Paper ini dipresentasikan di Seminar Nasional HISKI-MLI tanggal 30 September 2019 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Indonesia. Tema seminar adalah "Indonesia di Tengah Pascahumanisme: Merumuskan Model Humanisme Baru". Rekaman audio presentasi bisa dilihat di sini.
Transformasi
dari percaya klenik ke orientasi
teknologi
melalui fiksi ilmiah
Oleh
Nur Agustinus
Soedjatmiko
Bina
Grahita Mandiri, Surabaya,
email:
agustinus.nur@gmail.com
Abstract
Mochtar
Lubis once stated that one of the characteristics of Indonesian people is still
believing in occultism (superstition). It seems that this cannot be separated
from the culture and traditions of the Indonesian people who still believe in
objects being worshiped for blessings. Even today, we still see many television
programs, films and books that display magical and magical things. Meanwhile,
believing things like this, is believed to hamper Indonesian people from being
difficult to progress, unable to compete with humans who have the mindset of
science and technology. Pop culture in the form of science fiction stories also
lack a place in Indonesian society. In fact, science fiction can be a bridge to
foster one's interest in studying science. On the other hand, the development
of human values and position today cannot be separated from developments in
the world of technology. The transformation of Indonesian people from
occultists to science and technology oriented seems to be limited to being a
user. Our readiness to face Artificial Intelligence or superior robots can be
responded with negatively or positively. If we are not ready, then the
dependence on technology will become very large and can become victims if
Indonesian people gradually lose their creativity, taste, and intention.
Keywords:
science fiction, superstition, technology
Abstrak
Mochtar Lubis pernah mengemukakan
bahwa manusia Indonesia salah satu cirinya adalah masih percaya klenik
(takhayul). Nampaknya ini tak lepas dari kebudayaan dan tradisi bangsa
Indonesia yang masih percaya benda-benda disembah untuk memperoleh berkah.
Sampai saat inipun, kita masih melihat banyaknya program televisi, film maupun
buku yang menampilkan hal-hal berbau magis dan gaib. Sementara, mempercayai hal
seperti ini, diyakini akan menghambat manusia Indonesia sulit maju,kalah
bersaing dengan manusia yang memiliki pola pikir ilmu dan teknologi. Budaya pop
dalam bentuk cerita fiksi ilmiah juga kurang mendapat tempat di masyarakat
Indonesia. Padahal, fiksi ilmiah dapat menjadi jembatan untuk menumbuhkan minat
seseorang untuk mempelajari sains. Di sisi lain, perkembangan nilai dan
kedudukan manusia saat ini tidak bisa lepas dari perkembangan dunia teknologi.
Transformasi manusia Indonesia dari yang percaya klenik menuju berorientasi
pada sains dan teknologi nampaknya masih sebatas sebagai pengguna. Kesiapan
kita menghadapi Artificial Intelligence atau robot-robot superior bisa disikapi
dengan negatif maupun positif. Kalau kita tidak siap, maka ketergantungan pada
teknologi akan menjadi sangat besar dan bisa menjadi korban apabila manusia
Indonesia berangsur kehilangan cipta, rasa, dan karsa.
Kata
kunci: fiksi
ilmiah, klenik, teknologi
A. PENDAHULUAN
Budaya mitis yang
meliputi alam kebudayaan primitif ternyata masih menarik perhatian kita. Meski
arus globalisasi telah tak terbendung masuk ke Indonesia, demikian juga
perkembangan teknologi yang memasuki era revolusi industri 4.0, sebagian besar
masyarakat masih mempercayai mitos dan
takhayul. Tentu untuk bisa mengikuti dan
berperan dalam perkembangan teknologi saat ini, seperti Artificial Intelligence dan robot,
dari bioteknologi hingga perjalanan ke luar angkasa, dibutuhkan pola pikir dan
pola sikap rasional ilmiah. Memang diyakini bahwa dengan teknologi dapat membawa
manusia kepada tingkat hidup yang lebih baik. Sementara itu, di era
pascahumanisme ini, penghargaan terhadap kebebasan,
rasionalitas dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal semakin besar.
Teknologi yang begitu cepat berkembang, membuat manusia terlena. Bisa ada
ketergantungan dan mengubah sisi kemanusiaan yang ada. Dilema dalam humanisme
ini membuat kita perlu merumuskan ulang makna manusia dan kemanusiaan dalam
humanisme.
Sikap rasional memang
memandang rendah terhadap kebudayaan mitis karena menilai sebagai primitif dan
tidak ilmiah. Sutan Takdir Alisyahbana mengemukakan bahwa budaya barat dibangun
atas nilai-nilai rasionalisme, materialisme dan individualisme, sementara
budaya timur (Jawa) lebih menekankan nilai budaya yang bersifat spiritual dan
kolektif, serta tidak mengabaikan perasaan (Suratno, 2013, hal. 91). Kedatangan
imperialisme Barat, terutama saat memasuki abad ke-20, menyebabkan persentuhan
dua paham budaya, Barat dan Timur, semakin intensif. Percaya akan mitos menurut
C.A. Van Peursen memiliki beberapa fungsi, yaitu menyadarkan manusia bahwa ada
kekuatan-kekuatan ajaib, memberi jaminan bagi masa kini dan memberi pengetahuan
tentang dunia (Van Peursen & Dick, 1976, hal. 35-42).
