12 Mei 2013
Mau sukses? Ambil resiko! (4/6)
Oleh: Nur Agustinus
Tak terasa saya telah selesai membaca bab pertama dan mulai membuka lembaran berikutnya, bab 2 dengan judul "Berani Mengambil Resiko". Ada sebuah gambar satu halaman penuh, pemandangan tebing di tepi laut dengan kutipan dari T. S. Eliot, "Hanya orang-orang yang mau mengambil resiko sajalah yang akan mengetahui bagaimana cara mengembangkan dirinya." Saya cari lewat google bahasa Inggrisnya, "Only those who will risk going too far can possibly find out how far one can go." Membaca kutipan dalam bahasa Inggrisnya membuat saya lebih memahami. Ada kata kunci penting yang hilang dalam terjemahannya, yaitu "going too far". Semua orang pasti menjalani resiko dalam hidupnya. Tapi sejauh mana kita berani menempuh resiko, itu akan menentukan sejauh mana kita akan pergi. Contoh gampangnya, orang yang takut pergi terlebih takut naik pesawat, juga akan tidak jauh-jauh perginya.
Ada sebuah perasaan dalam diri yang membuat kita selalu berusaha berhati-hati agar tidak kehilangan milik kita yang berharga. Tapi sikap hati-hati ini bisa meningkat menjadi kecemasan dan ketakutan. Hidup pada dasarnya tidak lebih dari tahapan-tahapan tak terbatas yang muncul melalui berbagai kesempatan yang memiliki tingkat resiko yang berbeda-beda. Di manapun kita berada, resiko yang mengancam diri kita selalu ada. Entah di rumah sekalipun tetap ada resiko keruntuhan bangunan jika terjadi gempa bumi, bepergian entah naik bus, kereta ataupun pesawat, juga ada resiko kecelakaan. Bahkan jalan kakipun di trotoar bisa celaka jika ada pengemudi mobil yang mengemudi dalam keadaan mabuk. Tapi kalau kita tidak berani menjalani resiko itu, kita tidak akan pernah pergi dan dengan demikian, kita juga tidak akan pernah sampai ke tujuan. Lebih buruk lagi, karena terlalu khawatir kehilangan miliknya yang berharga, yakni kehidupannya, ada yang tak berani bermimpi besar dan merasa puas dengan apa yang ada.
Resiko, seperti halnya ketakutan, adalah salah satu kata ajaib dalam hidup. Spencer mengatakan bahwa tanpa resiko, hidup akan sepi dari tantangan dan gairah. Orang yang sukses punya prinsip: "Tanpa ada tantangan, maka seseorang tidak akan mendapatkan apapun." Namun orang yang sukses juga menyadari bahwa tidak semua perbuatan bisa menjadi sukses, kadang juga ada kegagalan yang harus dialami. Nah, mengenai hal ini, Spencer mengatakan bahwa jika Anda tidak sering mengalami kegagalan, berarti tujuan Anda terlalu rendah, dan Anda terlalu banyak berada di zona aman. Kata-kata ini menyadarkan saya. Kalau saya merasa selama ini hidup saya berjalan baik-baik saja, jangan terlena, sebab jangan-jangan saya yang terlalu santai dalam menghadapi masa depan. Bahkan bisa jadi saya telah melewatkan banyak kesempatan dan resiko dalam hidup. Saya lantas berpikir juga, berarti saya harus siap gagal... harus berani gagal. Karena jika saya takut gagal, maka saya justru tidak akan berani menempuh resiko yang levelnya lebih tinggi lagi. Saya sudah nyaman dengan resiko yang saya jalani saat ini, tapi saya tidak berani untuk naik ke tingkat resiko yang berikutnya. Maka benarlah apa yang dkatakan T.S. Eliot, seberapa jauh kita mau mengambil resiko akan menentukan sejauh mana kita bisa mencapai kesuksesan dalam hidup ini.
Dengan mengambil resiko, kita diajarkan bahwa peluang pada masa yang akan datang, baru akan datang saat kita mengoptimalkan peluang yang dimiliki hari ini. Resiko itu perlu dihadapi dan dijalani. Memang, saat menghadapi resiko, ada sebagian orang yang berpikir tentang hal buruk yang akan menimpa dan juga merasa khawatir kehilangan apa yang dimiliki saat ini. Tapi, akan berbeda jika bisa menerjemahkan resiko sebagai sebuah peluang terbuka yang bisa menjadikan hidupnya lebih bergairah, lebih berguna, lebih produktif, dan lebih menjanjikan. Di balik resiko yang besar terdapat perolehan yang besar. Dan, ingatlah bahwa tidak melakukan apapun bahkan memiliki tingkat resiko yang tinggi bagi kita di kemudian hari.
