21 Apr 2009

Hari ketika saya lahir

25 April 1966, sore itu ibu saya sudah mulai mengeluhkan kontraksi yang terjadi di perutnya. Nenek saya, ibu dari ibu saya, yang menemani ibu saya terlihat cemas karena ayah saya waktu itu sedang tidak ada di rumah. Ayah saya, M.F. Liem Hok Liong (Basuki Soejatmiko), sedang ikut demonstrasi bersama temannya yang bernama om Yos (Yos Tanjung) di kedutaan (atau konsultat) Cina yang ada di Jl Embong Kenongo atau Embong Tanjung (kalau tidak salah) Surabaya. Menurut cerita ibu saya, nenek saya bolak balik keluar masuk rumah untuk melihat apakah ayah saya sudah terlihat pulang atau belum. Orangtua waktu itu tinggal di sebuah rumah pavilion yang ada di jalan Tidar 91A Surabaya

Ibu saya saat itu berusia 24 tahun jalan. Mudah mengingatnya karena shionya (Zodiak Cina) sama dengan saya yakni shio kuda. Setiap shio yang sama berarti beda 12 tahun, dan saya dengan ibu saya ada beda 2 periode. Sementara ayah saya, yang kelahiran 1939, berusia 27 tahun jalan.

Bagi nenek saya, saya memang bukan cucu yang pertama. Saya mungkin cucu yang kesepuluh. Maklum ibu saya adalah anak bungsu dan kakak-kakaknya sudah punya anak yang lumayan banyak.

Ayah saya ikut demonstrasi menurut cerita ibu saya dalam rangka memprotes campur tangan pemerintah Cina ke pemerintah Indonesia. Sekitar setengah tahun sebelumnya, di Indonesia gempar dengan peristiwa G30S.

Sore hari, sekitar jam 6, ayah saya datang bersama om Yos. Waktu itu kami tidak punya mobil sehingga menuju rumah sakit RKZ (RSK St.Vincentius a Paulo) di jalan Diponegoro dengan menggunakan mobilnya om Yos. Tiba di rumah sakit, ternyata menurut dokter yang ada di sana, ini belum waktunya melahirnya. Dokter di RKZ salah hitung dan karena menurutnya belum saatnya, maka ibu saya disuruh pulang. Namun karena merasa sudah waktunya melahirkan karena kontraksi yang terus menerus, ayah saya kemudian menghubungi temannya yang ayahnya seorang dokter kandungan. Dokter itu bernama Dr. Tio Liep An. Oleh dokter tersebut, orangtua saya diminta untuk segera datang di kliniknya yang ada di sekitaran jalan Pregolan. Tempat klinik itu berupa rumah dua tingkat. Tingkat atas digunakan oleh dokter sebagai tempat tinggal dan lantai bawah sebagai tempat kliniknya.

Tiba di sana sekitar jam 7 malam lebih. Ayah saya menurut cerita ibu saya, tampaknya tenang-tenang saja. Justru yang lebih kelihatan bingung adalah om Yos. Hal itu membuat para perawat dan dokter yang ada di klinik itu mengira kalau om Yos adalah suami ibu saya. Melewati tengah malam, tanggal berubah menjadi 26 April. Seperti kebanyakan ibu-ibu yang lain ketika melahirkan anak pertama, ibu saya juga tidak mudah saat melahirkan saya. Berjam-jam menunggu berbaring dengan harap-harap cemas.

Jam 3 pagi, menjelang ayam berkokok saat subuh, saya lahir ke dunia ini. Tangis saya memecah kesunyian dini hari itu.

Pada tanggal 7 januari 1966, beberapa bulan sebelum saya lahir, ayah saya pernah mengirim surat kepada J.M. (yang mulia) Menko Dr. H. Roeslan Abdulgani, memohon nama untuk saya yang diperkirakan lahir pada bulan Mei atau Juni. Selama pemeriksaan rutin di RKZ, karena salah hitung, saya diperkirakan lahir bulan Mei atau Juni. Tanggal 27 Januari 1966, melalui Deputy III Sekretaris Menko (Kompartemen Perhubungan dengan Rakjat R.I.), Dr. H. Roeslan Abdulgani menyampaikan nama, jika laki-laki adalah Nur Pratidina dan jika wanita adalah Wuri Andhajani. Nama untuk wanita ini kemudian dipakai oleh ibu saya saat mengurus ganti nama.

Ayah saya kemudian memberi nama saya Nur Pratidina, yang konon artinya, nur adalah cahaya dan pratidina berarti setiap hari. Meski ketika remaja saya sempat malu dengan nama "nur" karena olok-olokan teman dengan "janur", "menur" (ada rumah sakit jiwa di jalan menur) dan sejenisnya, namun harus saya akui bahwa nama yang diberikan itu bagus sekali artinya dan saya kini bangga memakainya. Karena keluarga saya adalah keluarga Katolik, maka saya diberi nama baptis Agustinus. Orang tua saya memilih nama ini karena melihat tokoh Agustinus (santo Agustinus) adalah orang yang dulunya sangat nakal, sulit diatur dan semaunya sendiri, namun kemudian menjadi seorang uskup dan santo. Nama ini membuat orang menduga saya lahir di bulan Agustus, padahal tidak.

Tentu saja saya tidak akan menjadi seorang uskup, apalagi santo. Tapi ibu saya sering berkelakar bahwa beliau seperti ibu dari santo Agustinus yang selalu mendoakan agar anaknya yang nakal itu bertobat. Dan ibu saya sering berdoa agar saya juga menjadi orang yang baik.

Dr. Tio Liep An juga membantu proses persalinan adik-adik saya. Beliau kini telah tiada dan kebetulan dimakamkan bersebelahan dengan makam Oma dan Opa saya (orangtua ayah saya) di pemakaman Kembang Kuning Surabaya. Ayah saya sendiri juga telah meninggal dunia pada tahun 1990 dan dimakamkan di tempat pemakaman yang sama. Nenek saya yang sangat gelisah menunggu ayah saya pulang saat ibu saya hendak melahirkan saya, juga telah tiada di tahun 1995. Ibu saya saat ini menjabat sebagai direktur Pasca Sarjana di Unika Widya Mandala. Tadi pagi sempat saya meminta ibu saya untuk bercerita singkat dan karenanya saya bisa menulis seperti ini.

Surabaya, 26 April 2007
Nur Agustinus

Popular Posts