sumbangan dari psikologi.
Ada banyak rumah tangga yang tidak jadi bercerai, atau mungkin akhirnya bercerai namun secara baik-baik, itu juga bisa karena bantuan dari psikolog. Walau tidak menutup kemungkinan, ada psikolog yang secara tak sengaja (atau mungkin sengaja) membuat kesalahan dalam penanganan sehingga hasilnya menjadi buruk.
Banyak perusahaan yang kemudian melakukan seleksi saat menerima pegawainya dengan bantuan dari psikologi. Walau karena ini pula, ada orang yang kemudian ciut nyalinya kalau mesti mengikuti psikotes. Atau kemudian sering merasa gagal dalam proses seleksi yang satu itu. Namun proses seleksi ini sudah ada sejak jaman bahuela. Kalau pernah baca di kitabnya orang kristen yang disebut bibel itu, di kitab Hakim-Hakim 4, saat itu Gideon jadi pemimpin bangsa Israel yang mau menggempur bangsa Midian dan Amalek, ada cerita bahwa Gideon menyaring tentaranya untuk dipilih mana yang bakal maju ke medan perang dan mana yang tidak. Caranya agak aneh dan tidak pernah dipakai dalam ilmu psikologi maupun strategi militer Sun Tzu, yakni Gideon menyuruh rakyatnya turun minum air ke sungai dan memilih serta memisahkan antara yang menghirup air dengan lidahnya seperti anjing menjilat dengan orang yang berlutut untuk minum. waktu itu, jumlah orang yang menghirup dengan membawa tangannya ke mulutnya, ada tiga ratus orang, tetapi yang lain dari rakyat itu semuanya berlutut minum air. Yang dipilih maju perang adalah yang minum dengan cara menghirup pakai tangan.
Kalau dipikir.... apa kira-kira ada penjelasan ilmiahnya? Tapi ini barangkali merupakan sebuah "tes psikologi" paling awal yang tercatat dalam sebuah buku.
(nur agustinus - 14 Maret 2007)
Di sisi lain, sebenarnya mau tidak mau harus diakui bahwa psikologi banyak memberi manfaat dan membawa dampak yang sangat siginifikan bagi perkembangan budaya dan kualitas hidup manusia. Tentu saja, ibarat koin uang, psikologi bisa punya dua sisi yang berbeda, tergantung mau dipakai buat apa. Misalnya saja, dengan psikologi diketahui bahwa ada dampak tayangan televisi pada seseorang, sehingga itu bisa mengerem tayangan-tayangan yang sangat sadis tidak muncul di tv. Atau, perubahan pola asuh anak, proses belajar, juga karena sumbangan dari psikologi.
Ada banyak rumah tangga yang tidak jadi bercerai, atau mungkin akhirnya bercerai namun secara baik-baik, itu juga bisa karena bantuan dari psikolog. Walau tidak menutup kemungkinan, ada psikolog yang secara tak sengaja (atau mungkin sengaja) membuat kesalahan dalam penanganan sehingga hasilnya menjadi buruk.
Banyak perusahaan yang kemudian melakukan seleksi saat menerima pegawainya dengan bantuan dari psikologi. Walau karena ini pula, ada orang yang kemudian ciut nyalinya kalau mesti mengikuti psikotes. Atau kemudian sering merasa gagal dalam proses seleksi yang satu itu. Namun proses seleksi ini sudah ada sejak jaman bahuela. Kalau pernah baca di kitabnya orang kristen yang disebut bibel itu, di kitab Hakim-Hakim 4, saat itu Gideon jadi pemimpin bangsa Israel yang mau menggempur bangsa Midian dan Amalek, ada cerita bahwa Gideon menyaring tentaranya untuk dipilih mana yang bakal maju ke medan perang dan mana yang tidak. Caranya agak aneh dan tidak pernah dipakai dalam ilmu psikologi maupun strategi militer Sun Tzu, yakni Gideon menyuruh rakyatnya turun minum air ke sungai dan memilih serta memisahkan antara yang menghirup air dengan lidahnya seperti anjing menjilat dengan orang yang berlutut untuk minum. waktu itu, jumlah orang yang menghirup dengan membawa tangannya ke mulutnya, ada tiga ratus orang, tetapi yang lain dari rakyat itu semuanya berlutut minum air. Yang dipilih maju perang adalah yang minum dengan cara menghirup pakai tangan.
Kalau dipikir.... apa kira-kira ada penjelasan ilmiahnya? Tapi ini barangkali merupakan sebuah "tes psikologi" paling awal yang tercatat dalam sebuah buku.
(nur agustinus - 14 Maret 2007)
Apa gunanya hukuman?
Soal hubungan antara penjahat dengan hukuman, memang sepertinya kuat atau lemahnya hukuman tidak mempengaruhi banyak atau sedikitnya penjahat. Namun apa sih gunanya hukuman itu?
Kita coba bicara pada lingkup yang lebih sederhana, yaitu pada anak-anak. Ketika seorang anak sekolah melakukan pelanggaran, misalnya mencontek, dan hal itu diketahui oleh sang guru, maka dia akan mendapatkan hukuman. Apakah dengan adanya guru yang sangat tegas dan hukuman yang sangat berat akan membuat si tukang contek jera? Belum tentu. Barangkali si tukang contek akan terus menerus berpikir secara kreatif, bagaimana mengembangkan ilmu mencontek yang tidka ketahuan oleh gurunya. Namun, hukuman itu cukup efektif untuk mencegah anak lain yang bukan tukang contek untuk kemudian mencontek.
Ah, mungkin ada yang protes. Anak yang tidak suka mencontek, dia tetap tidak akan mencontek meski tidak ada hukuman. Bahkan tak ada guru yang mengawasipun, dia tetap tidak akan mencontek.
Ya, ini bisa benar. Hukuman ternyata tidak mempunyai makna apa-apa bagi mereka yang jujur. Dengan kata lain, ada hukuman atau tidak, dia tetap tidak akan mencontek.
Lalu, di mana fungsinya hukuman? Apakah hukuman hanya sekedar bentuk menunjukkan power dari pemberi hukuman kepada yang terhukum?
Bagi penjahat, fungsi hukuman bisa tidak hanya dengan harapan supaya dia jera, tapi selama dia dalam penjaranya, maka dia tidak akan melakukan tindak kriminalnya. Maka, hukuman paling efektif bagi siswa yang suka mencontek adalah menempatkannya duduk di paling depan yang sangat ketat pengawasannya. Dengan kata lain, fungsi hukuman bukan mengubah kebiasaan pelakunya, namun meniadakan kesempatan bagi pelaku untuk melakukan perbuatannya itu.
Kita tentu pernah dihukum, mungkin oleh orangtua, oleh guru, atau bahkan oleh atasan maupun orang lain. Hukuman dibuat tidak menyenangkan karena secara teori dan secara akal sehat, mestinya, hal yang tidak menyenangkan cenderung untuk tidak diulang.
Ada yang mengatakan bahwa fungsi hukuman adalah untuk mencegah orang lain untuk melakukan perbuatan serupa. Di sini, diharapkan orang belajar melakukan melihat pengalaman orang lain yang melanggar aturan. Ini bisa efektif, terutama bagi yang 'bawaan'nya penakut dan punya kecenderungan untuk patuh (tingkat konformnya tinggi). Tapi tidak untuk mereka yang termasuk tipe pemberontak.
Dalam sebuah tayangan discovery health (discovery channel) tentang anak-anak yang memiliki gangguan perhatian yang disertai hiperaktif (ADHD), ternyata banyak penjahat yang kambuhan serta cenderung psikopat, mempunyai kecenderungan ADHD. Mereka pemarah, mudah kehilangan kontrol atas dirinya dan sangat agresif. Sebagian mungkin justru pendiam, pintar namun menggunakan kepintarannya untuk mencari celah-celah untuk menipu. Meski kita membaca bahwa ada banyak hacker yang ditangkap dan dihukum berat, namun hacker-hacker baru tetap bermunculan.
Kesimpulannya menurut saya, fungsi hukuman bisa berbeda-beda untuk tiap orang. Ada yang untuk supaya dia jera, ada yang untuk supaya dia tidak melakukan apa yang dipikirkannya, atau agar dia tidak punya kebebasan untuk melakukan tindakannya.
Adalah menarik jika kita belajar dari perancis, dengan legiun tentara asingnya, di mana mereka memberi kesempatan kepada para kriminal dan penjahat untuk menjadi tentara yang dikirim ke medan perang dan kalau mereka selamat dan melaksanakan tugasnya dengan baik, maka kebebasan akan menanti dirinya. Dalam banyak hal, sepertinya ini cukup efektif.
(nur agustinus - 11 Januari 2007)
Kita coba bicara pada lingkup yang lebih sederhana, yaitu pada anak-anak. Ketika seorang anak sekolah melakukan pelanggaran, misalnya mencontek, dan hal itu diketahui oleh sang guru, maka dia akan mendapatkan hukuman. Apakah dengan adanya guru yang sangat tegas dan hukuman yang sangat berat akan membuat si tukang contek jera? Belum tentu. Barangkali si tukang contek akan terus menerus berpikir secara kreatif, bagaimana mengembangkan ilmu mencontek yang tidka ketahuan oleh gurunya. Namun, hukuman itu cukup efektif untuk mencegah anak lain yang bukan tukang contek untuk kemudian mencontek.
Ah, mungkin ada yang protes. Anak yang tidak suka mencontek, dia tetap tidak akan mencontek meski tidak ada hukuman. Bahkan tak ada guru yang mengawasipun, dia tetap tidak akan mencontek.
Ya, ini bisa benar. Hukuman ternyata tidak mempunyai makna apa-apa bagi mereka yang jujur. Dengan kata lain, ada hukuman atau tidak, dia tetap tidak akan mencontek.
Lalu, di mana fungsinya hukuman? Apakah hukuman hanya sekedar bentuk menunjukkan power dari pemberi hukuman kepada yang terhukum?
Bagi penjahat, fungsi hukuman bisa tidak hanya dengan harapan supaya dia jera, tapi selama dia dalam penjaranya, maka dia tidak akan melakukan tindak kriminalnya. Maka, hukuman paling efektif bagi siswa yang suka mencontek adalah menempatkannya duduk di paling depan yang sangat ketat pengawasannya. Dengan kata lain, fungsi hukuman bukan mengubah kebiasaan pelakunya, namun meniadakan kesempatan bagi pelaku untuk melakukan perbuatannya itu.
Kita tentu pernah dihukum, mungkin oleh orangtua, oleh guru, atau bahkan oleh atasan maupun orang lain. Hukuman dibuat tidak menyenangkan karena secara teori dan secara akal sehat, mestinya, hal yang tidak menyenangkan cenderung untuk tidak diulang.
Ada yang mengatakan bahwa fungsi hukuman adalah untuk mencegah orang lain untuk melakukan perbuatan serupa. Di sini, diharapkan orang belajar melakukan melihat pengalaman orang lain yang melanggar aturan. Ini bisa efektif, terutama bagi yang 'bawaan'nya penakut dan punya kecenderungan untuk patuh (tingkat konformnya tinggi). Tapi tidak untuk mereka yang termasuk tipe pemberontak.
Dalam sebuah tayangan discovery health (discovery channel) tentang anak-anak yang memiliki gangguan perhatian yang disertai hiperaktif (ADHD), ternyata banyak penjahat yang kambuhan serta cenderung psikopat, mempunyai kecenderungan ADHD. Mereka pemarah, mudah kehilangan kontrol atas dirinya dan sangat agresif. Sebagian mungkin justru pendiam, pintar namun menggunakan kepintarannya untuk mencari celah-celah untuk menipu. Meski kita membaca bahwa ada banyak hacker yang ditangkap dan dihukum berat, namun hacker-hacker baru tetap bermunculan.
Kesimpulannya menurut saya, fungsi hukuman bisa berbeda-beda untuk tiap orang. Ada yang untuk supaya dia jera, ada yang untuk supaya dia tidak melakukan apa yang dipikirkannya, atau agar dia tidak punya kebebasan untuk melakukan tindakannya.
Adalah menarik jika kita belajar dari perancis, dengan legiun tentara asingnya, di mana mereka memberi kesempatan kepada para kriminal dan penjahat untuk menjadi tentara yang dikirim ke medan perang dan kalau mereka selamat dan melaksanakan tugasnya dengan baik, maka kebebasan akan menanti dirinya. Dalam banyak hal, sepertinya ini cukup efektif.
(nur agustinus - 11 Januari 2007)
Mempelajari filsafat
Dulu waktu saya kuliah di S1, saya beruntung diajar oleh seorang dosen filsafat yang menurut saya piawai, yakni pak Poerwadi (alm). Namun, kalau boleh saya bilang, sepertinya yang paling suka pelajaran filsafat waktu itu cuma saya seorang di antara sekitar seratusan mahasiswa yang ada bersama di kelas.
Tentu saya tidak akan menguraikan di sini apa itu filsafat. Anda mungkin sudah jenuh dengan mata kuliah yang menurut Anda tidak bermanfaat ini. Namun, kalau kita belajar sejarah psikologi, maka psikologi di awali melalui tokoh-tokoh filsafat yang membahas manusia. Filsafat juga mempelajari yang namanya filsafat logika, filsafat manusia dan juga filsafat ilmu. Hal mana yang penting menurut saya buat siapa saja, tidak terkecuali mahasiswa yang kuliah di psikologi.
Saya jadi teringat waktu saya kuliah dulu, saat belajar filsafat logika, ada banyak mahasiswa yang bingung soal silogisme, pemikiran deduktif dan induktif serta kesalahan-kesalahan logika. Padahal, sepertinya hal itu mudah-mudah saja. Orang sudah merasa sesuatu yang disebut "filsafat" itu sulit sehingga sudah ada hambatan.
Pak Poerwadi mengajarkan mahasiswanya tidak dengan mengharuskan membaca textbook filsafat yang tebal dan sulit dipahami. Namun dia menyuruh mahasiswanya membuat ringkasan buku, seperti buku novel "Anak Bajang Menggiring Angin", "Pengakuan Pariyem" dan sejenisnya. Melalui karya-karya seperti itu, beliau mengajak mahasiswanya untuk memahami, apa itu manusia.
Filsafat memang sepertinya momok, tapi sebenarnya tidak harus begitu. Belajar filsafat juga tidak membuat orang menjadi atheis. Seseorang seperti Jalaluddin Rumi juga bisa dikategorikan sebagai filsuf. Filsafat meninjau dengan pertanyaan "apa itu", "dari mana" dan "ke mana".
Belakangan, ketika saya kuliah S2, saya baru mendapatkan pencerahan bahwa tidak semua orang suka filsafat. Hal ini barangkali berkaitan dengan tipe kepribadian, dan saya melihatnya melalui tipe kepribadian berdasarkan MBTI (Myers-Briggs Type Indicator) yang dasarnya adalah tipe kepribadian menurut Carl G. Jung.
Pembagian dikotomi MBTI adalah sebagai berikut:
http://en.wikipedia.org/wiki/Myers-Briggs_Type_Indicator
Extraversion (E) >< Introversion (I)
Sensing (S) >< iNtuition (N)
Thinking (T) >< Feeling (F)
Judging (J) >< Perceiving (P)
Menurut dosen saya di S2, Prof. Dr. M. As'ad Djalali, SU., yang saat itu mengajar Filsafat Ilmu, saat saya bertanya apakah ada ciri tertentu seseorang itu suka berfilsafat, beliau menjawab barangkali hal itu berkaitan dengan orang yang memiliki tipe kepribadian yang cenderung introversion (introvert), intuition (intuisi), Thinking (pemikir) dan Perceiving (pengamat) atau INTP. Walau ini tidak mutlak, namun ada kecenderungan seperti itu, sebab orang yang mau menyendiri dan merenung untuk berpikir (bukan melamun), biasanya adalah orang yang introvert + intuisi + pemikir. Seseorang yang "Perceiving" (pengamat) lebih mudah untuk menggali lebih jauh pada esensi ketimbang seorang judging (penilai) yang cenderung menentukan dan memberi label (memvonis).
Berdasarkan hal itu, saya jadi paham, mengapa tidak semua orang suka atau bisa diajak berfilsafat. Lebih jauh lagi, mahasiswa yang suka filsafat, sering dianggap "nerd" oleh teman-temannya... Beruntung saya tidak dianggap begitu saat itu...
(nur agustinus - 10 September 2008)
Tentu saya tidak akan menguraikan di sini apa itu filsafat. Anda mungkin sudah jenuh dengan mata kuliah yang menurut Anda tidak bermanfaat ini. Namun, kalau kita belajar sejarah psikologi, maka psikologi di awali melalui tokoh-tokoh filsafat yang membahas manusia. Filsafat juga mempelajari yang namanya filsafat logika, filsafat manusia dan juga filsafat ilmu. Hal mana yang penting menurut saya buat siapa saja, tidak terkecuali mahasiswa yang kuliah di psikologi.
Saya jadi teringat waktu saya kuliah dulu, saat belajar filsafat logika, ada banyak mahasiswa yang bingung soal silogisme, pemikiran deduktif dan induktif serta kesalahan-kesalahan logika. Padahal, sepertinya hal itu mudah-mudah saja. Orang sudah merasa sesuatu yang disebut "filsafat" itu sulit sehingga sudah ada hambatan.
Pak Poerwadi mengajarkan mahasiswanya tidak dengan mengharuskan membaca textbook filsafat yang tebal dan sulit dipahami. Namun dia menyuruh mahasiswanya membuat ringkasan buku, seperti buku novel "Anak Bajang Menggiring Angin", "Pengakuan Pariyem" dan sejenisnya. Melalui karya-karya seperti itu, beliau mengajak mahasiswanya untuk memahami, apa itu manusia.
Filsafat memang sepertinya momok, tapi sebenarnya tidak harus begitu. Belajar filsafat juga tidak membuat orang menjadi atheis. Seseorang seperti Jalaluddin Rumi juga bisa dikategorikan sebagai filsuf. Filsafat meninjau dengan pertanyaan "apa itu", "dari mana" dan "ke mana".
Belakangan, ketika saya kuliah S2, saya baru mendapatkan pencerahan bahwa tidak semua orang suka filsafat. Hal ini barangkali berkaitan dengan tipe kepribadian, dan saya melihatnya melalui tipe kepribadian berdasarkan MBTI (Myers-Briggs Type Indicator) yang dasarnya adalah tipe kepribadian menurut Carl G. Jung.
Pembagian dikotomi MBTI adalah sebagai berikut:
http://en.wikipedia.org/wiki/Myers-Briggs_Type_Indicator
Extraversion (E) >< Introversion (I)
Sensing (S) >< iNtuition (N)
Thinking (T) >< Feeling (F)
Judging (J) >< Perceiving (P)
Menurut dosen saya di S2, Prof. Dr. M. As'ad Djalali, SU., yang saat itu mengajar Filsafat Ilmu, saat saya bertanya apakah ada ciri tertentu seseorang itu suka berfilsafat, beliau menjawab barangkali hal itu berkaitan dengan orang yang memiliki tipe kepribadian yang cenderung introversion (introvert), intuition (intuisi), Thinking (pemikir) dan Perceiving (pengamat) atau INTP. Walau ini tidak mutlak, namun ada kecenderungan seperti itu, sebab orang yang mau menyendiri dan merenung untuk berpikir (bukan melamun), biasanya adalah orang yang introvert + intuisi + pemikir. Seseorang yang "Perceiving" (pengamat) lebih mudah untuk menggali lebih jauh pada esensi ketimbang seorang judging (penilai) yang cenderung menentukan dan memberi label (memvonis).
Berdasarkan hal itu, saya jadi paham, mengapa tidak semua orang suka atau bisa diajak berfilsafat. Lebih jauh lagi, mahasiswa yang suka filsafat, sering dianggap "nerd" oleh teman-temannya... Beruntung saya tidak dianggap begitu saat itu...
(nur agustinus - 10 September 2008)
Menjadi bahagia
Orang bilang, kalau kebutuhan kita terpenuhi, maka kita akan bahagia. Namun, kebutuhan manusia terus menerus berubah. Dengan kata lain, manusia nampaknya tidak bisa dalam keadaan terus menerus bahagia.
