Tahun 1983, aku masuk kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Salah satu mata kuliah yang aku suka adalah Filsafat. Entah kenapa aku menikmati kuliah ini, sementara teman-teman seangkatan mengatakan merasa tidak mudah paham. Bagi kebanyakan, belajar statistik masih lebih mudah daripada filsafat.
Mungkin ada beberapa sebab kenapa aku suka dengan filsafat di awal kuliahku dulu. Sepertinya karena dosennya menarik cara mengajarnya. Namanya Pak Poerwadi, Lic. Lengkapnya R.M. Gregorius Poerwadi, Lic. Saat masuk kuliah, beliau adalah Pembantu Dekan III. Dekat dengan mahasiswa, sering nongkrong bareng di kantin kampus. Bertahun-tahun kemudian, saat bekerja di Universitas Ciputra, aku pernah mengikuti sebuah workshop menjadi dosen yang professional, Ibu Prof. Dr. Anita Lie yang menjadi narasumbernya mengatakan, pengajar yang baik itu adalah yang bisa menginspirasi, yang bisa membuat muridnya ingin tahu lebih banyak dan menyukai pelajarannya. Tak ada pelajaran yang sulit jika murid itu tertarik dengan dengan ilmu tersebut, dan ketertarikan itu datang lewat guru yang menginspirasi.
Pertama kali menjadi mahasiswanya, aku sudah tertarik dengan apa yang dikatakannya. Aku masih ingat bahwa beliau berkata, “Setiap kepala itu bisa berfilsafat. Ada seribu kepala maka ada seribu filsafat.” Cara berpikir orang memang berbeda-beda. Dunia dipenuhi dengan berbagai macam cara pandang, Kami juga diberitahu definisinya, Filsafat dari kata Philia dan Sophia, yang artinya mencintai kebijaksanaan.
R.M. Gregorius Poerwadi, Lic. |
Buku yang dipakai sebagai pegangan adalah Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat, karya Harry Hamersma. Pertanyaan yang ada di awal buku ini benar-benar membuat aku berpikir. Memang sudah lama aku bertanya-tanya tentang “Siapa Aku? Dari mana Aku berasal? dan ke mana Aku akan pergi?” Pertanyaan ini barangkali muncul di setiap benak manusia. Ada yang terus mencari, namun ada juga yang kemudian mengabaikan karena ada hal-hal yang lebih penting untuk dipikirkan maupun dikerjakan. Lalu, mungkin juga hampir sama dengan kebanyakan mahasiswa, aku juga terpesona dengan kata-kata Rene Descartes, “Cogito ergo sum”, aku berpikir maka aku ada. Belakangan saat kuliah di S3 aku akhirnya tahu, lewat dosen filsafat Romo Armada Riyanto, bahwa kata-kata itu lengkapnya adalah “dubito, ergo cogito, ergo sum” yang artinya, "Saya ragu, maka saya berpikir, maka saya ada".
Ada juga dua buku sastra yang ditugaskan oleh Pak Poerwadi untuk dibaca. Pertama adalah Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG dan kedua adalah Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata. Buku yang terakhir ini buatku luar biasa. Bercerita tentang kisah Ramayana, dan aku terpikat dengan tokoh Anoman di dalamnya. Satu penggalan cerita dalam buku itu yang membekas adalah:
”Trijata, bolehkah aku mencintaimu?” tanya Anoman.
Tiada terdengar jawaban. Hanya terasa sebuah ciuman mesra di pipi Anoman. Ciuman yang meninggalkan sentuhan hati yang dalam. Ciuman yang mengusir segala bayang-bayang. Maka terdengarlah suara burung tadahasih yang sedang berkasih-kasihan di waktu malam, bagai menyanyikan harapan, rasa sayang tiada akan lenyap meski pagi telah mengundang bayang-bayang.
”Trijata, tidakkah aku hanya seekor kera?” tanya Anoman.
”Tapi hatimu lebih dari manusia, Anoman,” jawab Trijata.
Pada saat inilah Anoman merasa apa artinya hidup sebagai manusia. Manusia itu bukan lagi suatu kerinduan, saat ia menerima cinta. Dan wujud apa pun, bahkan seekor kera, bukan lagi suatu kekurangan, ketika sesama makhluk menerima dan mengakui keluhurannya. Tiada kebahagiaan seperti malam yang indah itu bagi Anoman.
Kembali ke soal filsafat, entah kenapa juga, aku lebih suka filsafat eksistensialisme ketimbang yang lain. Mungkin ini berkenaan dengan makna hidup manusia sebagai bagian dari semesta ini. Karena itu pula, aku menyukai tokoh psikologi Viktor E. Frankl dengan logoterapinya. Tokoh-tokoh filsafat eksistensialisme yang aku juga suka baca karya-karyanya adalah Kierkegaard, Heidegger, Nietzsche, Karl Jaspers, Sartre, Erich Fromm, Gabriel Marcel. Buku filsafat waktu itu yang menarik perhatianku seperti Manusia Multi Dimensional (M. Sastrapratedja) dan masih banyak yang lainnya. Aku punya banyak buku di rumah, karena saat aku menyukai sebuah ilmu, maka aku terobsesi untuk membeli buku dan membacanya.
Saat semester dua, mata kuliah filsafat adalah logika. Aku tak ada kesulitan dengan pelajaran ini. Tentang silogisme, true false dan lainnya. Selanjutnya di semester berikutnya belajar tentang Filsafat Manusia. Buku yang digunakan adalah Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis tentang Makhluk Paradoksal karya Louis Leahy. Buku ini juga membuatku makin tertarik ke dunia filsafat. Saat itu, kurikulum psikologi di kampusku ada 4 semester dan aku selalu dapat nilai A dari Pak Poerwadi.
Pak Poerwadi wafat pada tanggal 4 April 2003. Bagiku, beliau adalah dosen yang luar biasa dan sangat berpengaruh dalam kehidupanku.
Aku ingin menutup ceritaku kali ini dengan kutipan dari Gabriel Marcel. “Cinta adalah sebuah seruan hati: "Hendaklah engkau hidup bersama denganku."