Aku dengan mamiku |
Aku mau cerita tentang diriku. Mamiku sering menyebutku “wonder boy”. Mungkin karena aku sering bisa membetulkan peralatan yang rusak, atau sekedar mencarikan ebook yang mamiku butuhkan. Tapi aku punya cerita yang mungkin berbeda dengan anak-anak lain saat kecil pada umumnya.
Aku dibesarkan dalam keluarga kelas menengah. Kami tidak kekurangan dan juga tidak berlebih. Hidup sehari-hari dengan layak. Bisa makan dengan wajar, setiap malam minggu papiku mengajak kami sekeluarga ke toko buku yang ada di Surabaya. Seringnya ke Sari Agung, juga ke Indira dan Grafiti. Ke toko buku boleh dibilang acara rutin. Aku anak tertua, punya dua adik perempuan. Uniknya, yang paling gila dan suka beli buku adalah aku. Memang, tidak semua buku sudah aku baca. Tapi itu bisa jadi kisah tersendiri yang mungkin akan aku ceritakan lain kali.
Dulu aku dan adik-adikku punya kamar sendiri-sendiri. Kamarku, kata mamiku, ibarat kapal pecah. Lantai penuh dengan barang-barang rongsokan, penuh benda-benda yang aku bongkar dan berserakan di mana-mana. Jalan harus hati-hati mencari celah agar tidak menginjak benda yang ada. Mainan juga tidak awet karena sering jadi eksperimenku, seperti mobil-mobilan aku tabrakkan ke tembok lalu lepas berantakan. Atau pernah model kit pesawat aku bakar, padahal itu plastik. Kini aku bisa dibilang termasuk kidult, suka beli mainan, juga bisa digolongkan sindrom tsundoku, banyak buku yang aku beli belum sempat aku baca.
Aku memang bukan anak yang berprestasi di sekolah. Nilai, untungnya, cukup untuk sekedar naik kelas atau lulus. Apalagi aku bukan anak yang nakal atau kurang ajar di sekolah, tidak mbolosan serta bayar uang sekolah teratur. Biasanya, selama tidak ada masalah itu, akan naik kelas.
Ada suatu masa, yang aku lupa apa penyebabnya, aku mulai mengubah kebiasaanku. Saat itu, aku mulai berpikir, kalau aku bisa membongkar, aku harus bisa mengembalikannya seperti semula. Aku masih ingat, aku lebih terbiasa memutar obeng untuk membuka daripada memasangnya. Tapi perlahan mencoba mengembalikan benda yang aku bongkar itu menjadi kebiasaan. Prinsipku waktu itu, kalau misal barang itu sudah rusak, dan aku bongkar lalu aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membetulkannya, maka aku akan kembalikan lagi tanpa memperparah kerusakan yang ada.
Saat SMP, di sekolah ada pelajaran elektronika. Aku bukan siswa yang gampang mengerti dan hafal dengan warna-warna resistor. Gurunya namanya Pak Aziz. Pelajarannya cukup menyenangkan, mulai membuat adaptor, lampu flip flop, sirene hingga radio. Aku pikir, bisa elektro itu bekal yang bagus.
Ketika lulus SMA, di tahun 1983, komputer mulai marak meski harganya masih mahal. Kalau mau lebih murah, mesti beli komputer jangkrik atau rakitan. Ini membuat aku cukup bisa merakit sendiri sebuah PC dan juga menginstal software, yang tentu saja, bajakan. Baik program maupun game yang waktu itu masih dalam bentuk disket.
Jika mengacu pada apa yang pernah dikatakan Steve Jobs saat pidato di Stanford, dalam hidup manusia ini ada titik-titik yang kemudian terhubung sehingga menjadi seperti apa diri kita saat ini. Istilahnya, connecting the dots. "You can't connect the dots looking forward, you can only connect them looking backwards.". Aku pikir, satu keuntungan buatku adalah, aku tidak pernah ditegur orang tuaku saat membongkar mainan atau barang-barang yang ada di kamarku. Yang tidak boleh justru memasang poster gambar perempuan sexy dari majalah Aktuil. Sempat dulu papiku lihat di kamarku tertempel banyak poster itu, lalu dicopot dan dirobek, hehehe.
Kalau aku renungkan, mungkin yang membuat aku seperti sekarang ini, pertama adalah rasa ingin tahuku yang sangat besar. Aku suka membaca, menulis dan menonton film terutama sains fiksi. Kalau olah raga justru tidak. Waktu SMP aku sudah sering nonton sendiri ke gedung bioskop yang cukup banyak di dekat rumahku. Ada Surabaya teater, Jaya, Bima, Kusuma, lebih jauh dikit ada Arjuna, Mitra, Presiden. Tiketnya seingatku lima ratus rupiah dan kalau pakai kartu pelajar bisa separuh harga. Selain itu juga sering naik sepeda ke jalan semarang, tempat banyak orang jual buku bekas di sana.
Kedua, aku tidak pernah merasa takut salah. Mungkin ini karena aku cuek, masa bodo, tapi apa yang aku lakukan, kalau hasilnya tidak baik, aku terima saja dan tidak aku sesali. Sikapku ini kemudian diperkuat oleh salah seorang dosenku saat aku kuliah doktoral (namun aku tidak lulus), menurut beliau, tidak ada keputusan yang benar atau salah, yang ada ialah konsekuensi. Kalau siap menghadapi apapun konsekuensinya, maka untuk apa takut. Nothing to lose. Tidak takut salah ini membuat aku berani berinisiatif. Bahkan kalau aku sudah punya mau, maka biasanya aku segera lakukan.
Yang ketiga, aku belajar dari seorang yang dulu bagiku, dia adalah orang sukses. Beliau bilang bahwa punya prinsip: “Memang sulit, tapi bukan berarti tidak bisa.” Ini kemudian aku pegang juga. Aku sering latihan dengan cara membuka tali rafia yang sudah diikat mati. Harus bisa, kataku dalam hati. Memang sulit tapi bukan berarti tidak bisa. Biasanya aku tambahi juga dengan kata-kata afirmasi, kalau orang lain bisa, kenapa aku tidak. Memang, dalam hidupku, aku tidak selamanya berhasil. Orang pasti bertanya, kenapa menyerah? Mungkin juga aku mencari pembenaran dari sebuah kutipan, “Orang bijak tahu kapan harus berhenti.” 🙂
Ini ceritaku hari ini. Aku memang orang yang suka belajar dan mengeksplor hal-hal baru. Internet membuat aku begitu senang. Buku-buku juga. Aku bisa betah berlama-lama di toko buku. Saat ini, aku merasa bisa belajar banyak hal lewat internet seperti youtube, melalui channel seperti TedX, video podcast para pakar dan lain sebagainya. Mungkin dua puluh tahun lalu, informasi di internet yang remeh temeh dalam bahasa Indonesia masih sangat jarang. Kini, mau cari apa saja bisa dapat dengan mudah. Yang penting tahu menggunakan kata kunci untuk mencarinya serta bisa menyeleksi dengan baik. Misalnya beberapa waktu lalu aku mencari cara membetulkan rice cooker dan dapat di youtube.
Aku jelas bukan pribadi yang sempurna. Tapi aku senang menjadi wonder boy bagi mamiku. Anak akan selalu tetap anak di mata ibunya…
Love you, Mom.