Nampaknya ada teori yang mengatakan bahwa kebahagiaan berkaitan dengan masalah kesuksesan. Ada banyak definisi dan pengertian mengenai sukses ini. Ketika saya menelusuri situs-situs tentang "sukses", ada banyak pendapat tentang hal ini, misalnya:
Al Bernstein: Success is often the result of taking a misstep in the right direction.
Winston Churchill: Success is going from failure to failure without a loss of enthusiam.
Sam Ewing: Success has a simple formula: do your best, and people may like it.
Joe Paterno: Success without honor is an unseasoned dish; it will satisfy your hunger, but it won't taste good.
Sophocles: Success is dependent on effort.
http://www.brainyquote.com/quotes/topics/topic_success.html
dan masih banyak lagi lainnya.... dan dari semua itu, apa yang dikatakan oleh mereka, dapat saya pahami bahwa apa yang ada di film Pursuit of happiness itu memang benar. Memang ketika sukses terjadi, terjadi reaksi kimia di otak yang menyebabkan orang bahagia. Saat dalam keadaan orang merasa sukses, otak mengeluarkan dopamin. Dopamin adalah drugs alamiah dari tubuh yang menghasilkan keadaan seperti ekstasi. Dopamine ini berperan penting dalam reaksi kimia dalam tubuh yang menimbulkan perasaan senang. Pelepasan dopamine pada sistem limbik (hypothalamus) inilah yang menyebabkan perasaan senang tadi.
Di sisi lain, ada hormon yang membuat orang susah, tegang dan cemas, yaitu cortisol. Cortisol diproduksi di kelenjar adrenal (dekat pinggang). Ada orang tertentu yang hidupnya stress sehingga dalam darahnya banyak terdapat cortisol. Orang ini dijamin tidak bahagia. Sementara orang yang dipenuhi (kalau bisa terus menerus) dengan dopamin, maka dia akan nampak bahagia. Namun, kadar ini tidak bisa terus menerus ada. Harus ada stimulan yang bisa merangsangn agar terproduksi secara alamiah. Persoalannya, manusia memiliki ambang yang terus menerus menerus meningkat. Tak jauh berbeda dengan orang yang sudah terbiasa menenggak pil ekstasi separuh, maka lama kelamaan kalau hanya separuh tidak cukup, dia butuh satu, kemudian butuh makin banyak lagi dosisnya. Itu sebabnya, dalam rangka mengejar kebahagiaan, manusia harus terus menerus meningkatkan harapan dan kebutuhannya.
Hanya saja, sukses dan bahagia adalah dua hal yang berbeda. Seseorang bisa sukses dan tidak bahagia. Bisa bahagia namun tidak sukses. Bisa sukses sekaligus bahagia, dan bisa pula tidak sukses dan tidak bahagia.
Bicara soal kesuksesan, saya teringat pada tulisan Deepak Chopra tentang "seven spiritual laws of success". Pertanyaannya, apakah kebahagiaan bisa tercapai dan bertahan ketika manusia tidak begitu berharap tinggi?
apakah kebahagiaan bisa tercapai dengan kepuasan? Apakah ketika seseorang merasa puas, maka dia juga mengalami kebahagiaan? Semisal, apakah kalau saya bisa mendapatkan penghasilan sebesar Rp 500 ribu sebulan, saya sudah bahagia? Atau orang untuk bisa bahagia itu harus berpenghasilan tertentu? Maka tak heran jika Bette Davis mengatakan, "You will never be happier than you expect. To change your happiness, change your expectation."
Bahkan Mahatma Gandhi juga pernah mengatakan, "Happiness is when what
you think, what you say, and what you do are in harmony."
http://www.thehappyguy.com/definition-of-happiness.html
(nur agustinus - 10 Januari 2007)
Nampaknya ada teori yang mengatakan bahwa kebahagiaan berkaitan dengan masalah kesuksesan. Ada banyak definisi dan pengertian mengenai sukses ini. Ketika saya menelusuri situs-situs tentang "sukses", ada banyak pendapat tentang hal ini, misalnya:
Al Bernstein: Success is often the result of taking a misstep in the right direction.
Winston Churchill: Success is going from failure to failure without a loss of enthusiam.
Sam Ewing: Success has a simple formula: do your best, and people may like it.
Joe Paterno: Success without honor is an unseasoned dish; it will satisfy your hunger, but it won't taste good.
Sophocles: Success is dependent on effort.
http://www.brainyquote.com/quotes/topics/topic_success.html
dan masih banyak lagi lainnya.... dan dari semua itu, apa yang dikatakan oleh mereka, dapat saya pahami bahwa apa yang ada di film Pursuit of happiness itu memang benar. Memang ketika sukses terjadi, terjadi reaksi kimia di otak yang menyebabkan orang bahagia. Saat dalam keadaan orang merasa sukses, otak mengeluarkan dopamin. Dopamin adalah drugs alamiah dari tubuh yang menghasilkan keadaan seperti ekstasi. Dopamine ini berperan penting dalam reaksi kimia dalam tubuh yang menimbulkan perasaan senang. Pelepasan dopamine pada sistem limbik (hypothalamus) inilah yang menyebabkan perasaan senang tadi.
Di sisi lain, ada hormon yang membuat orang susah, tegang dan cemas, yaitu cortisol. Cortisol diproduksi di kelenjar adrenal (dekat pinggang). Ada orang tertentu yang hidupnya stress sehingga dalam darahnya banyak terdapat cortisol. Orang ini dijamin tidak bahagia. Sementara orang yang dipenuhi (kalau bisa terus menerus) dengan dopamin, maka dia akan nampak bahagia. Namun, kadar ini tidak bisa terus menerus ada. Harus ada stimulan yang bisa merangsangn agar terproduksi secara alamiah. Persoalannya, manusia memiliki ambang yang terus menerus menerus meningkat. Tak jauh berbeda dengan orang yang sudah terbiasa menenggak pil ekstasi separuh, maka lama kelamaan kalau hanya separuh tidak cukup, dia butuh satu, kemudian butuh makin banyak lagi dosisnya. Itu sebabnya, dalam rangka mengejar kebahagiaan, manusia harus terus menerus meningkatkan harapan dan kebutuhannya.
Hanya saja, sukses dan bahagia adalah dua hal yang berbeda. Seseorang bisa sukses dan tidak bahagia. Bisa bahagia namun tidak sukses. Bisa sukses sekaligus bahagia, dan bisa pula tidak sukses dan tidak bahagia.
Bicara soal kesuksesan, saya teringat pada tulisan Deepak Chopra tentang "seven spiritual laws of success". Pertanyaannya, apakah kebahagiaan bisa tercapai dan bertahan ketika manusia tidak begitu berharap tinggi?
apakah kebahagiaan bisa tercapai dengan kepuasan? Apakah ketika seseorang merasa puas, maka dia juga mengalami kebahagiaan? Semisal, apakah kalau saya bisa mendapatkan penghasilan sebesar Rp 500 ribu sebulan, saya sudah bahagia? Atau orang untuk bisa bahagia itu harus berpenghasilan tertentu? Maka tak heran jika Bette Davis mengatakan, "You will never be happier than you expect. To change your happiness, change your expectation."
Bahkan Mahatma Gandhi juga pernah mengatakan, "Happiness is when what
you think, what you say, and what you do are in harmony."
http://www.thehappyguy.com/definition-of-happiness.html
(nur agustinus - 10 Januari 2007)
Budaya berontak
Kalau melihat sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara, sepertinya kejatuhan seorang pemimpin dikarenakan adanya kudeta atau suksesi dari bapak ke anaknya. Boleh dibilang hampir tidak ada cerita rakyat berontak. Kenapa? Barangkali ini karena masalah kasta yang telah ditanamkan sejak agama Hindu menjadi agama yang populer di Nusantara dulu. Boro-boro rakyat jelata mau jadi bangsawan. Tentu bagai mimpi seorang petani bisa jadi presiden.
Yang terjadi adalah, sebuah kerajaan hancur karena serbuan kerajaan lain. Bahkan Majapahit hancur karena serbuah dari Demak yang dimotori oleh anak raja Majapahit itu sendiri. Kudeta versi militer terjadi saat Ken Arok membunuh Tunggul Ametung. Namun Tunggul Ametung bukan raja, melainkan hanya penguasa Tumapel, di bawah kekuasaan raja Kediri, Kertajaya. Baru kemudian Ken Arok mendirikan kerajaan Singhasari dan berusaha menyerbu Kediri.
Oleh karena itu, tidak mudah rakyat Indonesia berontak. Mungkin yang bisa berontak hanya dari kalangan militer saja. Seperti misalnya peristiwa september 1965 dan juga di masanya Habibie jadi presiden, disinyalir ada upaya kudeta oleh sekelompok petinggi militer. Namun biasanya yang muncul adalah orang yang pandai mengambil peluang di tengah kekacauan. Aksi pemberontakan di Indonesia sebenarnya banyak juga.
Orang Indonesia tidak mudah disuruh untuk berontak, apalagi terhadap penguasa. Kecuali kalau dirinya secara langsung terkena imbasnya. Misalnya, konon pangeran Diponegoro berontak kepada belanda karena belanda membuat jalan baru yang akan dibangun melewati makam dan tanah leluhur Diponegoro. Hal itu membuat Diponegoro tersinggung.
Kalau berontak terhadap atasan, itu bisa saja. Bahkan berontak kepada pimpinan perusahaan juga tidak masalah. Berontak kepada raja itu lain cerita. Memang, semenjak tahun 1998, orang Indonesia lebih berani untuk berontak. Terbukti sudah berhasil membuat soeharto turun dari tahtanya. Bukan cuma itu, seorang Gus Dur juga berhasil dicopot dengan konsitusional. Bahkan kalau boleh dibilang, Indonesia merdeka tanpa berontak, namun saat mempertahankannya memang dibutuhkan pengorbanan banyak nyawa.
Untuk berontak butuh pemimpin. Sebab hanya pemimpin yang mampu membuat perubahan, sebab dia harusnya punya visi dan misi yang ingin dicapainya. Seperti di film Braveheart, bagaimana William Wallace (Mel Gibson) memimpin orang-orang skotland terhadap Inggris.
Dalam situasi yang tidak menyenangkan atau kacau, selalu saja akan ada orang yang memilih tinggal diam, tapi ada juga yang mungkin melakukan perubahan dan pemberontakan. Di sisi lain, ada juga yang memilih pindah ke tempat lain yang dirasa lebih nyaman. Ada yang menjadi pengungsi, ada juga yang menjadi imigran di negara lain.
(nur agustinus - 16 Februari 2007)
Yang terjadi adalah, sebuah kerajaan hancur karena serbuan kerajaan lain. Bahkan Majapahit hancur karena serbuah dari Demak yang dimotori oleh anak raja Majapahit itu sendiri. Kudeta versi militer terjadi saat Ken Arok membunuh Tunggul Ametung. Namun Tunggul Ametung bukan raja, melainkan hanya penguasa Tumapel, di bawah kekuasaan raja Kediri, Kertajaya. Baru kemudian Ken Arok mendirikan kerajaan Singhasari dan berusaha menyerbu Kediri.
Oleh karena itu, tidak mudah rakyat Indonesia berontak. Mungkin yang bisa berontak hanya dari kalangan militer saja. Seperti misalnya peristiwa september 1965 dan juga di masanya Habibie jadi presiden, disinyalir ada upaya kudeta oleh sekelompok petinggi militer. Namun biasanya yang muncul adalah orang yang pandai mengambil peluang di tengah kekacauan. Aksi pemberontakan di Indonesia sebenarnya banyak juga.
Orang Indonesia tidak mudah disuruh untuk berontak, apalagi terhadap penguasa. Kecuali kalau dirinya secara langsung terkena imbasnya. Misalnya, konon pangeran Diponegoro berontak kepada belanda karena belanda membuat jalan baru yang akan dibangun melewati makam dan tanah leluhur Diponegoro. Hal itu membuat Diponegoro tersinggung.
Kalau berontak terhadap atasan, itu bisa saja. Bahkan berontak kepada pimpinan perusahaan juga tidak masalah. Berontak kepada raja itu lain cerita. Memang, semenjak tahun 1998, orang Indonesia lebih berani untuk berontak. Terbukti sudah berhasil membuat soeharto turun dari tahtanya. Bukan cuma itu, seorang Gus Dur juga berhasil dicopot dengan konsitusional. Bahkan kalau boleh dibilang, Indonesia merdeka tanpa berontak, namun saat mempertahankannya memang dibutuhkan pengorbanan banyak nyawa.
Untuk berontak butuh pemimpin. Sebab hanya pemimpin yang mampu membuat perubahan, sebab dia harusnya punya visi dan misi yang ingin dicapainya. Seperti di film Braveheart, bagaimana William Wallace (Mel Gibson) memimpin orang-orang skotland terhadap Inggris.
Dalam situasi yang tidak menyenangkan atau kacau, selalu saja akan ada orang yang memilih tinggal diam, tapi ada juga yang mungkin melakukan perubahan dan pemberontakan. Di sisi lain, ada juga yang memilih pindah ke tempat lain yang dirasa lebih nyaman. Ada yang menjadi pengungsi, ada juga yang menjadi imigran di negara lain.
(nur agustinus - 16 Februari 2007)
Mindset & The Secret
Seandainya ada orang yang menawari saya untuk ikutan seminar atau workshop LoA (Law of Attraction), jelas saya juga tidak akan mau ikut. Lha training NLP (Neuro-linguistic programming) saja saya malas ikut . Saya tertarik karena saya lihat videonya The Secret. Mungkin seperti banyak orang bilang kalau itu benar sebab bukti ilmiahnya tidak ada atau lemah. Oleh karenanya, itu cuma masalah masuk akal atau tidak. Buat saya, itu masuk akal, sementara buat orang lain tidak.
Kemarin juga waktu ke toko buku, saya bertemu dengan seorang spiritualis. Dia sudah tua sekali tapi suka ke toko buku dan saya tanya ke beliau soal "The Secret". Dia ketawa dan bilang bahwa penjelasannya tidak lengkap dan tidak dibuka semua. Memang, kuncinya ada pada diri kita sendiri dan cara aplikasinya tidak diuraikan secara gamblang, terlebih memang harus ada unsur keyakinan, sementara keyakinan ini bisa berubah dan tidak sama antara satu orang dengan yang lain. Beliau bilang, baca saja bukunya Deepak Chopra dan terapkan The Seven Spiritual Laws of Success". Kalau sudah mempraktekkan itu, maka sudah sakti katanya. Terus saya dianjurkan juga untuk baca bukunya Deepak Chopra yang berjudul "Kitab Rahasia" dan buku "Boundless Healing" karangan Tulku Thondup.
Memang, saya sudah puas dengan keadaan saya seperti sekarang ini. Namun saya ingin hidup saya tidak cuma begini-begini saja. Apalagi, banyak orang kalau bertemu dengan saya mengatakan bahwa saya seharusnya bisa lebih dari sekedar sekarang. Kita bukan cuma hidup dengan mengikuti aliran air. Tapi kita harus melakukan pilihan untuk memilih aliran air yang benar. Tentu saja, kita tidak pernah tahu aliran mana yang benar. Seperti contoh, apakah si A adalah jodoh yang tepat buat menjadi pasangan saya? Apakah usaha ini merupakan pilihan tepat untuk diri saya? Tidak akan ada yang tahu sebelum dicoba. Tapi, beberapa orang tidak ingin mencoba karena khawatir menghabiskan banyak waktu, biaya dan tenaga.
Saya pikir, tidak ada yang salah dengan berpikir secara positif dan menset pikiran kita dengan perasaan yang baik di setiap hari. Sebab, seringkali kalau di pagi hari kita sudah bad mood, maka seharian bisa banyak masalah. Dan kita bisa memilih, apakah kita mau menjadi donald bebek atau si untung.
Saya juga berprinsip bahwa saya tidak perlu ngoyo, rejeki akan datang tanpa perlu dikejar. Saya juga sudah puas dengan keadaan saya sekarang ini. Tapi.... jika saya tidak menset pikiran saya misalnya saya akan menjadi seorang doktor, maka saya tidak akan pernah untuk kuliah di program S3. Apalagi kalau setiap saat saya mau mendaftar saya lantas kepikiran dengan biayanya.... Jadi saya pikir, kalau memang itu yang ingin saya capai, maka saya harus optimis dan yakin bahwa saya bisa melakukannya. Uang dan waktu akan tersedia dengan sendirinya mengikuti keoptimisan saya. Dan betul sekali, bahwa ini tidak ada bukti ilmiahnya, tapi saya yakin ini bukan mistik atau klenik. Itu cuma masalah sugesti diri sendiri dan keberuntungan akan menyertai kita.
Semuanya itu pada awalnya adalah keinginan atau niat. Jika niat ada, maka akan dicari-cari kesempatan untuk mewujudkan niat itu. Namun meski ada kesempatan atau peluang, tapi niat tidak ada, maka kita tidak akan berusaha apa-apa. Niat itulah yang ditanamkan dalam pikiran kita dan alam semesta, whatever istilahnya, akan menyertai apa yang kita inginkan.
(nur agustinus - 5 Nopember 2007)
Kemarin juga waktu ke toko buku, saya bertemu dengan seorang spiritualis. Dia sudah tua sekali tapi suka ke toko buku dan saya tanya ke beliau soal "The Secret". Dia ketawa dan bilang bahwa penjelasannya tidak lengkap dan tidak dibuka semua. Memang, kuncinya ada pada diri kita sendiri dan cara aplikasinya tidak diuraikan secara gamblang, terlebih memang harus ada unsur keyakinan, sementara keyakinan ini bisa berubah dan tidak sama antara satu orang dengan yang lain. Beliau bilang, baca saja bukunya Deepak Chopra dan terapkan The Seven Spiritual Laws of Success". Kalau sudah mempraktekkan itu, maka sudah sakti katanya. Terus saya dianjurkan juga untuk baca bukunya Deepak Chopra yang berjudul "Kitab Rahasia" dan buku "Boundless Healing" karangan Tulku Thondup.
Memang, saya sudah puas dengan keadaan saya seperti sekarang ini. Namun saya ingin hidup saya tidak cuma begini-begini saja. Apalagi, banyak orang kalau bertemu dengan saya mengatakan bahwa saya seharusnya bisa lebih dari sekedar sekarang. Kita bukan cuma hidup dengan mengikuti aliran air. Tapi kita harus melakukan pilihan untuk memilih aliran air yang benar. Tentu saja, kita tidak pernah tahu aliran mana yang benar. Seperti contoh, apakah si A adalah jodoh yang tepat buat menjadi pasangan saya? Apakah usaha ini merupakan pilihan tepat untuk diri saya? Tidak akan ada yang tahu sebelum dicoba. Tapi, beberapa orang tidak ingin mencoba karena khawatir menghabiskan banyak waktu, biaya dan tenaga.
Saya pikir, tidak ada yang salah dengan berpikir secara positif dan menset pikiran kita dengan perasaan yang baik di setiap hari. Sebab, seringkali kalau di pagi hari kita sudah bad mood, maka seharian bisa banyak masalah. Dan kita bisa memilih, apakah kita mau menjadi donald bebek atau si untung.
Saya juga berprinsip bahwa saya tidak perlu ngoyo, rejeki akan datang tanpa perlu dikejar. Saya juga sudah puas dengan keadaan saya sekarang ini. Tapi.... jika saya tidak menset pikiran saya misalnya saya akan menjadi seorang doktor, maka saya tidak akan pernah untuk kuliah di program S3. Apalagi kalau setiap saat saya mau mendaftar saya lantas kepikiran dengan biayanya.... Jadi saya pikir, kalau memang itu yang ingin saya capai, maka saya harus optimis dan yakin bahwa saya bisa melakukannya. Uang dan waktu akan tersedia dengan sendirinya mengikuti keoptimisan saya. Dan betul sekali, bahwa ini tidak ada bukti ilmiahnya, tapi saya yakin ini bukan mistik atau klenik. Itu cuma masalah sugesti diri sendiri dan keberuntungan akan menyertai kita.
Semuanya itu pada awalnya adalah keinginan atau niat. Jika niat ada, maka akan dicari-cari kesempatan untuk mewujudkan niat itu. Namun meski ada kesempatan atau peluang, tapi niat tidak ada, maka kita tidak akan berusaha apa-apa. Niat itulah yang ditanamkan dalam pikiran kita dan alam semesta, whatever istilahnya, akan menyertai apa yang kita inginkan.
