Oleh: Nur Agustinus
Waktu adalah uang. Begitu nampaknya kapitalisme telah membuat mindset para
pelaku ekonomi benar-benar menjadi homo-economicus dan melupakan moralitasnya
sebagai homo-ethicus. Hal ini yang kemudian melahirkan kecenderungan homo homini
lupus, di mana manusia adalah serigala bagi yang lain. Terjadi eksploitasi di
mana-mana terhadap sumber daya, baik alam maupun manusia. Pelumpuhan
(disempowerment) dan pemiskinan (impoverishment) sosial-ekonomi.
Memang,
menurut Karl Marx manusia selalu terkait dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan
yang melahirkan sejarah. Manusia adalah makhluk yang bermasyarakat, yang
beraktivitas, terlibat dalam suatu proses produksi. Hakikat manusia adalah kerja
(homo laborans, homo faber). Dalam hal ini Marx bertolak dari ajaran Adam Smith.
Smith melihat kodrat manusia sebagai homo economicus, yang cenderung melakukan
pertukaran. Hal ini tak lepas dari asumsi dasar pemikiran Marx yang memandang
manusia sebagai homo faber, makhluk pekerja, makhluk produktif. Manusia baru
akan merasa bermakna bila ia memproduksi yang berguna buat dirinya dan orang
lain, kemudian, hal ini menjadi perbincangan di kalangan Frankfurt School dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan terhadap kritik kapitalisme.
Wajah
Homo Economicus
Memang, perilaku homo economicus memiliki prinsip
maksimalisasi keuntungan dan minimalisasi pengorbanan (sacrifice). Homo
economicus, mendorong semangat berebut dan bertarung adu kekuatan, yang telah
terbukti tak henti-hentinya membentukkan suatu ”restless society” ataupun
“stressful society”. Teresa Lunati, penulis ”Ethical Issues in Economics: From
Altruism to Cooperation to Equity”, mengemukakan bahwa Homo economicus atau
manusia ekonomi adalah agen individual yang berada di pusat teori ekonomi
neoklasik (teori utilitarian, hedonis dan menitikpusatkan pada diri-sendiri,
yang rasionalis dan beretika individualis). Ia egois, rasional, berupaya untuk
mencapai utilitas secara maksimum. Ia bertindak secara independen dan
nonkooperatif, sebagai atom sosial yang terisolasi tanpa mempunyai naluri akan
masyarakat sekitarnya, dan perilakunya dimotivasi semata-mata oleh
kepentingan-diri pribadi secara sempit.
Maka tak heran jika wajah homo
economicus modern kemudian menjadi tamak dan oportunistik; tak dapat dipercaya
dan tidak mempercayai orang lain, tak mampu memberi komitmen dan akan selalu
berupaya untuk mendapat manfaat secara cuma-cuma; bahkan menganggap keegoisannya
serta segala sifat dan perilakunya sebagai hal yang wajar. Sebaliknya, Homo
ethicus samasekali berbeda dan bahkan merupakan kebalikan dari homo economicus.
Namun di sinilah sering terjadi masalah. Homo economicus memperlakukan para
pekerja dengan semena-mena, sehingga sering melupakan aspek etika dan
moralitas.
Padahal menurut Emmanuel Lévinas, moralitas merupakan pengalaman
dasar manusia, pengalaman dasar tersebut bersifat etis, pengalaman dasar
tersebut adalah pengalaman untuk bertanggung jawab. Eksistensi fenomenologi
paling dasar adalah pengalaman moral sebagai titik tolak kesadaran, sikap, dan
dimensi penghayatan manusia sekaligus kesadaran akan Yang Ilahi.
Lévinas
mengemukakan bahwa kehadiran itu merupakan undangan atau panggilan untuk
bersikap etis. Siapapun orang lain itu, dikenal atau tidak dikenal, hadir
sebagai panggilan yang harus dijawab. Bahkan penderitaan dari orang lain yang
hanya dirasakan atau ditangkap melalui imaginasi, merupakan undangan untuk
bersikap etis. Maka sikap yang paling tepat terhadap orang lain pada umumnya,
dan orang yang menderita pada khususnya, adalah sebuah tanggung jawab. Terhadap
penderitaan orang lain, setiap manusia semestinya merasa punya tanggung jawab
sebagai manusia untuk meringankan bebannya.
Di sini solidaritas sosial
berarti jawaban etis atau reaksi kemanusiaan terhadap penderitaan orang lain.
Lévinas menyebut hal ini sebagai moralitas “penampakan wajah” atau “Lyan”.
