Sudah lama saya tidak menulis notes. Membaca sebuah artikel yang bagus di
Kompas, 16 Mei 2012, tulisan Maria Hartiningsih di rubrik Sosok yang
berjudul "Biksuni Thubten Chodron: Prinsip-prinsip Etik Tak Bisa
Dikompromikan" membuat saya kembali ingin menulis.
Artikel tersebut membahas hubungan antara dunia konsumsi dan materi, pujian dan persetujuan, reputasi dan kenikmatan pada obyek (inderawi). Menjadi sebuah pertanyaan, apakah dunia konsumsi yang membuat manusia tak kenal kata "cukup"?
Maria Hartiningsih merangkum perbincangan dengan Biksuni Thubten Chodron, yang mengatakan bahwa konsumerisme selalu terkait empat hal, yakni kekayaan materi, pujian dan persetujuan, reputasi dan kenikmatan hidup. Empat hal itu berpasangan dengan empat hal lainnya, yang disebutnya sebagai "delapan kecemasan duniawi" (eight wordly concerns).
Pertama, kemelekatan pada uang dan materi dalam arti luas, dan galau kalau tidak memilikinya. Kedua, kemelekatan pada pujian dan persetujuan, dan terganggu kalau dikritik atau ada orang yang tak sependapat. Ketiga, kemelekatan pada reputasi dan citra baik, serta terusik kalau reputasi dan citra itu runtuh. Keempat, kemelekatan pada kenikmatan inderawi, dan terganggu kalau menemui hal-hal tak menyenangkan.
Konsumerisme menjadi keprihatinan biksuni pendiri Biara Srasvasti wihara Buddha di dekat Newport, Washingtin State, AS ini. "Dunia modern sangat terikat pada upaya menghasilkan uang. Hampir semua orang memuja uang dan materi."
Menurut biksuni, dalam hidup, sensasi inderawi berpengaruh kuat dan sangat reaktif terhadap obyek di luar diri yang ditangkap lima indera manusia. Oleh sebab itu, banyak orang tak tergantung pada agama, bangsa dan kebudayaannya. Mereka mengejar yang serba indah dan mempertaruhkan segalanya demi materi.
"Kemelekatan itu memotivasi setiap reaksi," katanya. "Ketika kekayaan hilang, ketika dikritik orang, ketika reputasi runtuh, dan perasaan terganggu, kita akan tersinggung dan marah. Itulah penyebab ketegangan dan kekerasan yang merupakan persoalan universal."
Ironisnya, orang modern berpikir konsumerisme membawa kebahagiaan, juga dari perspektif ekonomi. Tingginya tingkat konsumsi diyakini akan memajukan ekonomi dalam negeri. Padahal sumber daya alam terbatas, tak terbarukan dan kita belum berbuat banyak untuk melakukan daur ulang."
Keserakahan yang membuat manusia tak kenal kata "cukup" telah menjadi status mental di manapun yang pada akhirnya menuju kepada kehancuran lingkungan dan kehidupan. "Prinsip-prinsip etik dan agama tak mungkin dikompromikan dengan dunia konsumsi," tegasnya. "Semua agama berbicara tentang kebaikan, tentang welas asih dan cinta, Menjaga lingkungan berarti menjaga kehidupan, berarti berlaku baik dan welas asih dalam praktik hidup sehari-hari."
Namun justru kini semakin banyak orang tak merasa bersalah telah menerjang prinsip-prinsip etik karena "kepala sibuk dengan citra publik, dengan konsumerisme, kita tak punya waktu berdialog dengan diri sendiri."
Biksuni Thubten Chodron sangat menganjurkan untuk melakukan dialog dengan diri. Dialog diri hanya bisa dilakukan dengan sejenak meninggalkan kesibukan, diam dan mempertanyakan, misalnya, "Apakah saya sungguh menyukai diri saya? Apakah saya merasa nyaman dengan kehidupan seperti ini?"
"Kita harus kembali pada prinsip etik dan menyadari bahwa keserakahan tak akan membuat orang menemukan makna hidup."
Menurut Biksuni, satu hal penting dalam hidup adalah merasa nyaman dengan diri sendiri, juga selalu berhubungan dan menghidupi kebersamaan dengan diri sendiri sepanjang hidup. Ia menekankan, tindak korupsi berarti mengorup diri sendiri. "Pada hari terakhir, kita harus berdamai dengan diri sendiri. Pada saat itu, materi, kekayaan, pujian, reputasi, kesenangan ragawi, semua ditinggalkan. Di ranjang kemarian, orang hanya bisa menyesali perbuatannya, bukan menyesal karena tak punya berlian baru."
Tulisan artikel ini memberi pencerahan, mengingatkan saya pada sebuah buku yang ditulis oleh
Rani Rachmani Moediarta yang berjudul "Secangkir Teh Penawar Lara. Berhentilah Sejenak, Kawan..." yang nampaknya juga mengajurkan untuk melakukan dialog diri dengan berhenti sejenak, bernafas dan menikmatinya.
Saya lantas merenungkan kembali sebuah kutipan yang baru-baru ini saya pasang di dinding facebook: "We buy things we don't need, with money we don't have, to impress people we don't like."
Akhirnya, mengutip puisi Jalaluddin Rumi yang berjudul "Hati Bersih Melihat Tuhan."
Setiap orang melihat Yang Tak Terlihat
dalam persemayaman hatinya.
Dan penglihatan itu bergantung pada seberapakah
ia menggosok hati tersebut.