F. Budi Hardiman
mengemukakan bahwa rasionalisme dan empirisme di abad ke-17 berusaha makin
menyingkap proses kerja akal sehingga semakin luas pula pengetahuan akan kerja
semesta. Perkembangan ilmu alam modern dan humanisme modern harus diakui
menyebabkan masyarakat semakin skeptis terhadap agama. Humanisme sebagai
gerakan sekularisasi dan desakralisasi manusia pada abad ke-18 pada akhirnya
memudarkan segi spiritual yang sebelumnya masih nampak dalam humanisme
Renaisans (Hardiman, 2012, hal. 10-11)
Di Barat sendiri,
meski dianggap lebih berorientasi ke rasionalisme, namun di sisi lain juga
berkembang pemikiran mistisisme melalui gerakan teosofi. Di kalangan
masyarakat pemukim Eropa yang ada di wilayah Indonesia saat itu, gerakan
pembebasan pemikiran dan spiritual telah menjadi suatu bidang yang makin
diminati oleh para elite kolonial dan menjadi bagian penting dalam perkembangan
intelektual mereka. Perkumpulan Teosofi (Theosophical Society) adalah
salah satu dari organisasi esoteris yang cukup banyak menggali inspirasi dari
ajaran-ajaran kebijaksanaan di dunia Timur (Niwandhono, 2014, hal. 25).
Hal
ini nampaknya menyebabkan mistisisme, okultisme dan juga kepercayaan akan
hal-hal yang bersifat takhayul, masih terpelihara di masyarakat meski adanya
perkembangan ilmu dan teknologi dari dunia Eropa.
Kepercayaan
terhadap hal yang sifatnya klenik atau takhayul, tak dapat dipungkiri masih
tetap ada di sebagian orang meskipun yang bersangnkutan berpendidikan tinggi.
Misalnya pada kasus Gatot
Brajamusti yang disebut oleh pengikutnya sebagai guru spiritual, terdapat juga seorang
politisi intelektual cendekiawati. Belum lagi pada kasus seperti kasus Dimas
Kanjeng Taat Pribadi, juga banyak orang yang menjadi korbannya karena
mempercayainya.
Jika dipikir secara rasional,
harusnya mitos, mistik dan tahayul ini sudah tertinggal oleh zaman. Manusia
modern harusnya lebih percaya pada kemampuannya sendiri. Peradaban menuntut
agar manusia punya orientasi ke masa depan.
Memang, kepercayaan
terhadap takhayul tidak memandang latar belakang orang. Sebagai contoh, dalam
otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, Sukarno mengakui
sebelum menjalani pengasingan di Endeh, Sukarno mengaku masih percaya pada
hal-hal yang bersifat takhayul, misalnya percaya adanya hari baik, hari buruk,
dan jimat pembawa keselamatan. Sukarno memang tumbuh di waktu dan masyarakat
yang masih banyak mempercayai hal-hal mistik.
Manusia Indonesia
menurut Mochtar Lubis memilih salah satu ciri yaitu masih percaya takhayul.
Menurutnya, dari dulu hingga sekarang, manusia Indonesia percaya bahwa batu,
gunung, pantai, sungai, patung, keris, dan lain sebagainya memiliki kekuatan
gaib, keramat dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua (Lubis,
2017, hal. 27).
Manusia modern saat
ini juga masih belum bisa lepas dari hal-hal yabng bersifat klenik dan sihir. Mengenai
sihir sendiri, setelah mendapat cap sebagai takhayul dan diolok-olok selama
bertahun-tahun, kini kembali sebagai sumber kegairahan yang terhormat (Harris,
1974, hal. 243). Bahkan selain sihir, bentuk okultisme dan
mistisisme, mulai dari astrologi, Zen hingga meditasi, Hare Krishna dan I
Ching, makin digemari. Di masa kini, kebebasan manusia juga mencakup kebebasan
untuk mempercayai sesuatu.
Menurut Van Peursenm periode peralihan kebudayaan
manusia sendiri dapat dipaparkan dalam tiga tahap, yaitu tahap mitis, tahap
ontologis dan tahap fungsional. Tahap mitis artinya sikap manusia yang
merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, tahap
ontologis menunjukkan adanya sikap
manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan sudah
berusaha secara bebas meneliti segala sesuatunya. Berikutnya tahap ketiga
adalah tahap fungsional, yang merupakan sikap dan alam pikiran yang makin
nampak dalam manusia modern (Van Peursen & Dick, 1976, hal. 17-18).
Berdasarkan hal ini,
budaya masyarakat Indonesia nampak menuju ke tahap fungsional namun di sisi
lain, masih juga berpijak pada tahap mitis. Apakah ini merupakan sebuah
kemunduran atau pola pikir mitis yang sudah melekat ini sulit untuk dilepaskan karena
merupakan sebuah arketipe bangsa? Apakah memang kepercayaan akan hal yang
sifatnya takhayul ini harus dibuang jauh-jauh, sementara di sisi lain selalu
ada ajakan untuk menjaga kearifan lokal? Bagaimana sebaiknya sosok manusia
Indonesia yang diharapkan di era pascahumanisme? Bila dikaitkan dengan upaya
revolusi mental, bagaimana mengubah budaya dari mitis menjadi modern?
