17 Feb 2023

Save the best for the last


Sejak kecil aku suka sekali makan yang namanya telur ceplok atau telur mata sapi. Kebiasaanku waktu makan selalu menghabiskan dulu nasinya, baru terakhir menikmati telurnya. Bukan cuma telur, namun saat makan lainnya, misal ayam goreng, maka nasinya habis duluan, baru setelah itu ayamnya. Belakangan setelah aku besar, aku kemudian dengar istilah, “save the best for the last”. Menyisakan hal paling baik untuk yang terakhir. 

Aku tidak tahu, apakah itu kebiasaan yang baik atau tidak. Apakah ini juga mirip dengan peribahasa,  'Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dulu, bersenang-senang kemudian'? Entahlah. Sepertinya juga tidak sama persis, karena makan nasi bukanlah penderitaan. Apakah dengan makan nasi dulu ini supaya kenyang lalu setelah itu baru menikmati yang enak? Atau, jika seandainya aku makan telurnya dulu dan habis, apakah aku akan bisa menikmati saat menghabiskan nasinya? 

Nasi adalah makanan pokok buat kebanyakan orang Indonesia. Makanan sumber karbohidrat yang berguna sebagai sumber tenaga harian. Walau kini banyak himbauan agar mengurangi karbohidrat. Aku sendiri sudah sejak usia sekitar 40an, dinyatakan mengidap diabetes tipe 2. Papiku juga penderita diabetes. Itu sebabnya ada yang bilang bahwa penyakit ini adalah turunan. Opa dan Omaku, orangtua papiku, keduanya diabetes. Semua anak-anaknya atau saudara papiku, menderita diabetes tipe 2. Namun aku juga sadar betul bahwa kalau aku saat ini memiliki penyakit gula, itu juga karena pola makan dan gaya hidupku yang kata banyak orang, tidak sehat. Apalagi aku juga tidak suka olah raga.

Aku waktu kecil tidak suka sayur. Makanan dan minuman saat itu sudah mulai banyak yang manis-manis serta porsinya banyak. Menu di Surabaya itu biasanya banyak, Orang mengatakan porsi kuli. Saat aku kuliah, rumah makan waralaba fast food mulai banyak muncul, seperti CFC, KFC, McD, pizza dan lain sebagainya. Minuman soda seperti coke atau lainnya juga menjadi minuman pelengkap resto cepat saji ini. Bahkan dengan tambah uang sedikit, bisa dapat porsi minuman yang lebih besar. Tentang minuman soda ini sendiri memang sudah ada sejak aku kecil. Saat itu ada yang namanya limun bermerk F&N. Aku paling suka yang rasa coffee beer. Ada juga Green Spot, Seven Up, Mirinda dan lain sebagainya. Enak semua. Aku dulu juga suka Fanta rasa nanas. Namun minuman rasa ini tidak lama dipasarkan, entah kenapa.

Kembali ke “Save the best for the last”, saat makan ceplok, sampai hari ini, aku juga lebih suka memakan putihnya dulu, baru terakhir menghabiskan kuningnya. Jelas yang kuning lebih gurih dan enak daripada yang putih. Sepertinya banyak juga yang seperti aku cara makannya. Kenapa ya? Apakah ada penjelasan teori psikologi untuk hal ini? Mengapa orang suka menyisakan yang dirasakan paling enak untuk saat terakhir?

Tentu saja, kebiasaan ini tidak semua orang melakukannya. Yang aku tahu, salah satu anakku, Krista, punya kebiasaan makan telurnya dulu. Atau setidaknya dimakan sembari dengan nasinya. Kalau dipikir, harusnya ini yang betul. Nasi dimakan dengan lauknya. Nah karena Ferdinand jika makan ambil nasinya banyak, maka sering telurnya sudah habis duluan dan nasinya masih ada.  Tapi dia bisa menghabiskan nasinya meski lauknya sudah habis.