Cantik itu konstruksi sosial
Saya pernah lihat sebuah film dokumenter, tentang apa sih kriteria "cantik" itu? Kita sering beranggapan bahwa cowo bule senang dengan cewek indonesia yang di bawah standard itu lebih karena mereka memilih yang hitam. Apakah hitam itu berkonotasi substandard? Ya, itulah yang terjadi di Indonesia. Karena konstruksi sosial, putih dianggap lebih baik dari hitam. Itu sebabnya produk pemutih laku di indonesia.
Coba lihat, apa komentar orang yang misalnya cewe indonesia yang kuning/putih kawin dengan cowo dari daerah timur seperti Flores atau Ambon bahkan Papua. Trus, mengapa si cewe mau?
Kembali ke soal kriteria "cantik", menurut film yang pernah saya lihat itu, kritetria cantik adalah kriteria simetris. Yang simetris itu adalah yang cantik. Bro Santo mungkin pernah lihat film ini . Kalau tidak salah serial BBC. Yang tidak simetris, seperti misalnya mulut mencong, mata kiri dan kanan beda jauh, pipi yang kiri tembem sementara yang kanan kempot, tentu kurang sedang dipandang mata. Manusia terbiasa dengan simetris. Kaki lengkap kiri dan kanan sama panjang, demikian juga tangan. Telinga di kiri kanan juga ada sama. Kalau misalnya telinganya satu lebih besar dari yang lain, mungkin akan mengurangi nilai kecantikannya (baik cewek maupun cowok). Tapi kalaupun besar namun simetris, akan tetap nampak indah dan menarik.
Cewek indonesia yang disukai bule, walau dianggap substandard karena hitam, tetap memiliki sisi simetris yang baik alias tetap bisa dianggap cantik.
Walau demikian, ada titik-titik tertentu yang tidak simetris yang bisa menambah daya tarik, misalnya tahi lalat di dekat mulut. Kalau simetris mungkin tambah nggak menarik. :-) Demikian pula gigi yang biasanya tidak rata (agak masuk di bagian belakang taring gara-gara desakan gigi bungsu), bisa menambah daya tarik kalau pas senyum. Simetris lebih pada bentuk wajah dan badan.
Saya pikir semua itu bisa dikembalikan kepada masalah seksualitas. Bahwa faktor seksualitas dipengaruhi oleh konstruksi sosial, itu memang tidak dipungkiri. Namun ada upaya dekonstruksi masalah seksualitas ini.
Di sini kita sering terperangkap dengan pandangan bahwa cowo bule itu memang "hebat" dan punya "derajat" sementara cewe yang substandard ini dianggap "rendah" sering dianggap sebagai "pelacur" atau "pembantu".
Memang, hubungan beda ras bisa dianggap sebagai "bad sex" (menurut Gale S Rubin). Sehari-hari ini juga terjadi, misalnya ketika pasangan suami istri beda suku (yang satu keturunan cina, sementara yang satu orang jawa), maka misalnya si cowo yang cina, akan dianggap istrinya itu pembantunya, dan kalau yang cewe yang cina, maka diangggap suaminya adalah sopirnya. Masyarakat (hampir di mana-mana) seringkali memang rasis (lihat juga sebuah film dokumenter, kalau tidak salah dari National Geography, BBC atau Discovery Channel). Mungkin itu juga membuat kita "heran" dan bertanya-tanya, mengapa cowok bule demen cewek indonesia yang substandard.
(nur agustinus - 5 Agustus 2007)
Coba lihat, apa komentar orang yang misalnya cewe indonesia yang kuning/putih kawin dengan cowo dari daerah timur seperti Flores atau Ambon bahkan Papua. Trus, mengapa si cewe mau?
Kembali ke soal kriteria "cantik", menurut film yang pernah saya lihat itu, kritetria cantik adalah kriteria simetris. Yang simetris itu adalah yang cantik. Bro Santo mungkin pernah lihat film ini . Kalau tidak salah serial BBC. Yang tidak simetris, seperti misalnya mulut mencong, mata kiri dan kanan beda jauh, pipi yang kiri tembem sementara yang kanan kempot, tentu kurang sedang dipandang mata. Manusia terbiasa dengan simetris. Kaki lengkap kiri dan kanan sama panjang, demikian juga tangan. Telinga di kiri kanan juga ada sama. Kalau misalnya telinganya satu lebih besar dari yang lain, mungkin akan mengurangi nilai kecantikannya (baik cewek maupun cowok). Tapi kalaupun besar namun simetris, akan tetap nampak indah dan menarik.
Cewek indonesia yang disukai bule, walau dianggap substandard karena hitam, tetap memiliki sisi simetris yang baik alias tetap bisa dianggap cantik.
Walau demikian, ada titik-titik tertentu yang tidak simetris yang bisa menambah daya tarik, misalnya tahi lalat di dekat mulut. Kalau simetris mungkin tambah nggak menarik. :-) Demikian pula gigi yang biasanya tidak rata (agak masuk di bagian belakang taring gara-gara desakan gigi bungsu), bisa menambah daya tarik kalau pas senyum. Simetris lebih pada bentuk wajah dan badan.
Saya pikir semua itu bisa dikembalikan kepada masalah seksualitas. Bahwa faktor seksualitas dipengaruhi oleh konstruksi sosial, itu memang tidak dipungkiri. Namun ada upaya dekonstruksi masalah seksualitas ini.
Di sini kita sering terperangkap dengan pandangan bahwa cowo bule itu memang "hebat" dan punya "derajat" sementara cewe yang substandard ini dianggap "rendah" sering dianggap sebagai "pelacur" atau "pembantu".
Memang, hubungan beda ras bisa dianggap sebagai "bad sex" (menurut Gale S Rubin). Sehari-hari ini juga terjadi, misalnya ketika pasangan suami istri beda suku (yang satu keturunan cina, sementara yang satu orang jawa), maka misalnya si cowo yang cina, akan dianggap istrinya itu pembantunya, dan kalau yang cewe yang cina, maka diangggap suaminya adalah sopirnya. Masyarakat (hampir di mana-mana) seringkali memang rasis (lihat juga sebuah film dokumenter, kalau tidak salah dari National Geography, BBC atau Discovery Channel). Mungkin itu juga membuat kita "heran" dan bertanya-tanya, mengapa cowok bule demen cewek indonesia yang substandard.
(nur agustinus - 5 Agustus 2007)
Smackdown
Smackdown menjadi bahan pembicaraan akhir-akhir ini tidak terlepas dari satu korban yang telah meninggal yang kemudian disusul dengan munculnya korban lain dengan luka-luka di tubuhnya. Semua itu diekspos di televisi, radio dan surat kabar.
Lalu, mengapa baru sekarang? Apa karena memang ada korban?
Mengapa juga Lativi?
Saya coba bahas dari sudut yang agak melebar, terutama mengapa Lativi. Ini bukan karena pertimbangan politik alias Lativi itu milik siapa, namun sebenarnya dari potitioning market yang dibuat oleh Lativi beberapa waktu lalu.
Tidak dipungkiri bahwa Lativi adalah channel tv yang disukai anak-anak. Dengan semboyan Lativi-Kid serta tayangan hebohnya beberapa tahun lalu yakni SpongeBob, membuktikan bahwa Lativi berhasil memikat anak-anak di Indonesia. Belum lagi serial kartunnya yang lain, entah Johny Neutron, Rutgrats, dan lain-lain.
Maka, tak heran, termasuk anak saya, lebih suka memilih channel Lativi ketika sekeluarga menyalakan televisi. Ini merupakan keberhasilan Lativi memikat anak-anak. Namun, sebagaimana pertelevisian di indonesia, seringkali tidak melakukan hal itu terus menerus dan fokus. Artinya, program-program tv yang dulunya milik Lativi Kid (umumnya dari Nikleodeon) kini sudah pindah tayang ke stasiun tv lain. Tapi anak-anak masih teringat akan Lativi.
Bahwa kemudian Lativi menayangkan acara smackdown, itu juga barangkali tidak lepas dari kebiasaan mereka untuk memilih channel Lativi. Dengan kata lain, apa banyak anak-anak yang memilih channel metro tv (misalnya)?
Di masa kini, televisi bukan lagi barang mewah. Beberapa keluarga sudah menyediakan perangkat televisi plus vcd atau dvd player di kamar tidur anaknya. Anak saya juga senang melihat acara smackdown. Bahkan dengan saudara sepupunya, mereka punya tokoh kegemaran. Apalagi salah satunya, kini main film The Marine (John Cena). Popularitas para pemain smackdown sudah lama dan kini makin hebat. Kalau di masa lalu (beberapa tahun lalu), The Rock (WWC) menjadi idola, kini sudah beralhir ke selebriti-selebriti smackdown yang lain. Acara smackdown juga diikuti dengan permainan-permainan playstation dan sejenisnya. Bahkan minggu lalu, salah melihat di department store Matahari Surabaya, di bagian mainan anak-anak, ada sebuah smackdown yang disinya beberapa pegulat smackdown, plus ring dengan sejumlah perangkat seperti tangga, kursi dan lain-lain yang dikemas seperti mainan tentara-tentaraan. harganya sekitar 59 ribu. Anak saya awalnya tertarik, tapi kemudian tidak, karena dia lebih suka membeli hotwheels.
Foto-foto selebriti smackdown juga dijual di banyak pedagang asongan dekat sekolah, toko-toko kelontong dan menjamur. Itulah hebatnya kapitalisme. Kaos-kaos bergambar smackdown juga laris manis. VCD-VCD atau bahkan DVD serial smackdown juga banyak dijual... dan laku!
Yang jadi pertanyaan, mengapa tayangan yang lebih bersifat ilmiah macam animal planet, discovery channel, national geography, lebih membosankan ketimbang acara hiburan kekerasan? Mungkin jawabannya adalah karena anak-anak indonesia tidak terbiasa dididik dalam keluarga secara science. Mereka kurang memiliki jiwa sebagai seorang ilmuwan. Dalam psikologi, mereka bukan tipe "knowledge".
Anak laki-laki, khususnya, sangat besar kemungkinannya menyukai tayangan ala smackdown ini. Mengapa? Hal ini karena acara itu mempertontonkan keperkasaan, kehebatan. Hal yang bisa jadi menjadi self image dari anak-anak indonesia yang masih butuh akan pengakuan dan harga diri. Berdasarkan hal ini, memang acara smackdown ini jelas berpeluang ditiru ketimbang acara kekerasan serupa yang ada dalam film seri Tom and Jerry atau Buser sekalipun.
(nur agustinus- 2 Desember 2006)
Gampang depresi karena genetik?
Saya melihat VCD yang dikeluarkan BBC seri Horizon dengan judul Designer Babies (dijual di toko vcd original), salah satunya mengemukakan tentang gen yang menentukan kepribadian manusia. Ada sebuah gen, yang jika ukurannya tertentu, maka membuat orangnya jadi pesimis, sementara kalau ukurannya berbeda, membuat orangnya optimis.
http://www.bbc.co.uk/science/horizon/1999/designer_babies_script.shtml
Secara umum, kalau dikatakan secara genetik mudah depresi, memang dirinya rentan terhadap masalah/stress. Namun walau dia orang yang secara genetik "kuat", sementara stress yang datang bertubi-tubi dan besar, maka bisa saja dia menjadi depresi.
Ketika saya kuliah MBA dulu, saya diajarkan matrix yang berkaitan dengan high risk high gain, serta no pain no gain, yang berhubungan dengan kemampuan manusia dalam merespon serta menghadapi stress atau masalah.
Teorinya begini: Masalah bisa dibagi dalam dua kategori, pertama adalah banyaknya (kuantitas) masalah, dan kedua adalah beratnya (kualitas) masalah. Dengan demikian, kita bisa membagi dari segi kuantitas ada dua (mau dibagi tiga juga boleh), yakni sedikit masalah dan banyak masalah. Dari segi beratnya, kita bisa membagi dua juga, yaitu masalah ringan dan masalahnya berat.
Nah, dengan demikian ada empat kategori, yaitu orang yang mampu dan suka menghadapi:
1. masalah sedikit dan yang ringan-ringan saja.
2. masalah berat/rumit namun jumlahnya sedikit saja
3. masalah banyak namun yang ringan-ringan saja
4. masalah berat/rumit dan dengan jumlah yang banyak.
Nah, dari segi "no pain no gain", maka yang nomor 4 harusnya menjanjikan hasil yang banyak.
Memang, setiap orang ingin hasil yang sebanyak-banyaknya. Namun banyak orang yang "salah tempat" karena ketika dia masuk ke daerah matrix yang tidak sesuai dengan kemampuan "mental"-nya, maka dia akan mengalami stress. Jika orang salah masuk tempat yang di bawah kemampuannya, maka dia juga akan merasa jenus. Seperti dalam grafik hubungan antara stress dan produktivitas, maka kalau stress terlalu rendah atau terlalu tinggi, maka produktivitas menurun.
Depresi berat bisa terjadi karena genetik karena memang dari sononya dia tidak bisa menghadapi masalah yang berat dan banyak. Namun ada juga yang karena faktor lingkungan. Ini tergantung dari ketahanan mentalnya. Sebagai contoh, ada orang yang rumahnya habis (seluruh hartanya habis) misalnya karena bencana, masih tenang dan menerima cobaan dengan tawakal, namun ada yang kemudian depresi berat.
Banyak orang mengatakan bahwa agama merupakan solusi. Sebab ketika orang mengalami tekanan, biasanya ingat om Han (kecuali kalau dia memang tidak percaya adanya tuhan). Di sini menjadi pertanyaan atau perlu dilakukan studi, apakah orang yang rentan terhadap masalah (secara genetik) bisa ditingkatkan dengan pengimanan terhadap agama?
Lalu, jika depresinya karena faktor genetik, apakah masih bisa diterapi? Maka jawabnya bisa diterapi. Dengan kehadiran teman, konselor, pendamping, obat, gejala depresinya bisa diringankan. Trus kalau ditanya, apakah bisa diubah? Jawabnya: ya dan tidak. Ya, karena dengan obat tertentu membuat otaknya menghasilkan neurotransmiter tertentu yang membuat orang gembira sehingga tidak depresi. Tidak, karena secara genetik yang tidak berubah. Itulah hebatnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bukankah ada yang mengatakan, "Tuhan tidak akan memberi cobaan diluar kemampuan kita..."
(nur agustinus - 8 Oktober 2006)
http://www.bbc.co.uk/science/horizon/1999/designer_babies_script.shtml
Secara umum, kalau dikatakan secara genetik mudah depresi, memang dirinya rentan terhadap masalah/stress. Namun walau dia orang yang secara genetik "kuat", sementara stress yang datang bertubi-tubi dan besar, maka bisa saja dia menjadi depresi.
Ketika saya kuliah MBA dulu, saya diajarkan matrix yang berkaitan dengan high risk high gain, serta no pain no gain, yang berhubungan dengan kemampuan manusia dalam merespon serta menghadapi stress atau masalah.
Teorinya begini: Masalah bisa dibagi dalam dua kategori, pertama adalah banyaknya (kuantitas) masalah, dan kedua adalah beratnya (kualitas) masalah. Dengan demikian, kita bisa membagi dari segi kuantitas ada dua (mau dibagi tiga juga boleh), yakni sedikit masalah dan banyak masalah. Dari segi beratnya, kita bisa membagi dua juga, yaitu masalah ringan dan masalahnya berat.
Nah, dengan demikian ada empat kategori, yaitu orang yang mampu dan suka menghadapi:
1. masalah sedikit dan yang ringan-ringan saja.
2. masalah berat/rumit namun jumlahnya sedikit saja
3. masalah banyak namun yang ringan-ringan saja
4. masalah berat/rumit dan dengan jumlah yang banyak.
Nah, dari segi "no pain no gain", maka yang nomor 4 harusnya menjanjikan hasil yang banyak.
Memang, setiap orang ingin hasil yang sebanyak-banyaknya. Namun banyak orang yang "salah tempat" karena ketika dia masuk ke daerah matrix yang tidak sesuai dengan kemampuan "mental"-nya, maka dia akan mengalami stress. Jika orang salah masuk tempat yang di bawah kemampuannya, maka dia juga akan merasa jenus. Seperti dalam grafik hubungan antara stress dan produktivitas, maka kalau stress terlalu rendah atau terlalu tinggi, maka produktivitas menurun.
Depresi berat bisa terjadi karena genetik karena memang dari sononya dia tidak bisa menghadapi masalah yang berat dan banyak. Namun ada juga yang karena faktor lingkungan. Ini tergantung dari ketahanan mentalnya. Sebagai contoh, ada orang yang rumahnya habis (seluruh hartanya habis) misalnya karena bencana, masih tenang dan menerima cobaan dengan tawakal, namun ada yang kemudian depresi berat.
Banyak orang mengatakan bahwa agama merupakan solusi. Sebab ketika orang mengalami tekanan, biasanya ingat om Han (kecuali kalau dia memang tidak percaya adanya tuhan). Di sini menjadi pertanyaan atau perlu dilakukan studi, apakah orang yang rentan terhadap masalah (secara genetik) bisa ditingkatkan dengan pengimanan terhadap agama?
Lalu, jika depresinya karena faktor genetik, apakah masih bisa diterapi? Maka jawabnya bisa diterapi. Dengan kehadiran teman, konselor, pendamping, obat, gejala depresinya bisa diringankan. Trus kalau ditanya, apakah bisa diubah? Jawabnya: ya dan tidak. Ya, karena dengan obat tertentu membuat otaknya menghasilkan neurotransmiter tertentu yang membuat orang gembira sehingga tidak depresi. Tidak, karena secara genetik yang tidak berubah. Itulah hebatnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bukankah ada yang mengatakan, "Tuhan tidak akan memberi cobaan diluar kemampuan kita..."
(nur agustinus - 8 Oktober 2006)
Dimarahi ayah
Ayah saya bukan tipe yang suka marah, tapi bukan berarti saya tidak pernah dimarahi. Mungkin karena jarang marah, saya ingat peristiwa-peristiwa di mana saya dimarahi. Berikut adalah beberapa kejadian yang saya ingat. Saya mau bercerita, sekaligus dalam rangka supaya nostalgia ini tidak lupa dan hilang begitu. Orang mungkin mengatakan, mengapa mengingat sesuatu yang tidak menyenangkan. Bukan itu tujuannya, namun saya mencoba menulisnya dalam rangka mengenang masa lalu. Saya sendiri semasa kecil, tidak pernah dipukul oleh orang tua.
Pertama saya berbohong. Waktu itu di kelas saya diberi tahu bahwa pada tanggal sekian akan libur sebab guru-guru ada acara. Tapi beberapa hari kemudian ada pengumuman bahwa acara guru-guru itu dibatalkan sehingga tidak jadi libur. Saya yang sudah bilang ke orang tua bahwa hari itu libur tidak mengatakan bahwa sebenarnya masuk. Jadi saya membolos. Lah karena rumah saya dekat dengan sekolah, maka saat itu terlihatlah bahwa ada banyak anak-anak pulang sekolah dengan seragam yang khas. Saya ketahuan bohong dan saya dihukum dengan menghadap tembok selama beberapa jam. Hasilnya jelas, saya tidak suka berbohong lagi ke orang tua saya. Jadi, hukuman ini saya pikir mendidik.
Kedua, saat saya mengecat dinding tembok kamar mandi menjadi hitam (dengan cat untuk membuat papan tulis). Saya pikir kesalahan itu memang fatal. Mengecat tembok dengan warna hitam sudah salah, tidak ada estetikanya sama sekali. Kemudian, mengecatnya dengan cat untuk papan tulis, bukan cat tembok. Selain itu, mestinya saya meminta ijin terlebih dahulu jika ingin membuat lukisan di dinding. Maunya ingin bikin gambar orang-orangan untuk obyek latihan kung fu (pengaruh nonton film Na Cha yang dimainkan Fu Sen, alm), tapi karena jelek, maka saya blok seluruh dinding dengan warna hitam. Ayah saya marah dan mengusir. Sorenya saya dipanggil kembali. Saya tahu kesalahan saya di mana dan tidak saya ulangi. Namun saya yakinkan kepada teman-teman semua, saya tetap kreatif. Saya tetap suka melukis dan tidak trauma karena hukuman itu.
