Ketika saya memberi pelatihan entrepreneurship di Hong Kong
di hadapan sekitar 300 Buruh Migran Indonesia, saya yakin tidak ada satupun
yang di saat belia ingin bercita-cita menjadi buruh di tanah negeri orang lain.
Walau banyak alasan mengapa bekerja di luar negeri, namun saya melihat bahwa
langkah yang ditempuh ini jelas tidak mudah di awalnya. Cerita bagaimana berada
di tempat agen, menunggu proses pengiriman dan tidur bersama yang lain dalam
kegelapan, terbayang wajah keluarga, terutama yang sudah punya anak, yang akan
ditinggalkan untuk sekian lama membuat harus menahan isak tangis agar tidak
terdengar yang lain.
Bekerja di luar negeri adalah sebuah keputusan besar yang
harus diambil untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Mungkin ada yang harus
berangkat karena keluarga terjerat utang, atau bisnis yang dibangun ternyata
gagal dan menguras ekonomi rumah tangga, atau sebagai suatu bentuk pelarian
dari kondisi di tempat asal yang carut marut. Apapun itu, berangkat bekerja di
luar negeri, menjadi sebuah pilihan yang dengan sejumlah harapan.
Ya, harapan… harapan untuk tidak berada dalam kondisi yang
sama terus menerus. Harapan akan adanya sebuah perubahan yang lebih baik.
Ketika tolok ukur lebih baik adalah kesejahteraan, maka bekerja di luar negeri
dengan pendapatan yang bisa berkali-kali lipat ketimbang bekerja di Indonesia,
adalah jalan keluar yang sangat menjanjikan.
Tapi perjuangan tidak akan berhenti sampai di sana.
Bertahun-tahun bisa berlalu dengan cepat. Bahkan mungkin ada yang hingga
belasan tahun bekerja di luar negeri. Mungkin demi adik-adik agar bisa sekolah
lebih baik, atau untuk biaya orang tua yang sedang sakit. Bekerja di luar
negeri, boleh jadi menjadi sebuah pengorbanan tersendiri.
Banyak yang telah kembali, bisa berhasil di tempat asalnya.
Tapi ada juga yang setelah kembali, merasa tidak lagi cocok dengan keadaan di desanya,
lalu kembali lagi bekerja di luar negeri. Maka salah satu jalan adalah
berwirausaha. Persoalannya, menjadi wirausaha itu bisa kaya raya, tapi bisa
juga miskin sekali. Terpanggil untuk ini, banyak pendidikan entrepreneurship
diberikan untuk membekali baik semangat maupun kecakapan untuk berusaha
sendiri. Saya sendiri mendapat kesempatan tak terduga menjadi ikut melatih
kewirausahaan di komunitas BMI.
Ketika saya berjumpa dengan murid kelas online
entrepreneurship di Hong Kong, saya melihat jelas bahwa kesungguhan mereka
belajar sangat melebihi dari mahasiswa saya yang ada di kampus. Beda ini jelas
karena dengan belajar ada sebuah cita-cita yang ingin dicapai. Ada harapan yang
sedang dipegang. Harapan bahwa masa depannya akan jauh lebih baik. Dalam
mengajar, saya memperlakukan mereka sebagai sahabat.
Ketika saya membaca pengalaman hidup yang dikemukakan dengan
tulus oleh para sahabat, saya sangat berharap agar kisah tersebut bisa
diterbitkan dan dibaca orang lain. Bukan untuk mencari sensasi atau
mendramatisir kehidupan. Namun perjuangan yang dilalui ini perlu untuk dibagi
agar diketahui dan dipahami banyak orang.
Ketika mengetahui bahwa buku ini akan dicetak, bahkan dengan biaya
bersama dari mereka sendiri, saya makin kagum dengan kesungguhan ini. Bahwa apa
yang dilakukan ini adalah untuk membuat perubahan besar dalam kehidupan mereka.
From Zero to Hero, saya kira ini bukan berlebihan. Bukan
sekedar menjadi pahlawan devisa yang sering kali dikemukakan dengan tanpa rasa
empati, tapi sejatinya mereka adalah pahlawan bagi keluarganya. Walau kadang,
tak jarang ada yang harus kecewa karena di rumah, terjadi hal lain yang membuat
kisah hidup makin memilukan. Saya yakin kisah-kisah dalam buku ini, yang
disusun dengan linangan air mata, bisa memberi inspirasi bagi banyak orang dan
makin menghargai apa yang telah dilakukan.
Saya bangga telah menjadi bagian dari kehidupan para
sahabat-sahabat yang telah berani berbagi kisah hidupnya di sini. Saya yakin
ini tidak mudah. Perjuangan yang sesungguhnya adalah ketika kembali ke tanah
air karena bekerja di luar negeri bukanlah cita-cita, melainkan hanya sebagai
jalan keluar untuk sebuah angan-angan dan rencana. Sukses akan menanti para
sahabat, hadapi hidup dengan semangat. Jangan ragu untuk menuju ke jenjang
kehidupan berikutnya.
Semoga para pembaca juga bisa mengambil hikmah dari refleksi
yang dituangkan dalam buku ini.
Surabaya, 26 Juni 2013
Nur Agustinus