B.M. Purwanto, Ph.D. memberikan ceramah metodologi penelitian |
Saya mengikuti acara lokakarya metodologi penelitian yang diselenggarakan oleh Unika Widya Mandala, Surabaya. Ini tentu saja bukan lokakarya UFO, namun berhubung ada yang pernah bertanya soal bagaimana metode meneliti fenomena UFO, saya coba pelajari materi yang ada. Acara berlangsung hari ini, 30 Oktober, dan besok. Materi disampaikan oleh B.M. Purwanto, Ph.D., dosen dari Universitas Gadjah Mada. Materinya bagi saya sangat menarik dan memberi gambaran tentang apa itu pengetahuan, apa itu science dan juga paradigma-paradigma yang ada. Tentu saja, lokakarya metodologi penelitian untuk bidang manajemen, namun saya ingin berbagi apa yang saya dapatkan tadi pagi yang kira-kira berkaitan dengan pengetahuan fenomena UFO.
Saya teringat pada Dr. Thomas Jamaluddin, Peneliti Utama Astronomi-Astrofisika LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), yang pernah mengatakan bahwa secara ilmiah keberadaan UFO sulit dibuktikan. Dalam nomenklatur kajian antariksa, UFO tidak pernah masuk sebagai kajian ilmiah. Saya sangat setuju akan hal itu dan harus diakui, pengetahuan tentang UFO masih dalam ranah pseudoscience. Tapi, apakah benar kita tidak bisa meneliti soal UFO? Bagaimana pengetahuan tentang UFO dibangun?
B.M. Purwanto mengemukakan bahwa manusia sebagai makhluk yang sadar diri, sadar lingkungan, memiliki sejumlah pengetahuan. Apa yang diketahui manusia mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibuatnya. Di awal presentasinya, Purwanto menjelaskan tentang Style of Thinking, dalam hal bagaimana manusia memperoleh pengetahuan (knowledge). Ada 8 cara manusia memperoleh pengetahuan, yaitu: (1) Authority and tradition, (2) Postulate, (3) Self-Evident Truth, (4) Personal Experience, (5) Common Sense, (6) Case Studies, (7) Myth and superstition, dan (8) Science.
Pengetahuan otoritas dipercaya karena orang yang menyampaikan misalnya dianggap benar, baik, jujur dan powerful. Sebagai contoh, percaya pada pengetahuan yang diberikan oleh guru kita, atau pemimpin agama. Sementara pengetahuan berdasarkan common sense, biasanya tergantung dari pengalaman dan logika seseorang. Sifatnya memang subyektif. Yang menarik tentunya adalah pengetahuan berdasarkan mitos (myth) dan superstition (tahayul). Misalnya, kursi pesawat tidak ada yang nomor 13, lantai apartemen atau hotel tidak ada yang diberi nomor 13.
Science sendiri merupakan sebuah cara berpikir untuk memperoleh pengetahuan. Sebagai sebuah cara berpikir, metode ilmiah berada dalam ranah rasionalisme dan empirisme. Empirisme adalah observasi dan proposisi berdasarkan pada pengalaman dengan menggunakan metode induktif logic, termasuk matematik dan statistik. Sementara rasionalisme, sumber utama pengetrahuan adalah penalaran (reasoning dan judgment). Pengetahuan dideduksi dari kebenaran dan hukum alam. Seorang yang berpikir secara ilmiah, harus memiliki sikap skeptis.
Sebagai orang yang ingin berpikir secara ilmiah, Purwanto mengatakan bahwa kita tidak bisa menjadi orang yang naif 100%. Artinya, terbuka dan menerima segala hal. Namun, Purwanto juga menegaskan bahwa kebenaran ilmiah tidak pernah mutlak, dan ini ditandai dengan selalu ada error atau deviasi. Oleh karena itu, cara berpikir science juga menuntut keterbukaan terhadap hal baru (open minded), namun tetap dilandasi dengan sikap skeptis. Kalau tidak terbuka dan skeptis, maka pengetahuan yang kita miliki menjadi ideologi. Memang dikemukakan juga oleh B.M. Purwanto bahwa tidak menarik jika sumber pengetahuan hanya bersumber pada science saja. Namun aneh juga kalau hanya didominasi oleh mitos dan otoritas saja.