Ketiga, saat saya masih kecil, SD, dilempar sandal (tapi tidak kena) oleh ayah saya. Padahal saya tidak merasa punya salah apa-apa. Gara-garanya waktu saya ulang tahun, saya dipanggil sama tetangga depan rumah ke rumahnya. Lha namanya anak kecil, dipanggil ya datang. Trus saya dicari dan disuruh pulang. Begitu masuk pintu, sandal melayang, tapi nggak kena. Kena semprot, "Bikin malu saja, datang ke rumah orang lain minta hadiah." Tapi saya sama sekali tidak minta hadiah
kok. Dalam hati protes, namun saya kemudian belajar soal norma atau budaya yang harus saya pelajari, yakni jangan pernah meminta.
Hm... saya jadi ingat satu kasus lagi, dan ini memang extraordinary...
Peristiwa ini berkaitan dengan ayah saya. Memang, hubungan antara seorang ayah dan putranya cukup istimewa. Ini bukan berarti saya tidak punya memori tentang ibu saya. Kalau ada pengalaman tidak menyenangkan yang teringat bukan berarti saya trauma atau dendam. Tapi saya ingin cerita justru dalam rangka untuk mengenang beliau. Baiklah saya mau mulai cerita.
Suatu hari, saat itu saya masih sekolah dasar. Saya tidak ingat kelas berapa, namun hari itu, kami sekeluarga pergi ke toko buku, namanya toko Sari Agung, di jalan tunjungan, surabaya. Kebiasaan ke toko buku memang rutin setiap hari sabtu, selain setiap liburan kami juga pergi ke kota Selecta (dekat kota Batu, Malang). Saya ingat waktu itu masih sekolah dasar karena hari itu, saya sangat senang sekali karena dibelikan sebuah tas president (model seperti tas koper, bagi yang sejaman dengan saya atau lebih tua, pasti tahu tas merk president ini. Ada juga yang merk, kalau tidak salah echolac). Betapa senangnya saya mempunyai sebuah tas yang kokoh, berwarna coklat, dengan pegangan besi yang mantap, serta nomor kombinasi untuk menguncinya. Saya tidak berpikir waktu itu, berapa duit yang dikeluarkan ayah saya untuk membelinya. Ayah saya kerja sebagai wartawan di majalah Liberty. Jangan bayangkan gajinya seperti wartawan saat ini. Yang penting saya senang dan saya yakin orang tua saya tahu bahwa saya sangat senang dengan tas itu.
Setelah belanja dari toko buku, seperti biasa, kami kemudian makan di sebuah rumah makan di jalan embong malang, tak jauh dari jalan tunjungan. Depot itu masih ada sampai sekarang meski tidak terlihat seapik dulu atau seramai masa lalu. Namanya depat sputnik. Ketika makan, ada orang yang menjual mainan, seingat saya mainan itu berupa kodok-kodokan yang bisa melompat. Ayah saya membelikan mainan itu. Saya tidak ingat, apakah saya memang meminta untuk dibelikan mainan itu atau tidak. Tapi yang pasti saya mendapat mainan itu. Mainan itu murah, saya tidak ingat harganya. tapi saya yakin itu mainan murah yang dijajakan oleh penjual keliling.
Kemudian, sesampai di rumah, mainan itu dimainkan oleh adik-adik saya. Adik saya dua orang, kami berbeda masing-masing dua tahun. Keduanya perempuan dan cantik-cantik. Entah bagaimana ceritanya, setelah dimainkan oleh adik saya, mainan itu rusak. Sungguh, bukan saya yang merusakkannya. Saya melihat bahwa mainan itu telah rusak dan saya tidak mengatakan apa-apa, namun saya tahu bahwa yang merusakkan adalah salah satudari adik saya tersebut.
Ayah saya kemudian melihat bahwa mainan itu rusak. Marahnya bukan main. Saya dimarahin karena dianggap telah merusakkan mainan yang baru saja dibeli. Dengan sekali sentakan kuat dengan kakinya ke arah tas president, maka tas saya yang baru dibeli hari itu, langsung penyok di bagian atas. Maklum, ayah saya adalah seorang karateka. Saya memandangi tas itu dengan menangis... meski dalam hati. Saya cuma diam. Saya tidak mengatakan apa-apa, tidak juga melaporkan bahwa yang merusakkan mainan itu adalah adik saya, dan bukan saya. Toh tak ada gunanya.... tas sudah rusak.
Ayah saya memang tidak pernah mengetahui yang sebenarnya. Memang, ketika ditanya ibu saya mengapa saya merusakkan mainan itu, dengan menangis saya kemudian mengatakan bahwa yang merusakkan mainan itu adalah adik. Tapi saya bilang bahwa tak perlu ayah saya tahu. Saya tidak ingin jadi pengadu.
Sayang, tas itu sudah tidak ada lagi saat ini. Tak ada lagi yang bisa dilihat untuk dikenang kecuali cerita yang teringat dalam benak. Memang tas itu sempat saya pakai untuk beberapa hari, namun saya kemudian memakai tas saya yang lama kembali.
Saya sama sekali tidak dendam dengan ayah saya. Tak ada dendam, tak ada trauma. Saya bukan tipe pendendam dan juga bukan orang yang suka melawan. Yang pasti, dengan bekal yang telah diberikan ayah dan ibu saya selama saya masih kecil hingga dewasa, kini saya bisa membeli tas apa saja yang saya inginkan.
Ayah saya, Basuki Soejatmiko, mencintai saya dengan caranya. Saya menjadi seperti saat ini juga besar sekali peran dari ayah saya. Setidaknya, karena ayah saya, saya masuk ke fakultas psikologi. Padahal saya inginnya dulu masuk astronomi atau setidaknya meterologi dan geofisika. Karena ayah saya pula, saya terbiasa menulis dan diberi kesempatan menulis di media massa seperti majalah Liberty, harian Jawa Pos dan lain-lain. Bahkan karena ayah saya telah membuat seorang temannya merasa berutang budi padanya sehingga mendorong teman ayah saya itu untuk memberi bea siswa penuh bagi kuliah MBA saya. Saya bangga terhadap ayah saya, dan saya merasa sangat bahagia bisa membuat ayah saya bangga dengan menjadi juara di Lomba Karya Ilmiah LIPI-TVRI pada tahun 1983. Seandainya ayah saya masih hidup.... saya sangat ingin bisa membalas segala kebaikan dan jasa-jasanya terhadap saya. Ayah saya meninggal di tahun 1990.
(nur agustinus - 28 Maret 2007)
Pertama saya berbohong. Waktu itu di kelas saya diberi tahu bahwa pada tanggal sekian akan libur sebab guru-guru ada acara. Tapi beberapa hari kemudian ada pengumuman bahwa acara guru-guru itu dibatalkan sehingga tidak jadi libur. Saya yang sudah bilang ke orang tua bahwa hari itu libur tidak mengatakan bahwa sebenarnya masuk. Jadi saya membolos. Lah karena rumah saya dekat dengan sekolah, maka saat itu terlihatlah bahwa ada banyak anak-anak pulang sekolah dengan seragam yang khas. Saya ketahuan bohong dan saya dihukum dengan menghadap tembok selama beberapa jam. Hasilnya jelas, saya tidak suka berbohong lagi ke orang tua saya. Jadi, hukuman ini saya pikir mendidik.
Kedua, saat saya mengecat dinding tembok kamar mandi menjadi hitam (dengan cat untuk membuat papan tulis). Saya pikir kesalahan itu memang fatal. Mengecat tembok dengan warna hitam sudah salah, tidak ada estetikanya sama sekali. Kemudian, mengecatnya dengan cat untuk papan tulis, bukan cat tembok. Selain itu, mestinya saya meminta ijin terlebih dahulu jika ingin membuat lukisan di dinding. Maunya ingin bikin gambar orang-orangan untuk obyek latihan kung fu (pengaruh nonton film Na Cha yang dimainkan Fu Sen, alm), tapi karena jelek, maka saya blok seluruh dinding dengan warna hitam. Ayah saya marah dan mengusir. Sorenya saya dipanggil kembali. Saya tahu kesalahan saya di mana dan tidak saya ulangi. Namun saya yakinkan kepada teman-teman semua, saya tetap kreatif. Saya tetap suka melukis dan tidak trauma karena hukuman itu.
Ketiga, saat saya masih kecil, SD, dilempar sandal (tapi tidak kena) oleh ayah saya. Padahal saya tidak merasa punya salah apa-apa. Gara-garanya waktu saya ulang tahun, saya dipanggil sama tetangga depan rumah ke rumahnya. Lha namanya anak kecil, dipanggil ya datang. Trus saya dicari dan disuruh pulang. Begitu masuk pintu, sandal melayang, tapi nggak kena. Kena semprot, "Bikin malu saja, datang ke rumah orang lain minta hadiah." Tapi saya sama sekali tidak minta hadiah
kok. Dalam hati protes, namun saya kemudian belajar soal norma atau budaya yang harus saya pelajari, yakni jangan pernah meminta.
Hm... saya jadi ingat satu kasus lagi, dan ini memang extraordinary...
Peristiwa ini berkaitan dengan ayah saya. Memang, hubungan antara seorang ayah dan putranya cukup istimewa. Ini bukan berarti saya tidak punya memori tentang ibu saya. Kalau ada pengalaman tidak menyenangkan yang teringat bukan berarti saya trauma atau dendam. Tapi saya ingin cerita justru dalam rangka untuk mengenang beliau. Baiklah saya mau mulai cerita.
Suatu hari, saat itu saya masih sekolah dasar. Saya tidak ingat kelas berapa, namun hari itu, kami sekeluarga pergi ke toko buku, namanya toko Sari Agung, di jalan tunjungan, surabaya. Kebiasaan ke toko buku memang rutin setiap hari sabtu, selain setiap liburan kami juga pergi ke kota Selecta (dekat kota Batu, Malang). Saya ingat waktu itu masih sekolah dasar karena hari itu, saya sangat senang sekali karena dibelikan sebuah tas president (model seperti tas koper, bagi yang sejaman dengan saya atau lebih tua, pasti tahu tas merk president ini. Ada juga yang merk, kalau tidak salah echolac). Betapa senangnya saya mempunyai sebuah tas yang kokoh, berwarna coklat, dengan pegangan besi yang mantap, serta nomor kombinasi untuk menguncinya. Saya tidak berpikir waktu itu, berapa duit yang dikeluarkan ayah saya untuk membelinya. Ayah saya kerja sebagai wartawan di majalah Liberty. Jangan bayangkan gajinya seperti wartawan saat ini. Yang penting saya senang dan saya yakin orang tua saya tahu bahwa saya sangat senang dengan tas itu.
Setelah belanja dari toko buku, seperti biasa, kami kemudian makan di sebuah rumah makan di jalan embong malang, tak jauh dari jalan tunjungan. Depot itu masih ada sampai sekarang meski tidak terlihat seapik dulu atau seramai masa lalu. Namanya depat sputnik. Ketika makan, ada orang yang menjual mainan, seingat saya mainan itu berupa kodok-kodokan yang bisa melompat. Ayah saya membelikan mainan itu. Saya tidak ingat, apakah saya memang meminta untuk dibelikan mainan itu atau tidak. Tapi yang pasti saya mendapat mainan itu. Mainan itu murah, saya tidak ingat harganya. tapi saya yakin itu mainan murah yang dijajakan oleh penjual keliling.
Kemudian, sesampai di rumah, mainan itu dimainkan oleh adik-adik saya. Adik saya dua orang, kami berbeda masing-masing dua tahun. Keduanya perempuan dan cantik-cantik. Entah bagaimana ceritanya, setelah dimainkan oleh adik saya, mainan itu rusak. Sungguh, bukan saya yang merusakkannya. Saya melihat bahwa mainan itu telah rusak dan saya tidak mengatakan apa-apa, namun saya tahu bahwa yang merusakkan adalah salah satudari adik saya tersebut.
Ayah saya kemudian melihat bahwa mainan itu rusak. Marahnya bukan main. Saya dimarahin karena dianggap telah merusakkan mainan yang baru saja dibeli. Dengan sekali sentakan kuat dengan kakinya ke arah tas president, maka tas saya yang baru dibeli hari itu, langsung penyok di bagian atas. Maklum, ayah saya adalah seorang karateka. Saya memandangi tas itu dengan menangis... meski dalam hati. Saya cuma diam. Saya tidak mengatakan apa-apa, tidak juga melaporkan bahwa yang merusakkan mainan itu adalah adik saya, dan bukan saya. Toh tak ada gunanya.... tas sudah rusak.
Ayah saya memang tidak pernah mengetahui yang sebenarnya. Memang, ketika ditanya ibu saya mengapa saya merusakkan mainan itu, dengan menangis saya kemudian mengatakan bahwa yang merusakkan mainan itu adalah adik. Tapi saya bilang bahwa tak perlu ayah saya tahu. Saya tidak ingin jadi pengadu.
Sayang, tas itu sudah tidak ada lagi saat ini. Tak ada lagi yang bisa dilihat untuk dikenang kecuali cerita yang teringat dalam benak. Memang tas itu sempat saya pakai untuk beberapa hari, namun saya kemudian memakai tas saya yang lama kembali.
Saya sama sekali tidak dendam dengan ayah saya. Tak ada dendam, tak ada trauma. Saya bukan tipe pendendam dan juga bukan orang yang suka melawan. Yang pasti, dengan bekal yang telah diberikan ayah dan ibu saya selama saya masih kecil hingga dewasa, kini saya bisa membeli tas apa saja yang saya inginkan.
Ayah saya, Basuki Soejatmiko, mencintai saya dengan caranya. Saya menjadi seperti saat ini juga besar sekali peran dari ayah saya. Setidaknya, karena ayah saya, saya masuk ke fakultas psikologi. Padahal saya inginnya dulu masuk astronomi atau setidaknya meterologi dan geofisika. Karena ayah saya pula, saya terbiasa menulis dan diberi kesempatan menulis di media massa seperti majalah Liberty, harian Jawa Pos dan lain-lain. Bahkan karena ayah saya telah membuat seorang temannya merasa berutang budi padanya sehingga mendorong teman ayah saya itu untuk memberi bea siswa penuh bagi kuliah MBA saya. Saya bangga terhadap ayah saya, dan saya merasa sangat bahagia bisa membuat ayah saya bangga dengan menjadi juara di Lomba Karya Ilmiah LIPI-TVRI pada tahun 1983. Seandainya ayah saya masih hidup.... saya sangat ingin bisa membalas segala kebaikan dan jasa-jasanya terhadap saya. Ayah saya meninggal di tahun 1990.
(nur agustinus - 28 Maret 2007)
Bagaimana konstruksi sosial tercipta?
Awalnya adalah manusia. Manusia hidup di daratan di planet bumi ini dan untungnya, dia tidak tinggal sendiri. Dia ada diberi teman supaya tidak kesepian, sebab teman kalau cuma burung, kuda atau panda, kurang cukup. Dia butuh teman yang serupa dengannya. Maka, manusia itu ada banyak. Nah, ketika ada 2 manusia bertemu, maka yang terjadi adalah interaksi.
Interaksi adalah sebuah hubungan. Lalu, apa bentuk interaksi yang dilakukan oleh manusia? Bentuk interaksinya adalah interaksi simbolik. Manusia adalah makhluk yang bisa menciptakan simbol-simbol, baik itu berupa bahasa, huruf, angka, tanda melalui gerak tangan, mimik muka dan lain sebagainya. Binatang lain barangkali juga sama menggunakan simbol, seperti kucing akan menyeringai dan melengkungkan badannya serta bulunya berdiri jika mau menyerang. Tapi manusia menggunakan simbol jauh lebih kompleks.
Simbol-simbol inilah yang kemudian disusun, diciptakan, disepakati bersama dan kemudian dibangun dalam suatu lingkungan sosial. Itulah yang namanya konstruksi sosial. Misalnya, laki-laki itu harus begini, nggak boleh nangis, harus berani, dll, sementara perempuan itu harus begitu, nurut, sabar, dll. Itu adalah konstruksi sosial, sehubungan dengan interaksi antar manusia melalui simbol-simbol. Melalui konstruksi sosial juga, lahirlah ideologi-ideologi, sebab menurut Roland Barthes (filsuf, kritikus sastra, dan semolog Prancis yang paling eksplisit mempraktikkan semiologi Ferdinand de Saussure), tak ada satu pun aktivitas penggunaan tanda yang bukan ideolog.
Lalu, apakah hal itu bukan karena manusia dengan kesadaran akan keberadaannya yang sudah dari sononya sehingga punya kecenderungan untuk mempertanyakan asal usul dirinya thus terciptalah yang namanya agama?
Menurut saya tidak begitu. Tentu saya punya alasan dan saya mengikuti cara berpikir Nietzsche tentang lahirnya agama. Jalan pemikiran Nietzsche (filsuf) adalah sebagai berikut. Manusia jaman dulu itu yang menjadi pemimpin atau diakui menjadi penguasa adalah yang kuat, secara fisik hebat dan tidak terkalahkan. Tentu kita akan menganggap bahwa itu merupakan sikap yang primitif. Tapi memang itulah yang terjadi. Kepala suku adalah orang yang terkuat di kampungnya. Mereka percaya bahwa sifat dan keperkasaan itu diturunkan secara genetis, sehingga ahli waris dari seorang raja, berhak menjadi raja juga. Namun, tentu saja ada orang-orang yang bukan turunan raja atau secara fisik tidak hebat, juga ingin berkuasa alias jadi pemimpin. Mereka ini kemudian membentuk sebuah sistem bahwa manusia bisa berkuasa atas manusia lain kalau dia mendapat "perintah" atau "wahyu" dari yang dianggap sebagai tuhan. Nietzsche kemudian mengatakan bahwa moralitas agama adalah moralitas kaum budak di mana agama selalu berbicara menggunakan bahasa "harus" bagi setiap pemeluknya
Tuhan itu sendiri tentu menurut pandangan antropologi adalah sebuah mitos, tidak beda dengan kita menganggap dewa Zeus sekarang ini cuma mitos. Tapi menurut Roland Barthes, mitos itu sendiri merupakan konstruksi sosial yang membuat sesuatu yang tidak pasti ada menjadi ada. Sebab, melalui mitos, agama berhasil menyediakan peta-peta makna yang dijadikan instrumen dalam memandang dunia, di mana matinya peran agama dalam kehidupan sosial berarti runtuhya mitos itu sendiri.
Jadi, mengenal "tuhan" adalah melalui konstruksi sosial. Seorang seperti Tarzan yang hidup di tengah hutan dan dibesarkan oleh kerja, tidak akan mengenal "tuhan". Dengan kata lain, tidak ada kesadaran manusia akan keberadaan tuhan yang memang dari sononya.
Menurut hasil studi antropologi, nenek moyang kita mengenal "tuhan" dengan diawali dari pengetahuannya tentang adalah entitas-entitas spiritual. Dari mana mereka tahu akan hal itu? Jawabnya adalah karena mereka memakan jamur-jamuran yang bersifat halusinogen, seperti Ayuascha atau bahan yang mengandung zat DMT (Dimethyltryptamine), yang banyak dikonsumsi - kemudian dibatasi hanya boleh - oleh para shaman (dukun) untuk kekuasaan, di mana kemudian mereka bisa melihat dan bertemu bahkan berkomunikasi dengan para dewa.
(nur agustinus - 24 September 2008)
Interaksi adalah sebuah hubungan. Lalu, apa bentuk interaksi yang dilakukan oleh manusia? Bentuk interaksinya adalah interaksi simbolik. Manusia adalah makhluk yang bisa menciptakan simbol-simbol, baik itu berupa bahasa, huruf, angka, tanda melalui gerak tangan, mimik muka dan lain sebagainya. Binatang lain barangkali juga sama menggunakan simbol, seperti kucing akan menyeringai dan melengkungkan badannya serta bulunya berdiri jika mau menyerang. Tapi manusia menggunakan simbol jauh lebih kompleks.
