"Kamu pengecut!" teriak Lesmana kepada Parikesit. Dikata-katai begitu, Parikestit tidak tinggal diam. Darahnya mulai mendidih, mukanya memerah, kepalanya sudah nampak mau mengeluarkan asap, tangan mulai kepalkan, sikapnya terlihat makin garang. "Kamu juga seorang pengecut," begitu teriaknya membalas sambil menuding Lesmana. Sontak Lesmana balik berkata, "maju sini, lawan aku." Dijawab dengan mantap, "Siapa takut?"
Itu hanyalah ilustrasi, namun sering kali terjadi, ketika seseorang dikatakan "pengecut", maka harga dirinya langsung tersentak. Darahnya mendidih, emosinya meluap, seakan ingin menunjukkan bahwa dirinya itu bukanlah seorang pengecut. Ya, hampir semua orang tidak mau disebut pengecut. Laki-laki sejati tidak boleh jadi pengecut. Laki-laki yang jantan harus seorang jagoan.
Saya sendiri waktu kecil sering jadi bahan olok-olok. Ketidakpercayaan diri saya membuat saya jadi korban bullying teman-teman sekolah. Tapi untungnya, saya tidak peduli dengan omongan orang lain. Saya adalah saya. Termasuk ketika seorang teman menawarkan rokok kepada saya, dan saat saya menolak, saya dikatakan seperti perempuan, saya terima dengan apa adanya, tanpa ada rasa marah atau jengkel. Jadi, kalau kalau saya dibilang pengecut, ya saya terima saja. Nothing to lose, tak ada yang hilang dari diri saya, apalagi harga diri.
Menarik jika kita mempelajari, mengapa kata "pengecut" ini menjadi kata yang ampuh untuk terjadinya perkelahian atau konflik. Barangkali kata ini berhubungan dengan kebutuhan survival. Pengecut berarti lari, dan lari menunjukkan suatu ciri makhluk yang gagal, terbuang, tidak berharga. Dalam sebuah peperangan, seorang pengecut bisa membuat teman lain seperjuangannya mati. Pengecut adalah suatu stempel yang sangat buruk dirasakan sebab ini bisa menyebabkan rasa malu yang sangat besar.
Pertanyaannya, mengapa seseorang yang berani menjadi marah dan tersinggung harga dirinya ketika disebut pengecut? Bagaimana pula jika seorang yang benar-benar dikatai pengecut? Apakah dia akan marah? Atau dia akan menerima saja? Lalu, perlukah kita bereaksi emosional jika disebut sebagai seorang pengecut?
Barangkali lawan kata pengecut adalah berani, ebuah sifat yang dimiliki oleh seorang pahlawan/hero. Seseorang yang suka main keroyokan juga bisa dianggap pengecut. Bahkan ada yang bilang, dia itu pengecut karena beraninya hanya memukuli anak istrinya saja. Apa definisi yang pas untuk sifat pengecut ini? Memang sifat pengecut ini dikonstruksi secara sosial sebagai sifat tercela yang tidak boleh dimiliki, terutama oleh seorang laki-laki. Julukan di amerika untuk menyebut pengecut biasanya adalah "chicken", kadang juga "sissy" (banci).
Dalam sebuah konflik, kadang sifat tidak menerima tantangan disebut pengecut. Tetapi, apakah seorang Mahatma Gandhi bisa disebut sebagai seorang pengecut karena beliau memilih melawan dengan diam? Apakah seorang dengan nilai pasifisme bisa disebut seorang pengecut? Justru, ada juga yang bilang, banyak orang yang sebenarnya pengecut dan takut tetatpi justru bersembunyi dengan kegarangan dan sikapnya yang seenaknya. Mantan presiden Chechnya, Vaclav Havel, mengatakan, "Fanatics and fundamentalists are the people who often cover up their fear and cowardice in a deeper philosophical sense by their arrogance, aggressiveness and confidence."
Kamus internet Wikipedia menyebutkan "Cowardice is the characteristic of submitting to fear, pain, risk/danger, uncertainty, or intimidation. It is viewed as a negative characteristic and is almost generally frowned upon within most, if not all global cultures, while courage is generally rewarded and encouraged."
Tentu saja ini bisa dibahas dari berbagai teori. Kalau menurut saya, memang ini bisa jadi berkaitan dengan pengalaman masa lalu, lingkungan yang ada dan juga konstruksi sosial. Saya tidak tahu, apakah korban bullying leih sensitif jika disebut "pengecut" atau malah sudah terbiasa. Atau justru orang-orang yang selalu jago dan tidak pernah kalah, adalah orang yang rentan jika disebut pengecut. Saya pikir ini bahan studi yang menarik buat para mahasiswa untuk bahan thesis atau skripsinya. Siapa tahu ada yang serius mau bikin skala kepengecutan.
(nur agustinus - 5 Nopember 2008)
Popular Posts
-
Hari Kamis, 23 September 2010, saya mengikuti kuliah filsafat yang disampaikan oleh Romo Adrian Adiredjo, OP. Kuliah filsafatnya meng...
-
Oleh: Nur Agustinus Pasti kita sudah sering melihat, sebuah perusahaan didirikan tapi tidak bertahan lama. Ada yang bangkrut, ada yang ...
-
Saat ini banyak yang membahas soal BMC, Business Model Canvas. Bentuk dari BMC memang macam-macam, bamun karena namanya canvas, secara pr...
-
Hospitality marketing adalah pemasaran untuk meningkatkan pendapatan dalam industri/bisnis yang berhubungan dengan hospitality, seperti peng...
-
Orang biasanya berkata bahwa seorang entrepreneur itu harus pandai menemukan peluang. Tapi sesungguhnya hal yang lebih baik kalau kita bis...
-
Salah satu kegiatan utama seorang entrepreneur adalah jualan (selling). Nah, menjual produk atau jasa, tidak boleh mengabaikan apa ya...
-
Oleh: Nur Agustinus Waktu adalah uang. Begitu nampaknya kapitalisme telah membuat mindset para pelaku ekonomi benar-benar menjadi homo...
-
Bersama Profesor Saras D. Sarasvathy Banyak orang ketika ditanya, apakah ingin jadi pengusaha? Pasti banyak yang ingin. Namun ketik...
-
Saya dulu ikut ISPSI (Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia) yang sekarang menjadi HIMPSI. Saya jadi anggota dan saya ikut beberapa pertemuanny...
-
Waktu masih SD dulu (sekitar tahun 70an) ada buku seri terbitan Gramedia yang namanya "Ceritera dari Lima Benua". Salah s...