B. Apakah klenik harus dipertahankan?
Klenik adalah
sesuatu yang tersembunyi atau hal yang dirahasiakan untuk umum. Klenik identik
dengan hal-hal mitis yang saat ini cenderung dimaknai negatif. Klenik
juga sering dikaitkan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia gaib,
paranormal, dukun, mahluk halus, jimat, jin, siluman dan sejenisnya. Di
masyarakat indonesia masih banyak pandangan dan anggapan tentang alam gaib dan
banyak sekali tradisi atau kepercayaan yang melekat serta dilestarikan secara
turun temurun. Beberapa
istilah di masyarakat yang berhubungan dengan alam gaib dan kepercayaan,
misalnya:
a. Animisme,
kepercayaan terhadap benda-benda yang mengandung roh dengan bentuk-bentuk
tertentu serta mempunyai kekuatan hidup.
b.
Dinamisme, kepercayaan bahwa benda-benda yang mempunyai kekuatan gaib, misalnya
bermacam-macam pusaka.
c. Totemisme adalah kepercayaan
manusia terhadap hewan/binatang yang diaggap memiliki kekuatan yang kuat dan
besar daripada manusia,
d.
Amulet/jimat, benda-benda yang berkekuatan gaib untuk menambah kekuatan pada
diri seseorang.
e.
Shamanisme, kepercayaan akan adanya orang yang dapat menghubungkan manusia
dengan roh, misalnya untuk mengobati orang sakit atau meminta petunjuk.
f. Fetisme,
benda-benda yang berkekuatan gaib yang dipuja dan dianggap bertuah bagi
masyarakat tetapi tidak dibawa atau dipunyai oleh setiap orang, disimpan dan
dirawat di tempat tertentu, dan dikeluarkan pada waktu tertentu saat diadakan
ritual upacara.
Meskipun ada yang
menilai bahwa tradisi-tradisi
ini dijaga
dan dilestarikan dengan sebuah kesadaran palsu, artinya meskipun memeluk agama yang melarang
mempercayai hal seperti itu, namun terjadi proses inkulturasi dengan
menambahkan pada ritual-ritual yang ada. Umumnya, alasannya adalah jika
mereka tidak melakukannya, akan menjadi tidak enak dengan tetangga. Selain itu,
ada beberapa tempat yang dianggap angker atau keramat
seperti pohon, batu dan
lain sebagainya. Hal
ini masih dipertahankan
karena masyarakat
setempat hanya yakin pada asumsi asumsi dan opini yang dibentuk
oleh generasi sebelum mereka. Eksistensi manusia di muka bumi sebagai manusia yang
penuh dengan manusia yang lainnya, menuntut manusia harus berhubungan dengan
sesamanya. Sebagai mahkluk sosial, manusia tidak bisa hidup tanpa dengan
keberadaan orang lain.
Hal ini kemudian menjadi sebuah proses konstruksi sosial.
Mayoritas
masyarakat dalam hal ini orang jawa, memiliki pola sikap dominan berbau mistik,
membuat konsep-konsep rasional seolah tidak pernah mendapat tempat. Konsep-konsep
dasar kehidupan yang tidak ada kaitannya dengan mistik nampaknya tidak pernah
mendapat tempat bagi, kecuali bagi kaum yang sedikit (minoritas). Sehebat
apapun intelektual orang Jawa, sepintar atau sepandai apapun orang Jawa, di
daerahnya tidak pernah disebut orang pinter, orang cerdas atau orang pandai.
Pinter dalam masyarakat jawa justru lebih ditujukan pada hal hal yang berbau
klenik, dan lebih mengarah ke arti dukun. Pinter bagi mereka adalah orang orang
yang dianggap mempunyai pengetahuan tidak melalui jalur pendidikan. Di
sisi lain, masyarakat juga tidak pernah mempertanyakan kebenaran
dari hal tersebut
dan mencernanya dengan
mentah-mentah (Hardika, 2014).
Meski ada
kritik bahwa rasio hanya menjadi alat belaka dari filsafat Positivisme yang mengubah peradaban
manusia yang tadinya bersifat mitis dikonstuksi ke dalam rasionalitas, namun
daya tarik modernitas tetap memukau. Ilmu pengetahuan modern hanya menerima
fakta-fakta saja dan menolak realitas yang eksistensinya di luar diri manusia,
sebab hanya data faktual yang dianggap benar-benar obyektif. Filsafat
positivisme juga membuat pemahaman bahwa kejadian di alam semesta berbalik
tunduk dan patuh terhadap manusia. Manusia telah berhasil menguasai alam
semesta yang penuh dengan misteri. Dengan rasio yang dimiliki, alam semesta bisa
dikonstruksi sedemikian rupa untuk kepentingan manusia. Ini juga melahirkan
aliran humanisme, di mana mengedepankan
nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai kriteria dalam segala
hal. Manusia menjadi pusat segalanya.
Salah
satu implikasi dari masyarakat yang masih percaya dengan klenik adalah dimanfaatkan oleh orang-orang yang mengaku “pintar”
dalam hal spiritual. Harus diakui bahwa fenomena pengkultusan sosok
spiritual berkaitan dengan proses perubahan nilai dari masyarakat tradisional menuju
modern masih belum selesai. Tak dapat dipungkiri bahwa banyak orang, termasuk
yang berpendidikan tinggi atau bahkan pejabat publik, masih percaya hal-hal
yang berbau klenik atau takhayul. Sosiolog Universitas Nasional Nia Elvina
berpendapat ada dua hal yang bisa jadi solusi mengatasi fenomena tersebut,
yakni sistem pendidikan dan peningkatan peran ulama (Yuniar, 2016).
