23 Apr 2009

Dimarahi ayah

Ayah saya bukan tipe yang suka marah, tapi bukan berarti saya tidak pernah dimarahi. Mungkin karena jarang marah, saya ingat peristiwa-peristiwa di mana saya dimarahi. Berikut adalah beberapa kejadian yang saya ingat. Saya mau bercerita, sekaligus dalam rangka supaya nostalgia ini tidak lupa dan hilang begitu. Orang mungkin mengatakan, mengapa mengingat sesuatu yang tidak menyenangkan. Bukan itu tujuannya, namun saya mencoba menulisnya dalam rangka mengenang masa lalu. Saya sendiri semasa kecil, tidak pernah dipukul oleh orang tua.

Pertama saya berbohong. Waktu itu di kelas saya diberi tahu bahwa pada tanggal sekian akan libur sebab guru-guru ada acara. Tapi beberapa hari kemudian ada pengumuman bahwa acara guru-guru itu dibatalkan sehingga tidak jadi libur. Saya yang sudah bilang ke orang tua bahwa hari itu libur tidak mengatakan bahwa sebenarnya masuk. Jadi saya membolos. Lah karena rumah saya dekat dengan sekolah, maka saat itu terlihatlah bahwa ada banyak anak-anak pulang sekolah dengan seragam yang khas. Saya ketahuan bohong dan saya dihukum dengan menghadap tembok selama beberapa jam. Hasilnya jelas, saya tidak suka berbohong lagi ke orang tua saya. Jadi, hukuman ini saya pikir mendidik.

Kedua, saat saya mengecat dinding tembok kamar mandi menjadi hitam (dengan cat untuk membuat papan tulis). Saya pikir kesalahan itu memang fatal. Mengecat tembok dengan warna hitam sudah salah, tidak ada estetikanya sama sekali. Kemudian, mengecatnya dengan cat untuk papan tulis, bukan cat tembok. Selain itu, mestinya saya meminta ijin terlebih dahulu jika ingin membuat lukisan di dinding. Maunya ingin bikin gambar orang-orangan untuk obyek latihan kung fu (pengaruh nonton film Na Cha yang dimainkan Fu Sen, alm), tapi karena jelek, maka saya blok seluruh dinding dengan warna hitam. Ayah saya marah dan mengusir. Sorenya saya dipanggil kembali. Saya tahu kesalahan saya di mana dan tidak saya ulangi. Namun saya yakinkan kepada teman-teman semua, saya tetap kreatif. Saya tetap suka melukis dan tidak trauma karena hukuman itu.

Ketiga, saat saya masih kecil, SD, dilempar sandal (tapi tidak kena) oleh ayah saya. Padahal saya tidak merasa punya salah apa-apa. Gara-garanya waktu saya ulang tahun, saya dipanggil sama tetangga depan rumah ke rumahnya. Lha namanya anak kecil, dipanggil ya datang. Trus saya dicari dan disuruh pulang. Begitu masuk pintu, sandal melayang, tapi nggak kena. Kena semprot, "Bikin malu saja, datang ke rumah orang lain minta hadiah." Tapi saya sama sekali tidak minta hadiah
kok. Dalam hati protes, namun saya kemudian belajar soal norma atau budaya yang harus saya pelajari, yakni jangan pernah meminta.

Hm... saya jadi ingat satu kasus lagi, dan ini memang extraordinary...

Peristiwa ini berkaitan dengan ayah saya. Memang, hubungan antara seorang ayah dan putranya cukup istimewa. Ini bukan berarti saya tidak punya memori tentang ibu saya. Kalau ada pengalaman tidak menyenangkan yang teringat bukan berarti saya trauma atau dendam. Tapi saya ingin cerita justru dalam rangka untuk mengenang beliau. Baiklah saya mau mulai cerita.

Suatu hari, saat itu saya masih sekolah dasar. Saya tidak ingat kelas berapa, namun hari itu, kami sekeluarga pergi ke toko buku, namanya toko Sari Agung, di jalan tunjungan, surabaya. Kebiasaan ke toko buku memang rutin setiap hari sabtu, selain setiap liburan kami juga pergi ke kota Selecta (dekat kota Batu, Malang). Saya ingat waktu itu masih sekolah dasar karena hari itu, saya sangat senang sekali karena dibelikan sebuah tas president (model seperti tas koper, bagi yang sejaman dengan saya atau lebih tua, pasti tahu tas merk president ini. Ada juga yang merk, kalau tidak salah echolac). Betapa senangnya saya mempunyai sebuah tas yang kokoh, berwarna coklat, dengan pegangan besi yang mantap, serta nomor kombinasi untuk menguncinya. Saya tidak berpikir waktu itu, berapa duit yang dikeluarkan ayah saya untuk membelinya. Ayah saya kerja sebagai wartawan di majalah Liberty. Jangan bayangkan gajinya seperti wartawan saat ini. Yang penting saya senang dan saya yakin orang tua saya tahu bahwa saya sangat senang dengan tas itu.