Pengetahuan ilmiah menuntut harus bisa dilakukan verifikasi, sementara itu, sebuah case study sulit untuk direplikasi dan lemah dalam generalisasi. Ini menjadi menarik karena saya teringat pada studi kasus orang-orang yang mengaku mengalami perjumpaan (alien encounter) atau penculikan oleh alien (alien abduction). Saya tahu betul, bahwa studi seperti ini jelas sulit untuk diverifikasi bahkan sangat subyektif. Dalam hal ini Purwanto mengemukakan dengan tepat memang bahwa tanpa bisa diverifikasi, akhirnya akan hanya menjadi belief (kepercayaan) saja. Jadi, itu tergantung saya percaya dengan kasus yang diceritakan itu atau tidak. Setelah itu, ketika saya menyampaikan laporan studi kasus, maka pembaca atau pemirsa juga tinggal percaya atau tidak. Tentu saja, dengan demikian tidak bisa disebut sebagai sebuah studi ilmiah.
Contoh lain yang sempat dibicarakan oleh salah seorang peserta lokakarya, ketika gunung Merapi meningkat status bahayanya, ahli vulkanologi memperkirakan akan meletus, namun mbak Marijan mengatakan bahwa Merapi tidak akan meletus. Mbah Marijan yang benar, akan tetapi, pengetahuan mbak Marijan ini tidak bisa dianggap sebagai ilmiah karena tidak dapat direplikasi oleh orang lain. Science bagaimanapun juga menuntut verifikasi.
Purwanto juga sempat menyinggung soal pseudoscience. Ada “tabu besar” yang dilakukan oleh pseudoscience, misalnya, seringkali hanya memilih data yang mendukung saja. Dengan demikian ada norma komunitas ilmiah yang dilanggar, yaitu kejujuran (honesty). Saat menjelaskan soal norma komunitas ilmiah, selain kejujuran, ada 4 norma lagi, yaitu (1) universalism, (2) organized skepticism, ilmuwan harus selalu bersikap kritis dan berhati-hati dalam menerima ide baru, (3) Disinterestedness, di mana ilmuwan harus netral dan terbuka terhadap hal-hal baru, (4) Communnalism, pengetahuan ilmiah hatrus disebarluaskan dan dimiliki bersama dan proses riset harus dipaparkan secara rinci.
Kembali ke fenomena UFO, yang secara empiris sulit untuk dibuktikan dan tidak bisa diverifikasi validitasnya, maka memang studi-studi mengenai UFO atau alien tidak bisa melakukan pendekatan positivisme. Namun benar itu sendiri ada dua, yaitu apakah yang dirasakan atau apa yang dilihat. Bagi orang yang mengalami atau menjadi saksi mata, dan jika dia memang mengemukakan hal itu dengan kejujuran, maka dia tentu tahu apa yang dirasakannya dan apa dilihatnya. Walau tentu saja, hal itu tidak bisa dirasakan atau dilihat oleh orang lain. Menurut saya, sebagai sebuah studi kasus, tentu hal ini bisa dilakukan, namun sekali lagi karena fenomena UFO ini tidak bisa dikaji secara ilmiah, maka sejauh ini akhirnya tetap kembali kepada diri masing-masing, percaya atau tidak. Namun demikian, sebagaimana tadi disebutkan oleh Purwanto, saya menganjurkan sebuah sikap ilmiah meski kita mengamati fenomena yang masih dianggap tidak ilmiah sampai saat ini, yaitu dengan bersikap open minded skeptic.
Surabaya, 30 Oktober 2009
nur agustinus