Setiap tindakan manusia harus mengutamakan “teriakan” objek. Ketika subjek
melihat wajah objek, subjek harus mengutamakan apa yang diteriakannya. Ketika
J.P. Sartre meneriakan “others is hell” (yang lain adalah neraka) sehingga harus
segera dilenyapkan, Lévinas degan tegas mengatakan yang lain adalah wujud
kebenaran yang harus segera didengarkan (teriakannya) oleh subjek.
Pemikiran
Lévinas ini menjadi sangat kontekstual ketika kita harus memasuki ranah bisnis
dan industri. Bisnis memaksa sebuah kumpulan manusia membentuk sebuah strata
sosial. Tingkatan ini menggambarkan adanya masyarakat yang lebih tinggi dan yang
lebih rendah kedudukannya. Ada manusia yang mengatur dan ada yang diatur.
Lévinas akan mengatakan bahwa subjek adalah pemimpin dan objek adalah mereka
yang dipimpin. Tindakan pemimpin harus mengutamakan “penampakan wajah” pekerja
yang dipimpin.
Oleh karenanya, sikap egosentrisme pengusaha (subjek) harus
dibuang demi kebenaran yang diteriakan sang pekerja (objek). Ketika pengusaha
sebagai subjek mengabaikan wajah objek (pekerja), disinilah moralitas berteriak
meminta sebuah kebenaran. Di sinilah pencurian atas hak pekerja terjadi. Hak
pekerja dicuri oleh pengusaha yang menggalang sebuah ide pragmatisme konstruktif
demi sebuah kepuasan diri. Ketika pencurian hak pekerja terjadi, mungkinkah
kebenaran moral masih bisa bersuara?
Dari egosentris menuju
solidaritas
Lévinas menggunakan istilah totalitè untuk menjelaskan
totalitas sikap manusia yang egois, yang senantiasa menjadikan dirinya sebagai
pusat segala. Manusia adalah pusat makna yang memaknai yang lain. Ia adalah
pusat nilai yang menjadi standar nilai bagi yang lain. Egoisme manusia memandang
realitas lain sebagai obyek kenikmatan dirinya. Segala sesuatu berputar-putar
mengelilingi sang aku (le Moi), karena sang aku adalah pusat yang mempunyai daya
tarik untuk mereduksi segala yang lain ke dalam kesenangan. Sesungguhnya sikap
seperti ini telah menempatkan manusia pada posisi tunggal: Aku adalah
satu-satunya yang paling utama. Lévinas menyebutnya ”le Moi comme singularitè”.
Memang benar, di alam semesta ini manusia adalah makhluk satu-satunya yang
paling ekspansif, progresif dan bahkan sekaligus destruktif.
Robert A. Sirico
menandaskan, solidaritas adalah “the acceptance of our social nature and the
affirmation of the bonds we share with all our brothers and sisters.” Jelas bagi
Sirico, solidaritas dapat ditimbulkan melalui perasaan simpati atau bela rasa
(compassionate) atas keadaan penderitaan yang dialami orang lain. Tapi perasaan
ini saja tidak cukup. Solidaritas haruslah merupakan pengakuan akan hakikat diri
kita sebagai mahkluk sosial yang tidak ingin membiarkan orang lain berkembang
tanpa bantuan dan kerja sama kita, karena kesadaran bahwa kita pun tidak mungkin
hidup dan berkembang tanpa bantuan orang lain.
Ini berarti, seperti diungkap
oleh Lévinas, solidaritas bermakna memandang orang lain, siapa pun dia, hingga
kita menangkap “wajah” mereka yang menuntut sebuah perhatian (care), perawatan
(nurturing), dan tanggung jawab. Wajah adalah bagian tubuh yang langsung
menampakan diri ketika kita berelasi dengan orang lain. Tidak peduli dalam
keadaan riang-bersemangat atau sedih penuh derita, wajah yang menampakan diri
selalu merupakan realitas normatif yang menuntut keterlibatan dan tanggung
jawab. Tentu wajah memelas penuh derita karena suatu bencana alam atau kesulitan
hidup akan menuntut keterlibatan yang lebih besar dari pada wajah yang penuh
canda dan tawa.
Derrida menawarkan teori dekonstruksi yang begitu identik
dengan filsafat posmodernisme. Dekonstruksi menolak sesuatu yang absolut dan
memilih menjadi kontekstual. Dekonstruksi tidak terikat pada bentuk yang sudah
ada, karenanya makna yang dihadirkan tidak mengacu pada bentuk final. Oleh
karenanya, dekonstruksi merupakan strategi untuk menguliti lapisan-lapisan makna
yang terdapat di dalam "teks", yang selama ini telah ditekan atau
ditindas.