Setelah belanja dari toko buku, seperti biasa, kami kemudian makan di sebuah rumah makan di jalan embong malang, tak jauh dari jalan tunjungan. Depot itu masih ada sampai sekarang meski tidak terlihat seapik dulu atau seramai masa lalu. Namanya depat sputnik. Ketika makan, ada orang yang menjual mainan, seingat saya mainan itu berupa kodok-kodokan yang bisa melompat. Ayah saya membelikan mainan itu. Saya tidak ingat, apakah saya memang meminta untuk dibelikan mainan itu atau tidak. Tapi yang pasti saya mendapat mainan itu. Mainan itu murah, saya tidak ingat harganya. tapi saya yakin itu mainan murah yang dijajakan oleh penjual keliling.

Kemudian, sesampai di rumah, mainan itu dimainkan oleh adik-adik saya. Adik saya dua orang, kami berbeda masing-masing dua tahun. Keduanya perempuan dan cantik-cantik. Entah bagaimana ceritanya, setelah dimainkan oleh adik saya, mainan itu rusak. Sungguh, bukan saya yang merusakkannya. Saya melihat bahwa mainan itu telah rusak dan saya tidak mengatakan apa-apa, namun saya tahu bahwa yang merusakkan adalah salah satudari adik saya tersebut.

Ayah saya kemudian melihat bahwa mainan itu rusak. Marahnya bukan main. Saya dimarahin karena dianggap telah merusakkan mainan yang baru saja dibeli. Dengan sekali sentakan kuat dengan kakinya ke arah tas president, maka tas saya yang baru dibeli hari itu, langsung penyok di bagian atas. Maklum, ayah saya adalah seorang karateka. Saya memandangi tas itu dengan menangis... meski dalam hati. Saya cuma diam. Saya tidak mengatakan apa-apa, tidak juga melaporkan bahwa yang merusakkan mainan itu adalah adik saya, dan bukan saya. Toh tak ada gunanya.... tas sudah rusak.

Ayah saya memang tidak pernah mengetahui yang sebenarnya. Memang, ketika ditanya ibu saya mengapa saya merusakkan mainan itu, dengan menangis saya kemudian mengatakan bahwa yang merusakkan mainan itu adalah adik. Tapi saya bilang bahwa tak perlu ayah saya tahu. Saya tidak ingin jadi pengadu.

Sayang, tas itu sudah tidak ada lagi saat ini. Tak ada lagi yang bisa dilihat untuk dikenang kecuali cerita yang teringat dalam benak. Memang tas itu sempat saya pakai untuk beberapa hari, namun saya kemudian memakai tas saya yang lama kembali.

Saya sama sekali tidak dendam dengan ayah saya. Tak ada dendam, tak ada trauma. Saya bukan tipe pendendam dan juga bukan orang yang suka melawan. Yang pasti, dengan bekal yang telah diberikan ayah dan ibu saya selama saya masih kecil hingga dewasa, kini saya bisa membeli tas apa saja yang saya inginkan.

Ayah saya, Basuki Soejatmiko, mencintai saya dengan caranya. Saya menjadi seperti saat ini juga besar sekali peran dari ayah saya. Setidaknya, karena ayah saya, saya masuk ke fakultas psikologi. Padahal saya inginnya dulu masuk astronomi atau setidaknya meterologi dan geofisika. Karena ayah saya pula, saya terbiasa menulis dan diberi kesempatan menulis di media massa seperti majalah Liberty, harian Jawa Pos dan lain-lain. Bahkan karena ayah saya telah membuat seorang temannya merasa berutang budi padanya sehingga mendorong teman ayah saya itu untuk memberi bea siswa penuh bagi kuliah MBA saya. Saya bangga terhadap ayah saya, dan saya merasa sangat bahagia bisa membuat ayah saya bangga dengan menjadi juara di Lomba Karya Ilmiah LIPI-TVRI pada tahun 1983. Seandainya ayah saya masih hidup.... saya sangat ingin bisa membalas segala kebaikan dan jasa-jasanya terhadap saya. Ayah saya meninggal di tahun 1990.
(nur agustinus - 28 Maret 2007)

Popular Posts