Kemarin (18/1/23) aku mengantar Maria kontrol seperti biasa ke poliklinik di RS. Kali ini lama sekali dan lumayan melelahkan karena mulai jam 11 siang dan baru selesai sekitar jam 4 sore. Mulai menunggu diperiksa hingga ambil antrian di farmasi. Aku baca di pengumuman, sepertinya memang ada keterlambatan layanan karena sedang ada migrasi sistem manajemen informasi di rumah sakit tersebut. Tapi aku lihat memang pasien kemarin banyak sekali. Biasanya sekitar 1 atau 2 jam sudah selesai. Ini hampir 5 jam.
Setelah selesai, kami kemudian makan siang yang boleh dibilang terlambat. Selanjutnya pulang ke rumah. Karena capek, aku tak lama kemudian tertidur. Hampir tengah malam, jam 11, aku terbangun. Aku mengira sudah pagi, ternyata masih belum ganti hari. Yang ingin aku cerita adalah soal mimpi. Tapi mimpi ini berdasarkan kisah nyata. Aku tidak tahu kenapa memimpikan ini, sebab dalam mimpi ini, aku berpikir bahwa ini bisa dibuat jadi tulisan. Memang aku sempat ragu, apakah perlu diceritakan atau tidak. Namun aku juga berpikir, tak ada yang kebetulan di dunia ini. There is no coincidence...
Mungkin timbul tanda tanya, kok bisa mimpi ini adalah kisah nyata? Dalam mimpi ini aku sepertinya sedang berbicara dengan Om Johnny, adik dari papiku. Aku cerita tentang kejadian lama, yaitu saat aku dulu pernah hampir punya tanah yang dijual oleh temanku yang bernama Raymond (alm). Hanya saja, aku tidak jadi membelinya karena papiku melarang dan disuruh mengembalikan. Alasannya, tanah itu dekat kuburan. Tanah itu sendiri masih Petok D. Lokasinya di daerah Kenjeran, kalau sekarang sepertinya dekat dengan jalan menuju jembatan Suramadu.
Waktu aku bangun, aku memang heran. Kenapa kok mimpi ini? Apakah karena belum dapat ide untuk menulis sehingga pikiranku teringat ke masa lalu? Apa yang muncul di mimpi itu memang kejadian nyata. Kejadian yang pernah aku alami dulu. Aku lupa persisnya tahun berapa. Namun karena papiku meninggal dunia tahun 1990, mestinya ini terjadi antara tahun 1988 hingga 1990. Aku mulai kerja di sebuah cold storage udang tahun 1988.
Waktu itu, Raymond, seorang teman yang lumayan dekat denganku sejak SD hingga SMA, menghubungi aku dan kemudian dia datang ke rumah. Dia menawarkan sebuah tanah yang masih Petok D. Lokasinya aku sudah tidak ingat persis di mana. Tapi kira-kira di daerah Bulak, Kenjeran. Aku pernah melihat tempatnya dulu. Sudah 30 tahun lebih dan kini berubah banyak karena sudah ada pelebaran jalan untuk ke jembatan Suramadu, penduduknya juga makin padat. Jadi kalau disuruh mencari lagi, sudah pasti tidak bisa.
Temanku mau menjual dengan harga satu juta. Aku sendiri tidak begitu paham harga itu wajar atau tidak. Luasnya mungkin sekitar 200 meter. Aku tidak ingat persis. Tapi buat aku yang masih bujangan, belum punya asset apa-apa, berpikir akan menarik sekali jika punya tanah sendiri. Aku menyetujuinya dan terjadi transaksi.
Namun setelah aku memberitahu papiku, ternyata papiku tidak setuju. Alasannya adalah karena berdasarkan denah yang ada, letak tanah itu dekat sekali, kalau tidak bersebelahan, dengan kuburan. Papiku memang mengasuh rubrik hongsuinipun di majalah Liberty yang saat itu dikelola Jawa Pos. Konon secara hongsui, tanah yang lokasinya dekat kuburan adalah tidak bagus. Intinya, aku disuruh membatalkan dan kalau bisa meminta kembali uangnya. Aku tidak tahu, apa sekedar itu alasannya, atau mungkin papiku ragu dengan status tanah itu. Memang, jual belinya tanpa notaris, hanya di bawah tangan saja.
Temanku nampaknya juga tidak ada masalah membatalkan transaksi. Jadi jual beli ini kemudian batal tanpa ada keributan. Yang pasti, aku tidak jadi punya tanah. Kalau aku pikir, saat ini mestinya tanah itu pasti mahal harganya karena sudah ada jembatan Suramadu. Memang dulu ada sedikit menyesal kenapa aku dilarang membeli tanah itu oleh papiku. Tapi aku pikir, papiku pasti punya pertimbangan yang baik.
Aku tidak tahu, kenapa aku baru saja memimpikan hal ini. Aku memang masih ingat dengan kejadian itu, tapi bukan peristiwa yang menghantui pikiranku. Buat aku, semua hal yang terjadi pasti ada alasannya. Everything happens for a reason. Nasihat ini selalu membuat aku tenang. Tidak menyesali apapun yang terjadi kemudian. No regrets. Mungkin, di semesta paralel yang lain, seperti di film Marvel, What If, ada cerita lain tentang aku, yang tetap punya tanah itu…