17 Feb 2023

Jarak Antara Hidup dan kematian


Aku bersama Ari setelah beberapa hari ia dilahirkan.

Kematian sejatinya adalah peristiwa yang sering terjadi di sekitar kita. Seseorang bisa mempunyai pemikiran filosofis yang berbeda-beda tentang hal ini. Ada banyak penafsiran dan pandangan. Orang bisa berdebat panjang lebar. Baik menurut keyakinannya maupun pemikiran rasionalnya. Ada juga yang dengan gigih menyampaikan berbagai bukti yang diyakininya ilmiah. Tapi bukan hal ini yang hendak aku bahas. Aku ingin cerita tentang adik sepupuku. Aku memanggilnya Ari. Nama lengkapnya Yohanes Ari Budiman Soedjatmiko.

Ari adalah anak pertama dan Om Johnny, adik paling bungsu dari papiku. Aku dekat dengan saudara-saudara papiku, mulai dari Tante Vonny, Om Leo dan Om Johnny. Semuanya saat ini sudah meninggal dunia. Keluarga papiku berasal dari Probolinggo. Om Leo dan Om Johnny adalah adik dari papiku, sementara tante Vonny adalah kakaknya, anak tertua dari opa dan omaku. 

Om Leo dan Om Johnny pernah tinggal di rumah keluargaku saat mereka belum menikah. Om Johnny suka sekali dengan fotografi. Kamarnya bisa dijadikan kamar gelap, tempat mencuci dan mencetak foto hitam putih. Om Leo bekerja sebagai detailer, sekarang istilahnya lebih sering disebut Medical Representative, di sebuah perusahaan Farmasi, Kalbe Farma.

Setelah Om Leo dan Om Johnny menikah, mereka tinggal di rumahnya masing-masing. Aku punya beberapa adik sepupu. Dalam tulisan ini, aku ingin cerita tentang Ari, anak sulung Om Johnny.

Ari lahir tanggal 15 Mei 1980. Saat itu berarti aku kelas 3 SMP. Om Johnny dan tante Maudy, istrinya, beserta Ari, tinggal di rumah kontrakan di jalan Sanggar. Rumah ini tidak jauh dari rumahku. Kalau aku ke sekolah, jalan kaki, aku pasti melewati rumah Om Johnny. Biasanya aku sering mampir. Aku memang jadi keponakan yang lumayan disayang oleh om dan tanteku dari pihak papiku, mungkin karena aku adalah keponakan pertama. 

Sayangnya, Ari tidak berumur panjang. Ia meninggal dunia pada tanggal 4 Mei 1988. Masih berusia akan 8 tahun. Saat itu aku sudah kuliah. Om Johnny dan keluarga juga sudah tinggal di rumah sendiri di kawasan Darmo Permai. Ari meninggal karena sakit demam berdarah. Saat sakit, dokter yang memeriksanya waktu itu hanya mendignosa ia sakit gabagen. Ternyata di hari kelima memburuk dan oleh seorang mantri kenalan Om Johnny yang tinggal dekat rumahnya, disuruh segera dibawa ke UGD Dr. Soetomo. Saat itu kondisinya sudah kritis, tak sadarkan diri. Aku dikabari dan menyusul ke rumah sakit. Di sana aku bertemu Ari, tapi hanya bisa melihatnya terbaring tak berdaya. Menurut dokter. Ari sudah mengalami pendarahan internal. Sebelum Ari menghembuskan nafasnya yang terakhir, dia sempat membuka matanya, melihat papinya, lalu memejamkan mata untuk selamanya. Mungkin ia ingin berpamitan kepada papinya. Aku berada di sampingnya waktu itu.

Kelanjutannya mungkin tak perlu aku ceritakan. Kesedihan luar biasa pada keluarga Om Johnny. Kami semua sedih, tak mengira hal ini bisa terjadi. Namun ada hal lain yang ingin aku ceritakan setelahnya.

Saat dimakamkan di Kembang Kuning, Ari dikubur di area pemakaman anak-anak. Aku melihat banyak batu nisan dari anak-anak yang telah meninggal dunia. Ada yang usianya hanya setahun, ada yang dua tahun, ada juga yang hidup hanya beberapa hari, bahkan ada juga yang meninggal di hari yang sama dengan kelahirannya. 

Yohanes Ari Budiman Soedjatmiko

Aku kemudian merenung, berpikir, mencoba merasa, bagaimana jika seandainya aku dulu mati saat usia sehari? Atau setidaknya umur setahun? Apakah aku akan pernah merasa bahwa aku ini pernah ada di dunia ini? Seperti yang aku pahami saat belajar filsafat, “aku berpikir maka aku ada”, bagaimana aku bisa menyadari keberadaan diriku jika aku belum bisa berpikir? Lebih jauh aku kemudian bertanya-tanya dalam hati, apakah janin-janin yang mati karena ibunya mengalami keguguran, tak pernah punya kesempatan lagi untuk merasa ada dalam dunia ini? Ataukah masih punya kesempatan sebagai “AKU” di tubuh yang lain. Ini tidak bisa aku jawab. Memang ada banyak pandangan agama, spiritual ataupun metafisika tentang hal ini. Namun jawaban yang ada masih belum bisa memuaskan aku. Apa yang dirasakan hatiku sering kali masih aku ragukan dengan nalarku. Ini membuat aku gelisah.

Tempat Ari dimakamkan bersama papinya

Kematian memang tidak bisa dihindarkan. Suatu saat pasti terjadi. Gelisahku bukan karena aku takut mati. Memang betul, siapa yang tidak takut mati? Manusia pasti takut akan sesuatu yang dianggapnya “unknown”, yang tidak diketahuinya. Gelisahku ini lebih pada, bagaimana nasib para “aku” yang ketika masih bayi sudah meninggal dunia. Walau aku juga sadar, kita ini merasa ada juga karena adanya memori. Aku tak punya ingatan saat usia di bawah 5 tahun. Jadi, aku kemudian berpikir, seandainya aku mati saat itu, apakah aku akan pernah sadar bahwa aku pernah ada?

Bagi orang lain, mungkin buat apa hal ini dipusingkan. Hidup ya dijalani saja. Kalau sudah waktunya tiba, yang ada hanya tinggal kenangan bagi orang-orang dekatnya. Atau mungkin juga kehampaan. Sama seperti keadaan sebelum aku dilahirkan. Misteri...  Menjadi manusia itu sendiri adalah sebuah misteri.

Barangkali karena aku suka membaca tentang filsafat eksistensialisme, aku juga tertarik dengan bahasan kematian. Kita hanya bisa tahu saat orang lain mengalaminya. Seperti ada sebuah dialog di film yang berjudul “The King” (2019): "All men are born to die. We know it. We carry it with us always. If your day be today, so be it. Mine will be tomorrow. Or mine today and yours tomorrow. It matters not." ("Semua manusia dilahirkan untuk mati. Kita mengetahuinya. Kita selalu membawanya bersama kita. Jika harimu adalah hari ini, jadilah itu. Hariku bisa saja besok. Atau waktuku hari ini dan saatmu besok. Itu tidak masalah.")

Maaf jika ceritaku kali ini agak bikin suasana muram. Tapi ah sudahlah… hidup ini kuat dilakoni, ra kuat ditinggal ngopi …

Popular Posts