Simbol-simbol inilah yang kemudian disusun, diciptakan, disepakati bersama dan kemudian dibangun dalam suatu lingkungan sosial. Itulah yang namanya konstruksi sosial. Misalnya, laki-laki itu harus begini, nggak boleh nangis, harus berani, dll, sementara perempuan itu harus begitu, nurut, sabar, dll. Itu adalah konstruksi sosial, sehubungan dengan interaksi antar manusia melalui simbol-simbol. Melalui konstruksi sosial juga, lahirlah ideologi-ideologi, sebab menurut Roland Barthes (filsuf, kritikus sastra, dan semolog Prancis yang paling eksplisit mempraktikkan semiologi Ferdinand de Saussure), tak ada satu pun aktivitas penggunaan tanda yang bukan ideolog.
Lalu, apakah hal itu bukan karena manusia dengan kesadaran akan keberadaannya yang sudah dari sononya sehingga punya kecenderungan untuk mempertanyakan asal usul dirinya thus terciptalah yang namanya agama?
Menurut saya tidak begitu. Tentu saya punya alasan dan saya mengikuti cara berpikir Nietzsche tentang lahirnya agama. Jalan pemikiran Nietzsche (filsuf) adalah sebagai berikut. Manusia jaman dulu itu yang menjadi pemimpin atau diakui menjadi penguasa adalah yang kuat, secara fisik hebat dan tidak terkalahkan. Tentu kita akan menganggap bahwa itu merupakan sikap yang primitif. Tapi memang itulah yang terjadi. Kepala suku adalah orang yang terkuat di kampungnya. Mereka percaya bahwa sifat dan keperkasaan itu diturunkan secara genetis, sehingga ahli waris dari seorang raja, berhak menjadi raja juga. Namun, tentu saja ada orang-orang yang bukan turunan raja atau secara fisik tidak hebat, juga ingin berkuasa alias jadi pemimpin. Mereka ini kemudian membentuk sebuah sistem bahwa manusia bisa berkuasa atas manusia lain kalau dia mendapat "perintah" atau "wahyu" dari yang dianggap sebagai tuhan. Nietzsche kemudian mengatakan bahwa moralitas agama adalah moralitas kaum budak di mana agama selalu berbicara menggunakan bahasa "harus" bagi setiap pemeluknya
Tuhan itu sendiri tentu menurut pandangan antropologi adalah sebuah mitos, tidak beda dengan kita menganggap dewa Zeus sekarang ini cuma mitos. Tapi menurut Roland Barthes, mitos itu sendiri merupakan konstruksi sosial yang membuat sesuatu yang tidak pasti ada menjadi ada. Sebab, melalui mitos, agama berhasil menyediakan peta-peta makna yang dijadikan instrumen dalam memandang dunia, di mana matinya peran agama dalam kehidupan sosial berarti runtuhya mitos itu sendiri.
Jadi, mengenal "tuhan" adalah melalui konstruksi sosial. Seorang seperti Tarzan yang hidup di tengah hutan dan dibesarkan oleh kerja, tidak akan mengenal "tuhan". Dengan kata lain, tidak ada kesadaran manusia akan keberadaan tuhan yang memang dari sononya.
Menurut hasil studi antropologi, nenek moyang kita mengenal "tuhan" dengan diawali dari pengetahuannya tentang adalah entitas-entitas spiritual. Dari mana mereka tahu akan hal itu? Jawabnya adalah karena mereka memakan jamur-jamuran yang bersifat halusinogen, seperti Ayuascha atau bahan yang mengandung zat DMT (Dimethyltryptamine), yang banyak dikonsumsi - kemudian dibatasi hanya boleh - oleh para shaman (dukun) untuk kekuasaan, di mana kemudian mereka bisa melihat dan bertemu bahkan berkomunikasi dengan para dewa.
(nur agustinus - 24 September 2008)
Psikologi pengecut
"Kamu pengecut!" teriak Lesmana kepada Parikesit. Dikata-katai begitu, Parikestit tidak tinggal diam. Darahnya mulai mendidih, mukanya memerah, kepalanya sudah nampak mau mengeluarkan asap, tangan mulai kepalkan, sikapnya terlihat makin garang. "Kamu juga seorang pengecut," begitu teriaknya membalas sambil menuding Lesmana. Sontak Lesmana balik berkata, "maju sini, lawan aku." Dijawab dengan mantap, "Siapa takut?"
Itu hanyalah ilustrasi, namun sering kali terjadi, ketika seseorang dikatakan "pengecut", maka harga dirinya langsung tersentak. Darahnya mendidih, emosinya meluap, seakan ingin menunjukkan bahwa dirinya itu bukanlah seorang pengecut. Ya, hampir semua orang tidak mau disebut pengecut. Laki-laki sejati tidak boleh jadi pengecut. Laki-laki yang jantan harus seorang jagoan.
Saya sendiri waktu kecil sering jadi bahan olok-olok. Ketidakpercayaan diri saya membuat saya jadi korban bullying teman-teman sekolah. Tapi untungnya, saya tidak peduli dengan omongan orang lain. Saya adalah saya. Termasuk ketika seorang teman menawarkan rokok kepada saya, dan saat saya menolak, saya dikatakan seperti perempuan, saya terima dengan apa adanya, tanpa ada rasa marah atau jengkel. Jadi, kalau kalau saya dibilang pengecut, ya saya terima saja. Nothing to lose, tak ada yang hilang dari diri saya, apalagi harga diri.
Menarik jika kita mempelajari, mengapa kata "pengecut" ini menjadi kata yang ampuh untuk terjadinya perkelahian atau konflik. Barangkali kata ini berhubungan dengan kebutuhan survival. Pengecut berarti lari, dan lari menunjukkan suatu ciri makhluk yang gagal, terbuang, tidak berharga. Dalam sebuah peperangan, seorang pengecut bisa membuat teman lain seperjuangannya mati. Pengecut adalah suatu stempel yang sangat buruk dirasakan sebab ini bisa menyebabkan rasa malu yang sangat besar.
Pertanyaannya, mengapa seseorang yang berani menjadi marah dan tersinggung harga dirinya ketika disebut pengecut? Bagaimana pula jika seorang yang benar-benar dikatai pengecut? Apakah dia akan marah? Atau dia akan menerima saja? Lalu, perlukah kita bereaksi emosional jika disebut sebagai seorang pengecut?
Barangkali lawan kata pengecut adalah berani, ebuah sifat yang dimiliki oleh seorang pahlawan/hero. Seseorang yang suka main keroyokan juga bisa dianggap pengecut. Bahkan ada yang bilang, dia itu pengecut karena beraninya hanya memukuli anak istrinya saja. Apa definisi yang pas untuk sifat pengecut ini? Memang sifat pengecut ini dikonstruksi secara sosial sebagai sifat tercela yang tidak boleh dimiliki, terutama oleh seorang laki-laki. Julukan di amerika untuk menyebut pengecut biasanya adalah "chicken", kadang juga "sissy" (banci).
Dalam sebuah konflik, kadang sifat tidak menerima tantangan disebut pengecut. Tetapi, apakah seorang Mahatma Gandhi bisa disebut sebagai seorang pengecut karena beliau memilih melawan dengan diam? Apakah seorang dengan nilai pasifisme bisa disebut seorang pengecut? Justru, ada juga yang bilang, banyak orang yang sebenarnya pengecut dan takut tetatpi justru bersembunyi dengan kegarangan dan sikapnya yang seenaknya. Mantan presiden Chechnya, Vaclav Havel, mengatakan, "Fanatics and fundamentalists are the people who often cover up their fear and cowardice in a deeper philosophical sense by their arrogance, aggressiveness and confidence."
Kamus internet Wikipedia menyebutkan "Cowardice is the characteristic of submitting to fear, pain, risk/danger, uncertainty, or intimidation. It is viewed as a negative characteristic and is almost generally frowned upon within most, if not all global cultures, while courage is generally rewarded and encouraged."
Tentu saja ini bisa dibahas dari berbagai teori. Kalau menurut saya, memang ini bisa jadi berkaitan dengan pengalaman masa lalu, lingkungan yang ada dan juga konstruksi sosial. Saya tidak tahu, apakah korban bullying leih sensitif jika disebut "pengecut" atau malah sudah terbiasa. Atau justru orang-orang yang selalu jago dan tidak pernah kalah, adalah orang yang rentan jika disebut pengecut. Saya pikir ini bahan studi yang menarik buat para mahasiswa untuk bahan thesis atau skripsinya. Siapa tahu ada yang serius mau bikin skala kepengecutan.
(nur agustinus - 5 Nopember 2008)
Itu hanyalah ilustrasi, namun sering kali terjadi, ketika seseorang dikatakan "pengecut", maka harga dirinya langsung tersentak. Darahnya mendidih, emosinya meluap, seakan ingin menunjukkan bahwa dirinya itu bukanlah seorang pengecut. Ya, hampir semua orang tidak mau disebut pengecut. Laki-laki sejati tidak boleh jadi pengecut. Laki-laki yang jantan harus seorang jagoan.
Saya sendiri waktu kecil sering jadi bahan olok-olok. Ketidakpercayaan diri saya membuat saya jadi korban bullying teman-teman sekolah. Tapi untungnya, saya tidak peduli dengan omongan orang lain. Saya adalah saya. Termasuk ketika seorang teman menawarkan rokok kepada saya, dan saat saya menolak, saya dikatakan seperti perempuan, saya terima dengan apa adanya, tanpa ada rasa marah atau jengkel. Jadi, kalau kalau saya dibilang pengecut, ya saya terima saja. Nothing to lose, tak ada yang hilang dari diri saya, apalagi harga diri.
Menarik jika kita mempelajari, mengapa kata "pengecut" ini menjadi kata yang ampuh untuk terjadinya perkelahian atau konflik. Barangkali kata ini berhubungan dengan kebutuhan survival. Pengecut berarti lari, dan lari menunjukkan suatu ciri makhluk yang gagal, terbuang, tidak berharga. Dalam sebuah peperangan, seorang pengecut bisa membuat teman lain seperjuangannya mati. Pengecut adalah suatu stempel yang sangat buruk dirasakan sebab ini bisa menyebabkan rasa malu yang sangat besar.
Pertanyaannya, mengapa seseorang yang berani menjadi marah dan tersinggung harga dirinya ketika disebut pengecut? Bagaimana pula jika seorang yang benar-benar dikatai pengecut? Apakah dia akan marah? Atau dia akan menerima saja? Lalu, perlukah kita bereaksi emosional jika disebut sebagai seorang pengecut?
Barangkali lawan kata pengecut adalah berani, ebuah sifat yang dimiliki oleh seorang pahlawan/hero. Seseorang yang suka main keroyokan juga bisa dianggap pengecut. Bahkan ada yang bilang, dia itu pengecut karena beraninya hanya memukuli anak istrinya saja. Apa definisi yang pas untuk sifat pengecut ini? Memang sifat pengecut ini dikonstruksi secara sosial sebagai sifat tercela yang tidak boleh dimiliki, terutama oleh seorang laki-laki. Julukan di amerika untuk menyebut pengecut biasanya adalah "chicken", kadang juga "sissy" (banci).
Dalam sebuah konflik, kadang sifat tidak menerima tantangan disebut pengecut. Tetapi, apakah seorang Mahatma Gandhi bisa disebut sebagai seorang pengecut karena beliau memilih melawan dengan diam? Apakah seorang dengan nilai pasifisme bisa disebut seorang pengecut? Justru, ada juga yang bilang, banyak orang yang sebenarnya pengecut dan takut tetatpi justru bersembunyi dengan kegarangan dan sikapnya yang seenaknya. Mantan presiden Chechnya, Vaclav Havel, mengatakan, "Fanatics and fundamentalists are the people who often cover up their fear and cowardice in a deeper philosophical sense by their arrogance, aggressiveness and confidence."
Kamus internet Wikipedia menyebutkan "Cowardice is the characteristic of submitting to fear, pain, risk/danger, uncertainty, or intimidation. It is viewed as a negative characteristic and is almost generally frowned upon within most, if not all global cultures, while courage is generally rewarded and encouraged."
Tentu saja ini bisa dibahas dari berbagai teori. Kalau menurut saya, memang ini bisa jadi berkaitan dengan pengalaman masa lalu, lingkungan yang ada dan juga konstruksi sosial. Saya tidak tahu, apakah korban bullying leih sensitif jika disebut "pengecut" atau malah sudah terbiasa. Atau justru orang-orang yang selalu jago dan tidak pernah kalah, adalah orang yang rentan jika disebut pengecut. Saya pikir ini bahan studi yang menarik buat para mahasiswa untuk bahan thesis atau skripsinya. Siapa tahu ada yang serius mau bikin skala kepengecutan.
(nur agustinus - 5 Nopember 2008)
Film dan empati
Kalau kita bicara film, sebenarnya yang dimanfaatkan oleh para sineas adalah kemampuan manusia dalam berempati. Jika kita melihat orang tertawa, kita ikut tertawa. Jika kita melihat orang sedih, kita ikut sedih. Jika kita melihat orang marah, kita ikut marah. Lebih jauh lagi, bukan cuma empati yang dicari, tapi simpati. Misalnya melihat orang ditindas, kita ikut menderita dan marah. Ini merupakan kemampuan manusia sejak kecil. Seperti misalnya seorang anak kalau melihat ayahnya tersenyum, pasti anaknya ikut tersenyum. Demikian juga sebaliknya. Agak sulit dibayangkan kalau melihat anak senyum, terus bapaknya menangis.
Nah, sinetron atau semua film juga begitu. Ketika melihat sang pemain sedang ketakutan mau dibunuh oleh penjahat, kita yang menontonnya juga merasakan ketakutannya. Apalagi dibumbui dengan suara dan lagu yang menyertainya.
Pemunculan karakter anatgonis dan protagonis tetap dibutuhkan untuk setiap film. Harus ada "the good, the bad an the ugly". Ini mewakili manusia secara umum dan biasanya, hampir kebanyakan orang (tidak selalu) akan menempatkan diri pada posisi sang hero, karakter protagonis. Tentu saja, penggambaran yang ideal akan lebih disuka. Namun pada tipe penonton tertentu, yang sudah biasa dunia tak sekedar hitam dan putih namun ada banyak warna lain (tidak hanya abu-abu), maka seorang lakon bisa saja punya "dosa". Bahkan film sekaliber Star Wars dengan beberapa episodenya juga menampilkan karakter antagonis dan protagonis. Namun dalam ilmu perfilman, sebuah film akan terasa hambar kalau tidak ada unsur romannya.
Yang ingin saya kemukakan, pada tingkat masyarakat tertentu, mengeluarkan perasaan itu adalah sangat wajar dan biasa. Hanya saja, makin berpendidikan seseorang, biasanya perasaan ini makin ditekan dan tidak dengan mudah dikeluarkan. Ingat di jaman dulu, kalau orang menonton bioskop, bisa tertawa terbahak-bahak dengan keras bahkan ketika sang jagoan keluar, mereka bisa bertepuk tangan. Mengungkapkan perasaan adalah hal biasa dan wajar. Tapi kini sudah jarang. Menangis karena melihat film bioskop akan dianggap cengeng, jadi orang akan berusaha menghidari untuk ketahuan bahwa dia sedang menangis.
Sinteron kita atau hampir semua film drama, pasti bertujuan menggugah perasaan itu. Bagi banyak orang, tergugahnya perasaan atau emosi bukan merupakan masalah besar. Tapi untuk sebagian orang, melihat adegan yang ada di sinetron itu, membuat dirinya gemes, jengkel dan mungkin marah. Karena dia tidak tahan dengan munculnya emosi seperti itu (tidak bisa membiarkan larut dalam cerita), maka dia tidak menyukai sinetron itu.
Jadi, masalahnya bukan dari tingkat pendidikan. Namun lebih pada kecenderungan untuk menekan perasaan agar tidak diketahui oleh orang lain. Kita sadar bahwa dengan melihat sinteron atau film apapun, perasaan kita akan terbawa. Justru disinilah kita biasanya memilih film, yang mana yang kita pilih dan cocok untuk penyaluran emosi kita. Di sisi lain, untuk sebagian banyak orang, sinetron seperti yang ada sekarang ini merupakan hal yang biasa. Melihat secara bersama, jengkel bersama, nangis bersama dan gembira bersama saat sang lakon yang terlunta-lunta akhirnya bahagia. Saya pikir, hal yang sama akan kita rasakan, misalnya kita melihat film seperti "Pursuit of Happiness", apalagi itu merupakan kisah nyata.
(nur agustinus - 27 Juli 2007)
Nah, sinetron atau semua film juga begitu. Ketika melihat sang pemain sedang ketakutan mau dibunuh oleh penjahat, kita yang menontonnya juga merasakan ketakutannya. Apalagi dibumbui dengan suara dan lagu yang menyertainya.
Pemunculan karakter anatgonis dan protagonis tetap dibutuhkan untuk setiap film. Harus ada "the good, the bad an the ugly". Ini mewakili manusia secara umum dan biasanya, hampir kebanyakan orang (tidak selalu) akan menempatkan diri pada posisi sang hero, karakter protagonis. Tentu saja, penggambaran yang ideal akan lebih disuka. Namun pada tipe penonton tertentu, yang sudah biasa dunia tak sekedar hitam dan putih namun ada banyak warna lain (tidak hanya abu-abu), maka seorang lakon bisa saja punya "dosa". Bahkan film sekaliber Star Wars dengan beberapa episodenya juga menampilkan karakter antagonis dan protagonis. Namun dalam ilmu perfilman, sebuah film akan terasa hambar kalau tidak ada unsur romannya.
Yang ingin saya kemukakan, pada tingkat masyarakat tertentu, mengeluarkan perasaan itu adalah sangat wajar dan biasa. Hanya saja, makin berpendidikan seseorang, biasanya perasaan ini makin ditekan dan tidak dengan mudah dikeluarkan. Ingat di jaman dulu, kalau orang menonton bioskop, bisa tertawa terbahak-bahak dengan keras bahkan ketika sang jagoan keluar, mereka bisa bertepuk tangan. Mengungkapkan perasaan adalah hal biasa dan wajar. Tapi kini sudah jarang. Menangis karena melihat film bioskop akan dianggap cengeng, jadi orang akan berusaha menghidari untuk ketahuan bahwa dia sedang menangis.
Sinteron kita atau hampir semua film drama, pasti bertujuan menggugah perasaan itu. Bagi banyak orang, tergugahnya perasaan atau emosi bukan merupakan masalah besar. Tapi untuk sebagian orang, melihat adegan yang ada di sinetron itu, membuat dirinya gemes, jengkel dan mungkin marah. Karena dia tidak tahan dengan munculnya emosi seperti itu (tidak bisa membiarkan larut dalam cerita), maka dia tidak menyukai sinetron itu.
Jadi, masalahnya bukan dari tingkat pendidikan. Namun lebih pada kecenderungan untuk menekan perasaan agar tidak diketahui oleh orang lain. Kita sadar bahwa dengan melihat sinteron atau film apapun, perasaan kita akan terbawa. Justru disinilah kita biasanya memilih film, yang mana yang kita pilih dan cocok untuk penyaluran emosi kita. Di sisi lain, untuk sebagian banyak orang, sinetron seperti yang ada sekarang ini merupakan hal yang biasa. Melihat secara bersama, jengkel bersama, nangis bersama dan gembira bersama saat sang lakon yang terlunta-lunta akhirnya bahagia. Saya pikir, hal yang sama akan kita rasakan, misalnya kita melihat film seperti "Pursuit of Happiness", apalagi itu merupakan kisah nyata.
(nur agustinus - 27 Juli 2007)
Anak-anak dan televisi
Dulu memang banyak serial TV dari amerika yang diputar di sini. Namun berkembangnya jaman, teknologi dan kemampuan di bidang sinema, bangkit film-film dari asia maupun amerika tengah seperti Meksiko. Apalagi masyarakat amerika serikat di daerah selatan banyak yang berasal dari Meksiko atau Kuba plus Puerto Rico, mereka mulai memikirkan memproduksi film serial dengan bahasa Spanyol. Film-film ini memang menarik karena dikemas dengan menyentuh emosi dasar manusia, yakni rasa marah, takut dan cinta.