Ada satu hal menarik yang dikemukakan oleh penulis buku ini, dan ini penting menurut saya untuk disimak, "Menonton TV terlalu banyak akan membuat seseorang menjadi pesimis, merasa bosan, dan kurang inisiatif." Memang sudah banyak peneliti yang membahas dampak televisi, namun saya juga baru tahu bahwa ternyata dampaknya begitu besar pada kesuksesan seseorang. Televisi menghabiskan waktu kita dan membuat kita pasif serta hidup kita terasa cepat berlalu tanpa ada kesan berarti. Singkat kata, mungkin ekstrimnya, televisi membuat kita tidak berani mengambil resiko. Tanpa resiko, tidak akan ada pencapaian hidup. Dan, tanpa ada pencapaian hidup, maka segala waktu, usaha dan komitmen dalam hidup Anda adalah sia-sia.
Di halaman 57 buku "Always on Top" ini, ada kata-kata sederhana namun bagi saya dalam artinya, yakni: "Orang-orang sukses memulai tindakan mereka dengan keinginan besar untuk menjadi sukses." Kalimat ini seakan tanpa makna berarti, tapi kalau kita lihat esensinya, ini bisa menjadi sebuah pertanyaan mendasar, yaitu "Seberapa besar Anda ingin sukses?" atau "Seberapa sungguh-sungguh Anda ingin benar-benar sukses?" Saya akan coba jelaskan dengan cara saya mengapa hal ini menjadi penting. Saya coba ambil contoh seorang teman saya sendiri, dia seorang duda, penampilan menarik dan memiliki kehidupan yang cukup mapan. Dia ingin menikah lagi dan mempunyai pendamping dalam hidupnya. Namun sampai lebih dari 10 tahun menduda, dia belum menikah lagi, bahkan memiliki kekasih saja tidak. Hingga suatu saat, ketika ada seorang sahabat saya datang dari Jakarta, dia adalah seorang penasihat spiritual yang telah berusia lebih dari 70 tahun. Saya mengajak teman saya datang ke hotel tempatnya menginap. Lalu setelah berbincang macam-macam, dia bertanya, "Apakah saya masih mempunyai peluang untuk menikah lagi?" Nah, jawaban atas pertanyaan ini yang membuat saya tercengang. Beliau justru membuat pertanyaan balik, "Seberapa sungguh-sungguh kamu ingin menikah?" Jawab teman saya, "Ya kalau bisa menikah, syukur, kalaupun ternyata tidak, ya tidak apa." Nah, jawaban inilah yang akhirnya menunjukkan apakah benar sungguh-sungguh atau tidak. Kalau kita tidak sungguh-sungguh, janganlah kita berharap hasilnya akan seperti yang kita inginkan. Kalau kita sungguh-sungguh, maka kita akan fokus dan berkomitmen akan tujuan itu dan hasilnya adalah sebuah kesuksesan.
Belajar dari hal itu, saya sejak itu ketika memilih untuk melakukan sesuatu dalam hidup ini, saya akan sungguh-sungguh menginginkan hal tersebut. Saya tidak mau bersikap, ya kalau berhasil ok, tidakpun juga tak masalah. Pemikiran seperti itu saya buang jauh-jauh. Saya harus sungguh-sungguh ingin atau tidak sama sekali, sehingga saya tidak lagi terganggu dengan keinginan yang cuma setengah-setengah.
Tentu, keberanian mengambil resiko itu tidak sama pada semua orang. Seperti telah dibahas, kalau kita berani mengambil resiko dan kemudian sukses, maka kita akan berani untuk mengambil resiko yang lebih besar. Contoh sederhana, kalau kita berani ambil pinjaman untuk modal usaha di bank sebenar 5 juta rupiah, lantas kita berhasil melunasinya, maka di kemudian hari kita akan lebih berani untuk ambil pinjaman yang lebih besar lagi. Ibarat kita main sebuah game komputer, setiap level pasti punya kesulitan sendiri-sendiri dan biasanya makin tinggi levelnya akan makin sulit. Jika kita berhasil di level yang pertama, pasti kita ingin mencoba level berikutnya. Demikian seterusnya hingga kita sampai pada level yang sangat sulit dan tak mudah untuk menyelesaikannya. Nah, pertanyaannya, kita mau "bermain" di level yang mudah (yang seakan tak ada resikonya), atau mencoba terus untuk berhasil dan meningkat ke level kesulitan berikutnya.
