Aku ingin bercerita tentang teleskop. Saat itu aku kelas 2 SMP. Aku bersekolah di SMPK Angelus Custos, di Jl. Niaga Dalam 5. Ini adalah masa di mana tahun pelajaran berlangsung selama satu setengah tahun. Saat itu tahun 1978, jadi aku di kelas dua sampai pertengahan tahun 1979.
Entah apa sebabnya, aku sendiri tidak tahu pasti, aku kemudian suka dengan yang namanya bintang-bintang di langit. Mungkin juga dipengaruhi oleh film proyektor yang dimiliki papiku saat dulu dan yang sering diputar adalah film dokumenter pendaratan Apollo XI di bulan. Bisa juga dari bacaan waktu itu, ada majalah Bobo dan Hai, yang berisi cerita bergambar bernuansa fiksi ilmiah. Aku tidak ingat, apakah waktu itu sudah ada film Star Trek atau belum. Namun aku suka sekali memandang langit, melihat bintang-bintang. Naik ke ataP. Waktu itu atap rumahku adalah seng, berbaring di sana berjam-jam dan menikmati begitu indahnya langit di malam hari. Sering ditemani oleh Om Johnny atau Om Leo juga.
Hingga suatu saat, ketika aku mau ulang tahun, aku ditanya ingin hadiah apa? Aku spontan menjawab: “Teleskop!” Kedua orang tuaku ingin menyenangkan anaknya. Berusaha mencari-cari toko yang menjual teleskop. Saat ulang tahun, aku sangat gembira mendapatkan teleskop. Hadiah yang istimewa buatku. Dengan teleskop, aku bisa melihat kawah di bulan, melihat planet Jupiter dengan empat satelitnya serta mengamati cincin planet Saturnus. Memang pembesarannya tidak istimewa, masih hanya 60x, tapi sudah cukup untuk bisa melihat itu semua.
Teleskopku memang sudah tidak ada saat ini. Setelah dewasa, aku kemudian memiliki teleskop yang lain. Namun teleskop masa remajaku ini membuatku makin cinta dengan dunia astronomi. Sayang, memang aku tidak melanjutkan kuliah di astronomi, bahkan saat ikut Proyek Perintis waktu itu, aku justru memilih jurusan Meteorologi dan Geofisika. Hasilnya tidak diterima. Ya, memang aku tidak bagus dalam pelajaran matematika dan fisika. Aku akhirnya masuk kuliah Psikologi.
Kalau aku kilas balik ke masa kecilku sebelumnya, sepertinya aku sudah suka dengan yang berbau ruang angkasa. Saat itu saudara sepupuku, Dédé Oetomo, kalau aku tidak salah ingat, memperkenalkan aku pada buku “History of Rocketry & Space Travel”. Aku suka sekali buku ini. Bahkan di tahun 70an, mungkin tahun 1973, saat masih SD, persisnya aku tidak ingat, saat ke Toko Buku Sari Agung, aku pertama kalinya diperbolehkan memilih buku sendiri oleh mamiku. Buku yang aku pilih berjudul “Jet dan Roket dan Bagaimana Kerjanya”. Barangkali aku lebih tertarik dengan teknologi luar angkasa, ketimbang mempelajari secara khusus tentang astronomi. Tepatnya, kalau saat ini disebut hanya sebagai astronomi amatir saja.
Dengan teleskop juga, aku bisa melihat bintik matahari. Caranya tidak melihat secara langsung, nemun menggunakan kertas untuk membiaskan sinar lewat teleskop. Aku kemudian juga mendapatkan buku tentang bagaimana melihat planet dan bintang-bintang. Sepertinya buku ini masih ada di perpustakaanku saat ini. Dari buku ini aku mengetahui bahwa selain teleskop, peralatan yang dibutuhkan adalah binocular. Khusus untuk pengamatan astronomi, menurut buku tersebut, yang cocok adalah dengan spesifikasi 7x50. Pembesaran 7 kali dengan lensa 50 mm. Aku minta binocular ini sebagai hadiah di ulang tahunku yang berikutnya. Aku kemudian tahu bahwa orangtuaku membelikan teleskop dan binocular ini di toko di daerah Tanjung Anom dekat Tunjungan.
Aku suka mengamati langit, membaca tentang luar angkasa, dan untuk selanjutnya di tahun 1979, aku mulai menyukai soal UFO. Ini menjadi hobbyku selain menonton.
Aku memang tidak berhasil menjadi seorang astronom secara akademik. Idolaku adalah Carl Sagan. Aku suka membaca majalah Mekatronika yang terbit di waktu itu. Kemudian ada juga majalah yang namanya Aku Tahu. Majalah-majalah sains yang menurutku luar biasa di masa remajaku. Juga Scientiae. Sayang sekali, majalah-majalah sains ini kini tidak ada lagi. Anak muda saat ini mungkin tidak begitu banyak yang suka. Tapi barangkali juga masalah pasar. Majalah ini sulit laku saat ini. Apalagi informasi bisa didapat mudah dari internet sekarang.
Aku rindu dengan teleskop. Di Surabaya, dengan kondisi langit saat ini yang penuh dengan polusi cahaya, sudah tidak memungkinkan lagi melakukan star gazing (menatap bintang). Rumahku sendiri saat ini juga sulit untuk bisa naik ke atas atap. Beberapa hari ini, aku ditanya oleh salah satu anakku, Vito, tentang teleskop. Rupanya ia cukup tertarik dengan astronomi. Dia sempat tanya, kalau belajar astronomi itu apa hanya di Bandung? Aku jawab, “Di Sulawesi sepertinya juga ada. Tapi papa belum pasti. Namun kalau mau masuk astronomi, matematika dan fisika mesti kuat.” Trus dia Tanya, “Apa itu fisika?” Lalu aku cerita soal energi, gelombang dan gerak. Dia Cuma manggut-manggut sambil menggumam, ooo… “Nanti, kalau Vito sudah SMP dan SMA, pasti akan belajar soal itu. Dulu di SMP, papa ada pelajaran yang namanya Ilmu Falak. Juga ada buku pelajaran yang namanya Bumi dan Antariksa. Entah sekarang masih ada atau tidak pelajaran itu. Kalau tidak, bisa belajar sendiri lewat internet dan buku-buku yang ada di perpustakaan.”
Kini, sambil istirahat rebahan, membayangkan serasa berada di bintang-bintang. Katanya, orang-orang yang suka melamunkan ini adalah Starseed. Bagiku itu tidak penting. Menjadi manusia saat ini saja sudah merupakan misteri. Aku lantas ingat yang pernah dikatan Carl Sagan, “We are made of star-stuff. We are a way for the universe to know itself.”