Di sisi lain, ada
upaya untuk menjaga kearifan lokal dan budaya masyarakat adat. Apakah sikap
terhadap klenik dan takhayul dapat dikategorikan ke dalam kearifan lokal?
Menjaga tradisi seperti hajatan, nyekar, slametan, ruwatan, tentu di balik
acara tersebut terdapat makna ritualitas yang sarat akan mitos dan klenik (Bule, 2009). Sebenarnya tradisi
atau kepercayaan seperti ini ada di berbagai belahan dunia. Tradisi memberikan
persembahan pada pohon-pohon yang dipercaya memiliki kekuatan ghaib ternyata
juga dilakukan orang-orang di Eropa. Di Skotlandia, Irlandia dan Inggris masih
ada sebuah tradisi menggantungkan potongan kain atau pakaian pada sebuah pohon.
Ritual ini merupakan tradisi Celtic.
Mungkinkah
mempertahankan tradisi demi menjaga kearifan lokal bisa berjalan seiring dengan
pola pikir rasionalitas untuk membangun masyarakat yang ilmiah? Menurut
penulis, ada dua kutub yang berusaha menghilangkan pola pikir mitis ini, yaitu
sains dan agama. Walau agama, sebenarnya adalah bentuk kepercayaan yang tidak
berbeda dengan pola pikir takhayul, namun mendapat tempat yang terhormat
dibandingkan dengan klenik. Dalam sejarah perkembangan peradaban manusia,
pemuka-pemuka agama telah menunjukkan sikap yang sangat menentang
praktek-praktek klenik. Salah satu solusi
adalah bagaimana mengkonstruksi manusia Indonesia agar dapat memiliki pola
pikir ilmiah namun tetap memiliki pola sikap spiritualitas dan religiusitas
dalam praktek privat.
C. Transformasi budaya
Sebuah nasihat
mengatakan, untuk
mengubah budaya, pahami dulu budayanya. Mengubah
budaya tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Media diyakini bisa memiliki peran
besar dalam mengubah budaya, termasuk melalui budaya populer. Budaya
populer adalah budaya yang secara sengaja dibuat oleh media massa, dengan cara
menyampaikan segala sesuatu terkait budaya apa yang akan dimunculkan untuk
diadopsi atau dikonsumsi oleh masyarakat. Misalnya saja bagaimana budaya K-Pop
melanda generasi millenial. Media tidak secara langsung memaparkan budaya
tersebut namun mengelola budaya yang akan disebarkan agar masyarakat lebih
mudah dalam menerima budaya baru yang akan diterima. Dengan pengolahan tersebut
masyarakat akan secara tidak sadar menerima budaya baru. Budaya tersebut
menjadi populer karena diadopsi oleh masyarakat secara luas.
Media yang digunakan
bisa berupa tayangan televisi, film, buku fiksi, komik hingga fashion. Penulis
menjumpai di beberapa sekolah, terdapat pedagang asongan yang menjual buku
cerita bergambar kecil, dengan harga yang terjangkau oleh anak-anak usia
sekolah SD, yang isinya berupa cerita misteri, hantu atau hal-hal yang bersifat
mitis. Selain itu, tayangan cerita
misteri dan horror juga banyak muncul di televisi maupun layar lebar. Yang menjadi
pertanyaan adalah, apakah genre misteri dan horror ini disukai oleh pasar
sehingga banyak orang yang memproduksi, atau memang pasar hanya disodorkan
pilihan itu dan mau tidak mau kemudian menyukainya. Selain itu, bagaimana pola
pikir dan budaya yang terbentuk pada masyarakat yang mengkonsumsi cerita-cerita
misteri dan horror ini sejak kecil?
Menurut Edgar Schein,
struktur budaya memiliki tiga tingkatan yaitu artifak, nilai dan asumsi
dasar. Pada tingkat artifak, di mana
budaya bersifat kasat mata, misalnya, seseorang yang percaya akan hal-hal yang
bersifat klenik akan tampak pada asesoris yang digunakannya. Artifak juga bisa
dilihat dari interior atau arsitektur, tutur kata, cerita/mitos yang beredar,
teknologi yang digunakan dan tradisi. Sementara itu, nilai memiliki tataran yang
lebih tinggi karena berada di tingkat kesadaran. Akan nampak dan tercermin pada
pendapat seseorang. Sementara asumsi dasar, semacam kepercayaan yang diterima
begitu saja sebagai fakta sehingga tidak pernah ditentang. Pola asumsi dasar
berkembang di antara anggota kelompok sosial dan menjadikan inti budaya dalam
masyarakat apa pun (Schein, 2004, hal. 25).
Walau perubahan
budaya bisa dilakukan baik melalui asumsi dasar maupun melalui artifak, namun
yang lebih mudah dilakukan oleh banyak orang adalah perubahan melalui artifak.
Sebagai contoh, misalnya dengan suguhan budaya populer tentang hal-hal yang
bersifat mitis dan takhayul, akan membentuk asumsi dasar bahwa hal-hal yang
bersifat klenik atau takhayul akan diterima begitu saja sebagai fakta dan tidak
akan ditentang. Oleh karena itu, jika artifak yang ada di sekitar kita banyak
berhubungan dengan sains, maka diharapkan juga bisa menjadi asumsi dasar atau
pola pikir rasional.