Persoalannya adalah, wajah pekerja ini seringkali tidak terlihat
oleh pengusaha. Mereka hanya nampak sebagai deretan angka atau nomor urut
pekerja, atau bahkan nama-nama yang tidak bisa mewakili kehadiran seutuhnya dari
wajah mereka. Terlebih lagi, kewajiban para pekerja untuk menggunakan seragam
yang sama, membuat penampilan yang mirip satu sama lain, menghilangkan keunikan
individu dan ini membuat wajah yang sesungguhnya tenggelam sehingga sulit untuk
terjadi sebuah relasi yang baik.
Menerima kehadiran orang
lain
Semua ini akan berbeda jika kita mendalami pemikiran Gabriel
Marcel. Menurut Marcel, keharmonisan hidup bersama akan terjadi bila terpatri
dimensi cinta. Cinta hakekatnya adalah sebuah seruan hendaknya engkau hidup
bersama dengan aku (penerimaan akan orang lain). Bagi Marcel, eksistensi manusia
adalah berada di dunia. Menurut pendapatnya pengalaman eksistensial yang paling
mendasar adalah hubungan manusia sebagai subjek. Maka demi terciptanya suatu
hubungan pribadi antara dua subjek atau lebih perlulah pertemuan antarsubjek itu
sendiri. Sedangkan pertemuan antarsubjek itu barulah mungkin apabila
masing-masing subjek tersebut memakai prinsip partisipasi dalam saling mendekati
satu sama lain. Artinya, masing-masing subjek mendekati satu sama lain sebagai
misteri.
Hubungan antarpribadi pada gilirannya akan terwujud sempurna dalam
cinta. Dalam hubungan cinta aku dan engkau naik ke taraf yang lebih tinggi yaitu
menjadi kita. Dalam cinta, aku mengimbau engkau supaya bersatu menjadi kita.
Namun kebersamaan dalam cinta itu tidak berlangsung sesaat saja. Kebersamaan
cinta menurut kodratnya harus berlangsung terus. Maka perlulah kesetiaan.
Merosotnya hubungan terjadi bilamana salah satu pihak mulai memasang berbagai
macam penilaian terhadap pihak lainnya. Ikatan persekutuan antarsubjek yang
dibangun atas dasar cinta akan mencapai puncaknya. Dalam hubungan ini setiap
pihak yang terlibat merasakan dan mengalami kehadiran bersama.
Gagasan dasar
Marcel di atas seringkali digunakan dalam menyikapi orang-orang yang terlalu
menganggap dirinya menjadi pusat. Untuk itu Marcel mencoba mengajak orang
tersebut untuk sadar bahwa pentingnya Aku mengenali diriku sebagai manusia jika
hanya dalam relasiku dengan orang lain, Aku bukanlah pusat dari segalanya,
Adanya aku bukanlah karena aku sebagai pusat segalanya melainkan karena aku
menjadi bagian dari orang lain dan mengakui eksistensi seseorang dan juga
perlunya keterbukaan hati.
Erich Fromm dalam bukunya The Anatomy on Human
Destructiveness berpendapat bahwa segala tindakan manusia (termasuk mencinta)
berkutat pada dua energi psikis. Energi psikis ini yaitu pertama, necrophilia
yakni dorongan destruktif, yang mengarah kepada kesakitan, perusakan dan
kematian serta kebusukan. Dominasi energi ini akan sering tampak dalam mimpi,
bahasa dan tindakan sehari-hari. Seorang necrophilis cendrung bermimpi mengenai
kekerasan, kekejaman, perusakan bahkan pembunuhan. Dalam tindakan misalnya
gairah necrophilis bisa muncul dalam diri anak kecil yang kegemarannya menangkap
serangga lalu mempreteli sayap-sayapnya atau mengadu kalajengking dengan
kepiting. Dalam percakapan seorang necrophilis mudah meluncurkan umpatan dan
wacana kekerasan. Kondisi seperti ini lebih banyak dilakukan oleh kaum pria,
From menyebut tokoh seperti Hitler dan Stalin sebagai manusia dengan
keperibadian yang didominasi oleh energi necrophilia.
Energi psikis kedua
adalah biophilia yaitu dorongan konstruktif, yang mengarah kepada sikap
memelihara, mencintai dan menumbuhkan kehidupan. Kalau diamati seorang gadis
kecil sudah biasa melakukan tindakan yang lebih banyak diwarnai oleh energi
psikis ini. Maka tak heran jika dalam budaya dengan sistem patriakhi,
kecenderungan necrophilis ini menjadi dominan dalam masyarakat, melupakan etika
dengan prinsip utamanya, “jangan melakukan sesuatu yang tidak ingin orang lain
lakukan terhadapmu.”
Merekonstruksi Homo Ethicus
kembali
Etika eksis selama kita menyadari keberadaan manusia sebagai
mahluk yang memiliki kehendak bebas dan bertanggung jawab terhadap tindakannya.
