Oleh SARAS DEWI Dosen Filsafat UI |
Jawa Pos, 22 Juni 2019
DALAM salah satu ceramahnya di Universitas Cornell pada 1994, Carl Sagan yang tengah berulang tahun ke-60 menutup pidato dengan mengatakan bahwa astronomi adalah suatu pengalaman yang menggetarkan. Yang membangun karakter.
Dia merujuk pada hasil fotografi dari Voyager 1 yang memperlihatkan bumi sebagai rumah bagi kehidupan, yang tampak sebagai titik samar berwarna kebiruan. Itulah kenyataan kosmos ini.Bumi hanya sebagian kecil dari miliaran bintang yang terserak pada bentangan alam raya. Manusia bukan pusat. Manusia tidak mengendalikan hukum alam. Sebaliknya, manusia adalah spesies sekelebat dalam rentang kosmos yang primordial ini.
Kata-kata Carl Sagan itu membuat saya berpikir, bagaimana sains dapat menempa karakterseseorang. Sains dalam hal ini tidak terbatas bagaimana ia digunakan oleh para positivis maupun instrumental untuk kebutuhan hidup yang praktis. Tapi sebagai pola pikir.
Pola pikir ini tidak hanya soal ketatnya metode ilmiah, tapi yang melibatkan sensibilitas imajinasi, bahkan refleksi yang dapat menghadirkan sikap rendah hati dan belas kasih. Masyarakat yang menjauhkan diri dari ilmu pengetahuan adalah masyarakat yang terperangkap di dalam tempurung. Masyarakat yang enggan mengejar kebenaran secara kritis akan rentan terhadap kebohongan dan kebencian.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Dua perempuan ilmuwan yang membicarakan krisis pendidikan di Indonesia adalah Premana Premadi dan Karlina Supelli. Mereka mempersoalkan bagaimana sistem pendidikan di Indonesia tidak mendorong individu menjadi berani dan kritis.
Premana Premadi membahas bagaimana kurikulum menjadi persoalan utama pendidikan Indonesia. Dia mengusulkan kurikulum yang berkelanjutan, yang menyasar pada tiga hal: individu, komunal, dan alam.
Individu dapat mengembangkan dirinya. Tidak saja terkait dengan cara-cara bertahan hidup, tetapi demi keberlanjutan masyarakat dan lingkungan hidup. Kurikulum ini tidak lagimenghasilkan peta mental yang terkotak-kotak, tetapi kesanggupan untuk memahami sebab akibat yang runtun.
Pandangan senada disampaikan filosof Karlina Supelli dalam Pidato Kebudayaan di DewanKesenian Jakarta. Dia soalkan bagaimana budaya dan pendidikan di Indonesia tidakmengembangkan nalar yang mandiri dan bebas. Peserta didik justru dicekam rasa takut. Takut untuk berbeda, takut untuk bertanya, dan terburu-buru ditargetkan untuk menjadi saleh. Kegagapan masyarakat terjadi karena tidak terbiasa melatih pikiran, untuk menguji asumsi-asumsi sebelum mendeklarasikan kebenaran.
Inspirasi kedua pemikir itu sangat dipengaruhi pembelajaran di observatorium. Karlina Supelli mengutip Johannes Kepler yang terilhami laju gerak planet yang mengitari matahari. Gerakan yang elegan itu mengumandangkan musik antariksa.
Musik harmoni alam raya Kepleryang diinterpretasikan kembali oleh Laura Spiegel, nantinya disertakan Carl Sagan dalam Cakram Emas Voyagers yang kini tengah mengembara di antara bintang sebagai pesan perkenalan bagi kemungkinan peradaban ekstraterestrial di samudra kosmik. Kosmos mengajarkan suatu filosofi tentang betapa mungilnya kita, alam raya membuat manusia terpesona dan gentar pada saat yang bersamaan.
Carl Sagan mengkritik antroposentrisme dan bagaimana kepandiran umat manusia akan menyebabkan penghancuran kehidupan di bumi. Pandangan sempit yang meletakkan manusia sebagai pusat dunia telah mengakibatkan kesembronoan manusia dalam memperlakukan lingkungan hidup.
Manusia harus berbenah diri. Salah satunya adalah dengan merombak orientasi pendidikan ke arah keberlanjutan lingkungan hidup. Pendekatan non-antroposentrik Sagan kini bergaung-gaung dalam data-data ilmiah yang telah dipublikasikan IPBES (Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services).
Laporan IPBES yang disusun ratusan ilmuwan dari seluruh dunia menyimpulkan bahwa bumi sedang terkikis keragaman hayatinya. Satu juta spesies satwa dan tumbuh-tumbuhan terancam punah dalam kecepatan yang begitu tinggi dikarenakan aktivitas manusia. Pada 14 sampai 19 Juni 2019, Observatorium Jakarta dibuka untuk umum. Masyarakat dapat datang dan menyaksikan bagaimana fenomena astronomi; susunan indah Bulan, Planet Jupiter, dan Planet Saturnus. Setiap sore menjelang malam, observatorium riuh dengan antusiasme masyarakat, khususnya anak-anak.
Di tengah problem kegandrungan terhadap berita bohong dan ujaran kebencian, melihat kesukariaan masyarakat untuk belajar dan meneropong angkasa merupakan sesuatu yang menyegarkan. Pengamatan melalui teropong bintang adalah perjumpaan manusia yang fana dengan sesuatu agung. Alam raya adalah segara inspirasi yang mengasah pikiran dan karakter manusia. (*)