22 Apr 2009

Bercerai, mengapa tidak?

Terpicu dari tulisan di milis psikologi yang berjudul "Menikah lagi" untuk para janda yang ditinggal mati suaminya, meski tidak relevan dengan hal itu, adalah penting juga membicarakan masalah perceraian. Seperti ada pameo yang mengatakan, perceraian yang sehat lebih baik daripada pernikahan yang sakit. Ya, jika perkawinan sudah tidak bisa dipertahankan lagi, mengapa tidak bercerai saja.

Sekitar setahun lalu, di Shanghai, Cina, ada orang yang waktu merayakan hari valentine dengan meluncurkan "klub cerai". Seperti diungkapkan oleh Shu Xin, presiden klub tersebut, "Karena merupakan hal yang membahagiakan untuk keluar dari pernikahan yang mati." Pada awal-awal pembukaan klub ini, sedikitnya 135 pria dan wanita kaya telah bergabung dalam klub ini, di antara mereka ada yang telah bercerai dan orang-orang yang ingin bercerai. Dalam kegiatannya, klub baru tersebut akan menyediakan layanan konseling. Klub juga akan mengadakan acara-acara sosial dan perayaan perceraian. Kasus perceraian di Cina terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data statistik dari Kementerian Urusan Sipil Cina, sebanyak 1,6 juta pasangan Cina bercerai pada tahun 2004 lalu. Angka ini naik sekitar 21,2 persen dari tahun sebelumnya. (sumber: detiknews.com)

Ya, bercerai... mengapa tidak?

Sejauh ini banyak orang merasa perceraian sebagai suatu momok yang harus dihindari. Bahkan sedapat mungkin, seseorang yang hendak bercerai itu didamaikan dan perkawinannya dibuat langgeng kembali. Ya, sebagian berhasil, sebagian kemudian hidup dalam hubungan yang sangat renggang, berjalan sendiri-sendiri, meski status mereka tetap suami isteri.

Statistik di New York dan Washington memperlihatkan bahwa perceraian di kalangan kaum terpelajar lebih tinggi dibanding yang terjadi di kalangan lain. Di Hollywood, angka perceraian sedemikian tinggi sehingga pemerintah enggan mengungkapkan angkanya kepada publik. Majalah Amerika, Wake magazine, melaporkan bahwa angka perceraian telah meningkat hingga 1000 persen pada 10 tahun yang lalu. Pengadilan Perancis mengadili 9785 kasus perceraian dan 8000-nya adalah inisiatif dari istri.

Apa sebabnya perceraian begitu meningkat akhir-akhir ini. Banyak pakar sosiologi maupun psikologi melihat perubahan yang ada di dunia ini sebagai penyebab. Ya, itu paling mudah untuk menjawa sebuah pertanyaan korelasi meski belum tentu hal itu yang menyebabkannya. Misalnya, ditengarai Perang Dunia Pertama dan Kedua yang menimbulkan penolakan generasi muda terhadap standar moral dan tradisi sebagai ekspresi kebebasan sebagai penyebab perceraian meningkat. G. Peels dalam bukunya Matrimony and Modernity mengatakan, "Peningkatan perceraian adalah hasil dari perang dunia pertama dan kedua."

Bahkan Tolstoy menulis, "Salah satu sebab meningkatnya perceraian ialah adanya kebebasan tanpa batas bagi kaum wanita untuk memilih pekerjaan apapun, meskipun hal itu bertentangan dengan kodrat alami mereka." Di samping itu, zaman mesin juga ikut menambah ketegangan dan mencampakkan wanita dan lelaki ke dalam hubungan yang tidak legal dan menimbulkan kecemburuan dalam keluarga. Lebih jauh lagi, kesibukan wanita di luar rumah membuat masalah semakin bertambah kompleks. Berapa banyak orang yang masuk dalam radio komunikasi semacam orari dan kini internet yang melakukan selingkuh di udara atau di dunia maya.

Lalu, apa yang menyebabkan perkawinan itu memburuk? Apakah sistem perkawinan itu sudah tidak relevan lagi? Apakah perkawinan harus di dekonstruksi?

Di dalam negeri juga sama. Menurut data tingkat perceraian di Kabupaten Ponorogo termasuk tinggi, baik di tingkatan provinsi, maupun se eks Karesidenan Madiun. Pada 2006, pendaftar perceraian mengalami kenaikan tajam. Untuk Juni, ada 80 perkara, Juli 84 perkara, dan Agustus 86 perkara. Menurut Panitera Pengadilan Agama Ponorogo, Moh Fahrur, ada dua hal kuat yang selama ini melatarbelakangi kenaikan tersebut. Antara lain kurangnya tanggung jawab dan kurangnya keharmonisan dalam rumah tangga. Sedangkan masalah yang didaftarkan, kebanyakan hanya empat jenis. Yaitu gugat cerai, talak suami, dispensasi dan poligami. "Kalau dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Timur jumlah tersebut masih lebih tinggi dari Kabupaten Malang, Banyuwangi dan Jember. Tapi kalau se eks Karesidenan Madiun kita nomer dua setelah Kabupaten Ngawi. Dan tampaknya dari waktu ke waktu semakin meningkat," jelasnya. (sumber: Media Indonesia) Demikian juga di Palembang, pada Agustus-September 2006, kasus perceraian berkisar 50-60 perkara, lalu pada Oktober-November 2006 perkara perceraian mencapai 90 perkara. Dengan lain kata meningkat sekitar 85-90 persen. Dan awal Desember ini, sudah ada 30 kasus gugatan cerai. Sebuah angka yang cukup besar.