Indonesia sendiri mulai kebanjiran film-film dari India dan Hong Kong. Kebanyakan film di sana mengemas drama percintaan dan juga adegan kekerasan, entah polisi yang korup, permusuhan, dendam dan keserakahan. Beberapa stasiun TV swasta di masa lalu pernah membanjiri pemirsanya dengan tayangan film india hampir tiap hari. Plus juga tayangan telenovela maupun drama dari Hong Kong dan Korea seperti Hosiang hosiang :-). Semuanya menjadi menarik karena ada dubbing sehingga pemirsa dengan mudah memahami dialog yang ada.
Tayangan serial yang bagus seperti Dogie Howser MD, Star Trek, Lost in Space, Hunter dan lain-lain, memang tersisihkan. Di Amerika sendiri, tayangan serial berkualitas seperti ini juga bersaing keras dengan tayangan opera sabun. Kita masih ingat bahwa dulu ada serial drama cengeng juga (namun dianggap bagus) seperti Dynasty. Masalahnya adalah, dulu tayangan TV seperti ini biasanya diputar di malam hari. Kini televisi dengan tayangan hampir 24 jam harus diisi dengan banyak acara yang bisa menghidupi operasional bisnis mereka. Tayangan serial yang berkualitas itu akhirnya lebih banyak masuk ke jaringan TV kabel maupun dikemas dalam format dvd.
Di sisi lain, aspek kapitalisme tidak boleh dilupakan. Target industri adalah mencapai keuntungan dengan cara menembak pasar dengan tepat. Ketika perempuan sudah tidak suka lagi pakai anting-anting, maka pengusaha berlian atau emas bisa gulung tikar. Oleh karena itu, kini laki-laki ditarget sebagai pasar perhiasan. Itu sebabnya melalui tayangan sinetron, dibiasakan agar penonton melihat idola mereka menggunakan anting-anting dan diberi embel-embel cowo metropolis. Banyak sekali titipan 'kapitalisme' dalam sebuah tayangan film.
Saya pernah bekerja di sebuah modeling club, di mana mereka dilarang mengenakan asesoris sembarangan. Semua asesoris yang dipakai harus melalui sang manajer sebab disitu uang masuk. Misalnya, kacamata yang dipakai, jam tangan bahkan baju maupun sepatu. Semua yang melekat harus bisa menghasilkan duit. Coba saja lihat, baju yang dipakai oleh penyiar berita TV saja harus disebutkan dari butik mana. Oleh karena itu, ketika seorang aktris atau aktor muncul, maka semua yang melekat itu, termasuk mobil yang dibawa, rokok yang dihisap, kacamata yang dipakai, semua adalah titipan para kapitalis. Bahkan sampai film Matrix maupun Terminator. Semua itu bagian dari fashion dan gaya hidup.
Nah, secara bisnis, segmen pasar yang paling mudah dibidik adalah anak-anak. Melalui proses 'indoktrinasi' lewat film secara jangka panjang, jelas ini merupakan investasi yang menjanjikan.
Sebenarnya, kita tidak bisa begitu saja menuding bahwa acara tv kita yang buatan dalam negeri ini tidak memikirkan kepentingan pendidikan. Saya pikir hampir semua produser di banyak negara melakukan hal yang sama. Misalnya saja serial Sinchan. Banyak yang bilang itu tidak bagus karena memberi contoh yang buruk dan melecehkan perempuan. Tapi itu bisa begitu laku dan menarik. Belum lagi serial Doraemon, di mana Nobita yang malas sering mendapat bantuan dari kucing robotnya yang bisa mengeluarkan macam-macam alat istimewa. Bagi orang dewasa, mungkin bisa membedakan antara mana yang hiburan dan mana yang realita. Itu sebabnya, diperlukan kesediaan orang tua untuk mendampingi anaknya saat menonton TV.
(nur agustinus - 27 Juli 2007)
Indonesia sendiri mulai kebanjiran film-film dari India dan Hong Kong. Kebanyakan film di sana mengemas drama percintaan dan juga adegan kekerasan, entah polisi yang korup, permusuhan, dendam dan keserakahan. Beberapa stasiun TV swasta di masa lalu pernah membanjiri pemirsanya dengan tayangan film india hampir tiap hari. Plus juga tayangan telenovela maupun drama dari Hong Kong dan Korea seperti Hosiang hosiang :-). Semuanya menjadi menarik karena ada dubbing sehingga pemirsa dengan mudah memahami dialog yang ada.
Tayangan serial yang bagus seperti Dogie Howser MD, Star Trek, Lost in Space, Hunter dan lain-lain, memang tersisihkan. Di Amerika sendiri, tayangan serial berkualitas seperti ini juga bersaing keras dengan tayangan opera sabun. Kita masih ingat bahwa dulu ada serial drama cengeng juga (namun dianggap bagus) seperti Dynasty. Masalahnya adalah, dulu tayangan TV seperti ini biasanya diputar di malam hari. Kini televisi dengan tayangan hampir 24 jam harus diisi dengan banyak acara yang bisa menghidupi operasional bisnis mereka. Tayangan serial yang berkualitas itu akhirnya lebih banyak masuk ke jaringan TV kabel maupun dikemas dalam format dvd.
Di sisi lain, aspek kapitalisme tidak boleh dilupakan. Target industri adalah mencapai keuntungan dengan cara menembak pasar dengan tepat. Ketika perempuan sudah tidak suka lagi pakai anting-anting, maka pengusaha berlian atau emas bisa gulung tikar. Oleh karena itu, kini laki-laki ditarget sebagai pasar perhiasan. Itu sebabnya melalui tayangan sinetron, dibiasakan agar penonton melihat idola mereka menggunakan anting-anting dan diberi embel-embel cowo metropolis. Banyak sekali titipan 'kapitalisme' dalam sebuah tayangan film.
Saya pernah bekerja di sebuah modeling club, di mana mereka dilarang mengenakan asesoris sembarangan. Semua asesoris yang dipakai harus melalui sang manajer sebab disitu uang masuk. Misalnya, kacamata yang dipakai, jam tangan bahkan baju maupun sepatu. Semua yang melekat harus bisa menghasilkan duit. Coba saja lihat, baju yang dipakai oleh penyiar berita TV saja harus disebutkan dari butik mana. Oleh karena itu, ketika seorang aktris atau aktor muncul, maka semua yang melekat itu, termasuk mobil yang dibawa, rokok yang dihisap, kacamata yang dipakai, semua adalah titipan para kapitalis. Bahkan sampai film Matrix maupun Terminator. Semua itu bagian dari fashion dan gaya hidup.
Nah, secara bisnis, segmen pasar yang paling mudah dibidik adalah anak-anak. Melalui proses 'indoktrinasi' lewat film secara jangka panjang, jelas ini merupakan investasi yang menjanjikan.
Sebenarnya, kita tidak bisa begitu saja menuding bahwa acara tv kita yang buatan dalam negeri ini tidak memikirkan kepentingan pendidikan. Saya pikir hampir semua produser di banyak negara melakukan hal yang sama. Misalnya saja serial Sinchan. Banyak yang bilang itu tidak bagus karena memberi contoh yang buruk dan melecehkan perempuan. Tapi itu bisa begitu laku dan menarik. Belum lagi serial Doraemon, di mana Nobita yang malas sering mendapat bantuan dari kucing robotnya yang bisa mengeluarkan macam-macam alat istimewa. Bagi orang dewasa, mungkin bisa membedakan antara mana yang hiburan dan mana yang realita. Itu sebabnya, diperlukan kesediaan orang tua untuk mendampingi anaknya saat menonton TV.
(nur agustinus - 27 Juli 2007)
Membuka biro psikologi
Saya dulu ikut ISPSI (Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia) yang sekarang menjadi HIMPSI. Saya jadi anggota dan saya ikut beberapa pertemuannya. Saya sebenarnya bukan tipe pembelot bahkan punya konformitas yang cukup baik. Nah, pada suatu pertemuan, saya bertanya: "Apakah seorang psikolog diperkenankan promosi?" dijawab oleh salah seorang pengurus, "Boleh" Lalu pertanyaan kedua, "apakah seorang psikolog boleh mendesain alat tes sendiri." Dijawab, "Itu bahkan bagus dan sangat dianjurkan."
Nah, saya di tahun 1990, setelah saya lulus, saya buka biro psikologi dengan nama Bina Grahita Mandiri. Biro psikologi saya memang tergolong agak berbeda untuk masa itu, karena saya dibekali dengan ilmu manajemen yang saya peroleh di program MBA yakni khususnya ilmu marketing. Sekalian mau bagi pengalaman, ilmu marketing itu ada yang namanya 4P, yaitu Price (harga), Place (tempat), Promotion (promosi) dan Product (produk). Saya mengutak-atik keempat hal itu karena itu merupakan kunci dari keberhasilan pemasaran (menurut Kotler).
Maka, harga saya buat bersaing, lebih murah. Ini wajar, sebagai pendatang baru, apalagi di kota surabaya yang masyarakatnya suka menuntut sesuatu itu murah tapi bagus, jadi harga harus diperhatikan. Kedua, saya punya tempat yang cukup strategis. Kelebihan saya waktu itu adalah, klien bisa mengirimkan peserta untuk tes kapan saja dan tidak perlu harus janjian. Kebanyakan psikolog lain punya pekerjaan lain, entah jadi dosen atau apa, sehingga mereka baru bisa melayani psikotes di sore hari atau harus janjian dulu. Selanjutnya, hasil tesnya selesai dalam 1 atau 2 hari. Cukup cepat dan saya tahu bahwa kebutuhan klien adalah hasil yang cepat karena itu dibutuhkan mereka untuk membuat keputusan. Ini yang saya dicela oleh pengurus ISPSI waktu saya dipanggil untuk disidang. Katanya nggak mungkin bisa selesai secepat itu. Saya bilang, saya diajarkan waktu kuliah, tes hari ini bikin laporannya juga hari ini. Kalau nunggu satu minggu baru selesai, saya mungkin sudah lupa dengan orang yang bersangkutan. Yang lebih hebat lagi, hasil tesnya itu saya kirimkan ke kantor klien saya. Saya merasa bahwa perusahaan saya adalah perusahaan jasa, oleh karena itu, service adalah hal yang penting.
Soal promosi, kebetulan saya dekat dengan media Jawa Pos, Liberty dan saya pernah bekerja di Suara Indonesia (group jawa pos). Saya nulis di sana, barter iklan. Saya mengisi kolom psikologi dan manajemen. Kliping tulisan saya masih ada semua. Memang saya tidak jadi ngetop seperti Hermawan Kertajaya, karena saya kemudian mau lebih low profile sebab waktu itu banyak psikolog senior yang kurang suka dengan kiprah saya.
Soal produk, bentuk laporan saya berbeda dengan kebanyakan laporan psikotes waktu itu yang cuma selembar atau dua lembar kertas. Bentuk laporan saya berupa buku. Idenya saya peroleh ketika ayah saya, almarhum Basuki Soejatmiko, konsultasi ke dokter jantung dan mendapat report hasil EKG-nya yang saya lihat kok bagus dan ingin saya terapkan di laporan psikologi saya. Hasilnya, dengan harga lebih murah, pelayanan lebih bagus, produk lebih bagus dan saya punya metode khusus untuk mengetahui potensi seseorang, maka setiap setahun, kira-kira pertambahan perusahaan klien saya sekitar 100 perusahaan. Jadi, setelah 17 tahun berdiri, klien saya leih dari 1500 perusahaan dan setiap hari ada saja perusahaan yang mengirim orang untuk psikotes.
Mengenai ijin praktek. Jujur saja, saya sudah mau pensiun dan lebih senang bermain-main internet serta mengurusi hobby nyeleneh saya, yakni UFO. Jadi, kalau memang UU yang ngurusi psikologi itu gol, saya pikir akan seperti apotek yang punya apoteker. Saya akan merekrut lulusan yang punya ijin praktek.
Sementara ini, selama UU belum ada, saya tidak bisa dianggap melanggar. Di Indonesia tidak ada kewajiban organisasi tunggal Dengan kata lain, bisa saja ada HIMPSI tandingan atau organisasi profesi psikologi lain. Dan itu tidak dilarang menurut undang-undang ke-ormas-an. Memang HIMPSI berusaha menggolkan undang undang itu. Dan kalau memang itu ada, ya saya akan patuh. Tapi saya yakin, sudah bertahun-tahun HIMPSI berusaha kearah sana. Bahkan mungkin bisa dianggap sudah belasan tahun. Namun masih saja tidak ada kepastian. Yang ada justru lulusan diombang-ambingkan. Kalau dulu perlu mengikuti program pendalaman psikodiagnostik, kemudian diubah mengikuti S1 plus, sekarang diubah menjadi S2 profesi.
Jadi, buat saya, saya mau pensiun saja. Tapi kalau memang perlu, saya tinggal mengubah biro saya menjadi sebuah lembaga konsultasi manajemen sumber daya manusia (bukan lembaga psikologi). Dan istilah yang saya pakai bukan lagi psikotes, tapi personal assessment. Direkturnya saya pasang saja istri saja yang magister manajemen. Yang tanda tangan buat laporan bisa saja dia, kan tidak menyalahi aturan. Bahwa klien-klien biro saya masih terus saja mengirimkan calon pegawai atau pegawainya ke tempat saya, baik untuk tes maupun konsultasi, tentu itu menunjukkan adanya level kepercayaan yang cukup baik.
(nur agustinus - 13 Maret 2007)
Nah, saya di tahun 1990, setelah saya lulus, saya buka biro psikologi dengan nama Bina Grahita Mandiri. Biro psikologi saya memang tergolong agak berbeda untuk masa itu, karena saya dibekali dengan ilmu manajemen yang saya peroleh di program MBA yakni khususnya ilmu marketing. Sekalian mau bagi pengalaman, ilmu marketing itu ada yang namanya 4P, yaitu Price (harga), Place (tempat), Promotion (promosi) dan Product (produk). Saya mengutak-atik keempat hal itu karena itu merupakan kunci dari keberhasilan pemasaran (menurut Kotler).
Maka, harga saya buat bersaing, lebih murah. Ini wajar, sebagai pendatang baru, apalagi di kota surabaya yang masyarakatnya suka menuntut sesuatu itu murah tapi bagus, jadi harga harus diperhatikan. Kedua, saya punya tempat yang cukup strategis. Kelebihan saya waktu itu adalah, klien bisa mengirimkan peserta untuk tes kapan saja dan tidak perlu harus janjian. Kebanyakan psikolog lain punya pekerjaan lain, entah jadi dosen atau apa, sehingga mereka baru bisa melayani psikotes di sore hari atau harus janjian dulu. Selanjutnya, hasil tesnya selesai dalam 1 atau 2 hari. Cukup cepat dan saya tahu bahwa kebutuhan klien adalah hasil yang cepat karena itu dibutuhkan mereka untuk membuat keputusan. Ini yang saya dicela oleh pengurus ISPSI waktu saya dipanggil untuk disidang. Katanya nggak mungkin bisa selesai secepat itu. Saya bilang, saya diajarkan waktu kuliah, tes hari ini bikin laporannya juga hari ini. Kalau nunggu satu minggu baru selesai, saya mungkin sudah lupa dengan orang yang bersangkutan. Yang lebih hebat lagi, hasil tesnya itu saya kirimkan ke kantor klien saya. Saya merasa bahwa perusahaan saya adalah perusahaan jasa, oleh karena itu, service adalah hal yang penting.
Soal promosi, kebetulan saya dekat dengan media Jawa Pos, Liberty dan saya pernah bekerja di Suara Indonesia (group jawa pos). Saya nulis di sana, barter iklan. Saya mengisi kolom psikologi dan manajemen. Kliping tulisan saya masih ada semua. Memang saya tidak jadi ngetop seperti Hermawan Kertajaya, karena saya kemudian mau lebih low profile sebab waktu itu banyak psikolog senior yang kurang suka dengan kiprah saya.
Soal produk, bentuk laporan saya berbeda dengan kebanyakan laporan psikotes waktu itu yang cuma selembar atau dua lembar kertas. Bentuk laporan saya berupa buku. Idenya saya peroleh ketika ayah saya, almarhum Basuki Soejatmiko, konsultasi ke dokter jantung dan mendapat report hasil EKG-nya yang saya lihat kok bagus dan ingin saya terapkan di laporan psikologi saya. Hasilnya, dengan harga lebih murah, pelayanan lebih bagus, produk lebih bagus dan saya punya metode khusus untuk mengetahui potensi seseorang, maka setiap setahun, kira-kira pertambahan perusahaan klien saya sekitar 100 perusahaan. Jadi, setelah 17 tahun berdiri, klien saya leih dari 1500 perusahaan dan setiap hari ada saja perusahaan yang mengirim orang untuk psikotes.
Mengenai ijin praktek. Jujur saja, saya sudah mau pensiun dan lebih senang bermain-main internet serta mengurusi hobby nyeleneh saya, yakni UFO. Jadi, kalau memang UU yang ngurusi psikologi itu gol, saya pikir akan seperti apotek yang punya apoteker. Saya akan merekrut lulusan yang punya ijin praktek.
Sementara ini, selama UU belum ada, saya tidak bisa dianggap melanggar. Di Indonesia tidak ada kewajiban organisasi tunggal Dengan kata lain, bisa saja ada HIMPSI tandingan atau organisasi profesi psikologi lain. Dan itu tidak dilarang menurut undang-undang ke-ormas-an. Memang HIMPSI berusaha menggolkan undang undang itu. Dan kalau memang itu ada, ya saya akan patuh. Tapi saya yakin, sudah bertahun-tahun HIMPSI berusaha kearah sana. Bahkan mungkin bisa dianggap sudah belasan tahun. Namun masih saja tidak ada kepastian. Yang ada justru lulusan diombang-ambingkan. Kalau dulu perlu mengikuti program pendalaman psikodiagnostik, kemudian diubah mengikuti S1 plus, sekarang diubah menjadi S2 profesi.
Jadi, buat saya, saya mau pensiun saja. Tapi kalau memang perlu, saya tinggal mengubah biro saya menjadi sebuah lembaga konsultasi manajemen sumber daya manusia (bukan lembaga psikologi). Dan istilah yang saya pakai bukan lagi psikotes, tapi personal assessment. Direkturnya saya pasang saja istri saja yang magister manajemen. Yang tanda tangan buat laporan bisa saja dia, kan tidak menyalahi aturan. Bahwa klien-klien biro saya masih terus saja mengirimkan calon pegawai atau pegawainya ke tempat saya, baik untuk tes maupun konsultasi, tentu itu menunjukkan adanya level kepercayaan yang cukup baik.
(nur agustinus - 13 Maret 2007)
Temper tantrum
Temper tantrum atau biasa disebut tantrum adalah kondisi di mana anak mudah secara eksplosif marah sebab dia belum mampu mengendalikan emosinya. Temper tantrum bisa bermacam-macam bentuk, mulai dari merengek, menangis, berteriak-teriak, menendang, memukul atau menahan napas. Pada umumnya sama saja pada anak lelaki atau perempuan dan biasanya terjadi pada anak usia satu sampai enam tahun. Beberapa anak mungkin sering mengalami tantrum, ada pula yang hanya beberapa kali atau jarang. Sebenarnya, tantrum adalah cara anak batita melepaskan emosinya yang tidak bisa dikendalikannya. Jika kita menanggapinya dengan kemarahan atau cara-cara tidak tepat lainnya, dampaknya bisa merugikan anak.
Martina Rini S. Tasmin, SPsi. pernah menulis di e-psikologi.com bahwa tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan energi berlimpah. Tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap "sulit", dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar tidak teratur.
2. Sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru.
3. Lambat beradaptasi terhadap perubahan.
4. Moodnya (suasana hati) lebih sering negatif.
5. Mudah terprovokasi, gampang merasa marah/kesal.
6. Sulit dialihkan perhatiannya.
Selanjutnya, Martina juga menjelaskan tentang faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya Tantrum. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu.
Setelah tidak berhasil meminta sesuatu dan tetap menginginkannya, anak mungkin saja memakai cara Tantrum untuk menekan orangtua agar mendapatkan yang ia inginkan, seperti pada contoh kasus di awal.
2. Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri.
Anak-anak punya keterbatasan bahasa, ada saatnya ia ingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa, dan orangtuapun tidak bisa mengerti apa yang diinginkan. Kondisi ini dapat memicu anak menjadi frustrasi dan terungkap dalam bentuk Tantrum.