Di tahun 1980an, saat
B.J. Habibie menjabat sebagai Menristek, dengan adanya euforia teknologi bahwa
bangsa Indonesia mampu membuat pesawat terbang sendiri, maka minat akan sains
dan teknologi menjadi sangat bergairah. Banyak majalah ilmu pengetahuan yang
terbit waktu itu. Saat itu juga ada kebanggaan tersendiri sebab ada perempuan
Indonesia yang akan menjadi astronaut. Minat untuk mengikuti lomba karya ilmiah
remaja yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga
tinggi.
Suasana ini perlahan
berubah, masyarakat kemudian lebih menyukai hal-hal yang bersifat keagamaan
daripada ilmu pengetahuan. Majalah dan buku ilmu pengetahuan makin jarang dan
tidak laku di pasar sehingga produsen juga enggan memproduksinya. Sinetron juga
makin banyak yang bernuansa religi. Pada pertengahan 2000-an ramai tren
sinetron religi yang dimulai oleh Rahasia Ilahi (TPI, nama MNCTV
dahulu). Sebuah penelitian mencatat, pada 2005-2007 tercatat 44 judul sinetron
berjenis ini. Selain yang sudah disebut ada Takdir Ilahi (TPI), Astagfirullah
(SCTV), Kuasa Ilahi (SCTV) hingga Pintu Hidayah (RCTI).
Sebelum merambah ke TV, cerita model di sinetron religi dimulai oleh penerbitan
majalah Hidayah yang booming di sekitar masa itu (Irwansyah, 2018).
Belajar dari
perubahan budaya ini, tentu perlu dilakukan upaya nyata untuk melakukan
dekonstruksi budaya. Budaya akan bisa diubah melalui penanaman asumsi dasar.
Namun bisa juga dilakukan dari artifak. Asumsi dasar sangat dipengaruhi oleh
pemimpin masyarakat, di mana nilai-nilai yang dibawa oleh pimpinan akan banyak
berpengaruh dalam membentuk asumsi dasar. Asumsi dasar terbentuk dalam proses
yang cukup panjang dan perlu peran serta semua pihak. Apa yang ada dalam asumsi
dasar bisa luntur dan hilang jika hal itu tidak dipelihara. Sebagai contoh di
atas, budaya rasionalitas bisa kembali menjadi budaya mitis jika para pemimpin
memberikan masukan yang berbeda, terlebih jika artifak-artifak yang ada juga
berubah. Untuk itu, perubahan artifak juga perlu dilakukan, salah satunya
melalui budaya populer.
D.
Pengaruh fiksi ilmiah terhadap pola
pikir ilmiah
Fiksi ilmiah adalah suatu bentuk fiksi spekulatif yang membahas tentang
pengaruh sains dan teknologi
yang diimajinasikan baik terhadap masyarakat maupun individual. Memang, batasan
dari genre ini tidak pernah ditetapkan secara jelas, dan garis pembatas antara
sub-genre-nya tidaklah tetap. Umumnya fiksi ilmiah disingkat sebagai “sci-fi” (bahasa
Inggris: science fiction) atau “SF”.
Fiksi
ilmiah berbeda dengan genre fantasi. Fantasi berhubungan dengan khayalan atau dengan
sesuatu yang tidak benar-benar ada dan hanya ada dalam imajinasi pikiran saja.
Fantasi bisa juga merupakan sebuah genre, yang menggunakan bentuk sihir dan
supranatural sebagai salah satu elemen plot, tema dan seting dalam sebuah film
atau cerita. Jadi, genre fantasi menceritakan hal yang tidak nyata dan tidak
masuk akal, sementara fiksi ilmiah merupakan cerita fiksi tentang hal-hal yang
menggunakan teori ilmiah dan pengetahuan.
Buku fiksi ilmiah merupakan jenis
literatur yang sangat spesifik dan ditujukan untuk para pembaca yang spesifik
juga. Selain memerlukan persyaratan tertentu agar dapat disebut sebagai fiksi
ilmiah, ada unsur yang memerlukan evaluasi dan umpan balik ilmiah pula. Dengan
kata lain, fiksi ilmiah membutuhkan kombinasi analisis ilmiah dan sastra. Meski
fiksi, cerita dibangun dengan memanfaatkan sains yang baik untuk membuat suatu
situasi masuk akal.
Sebagian teknologi yang kita kenal
saat ini, memang diciptakan dengan pemikiran-pemikiran serius melalui riset
inovatif, namun tak disangkal bahwa banyak juga temuan-temuan teknologi yang
lahir justru karena terinspirasi oleh kisah-kisah fiksi, baik dalam bentuk
cerita pendek, novel, atau bahkan film. Masa depan terutama menyangkut
teknologi, ternyata sangat dekat dengan dunia fiksi ilmiah yang oleh sebagian
orang dianggap hanya khayalan saja. Misalnya, Robert H. Goddard, seorang penemu
roket berbahan bakar cair, terinspirasi oleh novel berjudul War of the World
karangan H.G. Wells yang terbit pada tahun 1898. Memang, tidak semua fiksi
ilmiah yang bertebaran dalam cerita pendek, novel, atau film kemudian bisa
ditransformasikan dalam bentuk nyata.
