Oleh: Nur Agustinus
Masyarakat
Ekonomi Asean sudah diberlakukan sejak akhir tahun 2015. Apa
pengaruhnya untuk kita dan bagaimana kita harus proaktif menyikapinya?
Kita sering mendengar pembahasan peluang dan tantangan menghadapi MEA.
Namun sejauh manakah kita menyadari apa pengaruh MEA bagi kehidupan
kita? Masyarakat Ekonomi Asean tidak hanya membuka arus perdagangan
barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti
dokter, pengacara, akuntan, dan lainnya.
Saya
membayangkan seperti ini. Kita bekerja di sebuah perusahaan.
Pertanyaannya, apakah kita bekerja di kota tempat kita berasal?
Misalnya, apakah Anda warga Surabaya bekerja di Surabaya? Atau warga
kota Semarang bekerja di Surabaya? Sebenarnya, kalau kita amati, banyak
sekali warga dari kota lain bekerja di kota yang berbeda. Warga kota
Malang bekerja di Jakarta. Orang Yogyakarta bekerja di Bandung, dan lain
sebagainya. Boleh jadi, ketika sudah berlama-lama tinggal di kota lain
tersebut di mana dia mencari nafkah, lantas pindah domisili dan menjadi
warga kota tersebut.
Nah,
pertanyaannya, apakah misalnya saya yang orang asli Surabaya, merasa
terancam dengan datangnya orang dari Yogyakarta, yang dari Semarang,
yang dari Madiun, yang dari banyuwangi, atau lainnya, yang mencari
nafkah di kota saya? Rasanya tidak. Banyak orang dari kota kecil, pindah
ke kota yang lebih besar, untuk mendapatkan penghasilan yang lebih
besar. Itu sangat wajar. Bahkan, bagi seorang entrepreneur sekalipun,
wajar akhirnya pindah ke kota yang lebih besar, seperti ibu kota, karena
melihat peluang di sana jauh lebih bagus.
MEA, memang membuat sepuluh negara yang menjadi anggota ASEAN, memiliki visi dan komitmen bersama yakni “Satu Visi – Satu Identitas – Satu Komunitas”.
Jadi, mestinya, jika ada warga dari Thailand mau bekerja di Indonesia,
hal yang sama seperti orang Jakarta ingin kerja di Bali, misalnya. Jadi,
tak ada yang perlu dikhawatirkan sesungguhnya. Jadi saya membayangkan,
MEA ini ibarat dulu, di tahun 1928 , Sumpah Pemuda yang menjadi awal
mempersatukan Indonesia sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa.
Oleh
karenanya, sebuah peluang jika kita ingin meningkatkan kesejahteraan
hidup, dengan bekerja di negara lain, khususnya di negara ASEAN, yang
bisa memberikan penghasilan jauh lebih baik daripada bekerja di daerah
sendiri. Tentu, untuk itu butuh kompetensi dan keunggulan kompetitif
menghadapi pasar kerja di luar negeri. Adalah sama seperti banyaknya
orang yang mengadu nasib di luar negeri menjadi buruh migran, karena di
sana penghasilannya jauh lebih besar ketimbang di negara sendiri.
Tentu,
di sisi lain, ada yang mengkhawatirkan banjirnya tenaga kerja dari luar
negeri ke Indonesia. Ini yang kita sering kali tidak siap. Bahkan sikap
kita sering kali juga tidak bisa menerima dengan hal itu. Mungkin kalau
dibandingkan, ketika sebuah perusahaan didirikan di sebuah daerah, maka
penduduk setempat menuntut dan melakukan demo agar pegawai perusahaan
banyak yang diambil dari daerah setempat dan bukannya mengambil tenaga
dari daerah lain. Padahal, kesempatan kerja terbuka di mana saja. Kalau
kita membatasi ruang lingkup kita sendiri, maka kita justru tidak
memiliki keunggulan dan pada akhirnya membuat kita tidak memiliki posisi
tawar yang kuat.
MEA
sendiri sebenarnya menguntungkan bagi konsumen, karena dengan
terbukanya arus perdagangan barang atau jasa, maka harga akan semakin
murah. Yang sering dikhawatirkan adalah, akan banjirnya produk-produk
dari luar negeri datang ke Indonesia. Sebenarnya kekhawatiran ini
barangkali terlalu berlebihan, karena selama ini, Indonesia sudah
kebanjiran produk dari luar negeri. Baik
itu produk branded atau produk dari negara lain yang sebenarnya
memalsukan merk (produk KW atau grade ori yang diproduksi di negara
lain). Di sinilah peran usaha kecil dan menengah yang harus bisa juga
bersaing di pasar lokal, domestik maupun internasional.
Indonesia
sebenarnya unggul dalam industri kreatif. Indonesia juga unggul dalam
hal keindahan alamnya yang bisa mengangkat industri pariwisata. Di sini
butuh semangat kolaborasi antara pemerintah, swasta, akademisi dan
komunitas setempat untuk meningkatkan kesejahteraan bersama sambil tetap
mempertahankan kearifan lokal. Ketika sebuah daerah dikembangkan
menjadi tempat wisata, komunitas di sana harus siap menyambut peluang
yang ada. Jangan kemudian malah pengusaha dari daerah lain yang datang
untuk berjualan di sana. Juga bagaimana membudayakan kebersihan dan
semangat menjaga kelestarian alam. Banyak tempat wisata yang kemudian
tidak terawat dan kotor.
Memang,
kalau kita lihat dari skope yang lebih kecil, yakni diri kita sendiri.
Adalah baik jika kita menempa diri untuk berjiwa pemimpin dan semangat
entrepreneurial. Jadilah pelaku bisnis maupun penggerak masyarakat yang
memiliki jiwa kewirausahaan sosial yang kuat. Tentu, peran komunitas di
sini sangat besar sebab adalah sulit untuk melakukan seorang diri.
Alangkah baiknya jika komunitas-komunitas membangun dirinya untuk
mempunyai keinginan kuat berprestasi, mempunyai ambisi dan cita-cita
yang tinggi. Anak muda kita perlu diajak untuk berani bercita-cita
besar. Fokuslah pada apa yang menjadi impian kita agar bisa merencanakan
masa depan dengan lebih baik. Jadilah pribadi yang percaya diri, mampu
dan yakin pada kemampuan yang dimiliki.
Dengan
demikian, MEA bukanlah sebuah ancaman. Kalau kita bisa mensejajarkan
diri dengan bangsa-bangsa lain, maka kita akan bisa bersaing di pasar
global. MEA memiliki semangat bagaimana negara-negara yang tergabung
dalam Asean menjadi satu jati diri. Sama seperti kita merasa sebagai
orang Indonesia, bukan sekedar menjadi warga Jawa Timur, Sumatera Utara,
Papua, atau lainnya. Dengan demikian, nantinya, kita berhubungan dengan
warga dari negara Asean lainnya merasa sebagai satu komunitas. “One Vision, One Identity, One Community”.