22 Apr 2009

Kasih ibu kepada beta

Terpicu dari tulisan mbak Vibrayani: "Hanya memberi tak harap kembali" saya teringat akan lagu "Kasih Ibu" sehingga saya komentari posting tersebut dengan setengah guyon bahwa cinta yang hanya memberi tak harap kembali hanya diberikan oleh ibu.

     Kasih ibu kepada beta,
     tak terhingga sepanjang masa...
     hanya memberi tak harap kembali ...
     bagai sang surya menyinari dunia ..


Namun saya tertarik juga untuk mengomentari posting mbak Yudi tentang ibu yang membiarkan anaknya yang berumur 4-5 tahun bahkan ada yang masih bayi (di bawah satu tahun) berada di lampu merah.

Pada umumnya, setiap orang tua ingin anaknya hidup lebih sejahtera daripada dirinya. Tentunya kecuali orangtua yang sangat egois sehingga mengorbankan anak-anaknya.

Pernah saya membaca sebuah hasil penelitian bahwa kasih ibu atau sifat keibuan itu bukan merupakan sifat yang alamiah, namun dipelajari. Ada proses konstruksi diri serta konstruksi sosial untuk bisa menjadi seorang ibu (atau ayah) yang penuh kasih. Demikian juga, tidak bisa dikatakan bahwa seorang ibu itu memiliki cinta yang tidak bersyarat sementara bapak cintanya lebih bersyarat. Menurut saya, semuanya itu terjadi karena dipelajari melalui budaya.

Karena hal-hal seperti itu dipelajari, maka hal itu akan tergantung norma-norma yang dianut dalam kelompok tersebut. Kelas ekonomi menengah mempunyai norma yang berbeda dengan kelas ekonomi yang berbeda. Aturan-aturan yang diajarkan serta dipakai juga berbeda. Bahkan bisa jadi bentuk "kasih ibu"-nya juga berbeda. Nah, pada saudara-saudara kita yang menjadi gelandangan dan pengemis atau anak jalanan, mereka juga punya norma-norma (atau sering disebut superego) yang berbeda dengan kita. Belum lagi, sejauh mana proses budaya mengajarkan pada mereka. Baik pengalaman hidup dan kebiasaan yang dilakukan.

Saya sendiri sering melihat anak-anak usia 5 tahun, perempuan, yang minta-minta di perempatan jalan dan dia menggendong bayi yang masih setahun. Memang mengenaskan melihat keadaan seperti itu, namun memang itu tujuannya agar kita kasihan dan memberi sedekah. Memanipulasi rasa kasihan ini dilakukan oleh mereka. Pertanyaannya memang, mengapa orangtua mereka tega melakukan hal itu?

Dalam kasus seperti ini, nampaknya anak-anak kecil yang saat ini berusia 4 atau 5 tahun, adalah mereka yang sekitar 3 tahun lalu sudah dalam gendongan peminta-minta. Ada semacam kaderisasi. Bahkan anak-anak jalanan perempuan yang dulunya berusia 10 tahun sekitar 5 tahun lalu, kini mereka sudah berusia 15 tahun. Sebagai anak jalanan, mereka berkenalan dengan seks sejak dini. Tak heran jika mereka banyak yang hamil dan melahirkan anak. Karena mereka terbiasa hidup di jalanan, maka buat mereka membiarkan anak-anak mereka berada di jalan adalah hal yang biasa. Bagi mereka itu adalah cara untuk bisa makan. Hidup diajarkan adalah seperti itu. Mereka tidak melihat kemungkinan lain karena ketidakmampuannya. Banyak rumah-rumah singgah yang didirikan oleh LSM akhirnya bisa menyelamatkan serta meningkatkan harkat hidupnya.

Di sisi lain, ada orang tua yang tega menyewakan anaknya untuk dipakai mengemis. Tentunya alasan terkuat dari tindakan itu adalah masalah ekonomi. Tetapi, mengapa mereka tega melakukan hal itu? Ada banyak sebab jika kita mau menelusurinya. Pertama, bisa saja anak-anak itu bukan anak-anak yang diharapkan. Anak yang dilahirkan dengan bapak yang tidak jelas (seperti saya kemukakan di atas, sebagai anak jalanan mereka mengenal seks sejak dini dan bisa saja hamil tanpa mereka kehendaki). Atau ada tekanan dari pihak ayah sehingga akhirnya si ibu menyetujui anaknya dipinjamkan atau berada di jalanan juga. Tapi, semua itu memang membuat kita terenyuh. Hanya saja, sejauh mana yang kita bisa perbuat? Tidak semua orang punya jiwa aktivis dan mau menghadapi persoalan seperti ini.

Hidup memang keras buat mereka. Jalanan aspal yang panas tersengat matahari sudah tak terasa lagi di telapak kaki mereka. Mereka sudah terbiasa hidup di jalan sejak mereka menghirup nafas pertama di dunia ini. Bukan lagi bicara soal tega atau tidak tega. Hidup ini sendiri terlalu tega dan kejam untuk mereka. Padahal, ada banyak pilihan yang bisa dilakukan. Hanya saja, tidak semua orang bisa melihat pilihan itu. Tidak mudah untuk melihat keluar dan membuat perubahan.

     Terima kasih ibu...
     Engkau telah membuat hidupku lebih baik
     daripada hidupmu sendiri dahulu....
     dan itu semua karena kasih ibu ...
     yang hanya memberi tak harap kembali ...


[semoga para bapak tidak protes...]

(nur agustinus - Milis Psikologi, 5 September 2006)

Popular Posts