Saat mengikuti acara Indonesia UFO Network #2 di
Yogyakarta, 21 Juli 2019, saya mendapatkan sebuah pencerahan. Harus saya akui, walau
suka, saya memang kurang mendalami topik ancient aliens atau ancient arkeologi,
termasuk yang dari sudut pandang non mainstream. Pencerahan itu saya dapatkan
dari mas Erianto Rachman dari Human Earth. Saat itu topik yang dibawakan adalah
tentang hubungan antara makrokosmos dengan mikrokosmos pada peradaban Mesir
kuno.
Dari penjelasannya yang sangat menarik itu, saya baru
sadar bahwa selama ini, galaksi kita yang namanya milky way atau jalan susu
(disebut juga Bima Sakti), adalah sebuah “sungai yang mengalir di surga”.
Memang sudah sejak lama saya memahami bahwa surga ini adalah heaven, sky atau
langit. Saya tidak pernah membayangkan surga seperti kepercayaan orang-orang
bahwa di sana merupakan tempat yang penuh permata, intan dan batuan yaspis yang
indah sebagaimana ditulis di kitab-kitab kuno, karena bagi saya itu adalah
metafora. Tapi mendengar ceramahnya mas Erianto Rachman, ternyata itulah yang
sebenarnya. Yaitu, bagaimana masyarakat di masa lalu, memandang langit yang
begitu indah, penuh intan permata di langit. Tentu saja, intan permata, batu delima
dan yaspis itu adalah bintang-bintang yang bertaburan di langit.
Di masa lalu, saat manusia masih banyak tinggal di luar,
padang gurun dan mengembara, maka duduk dengan memandang langit adalah sebuah
kegiatan yang biasa dilakukan. Pemandangan langit juga pasti lebih luar biasa
dibandingkan dengan saat ini. Belum ada polusi cahaya, tak ada juga polusi asap
pabrik, maka sudah pasti langit akan nampak bertaburan bintang-bintang yang
sangat indah dan cemerlang.
Pemandangan langitpun juga tidak sama dengan saat ini
karena bumi dan matahari mengalami pergerakan. Dengan demikian, arah atau garis
“sungai di surga” juga beda dengan saat ini. Mas Erianto menjelaskan tentang
posisi sungai Nil yang pas bertemu dengan sungai atau jalan susu (milky way).
Penjelasan ini langsung mengingatkan saya pada sungai di taman Eden yang kemudian
membuat empat cabang di bumi, yaitu sungai Eufrat, Tigris, Gison dan Pison. Saat
ini, di bumi yang dikenal hanya ada dua sungai yaitu Eufrat dan Tigris. Hasil
penyelidikan ahli arkeologis, konon mengatakan bahwa kedua sungai yang lain
sudah tertimbun pasir atau menjadi sungai yang ada di dalam tanah.
Boleh jadi, rasi-rasi bintang yang indah di langit, juga
membuat orang-orang di masa itu membayangkan sebagai bidadari-bidadari yang
rupawan. Dengan bintang-bintang cemerlangnya nampak bagai bidadari surga yang
bermata jeli. Apakah sebuah kebetulan, jika Zodiaque de Denderah (Zodiak Dendera) dengan 48 rasi bintang dari Claudius Ptolemaus, diidentifikasi di
antara yang hadir 72 rasi bintang di Zodiak tersebut.
Terlepas dari semua itu, kosmologi di masa lalu memang
menakjubkan. Kita selalu terpesona melihat langit dan memuat kita merasa begitu
kecil tak berdaya. Carl Sagan juga mengatakan bahwa bumi ini sebagai sebuah
titik biru muda di jagad raya.... dan kita, manusia, hanyalah bagian dari debu bintang.
(nur agustinus)