Film-film
fiksi ilmiah memiliki kapasitas untuk menarik perhatian dan imajinasi siswa dan
menunjukkan bahwa minat masyarakat umum terhadap sains sering meningkat saat menikmati
fiksi ilmiah di televisi dan film. Oleh karena itu, daripada menghindari
menayangkan film fiksi ilmiah di sekolah, mungkin ini merupakan strategi yang
lebih baik untuk melibatkan siswa dalam melakukan kritik terhadap film fiksi
ilmiah (Barnett, Wagner, Gatling, Anderson, Houle, &
Kafka, 2006, hal. 190). Kompleksitas hubungan antara fiksi ilmiah dan realitas manusia adalah
nyata. Carl Freedman menggambarkan fiksi ilmiah sebagai genre paling sah untuk
studi akademik, menempatkannya di atas semua bentuk literatur lain untuk
potensi analitisnya (Freedman, 2000).
Fiksi
ilmiah mempertanyakan peran, relevansi, biaya dan manfaat dari teknologi saat
ini dan masa depan, dan menyajikan gagasan yang dapat memengaruhi opini publik.
Brian Stableford mengklaim bahwa fiksi ilmiah dapat menentukan pandangan
individu terhadap dunia, dengan memodifikasi sikap terhadap signifikansi ilmu
dan teknologi saat ini dan masa depan (Stableford, 1979). Yuval Noah Harari juga membahas secara khusus
tentang pentingnya peran fiksi ilmiah sebagai hal yang harus diperhatikan di abad
21 ini (Harari, 2018, hal. 267).
Permasalahannya kini,
apakah minat terhadap fiksi ilmiah masyarakat Indonesia termasuk rendah? Sebuah
survei yang penulis lakukan secara online, di mana diikuti oleh 294 responden,
menunjukkan bahwa 89% responden lebih memilih film fiksi ilmiah daripada film
Horror (11%). Survei dilakukan lewat facebook di FanPage penulis. Hasil ini
memang belum dilanjutkan ke penelitian yang lebih mendalam, namun dari data
yang ada, menunjukkan sebuah tanda bahwa banyak yang memiliki minat terhadap
fiksi ilmiah. Sayangnya, baik literatur maupun buku fiksi ilmiah karya
Indonesia masih sangat jarang. Kebanyakan masih berasal dari luar negeri,
khususnya dari Amerika Serikat.
Penggunaan
fiksi ilmiah untuk mendorong kemajuan teknologi dan budaya dalam masyarakat
memang membutuhkan komitmen. Seperti diketahui, banyak teknologi canggih
berasal dari ranah imajinatif yang diciptakan oleh penulis fiksi ilmiah. Namun,
sejumlah besar penemuan teknologi tinggi dapat menghambat kemajuan manusia di
tingkat intelektual. Bidang hiburan dapat memikat orang secara visual dan
menyebabkan berkurangnya keinginan untuk belajar. Fiksi ilmiah adalah fiksi,
tetapi memang memiliki cara menemukan dirinya keluar dari sekedar tulisan di
bumi menjadi sebuah teknologi yang bisa dimanfaatkan.
Barangkali
minat terhadap fiksi ilmiah juga dipengaruhi oleh pandangan masyarakat terhadap
masa depan. Masyarakat yang pada tahap mitis, akan merasa dirinya ditentukan,
diatur dan dikendalikan nasibnya oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya.
Dengan demikian, seakan kurang memiliki optimisme akan masa depan dan
tergantung pada nasib yang ditentukan oleh dunia luar. Ini membuat lokus kendali
yang dimiliki adalah eksternal.
Sebuah
survei online pernah penulis lakukan pada tanggal 1 Januari 2019, dengan
bertanya, dunia di masa depan mengarah ke kondisi seperti apa? Apakah utopia
atau distopia? Istilah
distopia adalah antonim dari
utopia. Jika utopia mengacu pada suatu tempat di mana segala sesuatunya
sempurna, distopia merujuk pada suatu keadaan atau tempat di mana segala
sesuatunya buruk seperti neraka. Hasil survei dari 130 responden
menunjukkan sebanyak 57% memilih distopia, sisanya 43% memilih utopia. Jumlah
yang hampir seimbang, namun lebih dari 50% menunjukkan adanya pesimisme akan
masa depan. Memang belum ada studi lebih lanjut, namun penulis menganalisis
bahwa hal ini bisa disebabkan karena adanya sikap di mana merasa kurang bisa
mengontrol masa depan. Tentu ini juga tergantung dari kemampuan dan cara
pandang individu.
Hal serupa nampaknya juga terungkap dalam survei online lain yang penulis
lakukan, di mana responden diminta memilih genre fiksi ilmiah yang disukai, antara
cyberpunk atau steampunk. Cyberpunk adalah sebuah subgenre fiksi ilmiah yang
menggambarkan keadaan distopia disertai pemanfaatan teknologi tingkat tinggi.
Sementara steampunk adalah suatu aliran dari science-fiction yang memadukan era
mesin uap sebagai tema utamanya dengan berbagai elemen fiksi dan fantasi.
Steampunk cenderung lebih romantik dan optimistik. Hasil dari survei online
yang diikuti oleh 372 responden ini menunjukkan bahwa 67% memilih cyberpunk,
sementara sisanya 33% adalah steampunk. Dengan demikian, kondisi distopia
menjadi bayangan yang cukup banyak muncul di alam pikiran responden.
Gail
A. Bondis mengkaji budaya penggemar fiksi ilmiah selama konvensi fiksi ilmiah
di California Selatan pada tahun 2009 dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
konvensi yang merupakan pertemuan sosial para penggemar fiksi ilmiah adalah
tempat di mana suatu pembelajaran terbangun serta sebuah kultur disebarkan.