3. Tidak terpenuhinya kebutuhan.
Anak yang aktif membutuh ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Kalau suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil (dan berarti untuk waktu yang lama dia tidak bisa bergerak bebas), dia akan merasa stres. Salah satu kemungkinan cara pelepasan stresnya adalah Tantrum. Contoh lain: anak butuh kesempatan untuk mencoba kemampuan baru yang dimilikinya. Misalnya anak umur 3 tahun yang ingin mencoba makan sendiri, atau umur anak 4 tahun ingin mengambilkan minum yang memakai wadah gelas kaca, tapi tidak diperbolehkan oleh orangtua atau pengasuh. Maka untuk melampiaskan rasa marah atau kesal karena tidak diperbolehkan, ia memakai cara Tantrum agar diperbolehkan.
4. Pola asuh orangtua
Cara orangtua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan Tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan, bisa Tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dilindungi dan didominasi oleh orangtuanya, sekali waktu anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orangtua dengan perilaku Tantrum. Orangtua yang mengasuh secara tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak Tantrum. Misalnya, orangtua yang tidak punya pola jelas kapan ingin melarang kapan ingin mengizinkan anak berbuat sesuatu dan orangtua yang seringkali mengancam untuk menghukum tapi tidak pernah menghukum. Anak akan dibingungkan oleh orangtua dan menjadi Tantrum ketika orangtua benar-benar menghukum. Atau pada ayah-ibu yang tidak sependapat satu sama lain, yang satu memperbolehkan anak, yang lain melarang. Anak bisa jadi akan tantrum agar mendapatkan keinginannya dan persetujuan dari kedua orangtua.
5. Anak merasa lelah, lapar, atau dalam keadaan sakit.
6. Anak sedang stres (akibat tugas sekolah, dll) dan karena merasa tidak aman (insecure).
Perlu dibedakan dengan tantrum manipulatif. Ini yang sering dikatakan sebagai perilaku enabling orang tua (dalam kasus anak Bapak adalah mengikuti keinginan anak) bisa berakibat buruk. Tantrum manipulatif dilakukan anak sebagai 'alat' untuk mencapai tujuan. Terhadap tantrum jenis ini, beberapa pakar menyarankan orang tua untuk mengabaikannya (artinya jangan enabling). Menurut mereka, cara ini mengisyaratkan kepada anak bahwa tantrumnya tak mempan dan ini adalah bagian dari pendisiplinan anak kecil. Berbeda dengan tantrum manipulatif, tantrum frustratif adalah tantrum yang dialami anak kala frustrasi. Anak batita frustrasi terutama karena tak bisa mengungkapkan perasaan. Maklumlah, kemampuan berkomunikasi mereka amat terbatas. Para pakar sering menyarankan orang tua menanggapi tantrum jenis ini dengan penuh empati.
(nur agustinus - 22 Maret 2007)
Martina Rini S. Tasmin, SPsi. pernah menulis di e-psikologi.com bahwa tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan energi berlimpah. Tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap "sulit", dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar tidak teratur.
2. Sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru.
3. Lambat beradaptasi terhadap perubahan.
4. Moodnya (suasana hati) lebih sering negatif.
5. Mudah terprovokasi, gampang merasa marah/kesal.
6. Sulit dialihkan perhatiannya.
Selanjutnya, Martina juga menjelaskan tentang faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya Tantrum. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu.
Setelah tidak berhasil meminta sesuatu dan tetap menginginkannya, anak mungkin saja memakai cara Tantrum untuk menekan orangtua agar mendapatkan yang ia inginkan, seperti pada contoh kasus di awal.
2. Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri.
Anak-anak punya keterbatasan bahasa, ada saatnya ia ingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa, dan orangtuapun tidak bisa mengerti apa yang diinginkan. Kondisi ini dapat memicu anak menjadi frustrasi dan terungkap dalam bentuk Tantrum.
3. Tidak terpenuhinya kebutuhan.
Anak yang aktif membutuh ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Kalau suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil (dan berarti untuk waktu yang lama dia tidak bisa bergerak bebas), dia akan merasa stres. Salah satu kemungkinan cara pelepasan stresnya adalah Tantrum. Contoh lain: anak butuh kesempatan untuk mencoba kemampuan baru yang dimilikinya. Misalnya anak umur 3 tahun yang ingin mencoba makan sendiri, atau umur anak 4 tahun ingin mengambilkan minum yang memakai wadah gelas kaca, tapi tidak diperbolehkan oleh orangtua atau pengasuh. Maka untuk melampiaskan rasa marah atau kesal karena tidak diperbolehkan, ia memakai cara Tantrum agar diperbolehkan.
4. Pola asuh orangtua
Cara orangtua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan Tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan, bisa Tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dilindungi dan didominasi oleh orangtuanya, sekali waktu anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orangtua dengan perilaku Tantrum. Orangtua yang mengasuh secara tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak Tantrum. Misalnya, orangtua yang tidak punya pola jelas kapan ingin melarang kapan ingin mengizinkan anak berbuat sesuatu dan orangtua yang seringkali mengancam untuk menghukum tapi tidak pernah menghukum. Anak akan dibingungkan oleh orangtua dan menjadi Tantrum ketika orangtua benar-benar menghukum. Atau pada ayah-ibu yang tidak sependapat satu sama lain, yang satu memperbolehkan anak, yang lain melarang. Anak bisa jadi akan tantrum agar mendapatkan keinginannya dan persetujuan dari kedua orangtua.
5. Anak merasa lelah, lapar, atau dalam keadaan sakit.
6. Anak sedang stres (akibat tugas sekolah, dll) dan karena merasa tidak aman (insecure).
Perlu dibedakan dengan tantrum manipulatif. Ini yang sering dikatakan sebagai perilaku enabling orang tua (dalam kasus anak Bapak adalah mengikuti keinginan anak) bisa berakibat buruk. Tantrum manipulatif dilakukan anak sebagai 'alat' untuk mencapai tujuan. Terhadap tantrum jenis ini, beberapa pakar menyarankan orang tua untuk mengabaikannya (artinya jangan enabling). Menurut mereka, cara ini mengisyaratkan kepada anak bahwa tantrumnya tak mempan dan ini adalah bagian dari pendisiplinan anak kecil. Berbeda dengan tantrum manipulatif, tantrum frustratif adalah tantrum yang dialami anak kala frustrasi. Anak batita frustrasi terutama karena tak bisa mengungkapkan perasaan. Maklumlah, kemampuan berkomunikasi mereka amat terbatas. Para pakar sering menyarankan orang tua menanggapi tantrum jenis ini dengan penuh empati.
(nur agustinus - 22 Maret 2007)
Atribusi dan kemungkinan kesalahannya
Apakah atribusi itu? Atribusi adalah memperkirakan apa yang menyebabkan orang lain itu berperilaku tertentu. Kecenderungan memberi atribusi disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala sesuatu, termasuk apa yang ada dibalik perilaku orang lain. Ada 2 golongan yang menjelaskan suatu perilaku, yaitu berasal dari orang yang bersangkutan (atribusi internal) dan yang berasal dari lingkungan atau luar diri orang yang bersangkutan (atribusi eksternal). Bagaimanapun, pemberian atribusi bisa salah. Kesalahan itu dapat bersumber pada beberapa hal, salah satunya adalah "kesalahan atribusi yang mendasar (fundamental error)", yaitu kecenderungan untuk selalu memberi nilai internal.
Perlu dicatat juga, atribusi tidak sama dengan strereotipi. Banyak orang yang kurang paham soal atribusi, mengira bahwa hal ini sama dengan stereotipi atau prasangka. Tapi benar, bahwa stereotipi bisa mempengaruhi atribusi sehingga menjadi bias. Maka tak heran jika atribusi itu bisa menyebabkan kesalahpahaman.
Ada yang cukup penting dalam proses atribusi, yaitu kesan pertama. Apa maksudnya? Contohnya begini... pernahkah Anda merasa bahwa dosen atau guru Anda itu sepertinya pilih kasih? Dengan murid tertentu dia baik, tapi dengan murid tertentu lainnya, sepertinya justru cari kesalahannya? Para pimpinan perusahaan atau atasan juga sering melakukan seperti itu. Ini biasanya karena faktor kesan pertama.
Kesan pertama memang menentukan. Bisa menggoda, tapi yang pasti akan membekas. Kesan kedua tidak akan begitu diperhatikan. Nah, kalau misalnya ada murid/mahasiswa yang sejak awal memberi kesan baik, maka gurunya jika mencoba menerangkan perilaku anak didiknya itu, maka kalau semisal perilakunya untuk negatif, akan diatribusi eksternal, dan kalau perilakunya baik akan diatribusi internal. Contohnya apa? Misalnya kalau kesan pertama baik, maka misalnya si murid kemudian datang terlambat masuk kelas atau misalnya dapat nilai jelek, maka guru akan berpikir, "ah jangan-jangan di jalan macet" atau "mungkin ada masalah di keluarganya." Tapi, kalau seandainya kesan pertama guru itu kepada muridnya dalah negatif, maka dia akan berpikir sebaliknya, "ah dasar pemalas" atau "memang goblok". Jika kesan pertama kita negatif, maka atribusi akan dilakukan dalam bentuk internal atribusi (dasar si dia memang begitu dari sononya), dan kalau misalnya berperilaku positif, maka akan diatribusi eksternal (ah dia bisa naik pangkat cepat karena kawin dengan anaknya pimpinan).
Di sini, banyak orang malu menunjukkan prestasi karena khawatir dianggap sombong. Maka dia mengatribusi dirinya secara khusus. Misalnya kalau dia dapat prestasi, maka dia akan mengatakan bahwa itu karena dukungan atasan (atribusi eksternal) dan mengatakan dia sendiri adalah orang bodoh (atribusi internal). Mantan presiden RI dulu juga mengatakan bahwa dia mau menjadi presiden bukan karena kehendak dirinya tapi karena permintaan rakyat (atribusi eksternal). Menilai diri sendiri secara positif dengan atribusi internal bisa dianggap sombong.
Kadang, kita juga sering salah melakukan penilaian karena kesalahan atribusi ini. Itu wajar saja, tapi konsekuensinya, bisa terjadi salah paham karena kesalahan atribusi ini. Apalagi, jika ini kemudian dihubungkan dengan persepsi, di mana persepsi itu ada persepsi primer dan sekunder. Apa itu? Primer adalah persepsi kita, sementara sekunder adalah persepsi orang lain tentang kita. Dalam pengasuhan anak ini juga terjadi. Misalnya ketika kita membelikan mainan atau buku, maka persepsi kita anak bakal senang, namun apakah benar persepsi pada anak (sekunder) itu benar-benar senang? Belum tentu.
Manusia memang multi dimensional. Seringkali sulit ditebak. Bahkan suami istri yang hidup sudah puluhan tahunpun, kadang tidak mengenal baik pasangannya.
(nur agustinus - 30 Oktober 2008)
Perlu dicatat juga, atribusi tidak sama dengan strereotipi. Banyak orang yang kurang paham soal atribusi, mengira bahwa hal ini sama dengan stereotipi atau prasangka. Tapi benar, bahwa stereotipi bisa mempengaruhi atribusi sehingga menjadi bias. Maka tak heran jika atribusi itu bisa menyebabkan kesalahpahaman.
Ada yang cukup penting dalam proses atribusi, yaitu kesan pertama. Apa maksudnya? Contohnya begini... pernahkah Anda merasa bahwa dosen atau guru Anda itu sepertinya pilih kasih? Dengan murid tertentu dia baik, tapi dengan murid tertentu lainnya, sepertinya justru cari kesalahannya? Para pimpinan perusahaan atau atasan juga sering melakukan seperti itu. Ini biasanya karena faktor kesan pertama.
Kesan pertama memang menentukan. Bisa menggoda, tapi yang pasti akan membekas. Kesan kedua tidak akan begitu diperhatikan. Nah, kalau misalnya ada murid/mahasiswa yang sejak awal memberi kesan baik, maka gurunya jika mencoba menerangkan perilaku anak didiknya itu, maka kalau semisal perilakunya untuk negatif, akan diatribusi eksternal, dan kalau perilakunya baik akan diatribusi internal. Contohnya apa? Misalnya kalau kesan pertama baik, maka misalnya si murid kemudian datang terlambat masuk kelas atau misalnya dapat nilai jelek, maka guru akan berpikir, "ah jangan-jangan di jalan macet" atau "mungkin ada masalah di keluarganya." Tapi, kalau seandainya kesan pertama guru itu kepada muridnya dalah negatif, maka dia akan berpikir sebaliknya, "ah dasar pemalas" atau "memang goblok". Jika kesan pertama kita negatif, maka atribusi akan dilakukan dalam bentuk internal atribusi (dasar si dia memang begitu dari sononya), dan kalau misalnya berperilaku positif, maka akan diatribusi eksternal (ah dia bisa naik pangkat cepat karena kawin dengan anaknya pimpinan).
Di sini, banyak orang malu menunjukkan prestasi karena khawatir dianggap sombong. Maka dia mengatribusi dirinya secara khusus. Misalnya kalau dia dapat prestasi, maka dia akan mengatakan bahwa itu karena dukungan atasan (atribusi eksternal) dan mengatakan dia sendiri adalah orang bodoh (atribusi internal). Mantan presiden RI dulu juga mengatakan bahwa dia mau menjadi presiden bukan karena kehendak dirinya tapi karena permintaan rakyat (atribusi eksternal). Menilai diri sendiri secara positif dengan atribusi internal bisa dianggap sombong.
Kadang, kita juga sering salah melakukan penilaian karena kesalahan atribusi ini. Itu wajar saja, tapi konsekuensinya, bisa terjadi salah paham karena kesalahan atribusi ini. Apalagi, jika ini kemudian dihubungkan dengan persepsi, di mana persepsi itu ada persepsi primer dan sekunder. Apa itu? Primer adalah persepsi kita, sementara sekunder adalah persepsi orang lain tentang kita. Dalam pengasuhan anak ini juga terjadi. Misalnya ketika kita membelikan mainan atau buku, maka persepsi kita anak bakal senang, namun apakah benar persepsi pada anak (sekunder) itu benar-benar senang? Belum tentu.
Manusia memang multi dimensional. Seringkali sulit ditebak. Bahkan suami istri yang hidup sudah puluhan tahunpun, kadang tidak mengenal baik pasangannya.
(nur agustinus - 30 Oktober 2008)
22 Apr 2009
Mengenang sahabatku, Wiranto Budisusetyo
Semula memang tidak ada rencana untuk menulis ini. Tadi pagi saya bangun dengan sebuah mimpi yang cukup aneh. Saya bermimpi tentang sahabat karib saya waktu SMA yang telah tiada. Dalam mimpi itu, saya sadar bahwa dia, Wiranto Budisusetyo, telah tiada. Saat itu saya merasa bahwa hari ini adalah ulang tahunnya. Padahal saya sama sekali tidak tahu atau ingat akan hari ulang tahunnya. Saya hanya mimpi seakan hari ini adalah hari ulang tahunnya dan saya datang ke rumahnya.
Ketika di rumahnya (rumah ini tidak mirip dengan rumah yang saya kenal sebagai rumahnya dulu), saya ditanya ingin bertemu siapa. Saya bingung menjawab apa, sebab saya tahu kalau Wiranto telah tiada. Saya jawab, "Saya hanya ingin bertamu saja." Tak lama kemudian, ada banyak orang keluar dari dalam ruangan, salah satunya ada ayahnya. Saya menyalaminya dan berbicara dengannya. Tak ingat apa yang dibicarakan.
Kelanjutan mimpi itu tidak jelas. Tapi hal itu mengusik perasaan saya. Mengapa saya memimpikannya? Sudah sangat lama saya tidak mengingat dia atau keluarganya. Mengapa tiba-tiba muncul dalam mimpi saya di pagi hari menjelang bangun tidur.
Wiranto satu SMA dengan saya. Ketika tahun 1983, kami bersama-sama memenangkan lomba karya ilmiah remaja yang diselenggarakan oleh LIPI-TVRI. Saya satu kelas di atasnya dan kami banyak bersama-sama ketika menyelenggarakan kelompok ilmiah remaja di SMAK Frateran Surabaya dulu.
Mimpi yang tidak biasanya ini membawa saya mencoba menelusuri dirinya lewat internet. Tak banyak situs tentang dirinya. Satu di arsip LIPI dan satu lagi dari tempat kuliahnya di Amerika dulu. Saya membaca namanya di sebuah jurnal yang diterbitkan tahun 2001. Saya cukup terkejut. Bukankah Wiranto sudah meninggal dunia tahun 1989 lalu? Mengapa ada jurnal terbitan tahun 2001 yang mencantumkan namanya sebagai salah satu penulisnya? Saya mencoba menghubungi alamat email penulis utamanya tadi pagi. Malam ini saya membaca jawaban darinya. Sebagai kenangan akan sahabatku, Wiranto, ijinkan saya menyampaikan email dari dosennya tersebut.
Nur agustinus - 29 Mei 2007
Dear Nur, (Memorial Day, May 28, 2007)
The Wiranto Budisusetyo whose name appeared on the paper was indeed your friend. He studied two years at the University of Minnesota where he took and fell in love with Organic Chemistry (not everybody's cup of tea). When he transferred to the Massachusetts College of Pharmacy and Health Sciences in the fall of 1986, he began to visit my office daily to talk about chemistry even though he wasn't taking a course with me. I was (and still am) the teacher of Organic here at the College. His personality and friendliness were so unusual that I soon had him helping me computerize my grades for the first time. By Christmas he had convinced me that I should buy an Apple computer, and then he served as a 24 hour a day phone consultant about how to operate the thing. (I'm still using Apple computers today).
Wiranto loved chemistry, he loved computers, and he loved to travel. On one trip home he visited Egypt and bought a gold pendant with his name in hieroglyphics. His father Rudsy visited Wiranto twice and we dined together on each occasion. He told me to look after his son.
But in the summer of 1988 a new love took hold of your friend, Wiranto-it was the love of flying. He began to take flying lessons. Because money was no object for him, he took the lessons rapidly, became an apprentice co-pilot on a small commercial (propeller-driven) airline which flew from Bedford Massachusetts to Albany New York. As soon as he earned a pilot's license (already in October), he rented a small aircraft and flew from Bedford to Maine and to Cape Cod on some weekends. He would call me and say
"Guess where I am?"
By the next spring he felt that he was very experienced as a pilot, but he had only been flying for 8 months. On March 25, 1989, the evening before Easter, he used his beautiful magnetic personality to induce three members of the college community to accompany him on a flight to Albany New York in a rented plane. One of the passengers was my graduate student, Kwabena Ansu, from Ghana. It was Kwabena's sister that the group was to visit for an Easter dinner the next day. The other two passengers were the registrar of the College and a mathematics teacher. The weather was really nasty and stormy during that Saturday, but by 5 PM is had calmed down in Bedford and the group (Wiranto the pilot) decided to fly. Apparently they misjudged the fuel and landed in Springfield Massachusetts after dark to try to purchase more-but they found the airport services were closed on a Saturday night with the lousy flying conditions. Unadvisedly, they took off again in the direction of Albany, but either through low fuel or low altitude they crashed into the woods of a state park on a windy mountainside (only about 1600 ft in altitude). I got a call in my home about 10 PM that night from the police. On Monday, I drove to Springfield where the bodies were taken, and I officially identified the Wiranto and Kwabena from the photographs of their dead bodies. Kwabena had a look of terror frozen on his face. Your friend Wiranto looked different in death, he looked as if he had experienced a great disappointment-he had let his friends down.
His father and mother came to Boston for his funeral, and his ashes were place in an urn and were spread by his sometimes girlfriend, Julie Irish (now Ph.D.) on the waters of the Boston harbor somewhere near the shore where the John F. Kennedy Memorial Library stands. His father gave me many mementos of Wiranto, and from that day until this, I have worn around my neck the hieroglyphic pendant and gold chain which he wore in the fatal crash.
I feel sad to have to bring you such news. But I am the only person outside his family who knows the complete story of what happened. Wiranto was an absolutely magnificent human being. The world lost a powerful force of good in this sad crash. I have not yet met another student so spontaneously generous and so enthusiastic about life as your dear friend.