Keluarga adalah sebuah komunitas dalam bentuk dunia kecil. Sebelum terjadinya Revolusi Industri, Barat menjalani kehidupan sederhana sebagai petani. Pada masa itu, keluarga merupakan pusat kasih sayang dan kesetiaan. Kaum lelakinya pergi ke ladang untuk bekerja dan mencari nafkah. Sementara kaum perempuannya mendidik, memelihara, dan memperhatikan anak-anak mereka. Lingkaran famili mengikat kehidupan semua anggotanya. Ah... jadi ingat film Little House in The Prairie.

Kemudian Revolusi Industri terjadi dan industri memerlukan buruh. Salah satu akibat dari keperluan ini ialah pemisahan lelaki, perempuan, dan anak-anak ke dalam pusat industri, kantor pemerintaahn, rumah-rumah komersial, dan institusi besar yang lain. Kota-kota kecil dibangun dengan tujuan untuk memuaskan selera kenyamanan lahiriah dan kemewahan materi.

Wacana waktu itu memang menyudutkan kaum perempuan. Keruntuhan kehidupan berkeluarga ini melemahkan ikatan perkawinan. Kelembutan dan kasih sayang kian terhapus. Perempuan kehilangan kesempatan untuk dapat memberikan perhatian yang penuh terhadap keluarga dan menjalankan tugas membesarkan anak yang sejak dulu diembannya. Dualisme peran sebagai seorang buruh pabrik dan seorang ibu terlalu berat untuk dipikul. Waktu dan peluang yang cukup untuk memberikan ketenangan hati dan untuk menyusun kehidupan keluarga telah hilang. Dia harus datang tepat waktu ke tempat kerja dan untuk itu ia harus meninggalkan pekerjaan rumah tangganya, dan kemudian pulang ke rumah dalam keadaan lelah. Tak heran jika di masa itu banyak sekali penelitian tentang peran ganda wanita maupun pro dan kontra ibu bekerja. Maraknya perceraian juga dituding sebagai akibat budaya barat yang liberal.

Lalu, pertanyaannya, mengapa perceraian itu dianggap tabu?

Pernikahan bukanlah sekedar perjanjian biasa yang disaksikan notaris, melainkan sebuah kontrak yang disaksikan Tuhan. Umumnya orang melihat perceraian hanya bisa dilakukan jika dalam situasi yang benar-benar tak dapat dihindari. Perceraian harus dipandang sebagai escape window kalau Anda menemui masalah-masalah yang benar-benar gawat; dan tak bisa dipakai setiap saat Anda menemui persoalan.

Banyak tulisan tentang dampak buruk perceraian, entah bagi perkembangan anak maupun kesejahteraan pihak-pihak yang bercerai. .Misalnya, hasil penelitian yang menunjukkan anak-anak yang menjadi nakal karena berasal dari keluarga broken home. Sementara itu, masih sangat sedikit tulisan postif tentang perceraian.

Teringat pada seorang teman yang saat ini sedang menghadap kasus perceraian orang tuanya, saya kemarin membeli sebuah buku yang berjudul "The Female Brain" karangan Louann Brizendine. Yang menarik di sampul belakang buku tersebut ada tertulis. "Mengapa seorang perempuan di atas usia 50 tahun lebih mungkin mengajukan cerai daripada lelaki?" Salah satu sebabnya konon adalah pada pascamenipause, terjadi kondisi estrogen dan testosteron rendah dan stabil sehingga minat utamanya adalah melakukan apa yang ingin dilakukan dan tidak begitu berminat untuk mengurus orang lain. Apakah hanya karena sebab 'sepele' itu?

Hubungan suami istri dikatakan mulai masuk arena berbahaya jika hubungan keduanya mulai renggang. Salah satu tandanya adalah keengganan atau rasa keterpaksaan melakukan sesuatu secara bersama. Misalnya, kalau dulu suami tampak senang mengantarkan Anda ke supermarket, kini mulai enggan dan lebih suka untuk menunggu di mobil saja atau duduk di ruang tunggu. Atau Anda sendiri sudah mulai cepat merasa capai dan bosan ketika mengantarkan pasangan Anda ke suatu tempat. Ini menjadi titik berbahaya sebab biasanya ada kerinduan untuk merasakan sensasi romantik dengan orang lain. Apalagi jika keadaan seperti itu cukup lama berlangsung. Bahkan tidak mungkin kalau kemudian teringat pacar lama. :-)

Banyak kasus peceraian karena perselingkuhan. Percaya atau tidak, ada istri yang gembira jika mengetahui suaminya berselingkuh. Sebab dengan demikian, dia juga akan mempunyai kebebasan yang sama. Pertanyaannya adalah, mengapa tidak bercerai saja? Ya, bercerai oke saja, asal mobil Jaguarmu aku yang bawa. :-)
(nur agustinus - milis psikologi, 27 Maret 2007)

Popular Posts