Bondi menemukan bukti yang menunjukkan bahwa kelompok penggemar telah
mengidentifikasi diri dengan membentuk subkultur melalui bahasa, seni,
nilai-nilai, dan tradisi. Penelitian Bondi berhasil mengeksplorasi berbagai
jenis fiksi yang menjadikan penggemar berinteraksi, dan jenis literasi yang mereka
kembangkan. Selain menjadi pembaca yang memiliki literasi terhadap teks biasa,
Bondi menjelaskan bahwa para penggemar juga menunjukkan kemampuan literasi visual,
komputer, dan mempunyai pengetahuan yang luas tentang genre. Fans
menggunakan kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan
buku, film, televisi, seni , blog, fan fiction, dan video game. (Sugihartati, 2017, hal. 25-26)
Fiksi ilmiah punya peran besar untuk membantu membuat
perubahan positif dalam budaya masyarakat modern. Dari semua bagian masyarakat,
bidang teknologi adalah yang paling dipengaruhi oleh fiksi ilmiah. Berbagai
bidang termasuk komunikasi, hiburan rumah, perjalanan ruang angkasa, dan
transportasi terakselerasi karena ide-ide fantastis yang disajikan dalam genre
fiksi ilmiah. Sebagai contoh, alat komunikasi seperti telepon seluler, idenya
berasal dari alat "komunikator" yang digunakan dalam serial televisi
Star Trek.
Bagaimana perkembangan fiksi ilmiah di Indonesia? Nouvel
Raka pada tanggal 14 Juni 2018 di situs id.quora.com menjawab pertanyaan
“Mengapa saya jarang sekali menemukan penulis fiksi ilmiah di Indonesia“ dengan
mengatakan, “Saya memiliki kenalan
penulis fiksi ilmiah yang beralih ke fiksi remaja (teenlit) hanya karena buku
fiksi ilmiahnya tidak laku di pasaran.”
Selanjutnya, Ahmad Fauzi menjawab di tanggal yang sama: “Menulis fiksi
ilmiah butuh skill yang beda. karena menulis fiksi ilmiah membutuhkan suatu
penelitian mendalam dan berdasarkan tingkat ilmu penulisnya, didukung dengan
fakta dan data masa lalu serta perkiraan yang mendekati akurat untuk masa depan,
yang ditambah dengan harus disampaikan dengan bahasa cerita yang mengena.” Budi Wibowo pada tanggal 25 Agustus 2018
menjawab, “Menulis cerita fiksi ilmiah butuh basic ilmu sains yang kuat, logika
berpikir yang tajam..dan yang terpenting, mau dan mampu meluangkan waktu untuk
riset data sebagai benang merah cerita yang akan dikarang…dan untuk yang
namanya riset..mmmm..kita paling lemah.” Hal senada juga dikemukakan oleh M.
Haekal yang memberikan jawabannya pada tanggal 9 Januari 2019 : “Selain karena
selera pasar, belum ada buku fiksi ilmiah yang benar-benar berkualitas dan
‘meledak’ di Indonesia. Jika murni fiksi ilmiah, penuh dengan teori sains pasti
akan tak laku, karena hanya beberapa orang yang paham dan tertarik. Apa yang
orang Indonesia sukai adalah karakter dan drama dari sebuah novel. Cerita
hanyalah penunjang saja. Jadi, jika ada penulis yang bisa menulis novel fiksi
ilmiah dengan berbagai karakter yang menarik beserta drama diantara mereka,
saya yakin akan laku di pasaran.” (Fauzi, Raka, Wibowo, & Haekal, 2018)
Dengan demikian, ada dua hal yang menjadi kendala adanya buku maupun film
sains fiksi, yakni pertama adalah kendala permintaan pasar, dan kedua adalah
kapasitas penulis cerita yang kurang kuat dalam hal keilmuan dan riset. Walau
demikian, apakah dengan adanya hambatan ini kemudian harus menyerah? Jika memang
ada kebutuhan untuk mengubah pola pikir masyarakat menjadi rasional serta berorientasi
kepada ilmu dan teknologi, maka fiksi ilmiah bisa menjadi terobosan yang
efektif.
E.
Simpulan
Muhammad Nur dari
Laboratorium Fisika Atom dan Nuklir, FMIPA, Universitas Diponegoro dan Pusat
Studi Ilmu dan Teknologi Nuklir, Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro,
mengemukakan bahwa pentingnya sains dan teknologi dalam pembangunan bangsa
nampaknya telah disadari sepenuhnya oleh para pemimpin kita. Francis Bacon,
seorang ahli hukum dan politikus berkebangsaan Inggris, pada tahun 1605, dalam
bukunya Advancement of Learning, mengusulkan pertama kali sebuah “model linier”
untuk pertumbuhan ekonomi, di mana pemerintah harus mendanai pengembangan sains
dasar. Pertumbuhan ekonomi sangat
tergantung pada sains terapan (teknologi) dan sains terapan sangat tergantung
pada sains dasar. Yang menjadi masalah adalah ketika masyarakat kita terlena
dengan kesilauan dan kenikmatan berbagai produk teknologi. Hal ini tak lagi
memberi kesempatan melintasnya pikiran
tentang asal dari suatu produk
tersebut. Keadaan seperti inilah yang
terus diinginkan oleh negara-negara industri maju yang mencekoki kita dengan
“industri tanpa teknologi” dan/atau “teknologi tanpa sains”. Muhammad Nur juga
memberi beberapa saran, salah satunya adalah dengan melibatkan komponen
masyarakat yang berfungsi sebagai sastrawan dan penulis fiksi. Memang disadari
olehnya bahwa di negeri ini belum ditemukan penulis yang cukup punya imajinasi
menelorkan karya-karya dalam bentuk fiksi ilmiah. Juga belum ada yang tampil
mampu menggabungkan kesibukan di laboratorium dengan kehidupan sehari-hari
menjadi cerita yang menarik (Nur, 2011).