Manusia adalah adalah pengada dengan status ontologisnya yang oleh Heiddeger
disebut “Dasein”, yakni pengada yang mempertanyakan adanya dan memaknai pengada
diluar dirinya. Sehingga subjek memiliki titik sentral dalam dirinya, sehingga
keputusan yang diambil manusia adalah manifestasi dari status
ontologisnya.
Dalam hal ini Herbert Spencer dengan tepat mengemukakan bahwa
kesejahteraan hidup suatu masyarakat akan selalu berjalan lurus dengan kualitas
pendidikan dan pengetahuannya. Kemiskinan struktural dan segala bentuk
penindasan tidak perlu terjadi. Jika mereka punya pengetahuan yang cukup. Karena
dengan pengetahuan itu, mereka mampu melakukan perlawanan. Melakukan
pembongkaran terhadap ketidakberesan-ketidakberesan hidup dan mekanisme dominasi
sosial yang terjadi di lingkungannya.
Namun tak dipungkiri, kapitalis
bagaimanapun adalah musuh yang tangguh bagi kaum buruh. Kaum buruh secara
sengaja dan terstruktur memang dienyahkan dari akses pengetahuan oleh mereka.
Sehingga perlawanan yang diharapkan Spencer di atas tak perlu dikhawatirkan.
Eksploitasi atas hak-hak manusia oleh homo economicus harus berjalan tenang
tanpa gelombang perlawanan. Karena bagaimana mungkin buruh memikirkan untuk
mengakses informasi dan pengetahuan sebagai kebutuhan dirinya, apabila jam kerja
mereka yang dipatok oleh kaum pemilik modal tidak memungkinkan untuk itu. Tidak
taat pada disiplin kerja, berarti sama halnya memutuskan urat nadi sendiri
ditengah-tengah kungkungan dunia materialisme. Sehingga praktik penindasan terus
terjadi, sekalipun penindasan itu berwujud dalam bentuknya yang paling “santun”
atau kekuasaan simbolik, seperti kata Pierre Bourdieu.
Untuk itu, perlu upaya
subversif untuk melakukan dekonstruksi wajah homo economicus menjadi lebih
ramah, baik dan peduli. Gabriel Marcel menyodorkan solusi dalam bentuk cinta,
demikian juga Erich Fromm. Memang bagi Marc Gafni, eros adalah energi vital yang
suci. Eros dan spiritualitas ternyata berkaitan erat secara mendalam. Tegasnya,
yang erotik dan yang kudus sebenarnya serupa dan sama. Gafni mengemukakan, bahwa
jika segala kegagalan dari etika adalah hasil dari runtuhnya eros.
Maka,
hidup yang erotik merupakan hidup yang sakral. Bahkan tanpa eros, menurut Marc
Gafni, kesalehan kita hanyalah pura-pura saja, tidak meresap sampai ke batin.
Tanpa eros, tatanan etika kita di semua tingkat: personal-interpersonal,
profesional-organisasional, dan sosio-politikal cuma topeng-topeng saja,
membebani dan mematikan gairah. Dan kita tahu, tatanan semacam ini akhirnya akan
runtuh dari dalam meskipun dari luar terlihat masih utuh. Gafni menekankan,
salah satu wajah dan karakter eros adalah ”kesalingterhubungan dengan semua
kehidupan”. Kerinduan, keinginan, dan hasrat yang bergetar selalu membisikkan
bahwa kita saling terhubung.
Tentu semua ini memerlukan kesadaran bersama
serta niat sungguh-sungguh untuk mengubah wajah homo economicus menjadi homo
ethicus. Sebuah nilai manusia yang perlu dikonstruksi ulang, melalui proses
dekonstruksi, di mana kehadiran orang lain, melalui wajah-wajah yang selama ini
dianggap tidak sederajad atau direndahkan, menjadi lebih bermakna melalui
pengakuan dan penerimaan, dari semua pihak.
Referensi:
- Fenomenologi Liyan Emmanuel
Levinas--Wajah Sebagai Landasan Etika,
http://www.scribd.com/doc/20911470/Fenomenologi-Liyan-Emmanuel-Levinas-Wajah-Sebagai-Landasan-Etika
- Majalah Religion & Liberty, edisi September dan Oktober 2001, Vol. 11, No.
5, http://jeremiasjena.wordpress.com/2007/03/23/solidaritas/
- http://www.institutmahardika.com/artikel/artihidu.php
- http://en.wikipedia.org/wiki/Marc_Gafni
- http://raflesia0981.multiply.com/reviews
- Titik tolak pemikiran
Gabriel Marcel dalam Man Against Mass Society,
http://jeremiasjena.wordpress.com/2008/02/05/titik-tolak-pemikiran-gabriel-marcel-dalam-man-against-mass-society/