Awalnya adalah manusia. Manusia hidup di daratan di planet bumi ini dan untungnya, dia tidak tinggal sendiri. Dia ada diberi teman supaya tidak kesepian, sebab teman kalau cuma burung, kuda atau panda, kurang cukup. Dia butuh teman yang serupa dengannya. Maka, manusia itu ada banyak. Nah, ketika ada 2 manusia bertemu, maka yang terjadi adalah interaksi.
Interaksi adalah sebuah hubungan. Lalu, apa bentuk interaksi yang dilakukan oleh manusia? Bentuk interaksinya adalah interaksi simbolik. Manusia adalah makhluk yang bisa menciptakan simbol-simbol, baik itu berupa bahasa, huruf, angka, tanda melalui gerak tangan, mimik muka dan lain sebagainya. Binatang lain barangkali juga sama menggunakan simbol, seperti kucing akan menyeringai dan melengkungkan badannya serta bulunya berdiri jika mau menyerang. Tapi manusia menggunakan simbol jauh lebih kompleks.
Simbol-simbol inilah yang kemudian disusun, diciptakan, disepakati bersama dan kemudian dibangun dalam suatu lingkungan sosial. Itulah yang namanya konstruksi sosial. Misalnya, laki-laki itu harus begini, nggak boleh nangis, harus berani, dll, sementara perempuan itu harus begitu, nurut, sabar, dll. Itu adalah konstruksi sosial, sehubungan dengan interaksi antar manusia melalui simbol-simbol. Melalui konstruksi sosial juga, lahirlah ideologi-ideologi, sebab menurut Roland Barthes (filsuf, kritikus sastra, dan semolog Prancis yang paling eksplisit mempraktikkan semiologi Ferdinand de Saussure), tak ada satu pun aktivitas penggunaan tanda yang bukan ideolog.
Lalu, apakah hal itu bukan karena manusia dengan kesadaran akan keberadaannya yang sudah dari sononya sehingga punya kecenderungan untuk mempertanyakan asal usul dirinya thus terciptalah yang namanya agama?
Menurut saya tidak begitu. Tentu saya punya alasan dan saya mengikuti cara berpikir Nietzsche tentang lahirnya agama. Jalan pemikiran Nietzsche (filsuf) adalah sebagai berikut. Manusia jaman dulu itu yang menjadi pemimpin atau diakui menjadi penguasa adalah yang kuat, secara fisik hebat dan tidak terkalahkan. Tentu kita akan menganggap bahwa itu merupakan sikap yang primitif. Tapi memang itulah yang terjadi. Kepala suku adalah orang yang terkuat di kampungnya. Mereka percaya bahwa sifat dan keperkasaan itu diturunkan secara genetis, sehingga ahli waris dari seorang raja, berhak menjadi raja juga. Namun, tentu saja ada orang-orang yang bukan turunan raja atau secara fisik tidak hebat, juga ingin berkuasa alias jadi pemimpin. Mereka ini kemudian membentuk sebuah sistem bahwa manusia bisa berkuasa atas manusia lain kalau dia mendapat "perintah" atau "wahyu" dari yang dianggap sebagai tuhan. Nietzsche kemudian mengatakan bahwa moralitas agama adalah moralitas kaum budak di mana agama selalu berbicara menggunakan bahasa "harus" bagi setiap pemeluknya
Tuhan itu sendiri tentu menurut pandangan antropologi adalah sebuah mitos, tidak beda dengan kita menganggap dewa Zeus sekarang ini cuma mitos. Tapi menurut Roland Barthes, mitos itu sendiri merupakan konstruksi sosial yang membuat sesuatu yang tidak pasti ada menjadi ada. Sebab, melalui mitos, agama berhasil menyediakan peta-peta makna yang dijadikan instrumen dalam memandang dunia, di mana matinya peran agama dalam kehidupan sosial berarti runtuhya mitos itu sendiri.
Jadi, mengenal "tuhan" adalah melalui konstruksi sosial. Seorang seperti Tarzan yang hidup di tengah hutan dan dibesarkan oleh kerja, tidak akan mengenal "tuhan". Dengan kata lain, tidak ada kesadaran manusia akan keberadaan tuhan yang memang dari sononya.
Menurut hasil studi antropologi, nenek moyang kita mengenal "tuhan" dengan diawali dari pengetahuannya tentang adalah entitas-entitas spiritual. Dari mana mereka tahu akan hal itu? Jawabnya adalah karena mereka memakan jamur-jamuran yang bersifat halusinogen, seperti Ayuascha atau bahan yang mengandung zat DMT (Dimethyltryptamine), yang banyak dikonsumsi - kemudian dibatasi hanya boleh - oleh para shaman (dukun) untuk kekuasaan, di mana kemudian mereka bisa melihat dan bertemu bahkan berkomunikasi dengan para dewa.
(nur agustinus - 24 September 2008)
Popular Posts
-
Hari Kamis, 23 September 2010, saya mengikuti kuliah filsafat yang disampaikan oleh Romo Adrian Adiredjo, OP. Kuliah filsafatnya meng...
-
Oleh: Nur Agustinus Pasti kita sudah sering melihat, sebuah perusahaan didirikan tapi tidak bertahan lama. Ada yang bangkrut, ada yang ...
-
Saat ini banyak yang membahas soal BMC, Business Model Canvas. Bentuk dari BMC memang macam-macam, bamun karena namanya canvas, secara pr...
-
Orang biasanya berkata bahwa seorang entrepreneur itu harus pandai menemukan peluang. Tapi sesungguhnya hal yang lebih baik kalau kita bis...
-
Hospitality marketing adalah pemasaran untuk meningkatkan pendapatan dalam industri/bisnis yang berhubungan dengan hospitality, seperti peng...
-
Salah satu kegiatan utama seorang entrepreneur adalah jualan (selling). Nah, menjual produk atau jasa, tidak boleh mengabaikan apa ya...
-
Oleh: Nur Agustinus Waktu adalah uang. Begitu nampaknya kapitalisme telah membuat mindset para pelaku ekonomi benar-benar menjadi homo...
-
Bersama Profesor Saras D. Sarasvathy Banyak orang ketika ditanya, apakah ingin jadi pengusaha? Pasti banyak yang ingin. Namun ketik...
-
Saya dulu ikut ISPSI (Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia) yang sekarang menjadi HIMPSI. Saya jadi anggota dan saya ikut beberapa pertemuanny...
-
Waktu masih SD dulu (sekitar tahun 70an) ada buku seri terbitan Gramedia yang namanya "Ceritera dari Lima Benua". Salah s...