Sehubungan dengan hal
ini, perlu adanya transformasi budaya agar terbentuk pola pikir rasional yang
mengedepankan ilmu dan teknologi. Melalui fiksi ilmiah, minat masyarakat
terhadap perkembangan sains akan meningkat. Sebagaimana dikemukakan oleh Van
Peursen, masyarakat dari tahap mitis akan bisa bertransformasi ke tahap
ontologis dan tahap fungsional.
Upaya untuk
transformasi ini perlu didukung melalui artifak-artifak yang menunjukan pola
pikir ilmiah. Melalui budaya populer seperti literatur, baik berupa novel fiksi
ilmiah, majalah, komik, maupun film perlu mendapatkan dorongan yang lebih besar
dari para pemimpin. Perbaikan dan peningkatan kualitas dari museum-museum di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kegiatan-kegiatan lomba penulisan fiksi
ilmiah maupun penelitian karya ilmiah juga sebaiknya diperbanyak.
Pameran-pameran sains dan teknologi yang dikemas dengan menarik untuk generasi
milenial, juga diharapkan bisa menggairahkan minat dan secara bertahap akan
menghasilkan transformasi budaya yang diharapkan.
Dengan demikian,
salah satu sifat manusia Indonesia yang dikatakan oleh Mochtar Lubis yakni
percaya klenik, akan dapat berubah. Tentu, perlu dipikirkan juga bagaimana
menjaga kearifan lokal, agar ada harmoni dan ini bisa menjadi ciri khas
tersendiri manusia Indonesia di era pascahumanisme.
DAFTAR
PUSTAKA
Barnett,
M., Wagner, H., Gatling, A., Anderson, J., Houle, M., & Kafka, A. (2006).
The Impact of Science Fiction Film on Student Understanding of Science. Journal
of Science Education and Technology, Vol. 15, No. 2 , 179-191.
Bule. (2009).
Khajatan di balik makna ritualitasnya. Dimensi, No. 23 Tahun XV , 33.
Fauzi, A., Raka,
N., Wibowo, B., & Haekal, M. (2018, Juni 14). Quora. Dipetik Agustus
20, 2019, dari Mengapa saya jarang sekali menemukan penulis fiksi ilmiah di
Indonesia?:
https://id.quora.com/Mengapa-saya-jarang-sekali-menemukan-penulis-fiksi-ilmiah-di-Indonesia
Freedman, C.
(2000). Critical theory and science fiction. Middletown, CT: Wesleyan
University Press.
Harari, Y. N.
(2018). 21 Lessons: 21 Adab untuk abad ke 21 (diterjemahkan oleh Haz
Algebra). Manado: Global Indo Kreatif.
Hardika. (2014,
November 27). Merasionalkan Klenik. Dipetik Agustus 15, 2019, dari
http://catatanhardika.blogspot.com/2014/11/merasionalkan-klenik.html
Hardiman, F. B.
(2012). Humanisme dan Sesudahnya: Meninjau ulang gagasan besar tentang
manusia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Harris, M.
(1974). Cows, pigs, wars & witches: The riddles of culture. New
York: Random House.
Irwansyah, A.
(2018, September 20). Wajah Sinetron Kita Hari Ini: Menanti Azab Akibat
Dzolim. Dipetik Agustus 15, 2019, dari
https://www.watyutink.com/topik/humaniora/Wajah-Sinetron-Kita-Hari-Ini-Menanti-Azab-Akibat-Dzolim
Lubis, M.
(2017). Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Niwandhono, P.
(2014). Gerakan Teosofi dan Pengaruhnya Terhadap Kaum Priyayi Nasionalis Jawa
1912-1926. Lembaran Sejarah, Vol. 11, No. 1 , 25-36.
Nur, M. (2011,
Februari 24). Beberapa Gagasan untuk Menuju pada Kemandirian Sains dan
Teknologi. Dipetik Agustus 14, 2019, dari
https://cpr.undip.ac.id/beberapa-gagasan-untuk-menuju-pada-kemandirian-sains-dan-teknologi-bagian-4/
Schein, E. H.
(2004). Organizational culture and leadership (3rd ed.). San Francisco:
Jossey-Bass.
Stableford, B.
(1979). Notes toward a sociology of science fiction. Foundation: The Review
of Science Fiction #15 , 28-40.
Sugihartati, R.
(2017). Budaya Populer dan Subkultur Anak Muda: Antara Resistensi dan
Hegemoni Kapitalisme di Era Digital. Surabaya: Airlangga University Press.
Suratno, P.
(2013). Masyarakat Jawa & Budaya Barat. Yogyakarta: Adi Wacana.
Van Peursen, C.
A., & Dick, H. (1976). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Yuniar, N.
(2016, Oktober 1). Alasan masyarakat masih percaya takhayul. Dipetik
Agustus 7, 2019, dari
https://www.antaranews.com/berita/587754/alasan-masyarakat-masih-percaya-takhayul