Saya lantas ingat dengan salah satu eksperimen marshmallow di Stanford. Eksperimen ini adalah sebuah percobaan yang dilakukan oleh Walter Mischel dari Universitas Stanford untuk mempelajari mengenai kepuasan tertunda. Percobaan ini dilakukan Mischel pada tahun 1960an. Hal ini kemudian juga dihubungkan dengan kecerdasan emosional. Eksperimen ini dilakukan pada anak-anak usia pra sekolah dan dihadapannya ada sebuah marsmallow (permen kenyal). Si anak diberitahu, bahwa dia akan ditinggal sendirian untuk sementara waktu (sekitar 15 menit), lalu jika nanti si petugas datang kembali dan si anak bisa menahan dirinya untuk tidak mengambil dan memakan marsmallow itu, maka dia akan dihadiahi satu marsmallow lagi. Hasil dari percobaan tersebut adalah sekitar sepertiga dari anak-anak tersebut langsung dengan segera memakan marshmallow, sepertiga lainnya menunggu hingga Mischel kembali dan mendapatkan dua marshmallow, sementara sisanya berusaha menunggu tetapi akhirnya menyerah setelah waktu yang berbeda-beda. Eksperimen ini memang berkenaan dengan pengendalian diri anak.  

Apakah eksperimen ini bisa menjelaskan fenomena “save the best for the last”? Aku belum mendalaminya lebih lanjut. Namun dari pengalamanku, cara makanku sepertinya begitu. Misalnya saat makan sate, biasanya satenya aku sisakan untuk yang terakhir. Aku bisa menikmati makan nasi dengan bumbunya. Tapi herannya, saat aku makan kacang rebus misalnya, aku justru mengambil dulu kacang-kacang yang besar. Justru saat-saat terakhir, aku melihat yang ada tersisa adalah kacang-kacang yang kecil dan tidak menarik. Padahal aku mengambilnya tidak selalu dengan melihat dulu. Apakah tanganku dengan meraba bisa memilih yang terbaik lebih dulu? Tapi kenapa tidak berlaku “save the best for the last”? Apakah kalau makan camilan seperti kacang rebus ini terbiasa dimakan bersama banyak orang lain sehingga terjadi semacam kompetisi agar jangan sampai aku mendapatkan kacang rebus yang kecil dan jelek sebab yang bagus-bagus akan diambil oleh yang lain? 

Aku pernah mengikuti seminar Financial Planning dari Bapak Dr. Denny Bernardus, teman kuliahku di S3 dulu yang sekaligus menjadi bossku saat aku bergabung dengan Universitas Ciputra. Beliau mengajarkan juga prinsip “save the best for the last” ini dalam mengelola keuangan. Prinsip ini penting untuk pengeluaran yang besar.  Dari pengalaman, beliau mengatakan, kebanyakan orang kalau memakan telur mata sapi ini, biasanya yang dimakan adalah putihnya dahulu baru kemudian yang terakhir adalah kuningnya. Save the best for the last. Aku setuju sekali karena aku melakukan seperti itu. 

Menurut Pak Denny, ini sebenarnya hanya bisa dilakukan kalau kita benar-benar tahu apa yang kita inginkan di masa mendatang. Misalnya, mau punya rumah. Orang sering tidak sabar dan salah dalam membuat keputusan. Seperti di eksperimen marsmallow tadi ini sebenarnya prinsip belajar menahan nafsu atau kontrol diri. Jadi pertanyaannya, sanggupkan kita menahan diri untuk mencapai apa yang kita cita-citakan dan tidak tergoda untuk membeli barang-barang yang sebenarnya hanya kita inginkan tapi tidak kita butuhkan? Sepertinya soal cara makan ini adalah hal yang sepele saja. Tapi mungkin bisa mempengaruhi perilaku serta keputusan kita juga. Dalam ilmu perilaku ekonomi, memang banyak keputusan yang kita ambil itu dilakukan secara emosional dan tidak rasional.

Mengakhiri cerita soal makan ini, aku teringat dengan pengalaman seorang temanku. Dia cerita punya pengalaman yang membagongkan gara-gara menerapkan prinsip save the best for the last. Saat itu dia bersama keluarganya makan di sebuah rumah makan. Dia pesan ayam goreng. Seperti biasa, nasinya dihabiskan dulu. Lalu setelah semua sudah selesai makan dan kemudian balik ke parkiran mobil untuk pulang, dia baru ingat kalau ayam gorengnya belum dia makan. Kelupaan. Ya, ini risiko gara-gara save the best for the last…

Salam sehat untuk semua, jangan lupa bahagia.

Popular Posts