Ini hal yang penting untuk disimak: Pilihlah tingkat resiko yang tepat bagi Anda. Pisahkan mana resiko yang bisa Anda jalankan dari yang sulit dijalankan. Ini tidak mudah, karena Anda harus punya ketrampilan dalam memisahkan kedua jenis resiko tersebut. Ketrampilan memisahkan resiko ini yang menentukan apakah Anda akan sukses atau tidak. Anda tidak boleh bermain di level aman karena hal itu tidak akan membuat Anda maju, tapi juga tidak baik berada di kondisi yang bisa membuat Anda berdarah-darah mengalami kegagalan. Anda harus tahu, mana resiko yang bisa Anda tempuh dan memiliki potensi kesuksesan yang bisa Anda raih. Dengan kata lain, jika Anda seorang petinju kelas bulu, jangan bertanding di level kelas berat. Anda harus bertanding di level yang sesuai dan jika Anda sukses, melangkahlah ke level resiko yang lebih tinggi.
Itulah sebabnya, sebelum mengerjakan beberapa hal, seorang juara selalu melakukan analisis resiko terlebih dahulu. Jika hasil analisis memperlihatkan bahwa resiko yang ditanggung terlalu besar, mereka tidak akan mengambil resiko tersebut. Dengan kata lain, ketika Anda tidak yakin dengan resiko yang akan Anda ambil, jangan melakukan tindakan apapun sampai ada fakta yang menunjukkan bahwa resiko yang Anda akan ambil bisa menguntungkan Anda. Ini juga berarti sebenarnya, jika tantangan dirasa terlalu memberatkan, jangan ambil resiko tersebut. Carilah peluang lain. Ini pada hakikatnya adalah esensi dari prinsip "Calculated risk-taking".
Tapi lalu saya mempertanyakan juga pernyataan di atas. Bagaimana jika orang tersebut adalah seorang yang pesimis atau peragu? Bagaimana jika orang itu sebenarnya mampu, tapi dia tidak memiliki keyakinan diri untuk bisa melakukannya sehingga menganggap tantangan yang ada itu memiliki resiko yang terlalu besar untuk dapat ditanggung? Bagaimana kita bisa tahu bahwa ukuran resiko yang kita nilai tersebut adalah benar-benar obyektif? Saya mencoba mencari jawabannya. Spencer mengemukakan bahwa kita memang butuh kearifan yang bisa membimbing kita untuk menyatakan bahwa tindakan yang kita ambil itu adalah tindakan yang berani, bukan tidakan bodoh sebagai akibat dari keinginan ego kita. Di sisi lain, kita harus benar-benar sadar bahwa kalau kita masih ragu-ragu, jangan-jangan hambatan itu justru datang dari dalam diri kita sendiri akibat kita tidak mau keluar dari zona aman.
Cara melatih diri paling efektif menurut Spencer adalah membiasakan diri untuk mengerjakan sesuatu yang lebih daripada yang dapat dilakukan. Dalam bahasa Inggrisnya adalah: "Doing extra miles." Jadi kuncinya adalah, kita tahu apa bakat kita, fokus pada hal itu, jaga kesehatan, tingkatkan selalu ketrampilan dan lakukan secara lebih dari sekedar biasa-biasa saja.
(bersambung)
Popular Posts
-
Hari Kamis, 23 September 2010, saya mengikuti kuliah filsafat yang disampaikan oleh Romo Adrian Adiredjo, OP. Kuliah filsafatnya meng...
-
Oleh: Nur Agustinus Pasti kita sudah sering melihat, sebuah perusahaan didirikan tapi tidak bertahan lama. Ada yang bangkrut, ada yang ...
-
Saat ini banyak yang membahas soal BMC, Business Model Canvas. Bentuk dari BMC memang macam-macam, bamun karena namanya canvas, secara pr...
-
Hospitality marketing adalah pemasaran untuk meningkatkan pendapatan dalam industri/bisnis yang berhubungan dengan hospitality, seperti peng...
-
Orang biasanya berkata bahwa seorang entrepreneur itu harus pandai menemukan peluang. Tapi sesungguhnya hal yang lebih baik kalau kita bis...
-
Salah satu kegiatan utama seorang entrepreneur adalah jualan (selling). Nah, menjual produk atau jasa, tidak boleh mengabaikan apa ya...
-
Oleh: Nur Agustinus Waktu adalah uang. Begitu nampaknya kapitalisme telah membuat mindset para pelaku ekonomi benar-benar menjadi homo...
-
Bersama Profesor Saras D. Sarasvathy Banyak orang ketika ditanya, apakah ingin jadi pengusaha? Pasti banyak yang ingin. Namun ketik...
-
Saya dulu ikut ISPSI (Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia) yang sekarang menjadi HIMPSI. Saya jadi anggota dan saya ikut beberapa pertemuanny...
-
Waktu masih SD dulu (sekitar tahun 70an) ada buku seri terbitan Gramedia yang namanya "Ceritera dari Lima Benua". Salah s...