I have one thing about which I feel guilty. That is that I have not contacted Wiranto's father about the existence of the publication from which you got my address. Do you have an email contact for him or for either of Wiranto's twin sisters? I would really like to send them a copy of the published manuscript.
Yours truly,
Charles J. Kelley
Bisnis, antara motivasi dan kompetisi
Kenapa begitu?
Banyak orang berpendapat, melihat peluang pasar ada yang bagus, maka terjun ke sana. Tapi itu biasanya juga mengikuti falsafah "ada gula ada semut". Sekarang lagi rame apa, orang pada usaha itu. Kadang orang memilih bisnis tertentu karena merasa sedang booming, sementara dia tidak punya keahlian atau pengalaman di bidang itu. Pikirnya, itu bisa dilakukan dengan membayar orang yang ngerti.
Kalau saya agak berbeda. Pertama tentuin dulu kemampuan kita apa. Kelebihan dan kekurangan kita apa. Ini yang namanya analisa SWOT. Kita bisanya terjun di bisnis apa. Katakanlah bekal pendidikan kita adalah sarjana psikologi. Maka kita analisa, kemampuan kita sejauh mana. Kalau kita mau jadi juragan, apakah kita punya sebuah modal yang paling penting, yakni enterpreneurship.
Kalau sudah ditentukan, seandainya mau melakukan bisnis di daerah tertentu, maka lakukan analisa pasar. Lakukan segmentasi, penentuan target pasar dan posisi pasar (positioning). Jika ini dilakukan, maka berarti kemudian kita melakukan apa yang dinamakan marketing mix (bauran pasar). Sebenarnya kalau kita membahas marketing mix itu sudah saya ulas kemarin yaitu yang dikenal dengan 4P. http://en.wikipedia.org/wiki/Marketing_mix
Jika itu sudah dilakukan, baru mulai membuat atau menyusun rencana usaha. Memang hal-hal seperti ini tidak diajarkan di fakultas psikologi.
Penting juga untuk diingat bahwa marketing itu tidak sama dengan jualan. Mengapa orang membeli sebuah produk?
Secara umum ada dua sebab, yaitu dia butuh atau ingin. Kebutuhan dan keinginan ini berbeda. Manusia butuh makan, tapi saya kadang-kadang ingin makan kare kambing. Tapi, mengapa saya harus makan kare kambing Soponyono di Pusat Grosir Surabaya yang parkirnya adzubilah ruwetnya dan mesti naik tangga sampai 5 tingkat (pulang rumah pasti sudah lapar lagi), sementara kare kambing yang lain ada di mana-mana?
Bicara soal kebutuhan, itu ada teori psikologinya. Psikolog lulusan perguruan tinggi pasti kenal dengan teorinya Maslow atau Glasser. Tapi, marketing tidak bermain di ranah kebutuhan manusia, melainkan pada keinginan manusia. Jadi, ini juga tugasnya ahli perilaku manusia, yaitu memotivasi agar tumbuh keinginan untuk menggunakan produk yang kita jual.
Sebelum membuat usaha, kita perlu menentukan terlebih dahulu, kita mau jadi sebesar apa. Sebagai contoh begini. Kalau Anda misalnya mau jadi petinju, apa target yang hendak dicapai? Apakah ingin menjadi juara dunia? Apakah cuma sekedar ikut-ikutan jadi petinju? Dalam dunia bisnis ada 4 tipe perusahaan, yaitu:
1. Pemimpin pasar
2. Penantang
3. Pengikut
4. Pemain ceruk (niche)
Apakah semua perusahaan harus jadi pemimpin pasar? Tidak. Tidak semua orang berambisi menjadi best of the best. Contoh, kalau kita ditanya, siapa pemimpin pasar di bidang otomotif di Indonesia itu? Anda pasti bisa jawab. Lalu, siapa penantangnya? Apa ciri penantang? Penantang adalah perusahaan (atau bos) yang ingin menjadi pemimpin pasar. Ibarat saat ini sudah ada juara dunia, maka penantang adalah orang yang ingin merebut gelar juara dunia itu.
Kalau Mike Tyson jadi juara dunia tinju saat ini, dan Anda terjun dalam kancah pertarungan tinju, apakah Anda ingin melawan Mike Tyson? :-) Belum tentu. Bisa-bisa baru lima detik, kepala Anda sudah menghujam matras pertandingan.
Jadi, pertimbangkan dulu ambisi menjadi pemimpin pasar.
Mengenai pengikut pasar adalah para pemain yang ikut saja apa kata pasar, sementara pemain ceruk adalah pemain di tempat yang aman. Strategi paling jitu di tempat ceruk adalah gerilya.
Memang, ada orang yang ingin menjadi pemimpin pasar dengan mudah, yaitu masuk dan bermain di pasar yang belum ada pemainnya. Maka dia akan serta mereta menjadi pemimpin pasar di sana. Tapi, berhati-hatilah. ada gula ada semut. Anda sukses, banyak orang yang akan ikut meniru. Penantang baru akan muncul. Jika Anda kalah kuat, Anda bisa dilibas dengan sekali pukul.
Strategi seorang pemimpin adalah defence, bertahan. Sementara strategi seorang penantang adalah attack, menyerang. Walau ada juga yang berkata, strategi bertahan yang paling baik adalah menyerang, itu juga tidak salah.
Ada sebuah contoh kasus yang sering saya ceritakan saat saya menjadi dosen dulu, yakni persaingan antara dua media di jawa timur, yakni jawa pos dan surya di tahun 1990-an. Saat itu, Surya berambisi mengalahkan Jawa Pos. Sebagai kelompok Kompas/Gramedia, tentu sudah terbiasa bermain menjadi pemimpin. Melihat sebuah perusahaan yang sifatnya daerah seperti Jawa Pos, tentu orang-orang penting yang ada di sana menganggapnya ini bukan musuh yang patut ditakuti.
Saat itu, Jawa Pos terkenal dengan kekuatan penjaja koran di lampu-lampu setopan (traffic light). Surya berusaha merebut hati para loper koran ini dengan memberi kaos bertuliskan Surya. Namanya diberi, ya harus dipakai. Jadi, nama Surya akan serta merta menghiasi kota Surabaya. Sebuah taktik promosi yang bagus.
Tapi, apa yang dilakukan Jawa Pos? Apakah mereka menyuruh para lopernya mencopot kaos-kaos pemberian Surya itu? Ternyata tidak. Jawa Pos justru membuat rompi yang bertuliskan Jawa Pos. Para loper semakin bergaya dengan menggunakan rompi. Rompi ini sekaligus menutupi kaos Surya sehingga tulisannya tidak lagi kelihatan. Berapa duit yang dikeluarkan Surya untuk membuat kaos itu, hilang lenyap tidak ada manfaatnya.
Itu sekilas cerita persaingan bisnis.
Memang marketer yang baik adalah yang mampu menciptakan pasar. Kita tidak perlu melihat, masyarakat atau pasar ingin apa. Namun, buatlah masyarakat itu ingin atau bahkan butuh produk yang kita buat. Ambil contoh ketika pak Tirta membuat Aqua. Siapa yang pikir bahwa orang akan mau beli air minum dalam botol, yang harganya lebih mahal ketimbang bensin? Tapi ternyata ide itu berjalan. Masyarakat dari yang tidak ingin menjadi butuh, dan kalau tidak minum Aqua (atau sejenisnya) malah merasa sakit perut atau tidak sehat.
Itu semua, pikiran-pikiran gila seperti itu, muncul pada orang-orang yang punya potensi enterpreneurship. Saya tidak tahu, apa hal ini dilahirkan atau muncul dalam proses. Apakah nature atau nurture. Banyak teori atau bahasan soal ini.
Trauma kebakaran
Tadi saya bersama anak saya yang kecil, Tiko, melihat tayangan dvd tokoh Elmo, The Sesame Street, tentang pemadam kebakaran. Langsung pikiran saya teringat dengan hawa panas yang terjadi akhir-akhir ini. Di Los Angeles, gara-gara panas, berhektar-hektar hutan bisa terbakar. Kemudian saya teringat dengan pengalaman masa lalu saya.
Saya punya pengalaman pribadi tentang kebakaran. Di awal tahun 1995, saat itu saya sudah pindah rumah karena telah menikah, pagi-pagi ditelepon bahwa rumah di sebelah rumah ibu saya yang saya gunakan juga sebagai kantor perusahaan saya, terbakar hebat. Ibu saya menelpon saya dengan suara panik, mirip nadanya ketika saya ditelepon dulu waktu ayah saya meninggal dunia. Mendengar kabar itu, kelas langsung kaget dan segera meluncur ke kantor/rumah ibu saya yang jaraknya sekitar 14 km dari rumah saya.
Di kejauhan, ketika masih melewati jalan tol, sudah terlihat asap membumbung tinggi. Waduh, gimana ya keadaannya. Trus saja mobil saya pacu dan makin dekat ke lokasi, makin ramai dan jalan sudah ditutup. Saya mencoba masuk lewat jalan lain, parkir agak jauh dan jalan kaki menuju ke kantor.
Sebelah kantor saya (rumah ibu saya) adalah sebuah tempat percetakan. Banyak kertas-kertas di sana dan rumahnya panjang ke belakang sehingga menyulitkan untuk pemadaman. Model rumahnya adalah bekas rumah Belanda yang kuno dan kokoh. Petugas pemadam kebakaran berusaha memadamkan kebakaran melalui kantor saya. Lokasi kantor saya adalah rumah sudut. Bekas kamar yang saya tinggali semasa bujang, terbuat dari triplek dan seng di lantai dua dan posisinya bersebelahan dengan rumah tetangga yang terbakar. Petugas kebakaran masuk lewat kamar saya itu dan mendobrak dinding tripleknya serta melakukan pembahasan ke rumah tetangga yang sedang terbakar hebat. Saya ikut masuk menyaksikan sembari mencoba mengamankan barang-barang yang bisa diungsikan.
Api terlihat menjilat-jilat tinggi. Kondisi rumah saya dan tetangga itu mirip sebuah rumah susun. Dari luar kelihatan ada dua tingkat, tapi tingkat yang atas bukan tempat saya yang mendiami. Ada banyak keluarga yang berada di rumah besar itu. Semacam kotak-kotak, di mana saya menempati sudut kiri yang bawah.
Rumah tetangga yang terbakar memang ada tangga untuk menuju ke lantai dua, tempat keluarga lain tingga. Api membesar dari bawah dan menyebar ke atas. Jadi seperti huruf "T", di mana tetangga saya kebakaran, namun rumah kiri dan kanan yang lantai 1 aman tidak kena imbas kebakaran, namun seluruh bagian atas hangus dilalap api. Rumah ibu saya atau kantor saya secara ajaib, luput dari kebakaran. Tidak ada kerugian material bangunan yang berarti. Seluruh barang tak ada yang terbakar. Yang hilang kalau tidak salah Cuma sebuah radio, ketika diungsikan ke rumah tetangga lain, waktu kembali sudah tidak ada. Entah terselip di mana. Sebagian buku dan dokumen saya memang rusak kena air, tapi secara umum masih utuh.
Api memang padam hari itu, tetapi di tumpukan bekas kebakaran, mudah sekali api muncul kembali. Saya, dengan teman dan keluarga saya, bergantian menjaga dan kalau terlihat ada barang yang membara dan mengeluarkan api, segera menyiram air kembali. Rumah tetangga memang bisa terlihat bebas dari loteng rumah saya karena bagian belakangnya yang dulunya hanya atap seng, sudah tidak ada lagi karena kebakaran.
Namun dampak kebakaran bukan hanya itu saja. Listrik diputus kabelnya dari tiangnya sehingga selama beberapa minggu tidak ada aliran listrik. Padahal kegiatan usaha mau tidak mau harus terus berlangsung. Sempat saya pindahkan ke lokasi lain, namun akhirnya membeli sebuah mesin genset untuk mengatasi hal itu.
Namun dampak yang terberat justru adalah dampak psikologi, berupa trauma. Saya pikir saya bukan orang yang mudah trauma, tapi ternyata saya baru menyadari bagaimana sebuah alam bawah sadar bekerja.
Sudah berhari-hari lewat, berminggu-minggu, tapi kalau saya tidur, saya memang pakai AC dan ada sebuah stop kontak yang punya lampu indikator warnanya merah. Sering saya terbangun dan berteriak, api-api sambil menunjuk ke cahaya lampu merah di kamar saya yang gelap itu. Itu terjadi beberapa kali. Padahal, kalau sehari-hari, saya tidak merasa trauma. Saya tidak takut dengan api atau kebakaran, tapi saya jadi berpikir, mengapa ketika saya tidur, saya bisa "melihat" lampu indikator merah itu dan kemudian berteriak seakan panik akan adanya bahaya kebakaran.
Ya, sekarang saya sudah tidak lagi mengalami seperti itu. Tidak sampai beberapa bulan saya sudah santai kembali dan tidak terganggu. Mungkin karena sebelum tidur malah saya pandangi lampu merah itu dan seakan menantangnya. "Awas kalau kamu ganggu tidurku lagi." :-)
Ya, begitu kira-kira cerita trauma kebakaran. Memberi pemahaman baru tentang alam bawah sadar, meski saya tidak tahu secara pasti...bagaimana cara kerjanya.
(nur agustinus - 5 Nopember 2008)
Saya punya pengalaman pribadi tentang kebakaran. Di awal tahun 1995, saat itu saya sudah pindah rumah karena telah menikah, pagi-pagi ditelepon bahwa rumah di sebelah rumah ibu saya yang saya gunakan juga sebagai kantor perusahaan saya, terbakar hebat. Ibu saya menelpon saya dengan suara panik, mirip nadanya ketika saya ditelepon dulu waktu ayah saya meninggal dunia. Mendengar kabar itu, kelas langsung kaget dan segera meluncur ke kantor/rumah ibu saya yang jaraknya sekitar 14 km dari rumah saya.
Di kejauhan, ketika masih melewati jalan tol, sudah terlihat asap membumbung tinggi. Waduh, gimana ya keadaannya. Trus saja mobil saya pacu dan makin dekat ke lokasi, makin ramai dan jalan sudah ditutup. Saya mencoba masuk lewat jalan lain, parkir agak jauh dan jalan kaki menuju ke kantor.
Sebelah kantor saya (rumah ibu saya) adalah sebuah tempat percetakan. Banyak kertas-kertas di sana dan rumahnya panjang ke belakang sehingga menyulitkan untuk pemadaman. Model rumahnya adalah bekas rumah Belanda yang kuno dan kokoh. Petugas pemadam kebakaran berusaha memadamkan kebakaran melalui kantor saya. Lokasi kantor saya adalah rumah sudut. Bekas kamar yang saya tinggali semasa bujang, terbuat dari triplek dan seng di lantai dua dan posisinya bersebelahan dengan rumah tetangga yang terbakar. Petugas kebakaran masuk lewat kamar saya itu dan mendobrak dinding tripleknya serta melakukan pembahasan ke rumah tetangga yang sedang terbakar hebat. Saya ikut masuk menyaksikan sembari mencoba mengamankan barang-barang yang bisa diungsikan.
Api terlihat menjilat-jilat tinggi. Kondisi rumah saya dan tetangga itu mirip sebuah rumah susun. Dari luar kelihatan ada dua tingkat, tapi tingkat yang atas bukan tempat saya yang mendiami. Ada banyak keluarga yang berada di rumah besar itu. Semacam kotak-kotak, di mana saya menempati sudut kiri yang bawah.
Rumah tetangga yang terbakar memang ada tangga untuk menuju ke lantai dua, tempat keluarga lain tingga. Api membesar dari bawah dan menyebar ke atas. Jadi seperti huruf "T", di mana tetangga saya kebakaran, namun rumah kiri dan kanan yang lantai 1 aman tidak kena imbas kebakaran, namun seluruh bagian atas hangus dilalap api. Rumah ibu saya atau kantor saya secara ajaib, luput dari kebakaran. Tidak ada kerugian material bangunan yang berarti. Seluruh barang tak ada yang terbakar. Yang hilang kalau tidak salah Cuma sebuah radio, ketika diungsikan ke rumah tetangga lain, waktu kembali sudah tidak ada. Entah terselip di mana. Sebagian buku dan dokumen saya memang rusak kena air, tapi secara umum masih utuh.
Api memang padam hari itu, tetapi di tumpukan bekas kebakaran, mudah sekali api muncul kembali. Saya, dengan teman dan keluarga saya, bergantian menjaga dan kalau terlihat ada barang yang membara dan mengeluarkan api, segera menyiram air kembali. Rumah tetangga memang bisa terlihat bebas dari loteng rumah saya karena bagian belakangnya yang dulunya hanya atap seng, sudah tidak ada lagi karena kebakaran.
Namun dampak kebakaran bukan hanya itu saja. Listrik diputus kabelnya dari tiangnya sehingga selama beberapa minggu tidak ada aliran listrik. Padahal kegiatan usaha mau tidak mau harus terus berlangsung. Sempat saya pindahkan ke lokasi lain, namun akhirnya membeli sebuah mesin genset untuk mengatasi hal itu.
Namun dampak yang terberat justru adalah dampak psikologi, berupa trauma. Saya pikir saya bukan orang yang mudah trauma, tapi ternyata saya baru menyadari bagaimana sebuah alam bawah sadar bekerja.
Sudah berhari-hari lewat, berminggu-minggu, tapi kalau saya tidur, saya memang pakai AC dan ada sebuah stop kontak yang punya lampu indikator warnanya merah. Sering saya terbangun dan berteriak, api-api sambil menunjuk ke cahaya lampu merah di kamar saya yang gelap itu. Itu terjadi beberapa kali. Padahal, kalau sehari-hari, saya tidak merasa trauma. Saya tidak takut dengan api atau kebakaran, tapi saya jadi berpikir, mengapa ketika saya tidur, saya bisa "melihat" lampu indikator merah itu dan kemudian berteriak seakan panik akan adanya bahaya kebakaran.
Ya, sekarang saya sudah tidak lagi mengalami seperti itu. Tidak sampai beberapa bulan saya sudah santai kembali dan tidak terganggu. Mungkin karena sebelum tidur malah saya pandangi lampu merah itu dan seakan menantangnya. "Awas kalau kamu ganggu tidurku lagi." :-)
Ya, begitu kira-kira cerita trauma kebakaran. Memberi pemahaman baru tentang alam bawah sadar, meski saya tidak tahu secara pasti...bagaimana cara kerjanya.
(nur agustinus - 5 Nopember 2008)
Langganan:
Postingan (Atom)
Popular Posts
-
Hari Kamis, 23 September 2010, saya mengikuti kuliah filsafat yang disampaikan oleh Romo Adrian Adiredjo, OP. Kuliah filsafatnya meng...
-
Oleh: Nur Agustinus Pasti kita sudah sering melihat, sebuah perusahaan didirikan tapi tidak bertahan lama. Ada yang bangkrut, ada yang ...
-
Orang biasanya berkata bahwa seorang entrepreneur itu harus pandai menemukan peluang. Tapi sesungguhnya hal yang lebih baik kalau kita bis...
-
Saat ini banyak yang membahas soal BMC, Business Model Canvas. Bentuk dari BMC memang macam-macam, bamun karena namanya canvas, secara pr...
-
Hospitality marketing adalah pemasaran untuk meningkatkan pendapatan dalam industri/bisnis yang berhubungan dengan hospitality, seperti peng...
-
Salah satu kegiatan utama seorang entrepreneur adalah jualan (selling). Nah, menjual produk atau jasa, tidak boleh mengabaikan apa ya...
-
Bersama Profesor Saras D. Sarasvathy Banyak orang ketika ditanya, apakah ingin jadi pengusaha? Pasti banyak yang ingin. Namun ketik...
-
Ayah saya bukan tipe yang suka marah, tapi bukan berarti saya tidak pernah dimarahi. Mungkin karena jarang marah, saya ingat peristiwa-peris...
-
Oleh: Nur Agustinus Waktu adalah uang. Begitu nampaknya kapitalisme telah membuat mindset para pelaku ekonomi benar-benar menjadi homo...
-
Waktu masih SD dulu (sekitar tahun 70an) ada buku seri terbitan Gramedia yang namanya "Ceritera dari Lima Benua". Salah s...