Bagi siapa yang menggosoknya hingga kilap,
maka bentuk-bentuk Yang Tak Terlihat
semakin nyata baginya.
Surabaya, 16 Mei 2012
nur agustinus
Artikel tersebut membahas hubungan antara dunia konsumsi dan materi, pujian dan persetujuan, reputasi dan kenikmatan pada obyek (inderawi). Menjadi sebuah pertanyaan, apakah dunia konsumsi yang membuat manusia tak kenal kata "cukup"?
Maria Hartiningsih merangkum perbincangan dengan Biksuni Thubten Chodron, yang mengatakan bahwa konsumerisme selalu terkait empat hal, yakni kekayaan materi, pujian dan persetujuan, reputasi dan kenikmatan hidup. Empat hal itu berpasangan dengan empat hal lainnya, yang disebutnya sebagai "delapan kecemasan duniawi" (eight wordly concerns).
Pertama, kemelekatan pada uang dan materi dalam arti luas, dan galau kalau tidak memilikinya. Kedua, kemelekatan pada pujian dan persetujuan, dan terganggu kalau dikritik atau ada orang yang tak sependapat. Ketiga, kemelekatan pada reputasi dan citra baik, serta terusik kalau reputasi dan citra itu runtuh. Keempat, kemelekatan pada kenikmatan inderawi, dan terganggu kalau menemui hal-hal tak menyenangkan.
Konsumerisme menjadi keprihatinan biksuni pendiri Biara Srasvasti wihara Buddha di dekat Newport, Washingtin State, AS ini. "Dunia modern sangat terikat pada upaya menghasilkan uang. Hampir semua orang memuja uang dan materi."
Menurut biksuni, dalam hidup, sensasi inderawi berpengaruh kuat dan sangat reaktif terhadap obyek di luar diri yang ditangkap lima indera manusia. Oleh sebab itu, banyak orang tak tergantung pada agama, bangsa dan kebudayaannya. Mereka mengejar yang serba indah dan mempertaruhkan segalanya demi materi.
"Kemelekatan itu memotivasi setiap reaksi," katanya. "Ketika kekayaan hilang, ketika dikritik orang, ketika reputasi runtuh, dan perasaan terganggu, kita akan tersinggung dan marah. Itulah penyebab ketegangan dan kekerasan yang merupakan persoalan universal."
Ironisnya, orang modern berpikir konsumerisme membawa kebahagiaan, juga dari perspektif ekonomi. Tingginya tingkat konsumsi diyakini akan memajukan ekonomi dalam negeri. Padahal sumber daya alam terbatas, tak terbarukan dan kita belum berbuat banyak untuk melakukan daur ulang."
Keserakahan yang membuat manusia tak kenal kata "cukup" telah menjadi status mental di manapun yang pada akhirnya menuju kepada kehancuran lingkungan dan kehidupan. "Prinsip-prinsip etik dan agama tak mungkin dikompromikan dengan dunia konsumsi," tegasnya. "Semua agama berbicara tentang kebaikan, tentang welas asih dan cinta, Menjaga lingkungan berarti menjaga kehidupan, berarti berlaku baik dan welas asih dalam praktik hidup sehari-hari."
Namun justru kini semakin banyak orang tak merasa bersalah telah menerjang prinsip-prinsip etik karena "kepala sibuk dengan citra publik, dengan konsumerisme, kita tak punya waktu berdialog dengan diri sendiri."
Biksuni Thubten Chodron sangat menganjurkan untuk melakukan dialog dengan diri. Dialog diri hanya bisa dilakukan dengan sejenak meninggalkan kesibukan, diam dan mempertanyakan, misalnya, "Apakah saya sungguh menyukai diri saya? Apakah saya merasa nyaman dengan kehidupan seperti ini?"
"Kita harus kembali pada prinsip etik dan menyadari bahwa keserakahan tak akan membuat orang menemukan makna hidup."
Menurut Biksuni, satu hal penting dalam hidup adalah merasa nyaman dengan diri sendiri, juga selalu berhubungan dan menghidupi kebersamaan dengan diri sendiri sepanjang hidup. Ia menekankan, tindak korupsi berarti mengorup diri sendiri. "Pada hari terakhir, kita harus berdamai dengan diri sendiri. Pada saat itu, materi, kekayaan, pujian, reputasi, kesenangan ragawi, semua ditinggalkan. Di ranjang kemarian, orang hanya bisa menyesali perbuatannya, bukan menyesal karena tak punya berlian baru."
Tulisan artikel ini memberi pencerahan, mengingatkan saya pada sebuah buku yang ditulis oleh
Rani Rachmani Moediarta yang berjudul "Secangkir Teh Penawar Lara. Berhentilah Sejenak, Kawan..." yang nampaknya juga mengajurkan untuk melakukan dialog diri dengan berhenti sejenak, bernafas dan menikmatinya.
Saya lantas merenungkan kembali sebuah kutipan yang baru-baru ini saya pasang di dinding facebook: "We buy things we don't need, with money we don't have, to impress people we don't like."
Akhirnya, mengutip puisi Jalaluddin Rumi yang berjudul "Hati Bersih Melihat Tuhan."
Setiap orang melihat Yang Tak Terlihat
dalam persemayaman hatinya.
Dan penglihatan itu bergantung pada seberapakah
ia menggosok hati tersebut.
Bagi siapa yang menggosoknya hingga kilap,
maka bentuk-bentuk Yang Tak Terlihat
semakin nyata baginya.
Surabaya, 16 Mei 2012
nur agustinus